Kamis, 05 Desember 2013

makalah ABU BAKAR AL-SHIDDIQ

A.    Biografi Abu> Bakr al-S{iddi>q
Abu> Bakr al-S{iddi>q merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang pertama kali masuk Islam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai sahabat yang menemani Nabi Muhammad saw. saat melakukan perjalanan hijrah ke Madinah. Nama Abu> Bakr sendiri merupakan gelar yang diberikan oleh Rasulullah saw. karena dia adalah orang yang bergegas masuk Islam, sedangkan gelar al- S{iddi>q yang berarti “amat membenarkan” merupakan gelar yang diberikan kepadanya karena ia segera membenarkan Rasulullah saw. dalam berbagai peristiwa, terutama peristiwa Isra’ Mi’raj. Yakni ketika kebanyakan orang tidak percaya akan kejadian tersebut, tetapi justru Abu> Bakrlah yang tidak meragukan kebenaran peristiwa itu.[1]
Abu> Bakr dilahirkan dua atau tiga tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. di kota Makkah.[2] Dia memiliki nama lengkap Abdulla>h[3] bin ‘Us\ma>n Abi> Quh}a>fah bin ‘A. Ibunya bernama Umm al-Khair Salma> binti S{akhr bin ‘A>mir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah al-Taimi>.[4] Kedua orang tua Abu> Bakr merupakan keturunan dari Bani Taim, yaitu salah satu keluarga yang mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di kalangan suku Quraisy.[5]
Banyak penulis sejarah yang menyebutkan bahwa  Abu> Bakr sejak masa mudanya memiliki sifat dan kebiasaan-kebiasaan yang sangat dekat dengan sifat dan kebiasaan Rasulullah saw. Maulana Muhammad Ali sebagaimana yang dikutib oleh Imam Fuadi menyebutkan bahwa hal yang membedakan antara Abu> Bakr dengan Rasulullah saw. adalah bahwa Abu> Bakr pernah menerima pendidikan dan ia juga bisa membaca dan menulis. Di samping itu, dia juga seorang geneologis[6] dan seorang yang memiliki kedalaman pengetahuan dan pengalaman. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya itu, masyarakat kemudian menempatkannya pada derajat yang tinggi.[7]
Semasa kecil Abu> Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Me-
kah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai
pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat kesuksesan. Dalam berdagang, ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses. Dalam usia muda itu
ia menikah dengan Qutailah bint Abd al-‘Uzza>. Dari perkawinan ini lahir
Abdulla>h dan Asma>'. Asma>' inilah yang kemudian dijuluki Z{a>t al-Ni-
t
}aqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman
bint
A<mir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abd al-Rah}man
dan
A<isyah. Kemudian di Madinah ia menikah dengan H{abi>bah bint Khari>jah, setelah itu dengan Asma>' bint Umais yang melahirkan Muh}ammad.[8]
Abu> Bakr tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa per-
dagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam
dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung yang sama itulah yang
membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Mu-
hammad menikah dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Persamaanbidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy —dalam kepercayaan dan adat— mungkin sekali yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan
Abu> Bakr.[9]   
Abu> Bakr adalah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka, ia adalah orang yang menerima dakwah tanpa ragu dan ia adalah orang pertama yang memperkuat agama Islam serta menyiarkannya.[10] Karena ajakan Abu> Bakr banyak masyarakat Makkah yang mau memeluk agama Islam, seperti: ‘Us\ma>n bin ‘Affa>n, Abd al-Rah}man bin ‘Auf, T{alh}ah bin ‘Ubaidilla>h, Sa'd bin Abi> Waqqa>s}, Zubair bin al-‘Awwa>m, Abu> ‘Ubaidah bin Jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.[11]
Dalam menjalankan dakwah itu, Abu> Bakr tidak hanya berbicara saja dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuh-musuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifat-nya yang lemah lembut, tetapi ia juga menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orang-orang tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi dianiaya oleh orang-orang kafir Quraisy. Harta sebanyak empat puluh ribu dirham yang dikumpulkannya dari hasil perdagangan habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh majikannya disiksa dengan berbagai cara, tak lain hanya karena mereka masuk Islam.[12] Hampir tidak ada yang meragukan bahwa Abu> Bakr sangat besar jasanya dalam mendampingi perjuangan Rasulullah saw., baik pengorbanan yang bersifat materi maupun non materi. Dia sangat hormat dan cinta kepada Rasulullah saw.

B.     Abu> Bakr al-S{iddi>q Khalifah yang Pertama
Rasulullah saw. wafat pada tanggal 12 Rabi>’ al-Awwa>l tahun 11 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Juni 632 M.[13] Sebelum Rasulullah saw. wafat, Rasulullah tidak meninggalkan pesan kepada seorang juga dari sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum muslimin sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum muslimin berdasarkan hasil musyawarah diantara mereka sendiri.[14]
Ketika berita wafatnya Rasulullah tersiar, umat Islam sempat mengalami perpecahan. Mereka saling berbedat mengenai kepemimpinan umat Islam sepeninggalan Rasulullah saw. Pada saat itu terdapat dua kelompok besar yang saling bersaing untuk memimpin umat Islam, yakni golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Kedua golongan ini terlibat ketegangan dalam proses pemilihan khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah. Selain itu, dalam keterangan yang lain menyebutkan bahwa kelompok Bani Hasyim juga punya kepentingan dalam pemilihan tersebut. Ada juga aspirasi dari suku-suku Nomaden yang tidak mau tunduk pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku Quraisy.[15]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin yang memimpin dan pihak Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin dengan mengajukan Sa`ad bin ‘Ubadah.[16] Situasi yang memanas inipun dapat diatasi oleh Abu> Bakr, dengan cara Abu> Bakr menyodorkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin al-Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu> Bakr dan mengucapkan baiat memilih Abu> Bakr, seraya ‘Umar berkata kepadanya: “Bukankah Nabi telah menyuruhmu wahai Abu> Bakr, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah Khalifah pengganti dan penerus beliau”. Setelah itu kaum Muhajirin dan Anshar berturut-turut membai’atnya.[17] Bai’ah al-Saqi>fah ini dinamakan bai’ah al-Khas}s{ah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok kecil dari Muslimin, yakni mereka yang hadir di al-Saqi>fah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu> Bakr di atas mimbar Masjid Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara umum kaum muslimin membai’atnya.[18]
Menurut Imam Fuadi, terpilihnya Abu> Bakr sebagai khalifah disamping karena kemampuan dan senioritasnya juga karena kesadaran umat Islam akan adanya kepentingan bersama dan pentingnya menjaga stabilitas politik. Selain itu, faktor lain yang mendukung terpilihnya Abu> Bakr sebagai khalifah adalah dia merupakan orang yang menggantikan Rasulullah saw. sebagai imam sholat saat rasul sedang sakit, dia juga orang yang menemani Rasulullah saw. saat hijrah, dan dia adalah sahabat senior yang masuk Islam pada masa awal.[19]
Maka sejak saat itu, Abu> Bakr menjadi khalifah umat Islam. ia disebut sebagai khali>fah al-rasu>lilla>h, yang berarti pengganti Rasulullah saw. Maksudnya pengganti di sini adalah dalam hal kenegaraan saja, sehingga dengan otoritasnya sebagai pemimpin negara, dia memiliki kekuasaan untuk memimpin masyarakat Madinah sebagaimana yang dilakukan dan dimiliki oleh para pemimpin yang lain.  

C.    Pemerintahan pada Masa Khalifah Abu> Bakr al-S{iddi>q
Walaupun Abu> Bakr menjadi khalifah dalam rentang waktu yang cukup singkat, yakni sekitar 2 tahun lebih beberapa bulan, tetapi cukup banyak kontribusi yang dia berikan bagi masyarakat muslim, diantaranya adalah:


1.    Perbaikan Sosial-Politik
Pada saat Abu> Bakr menjabat sebagai kepala negara, dia mendapat beberapa tugas berat yang perlu segera diselesaikan. Diantara permasalahan yang muncul selama dia menjabat sebagai khalifah adalah munculnya nabi-nabi palsu (Tulaihah, Musailamah, dan Aswad al-Ansi), orang-orang yang tidak mau membayar zakat, dan orang-orang yang murtad (keluar dari Islam). Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, Abu> Bakr menggunakan pendekatan persuasif, walaupun pada kondisi tertentu Abu> Bakr terpaksa bertindak secara tegas. Persoalan-persoalan tersebut harus segera diselesaikan agar tidak merugikan umat Islam sendiri.[20]
Dalam rangka menghadapi nabi-nabi palsu beserta para pengikutnya, demikian juga mereka yang enggan membayar zakat, dan mereka yang murtad dari Islam, Abu> Bakr mempersiapkan sebelas pasukan yang antara lain dipimpin oleh Kha>lid bin Wali>d, ‘Amr bin al-‘A Jahl, dan yang lainnya. Lewat pasukan-pasukan ini akhirnya semua gerakan pengacau tersebut dapat ditumpas.[21]
2.    Sistem Politik
Pengangkatan Abu> Bakr sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada peristiwa S|aqi>fah Bani> Sa’i>dah, merupakan bukti bahwa Abu> Bakr menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu> Bakr menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Tampaknya sistem politik Islam yang dijalankan masa Khalifah Abu> Bakr, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti Nabi Muhammad saw., Abu> Bakr juga selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.[22] Untuk mengambil sebuah keputusan, Abu> Bakr membentuk semacam dewan perwakilan. Pengambilan keputusan sendiri didasarkan pada suara mayoritas, dengan melalui prosedur-prosedur tertentu.[23]
Pemilihan Abu> Bakr sebagai khalifah dengan jalan musyawarah ini merupakan sistem yang paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan berbagai sistem yang telah dilakukan oleh manusia pada zaman modern ini.[24]Sesuai dengan firman Allah swt. Q.S. Ali Imra>n [3]: 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَÇÊÎÒÈ  
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[25] kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Selain dituntut untuk menyelesaikan masalah dalam negeri, Abu> Bakr juga dituntut untuk untuk menyelesaikan masalah yang lainya, seperti mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari serbuan dan intervensi dari dua kerajaan adidaya, Bizantium dan Persia. Kedua kerajaan tersebut bisa saja menyerang balik Islam karena merasa terancam dengan seringnya wilayah perbatasan mereka diserang oleh pasukan Islam. Pada zaman Islam kedua negara adi kuasa ini masih cukup kokoh terutama kerajaan Bizantium.
Mengingat pentingnya menjaga wilayah perbatasan, maka tidak mengherankan apabila Abu> Bakr bersikeras untuk tetap mengirimkan pasukan ke Suriah di bawah pimpinan Usa>mah bin Zaid sesuai dengan rencana Rasulullah saw. sebelum wafat walaupun ada sahabat seperti ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang tidak menyetujui rencana Abu> Bakr tersebut. Alasan ketidaksetujuan mereka, karena dalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan Islam dari dalam. [26]
Setelah pasukan Usa>mah bin Zaid kembali dan masalah para nabi palsu serta orang yang enggan membayar zakat selesai, Abu> Bakr berusaha untuk memperluas dan mengembangkan wilayah Islam dengan melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua daerah itu menurut Abu> Bakr harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khali>d bin Wali>d, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu : ‘Amr bin al-‘Ad bin Abu> Sufya>n dan Surahbil bin H{asanah.[27]
Saat mengirim pasukan perang, Abu> Bakr juga menasehati kepada para tentaranya untuk mematuhi etika dalam berperang. Diantara etika perang yang coba dikembangkan Abu> Bakr adalah orang-orang tua, anak-anak dan wanita tidak boleh disakiti, ahli ibadah berikut tempat ibadahnya tidak boleh dirusak, mereka yang sudah menyerah tidak boleh disakiti, lahan-lahan produktif dan habita-habitat yang ada tidak boleh dirusak atau dibakar, perjanjian yang telah dibuat dengan kalangan non-Islam harus dipatuhi, dan mereka yang menyerah dan kemudian masuk ke dalam golongan muslim akan diberi hak yang sama dengan muslim lainnya.[28]
3.    Perekonomian
Sedangkan kebijakan yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian, Abu Bakar membentuk lembaga "Bait al-Ma>l", semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu> ‘Ubaidah, sahabat Nabi saw. yang digelari "ami>n al-ummah" (kepercayaan umat).[29] Walaupun lembaga ini masih sangat sederhana, tetapi untuk ukuran waktu itu merupakan sebuah kemajuan. Sumber pendanaan bagi lembaga ini diantaranya berasal dari hasil pengumpulan zakat, sodaqah, dan infaq umat, serta bagian seperlima dari harta rampasan perang yang masuk ke kas negara. Sedangkan pengalokasiannya antara lain untuk membiayai peperangan, menggaji prajurit yang dikirim ke medan pertempuran dan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Operasionalisasi dana tersebut ada yang bersifat terencana dan tidak jarang pula bersifat insidentil. Selain itu, gaji khalifah dan petugas lembaga inipun diambil dari kas negara ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa pengaturan keuangan di zaman Abu> Bakr sudah mulai tertata rapi.[30]
Kebijakan lain yang ditempuh Abu> Bakr yaitu membagi sama rata hasil rampasan perang (ghani>mah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu> Bakr adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.[31]
Selama masa pemerintahan Abu> Bakr, harta Bait al-Ma>l tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu> Bakr wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.[32]
4.    Keagamaan
Dalam bidang keagamaan, jasa Abu> Bakr yang paling menonjol adalah pengumpulan ayat-ayat suci al-Qur’an dalam satu mushaf. Kodifikasi al-Qur’an ini merupakan usul dari ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang merasa khawatir akan eksistensi al-Qur’an karena begitu banyaknya para sahabat yang hafal al-Qur’an gugur sebagai syuhada’ saat memerangi para nabi palsu.[33] Padahal saat itu al-Qur’an masih berserakan pada kulit, tulang, kulit kayu yang sangat mudah hilang.
Atas usul ‘Umar bin al-Khat}t}a>b tersebut pada awalnya Abu> Bakr  agak berat melaksanakan tugas tersebut, karena belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad saw. Namun karena alasan Umar yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya, akhirnya Abu> Bakr  menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada Zaid bin S|a>bit, penulis wahyu pada masa Rasulullah saw., untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.[34]
Setelah menjadi khalifah selama 2 tahun lebih beberapa bulan, akhirnya Abu> Bakr  wafat pada hari Senin malam Selasa tanggal 21 Jumad al-Akhir tahun 13 H saat berusia 63 tahun.[35] Persoalan besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon khalifah yang akan menggantikannya. Ketika Abu> Bakr  sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para sahabat, kemudian mengangkat ‘Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijakan Abu> Bakr  tersebit diterima masyarakat yang secara beramai-ramai membaiat ‘Umar. Dengan demikian ia telah mempersempit peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya Abu> Bakr  tidak memilih anak atau kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat ‘Umar bin al-Khat}t}a>b.[36]



[1]Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, ed. Muhammad Ridho, cet. ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 19-20. Bandingkan dengan Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar as-Siddiq yang Lembut Hati, terj. Ali Audah, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2003), h. 3.
[2]Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}man al-Suyu>t}i>, Tari>kh al-Khulafa>' (Beirut: Da>r ibn Kas\i>r, 2003), h. 28; Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S{ah}a>bah (Kairo: t.p., 2008), Juz VI, h. 271.
[3]Pada masa jahiliyah, nama asli Abu> Bakr adalah ‘Abd al-Ka’bah. Setelah masuk Islam, Rasulullah saw. mengganti namanya menjadi ‘Abdullah. Abi> ‘Umar Yusu>f bin ‘Abd al-Barr al-Namari> al-Qurt}ubi>, al-Isti>’a>b fi> Asma>' al-As}h}a>b (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), Juz I, h. 577.
[4]Jama>l al-Di>n Abi> al-Hajja>j Yusu>f al-Mizi>, Tahz\i>b al-Kama>l fi> Asma>' al-Rija>l (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1983), Jilid XV, h. 282-283.
[5]Dalam suku Quraisy terdapat pembagian tugas yang jelas diantara para kabilah (bani), misalnya saja Bani ‘Abd al-Manaf sebagai siqayah dan rifadah, Bani ‘Abd al-Dar sebagai liwa’, hijabah dan nadwah, Bani Makhzum (nenek moyang Khalid bin Walid) sebagai pimpinan tentara perang, dan Bani Taim bin Murrah sebagai penyusun masalah diyat (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Lihat Haikal, Abu Bakar, h. 1-2.
[6]Garis keturunan manusia dalam hubungan sedarah; asal usul keturunan; ilmu keturunan masusia; Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Apollo, t.th.), h. 170.
[7]Fuadi, Sejarah, h. 20.
[8]Haikal, Abu Bakar, h. 3.
[9]Ibid., h. 4.
[10]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 393. 
[11]Haikal, Abu Bakar, h. 5.
[12]Ibid., h. 8.
[13]Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhoeve, t.th.), Jilid 3, h. 273.
[14]Hasan, Sejarah, h. 396.
[15]Fuadi, Sejarah, h. 21-22.
[16]Sa`ad bin ‘Ubadah merupakan pemimpin suku Khazraj. Sampai akhir hayatnya dia tidak pernah melakukan bai`ah, baik kepada Abu> Bakr maupun ‘Umar. Lihat Haikal, Abu Bakar, h. 44.
[17]Hasan, Sejarah, h. 397.
[18]Menurut Ya’qubi sebagaimana yang dikutip oleh Haikal, masih ada segolongan Muhajirin terkemuka yang tidak ikut bai’ah umum kepada Abu> Bakr. Diantara yang tidak ikut itu adalah ‘Ali> bin Abi> T{a>lib, ‘Abba>s bin ‘Abd al-Mut}t}alib, Fad}l bin al-‘Abba>s, Zubair bin al-‘Awwa>m bin al-‘As}, Kha>lid bin Sa'i>d, Miqda>d bin ‘Amr, Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|ar al-Gifa>ri>, ‘Amma>r bin Ya>sir, Bara' bin ‘Azib dan Ubai bin Ka'b. Meskipun demikian, pada akhirnya mereka juga melakukan bai’ah kepda Abu> Bakr. Haikal, Abu Bakar, h. 47-54.
[19]Fuadi, Sejarah, h. 21-22. Lihat juga Mohammad Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 77.
[20]Fuadi, Sejarah, h. 23.
[21]Ibid., h. 23-24.
[22]Badri  Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.36; Fuadi, Sejarah, h. 29.
[23]Fuadi, Sejarah, h. 29.
[24]Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 135.
[25]Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

[26]Fuadi, Sejarah, h. 25-26.
[27]Chatibul Umam dkk.Sejarah Kebudayaan Islam (Kudus: Menara Kudus, 2003), h. 140.
[28]Fuadi, Sejarah, h. 30. Lihat juga Haikal, Abu Bakar, h. 82.
[29]Fuad, Perkembangan, h. 36.
[30]Fuadi, Sejarah, h. 28.
[31]Fuad, Perkembangan, h. 36.
[32]Syamsudduha, Pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq, dalam http:// armayant.blogspot.com /2012/06/makalah-pemerintahan-abu-bakar-as.html, diakses tanggal 10 Oktober 2013 jam 20.30.
[33]Al-Zarqa>ni< dalam Mana>hil al-‘Irfa>n menyebutkan bahwasanya sahabat yang hafal al-Qur’an yang wafat pada perang Yama>mah ada sekitar 70 orang, sedangkan menurut sumber yang lain jumlahnya mencapai 500 orang.  Muh}ammad ‘Abd al-Kari>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1995), juz I, h. 205.
[34]Mengenai dialog antara Abu> Bakr, ‘Umar bin al-Khat{t{a>b, dan Zaid bin S|a>bit bisa dilihat di Ibid., h. 206; Abu> ‘Isa> Muh}ammad bin ‘Isa> al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i>, Kita>b Tafsi>r al-Qur’an ba>b Surah al-Taubah (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H), h. 696; Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, Kita>b al-Tafsi>r ba>b Surah Bara>'ah al-Taubah (Kairo: Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), Juz III, h. 240.
[35]Al-Mizi>, Tahz\i>b al-Kama>l, h. 284-285.
[36]Badri  Yatim, Sejarah, h. 37; Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah, cet. ke-3 (Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), h. 87-89.

Selasa, 06 Agustus 2013

LOWONGAN KERJA

Ini adalah sebuah program kerja paruh waktu yang bebas dari penipuan – Anda dibayar untuk mengisi formulir online.
Pekerjaan yang sangat sederhana – tidak memerlukan keahlian khusus, atau pengalaman kerja di bidang tertentu.
Sangat mudah dikerjakan, disertai instruksi detail langkah demi langkah yang harus Anda lakukan.
Pekerjaan yang sangat mudah, cepat, dan menguntungkan.
Dikerjakan pada paruh waktu dan dibayar tunai, segera, tanpa ditunda-tunda.
Dapatkan Rp. 3 juta hingga Rp. 15 juta setiap minggu, silakan Anda habiskan, tak ada potongan apapun, dalam bentuk apa pun, atas alasan apa pun.
Dapatkan uang tunai instan dan cepat, silakan Anda belanjakan atau bayarkan untuk kepentingan Anda sendiri.
Pekerjaannya terjamin dan berkesinambungan – jaminan Anda untuk selalu bisa dapat uang.
Bisa Anda mulai segera – Anda tinggal gabung dan mulai kerja.
Waktu kerja yang singkat – hanya 1 – 2 jam per hari, sehingga cukup waktu bagi Anda untuk melakukan kegiatan lainnya.
Anda bisa kerja dimanapun – bisa dari rumah, dari warnet, dari HP, dari BB, selama ada koneksi internet Anda bisa bekerja.
Info selengkapnya 
klikhttp://www.penasaran.net/?ref=fvqj5h

LOWONGAN KERJA


PELUANG BISNIS

Pertama diindonesia, Bisnis online yang terbukti membayar, kerja 1-2 jam perhari, gaji jutaan rupiah. Hanya ada di bisnis ODAP. Asli!!!!!!!!!! bukan penipuan!!!! hanya dengan meng-input data kita akan mendapat bayaran Rp. 10.000 per data. PENASARAN? Info selengkapnya klik http://www.penasaran.net/?ref=fvqj5h

Kamis, 23 Mei 2013

IBN ARABI



A.    BIOGRAFI IBN ‘ARABI
Ibn Arabi nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘Arabi al-Thai al-Tamimi.[1] Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Arabi Muhyiddin, dan al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.[2] Beliau lahir di Murcia, Spanyol bagian tenggara pada tanggal 17 Ramadlan 560 H / 28 Juli 1163 M pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy. Ibn Arabi meninggal di Damaskus dan di makamkan di sana  tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/ 16 Nopember 1240 M dalam usia 78 tahun. Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang shaleh. Ayah dan tiga pamannya dari jalur ibu adalah tokoh sufi yang masyhur. Ia sendiri digelari Muhy al-Din (penghidup agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus) karena gagasan-gagasanya yang besar terutama dalam bidang mistik.[3] Ketika dia berusia 8 tahun keluarganya pindah ke Seville, tempat di mana dia mulai menuntut ilmu dan belajar al-Qur’an, hadits dan fiqih bersama sejumlah murid kepada seorang faqih yang terkenal di Andalusia yaitu Ibn Hazm al-Zhahiri.[4]
Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan keperibadian Ibnu ‘Arabi. Keperibadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu ‘Arabi belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis mazhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.[5]
Selama menetap di Seville Ibn Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 H), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini didalam perdebatan dan tukar pikiran. Hal ini menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual Ibn Arabi. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.[6]
Setelah berumur 30 tahun mulailah dia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di berbagai daerah ini, dia belajar kepada beberapa orang sufi, diantaranya Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari. Kemudian selama beberapa waktu dia pergi mundar-mandir antara Hijaz, Yaman, Syria, Irak dan Mesir.[7] Pada tahun 612 H/ 1215 M, Ibn Arabi pergi ke malatya dan bermukim di sana sampai 618H/ 1221 M. Di sini ia sempat menikah dengan janda Majiduddin Ishaq dan mempunyai anak bernama Sa’addin Muhammad (618 H/1221 M). Ibn Arabi disebut-sebut pernah beberapa kali menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Tetapi anaknya yang dikenal dalam sejarah hanya dua orang, yaitu Sa’addin Muhammad dan Imaddin Abu Abdullah (w. Damaskus 667 H/1269 M).[8] Akhirnya pada tahun 620 H dia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya. Makamnya sampai saat ini masih terpelihara dengan baik di sana.
Beliau pergi  yang  tidak  akan  kembali  lagi  meninggalkan  semua  yang  ada  didunia ini. Jasadnya yang sudah membeku, membisu seribu bahasa disemadikan di dalam Masjid Imam Akbar Muhyi  al-Din  bin  ‘Arabi  terletak  di  kaki  bukit Qasiyun. Meskipun jasadnya  telah  kembali  keasalnya,  mulutnya  tidak  pernah  bicara  lagi  tangannya telah  berhenti  menggoreskan  tinta,  namun  karyanya  masih  tetap  berbicara,  semua usaha  dan  jerih  payahnya masih  dapat  dinikmati  hingga  saat  ini  tetap  hidup  dihati umat ini.[9]
B.     KARYA-KARYANYA
Di dalam Concise Encyclopaedia of Arabic Civilization disebutkan bahwa jumlah karya Ibn ‘Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan dan dari buku buku-bukunya yang dapat ditemui hingga karang ada dua buah yang sangat terkenal yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu Al-Futuhat Al-Makiyyah dan Fusus Al-hikam.[10]
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia, Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hamper setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futuhat al-Makiyah, (penaklukan Makkah) yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushush al-Hikam (permata-permata hikmah), yang menurutnya diterima dari Rasulullah SAW agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushush al-Hikam tersebut.[11]
Kitab  Fusus  al-Hikam  juga merupakan  buah  karya  Ibn  ‘Arabi  yang  cukup dikenal,  kitab  ini  selesai  ditulis  pada  tahun  628 H,  ketika  beliau berada di Damsik. Sekalipun  kitab  ini  tidak  setebal  kitab  al-Futuhat  al-Makkiyah,  namun  dianggap sebagai puncak  kematangan  Ibn  ‘Arabi  dalam bidang  penulisan. Di  dalam  kitab  ini terkandung  kesempurnaan    alirannya  yang  telah  di  bincangkan  dalam  tulisan- tulisannya yang lain.[12]
Karya-karyanya yang lain diantaranya:[13]
1.      Mawaaqid al-Nujum (posisi Planet)
2.      Taaj al-Rasaail (mahkota risalah-risalah)
3.      Ruh al-Quds (roh suci)
4.       Risalah al-Nuur (risalah tentang cahaya)
5.      Musyahadah al-Asraar (melihat rahasia-rahasia)
6.       Al-Misbah Fi al-Jam’i Baina al-Shihah Fi al-Hadits (penerang unutk mengumpulkan hadits-hadits shahih)
7.      Futuhat al-Madaniyah (penaklukan Madinah)
8.      Tafsir al-Syaikh al-Akbar (tafsir simbolis al-qur’an versi sufi)
9.      Al-hikmah al-Ilahiyah (hikmah Tuhan)
Sebagai seorang sufi yang bertanggung jawab membimbing umat, Ibn ‘Arabiy[14] banyak menuliskan nasihat dan wasiat yang sebagian besar terangkum dalam kitab al-Wasaya li Ibn ‘Arabiy. Dan tasawuf yang dianut Ibn ‘Arabiy adalah tasawuf falsafati yang oleh sebagian ulama ditantang keras, karena tasawufnya dipandang mengandung ajaran yang menyimpang dari kebenaran, namun demikian tidak sedikit pula kaum sufi menghormati dan menyanjungnya sebagai sufi besar, ajarannya cukup bergema pada tarekat-tarekat yang berkembang luas pada abad-abad sesudahnya. Salah satu faham yang dikembangkannya dalam bidang tasawuf adalah faham wahdat al-wujud.[15]
C.     KONSEP-KONSEP IBN ‘ARABI
1.      Wahdah al-Wujud
Ibn Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makiyah  menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak”, yaitu zat yang mandiri yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apapun. Allah SWT adalah pencipta alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam tulisannya Fusus al-Hikam.
Dalam teori Ibn Arabi, terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dengan ajarannya tentang Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Ibn Arabi mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama kali wujud (menitis) dari Nur Illahi. Dr. Ibrahim Hilal mengatakan bahwa Nur Muhammad merupakan tahapan pertama dari tahapan-tahapan tanazzul (emanasi) zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Ibn Arabi juga berpendapat bahwa dari Nur Muhammad lah terbitnya alam ini. Juga diriwayatkan bahwa dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad ini dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya, tidak ada yang maujud melainkan dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad.[16]
Tahapan-tahapan kejadian dalam proses penciptaan alam menurut Ibn Arabi adalah:[17]
1.      Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu zat yang mandiri tanpa disebabkan/ berhajad wujud-Nya kepada sesuatu apapun .
2.      Wujud Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad sebagai emanasi pertama dari wujud Tuhan dan dari padanya melimpah wujud-wujud lainya.
3.      Bentuk-bentuk al-a’yan al-sabithah (wujud-wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut dengan ‘Alam al-Ma’ani.
4.      Realitas-realitas rohaniah (wujud-wujud rohani), yang disebut dengan ‘Alam al-Arwah.
5.      Realitas-realitas al-Nafisah (wujud-wujud jiwa) yang disebut dengan ‘Alam al-Nufus al-Natiqah.
6.      Bentuk-bentuk zat tanpa materi, yang disebut ‘Alam al-Misal.
7.      Wujud-wujud jasad bermateri, yang disebut pula dengan Alam al-Ajsam al-Madiyah, atau yang disebut juga ‘Alam al-Hisbi atau ‘Alam al-Syahadah.   
Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam ini berasal “dari tiada kepada ada”, min al-‘adam ila al-maujud (creatilo ex nihilo). Menurut Ibn Arabi, asal segala yang ada (alam) ini adalah emanasi Tuhan yang terus-menerus. Dalam kitabnya al-Futuhat, dia mengatakan: “Maha suci Dia yang menjadikan segala sesuatu dan Dialah ‘ain segala sesuatu.”
Dr. Ibrahim Hilal mengatakan:” Teori emanasi telah mendasari ajaran tasawuf Ibn Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dari Tuhan. Karena itu dapat dikatakan, sesungguhnya alam ini adalah Tuhan. Esensi dari alam semesta ini adalah Tuhan, sedangkan lainya yang berupa materi hanyalah bayang-bayang saja.[18]
Ajaran tasawuf falsafi tentang wahdat al-wujud yang dipelopori Ibn Arabiy ini muncul dari sebuah hadits yang oleh sebagian pakar dinilai sebagai hadits qudsi yang menerangkan bahwa Allah ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya. Untuk  itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam ini cermin bagi Allah. Dikala Dia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat kepada alam, karena pada tiap-tiap benda yang ada di alam ini terdapat sifat ketuhanan.[19] Dari sinilah timbul paham  kesatuan. Yang ada di alam ini kelihannya banyak, tetapi sebenarnya satu. Tak ubahnya seseorang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
Penggambaran di atas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih yang digunakan Ibn Arabi. Dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifat-sifat-Nya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibn Arabi mengatakan ‘Huwa laa Huwa’ (Dia bukanlah Dia -yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan bayang-banyang-Nya bukan dengan zat-Nya.[20]
Dalam paham wahdat al-wujud, tiap sesuatu mempunyai dua aspek yaitu khalq dan haq. Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari al-‘ard dan al-jawhar. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam yang merupakan jawhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.[21]
Menurut Ibn Arabi, Tuhan merupakan wujud yang mutlak (sumber dari segala yang wujud) sebagai wujud yang maha tinggi, Ia berbeda dengan segala yang wujud yang ada di luar diri-Nya dan Maha Suci dari segala yang disifatkan makhluk. Hanya saja apa yang maujud ini tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Tuhan.
Realitas alam secara keseluruhan menurut pandangan Ibn Arabi tidak akan terlepas dari keberadaan zat Tuhan yaitu maujud yang mutlak sebagai sumber dari segala sesuatu yang maujud. Namun demikian tidak berarti dengan ketiadaan alam ini membuktikan ketiadaan zat Tuhan, sebab keberadaan alam semesta ini bukanlah menyebabkan adanya Tuhan, sebab Ia ada dengan sendiri-Nya, sedangkan alam semesta ini ada karena tajalli atau Tuhan menampakkan diri melalui proses penciptaan alam.
Wujud hakiki adalah wujud mutlak atau wujud kulli (universal) yang menurut Ibn Arabi merupakan pangkal dan sekaligus akhir dari segala sesuatu maujud. Segala yang maujud di alam ini bergantung pada wujud hakiki dan Tuhanlah yang maujud hakiki itu. Dengan demikian, yang merupakan wujud sebenarnya hanyalah Tuhan, sedangkan wujud lainnya di alam ini pada hakikatnya bergantung  pada wujudnya Tuhan. Dan yang dijadikan ini tidaklah mempunyai wujud (secara hakiki), sebab hanya Allah yang punya wujud hakiki.[22]
Menurut Ibn ‘Arabiy, al-‘adaam dalam kaitannya dengan proses penciptaan adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya. Segala yang ada pastilah bersumber dari zat-Nya, sehingga al-adaam itu berarti ketiadaan wsaat akan menjadi wujud empirik, namun nyata dalam hakikat dan kekal dalam ilmu pengetahuan, sebab setiap saat akan menjadi wujud yang konkrit di saat Tuhan menghendakinya.
Dengan demikian,maka proses penciptaan menurut Ibn ‘Arabiy tidak berarti sesuatu diciptakan dari tidak ada (creation exnihilo) akan tetapi berawal dari wujud potensial yang menjadi inti dari segala yang ada.
Meski ajaran wahdat Al-wujud memandang semua yang ada di alam ini terdiri dari dua aspek yakni aspek ketuhanan dan aspek kemakhlukan, sehingga semua yang wujud ini mempunyai wujud satu dengan Tuhan, namun ajaran ini berbeda dengan ajaran panteisme yang memandang semua alam semesta sebagai Tuhan (seperti yang disinyalir sementara pihak) sebab Ibn ‘arabiy memandang ajarannya sebagai ajaran tauhid yang mensucikan zat Tuhan dari persamaan dari persamaan dan persekutuan dengan segala makhluk-Nya,tidak ada maujud yang hakiki kecuali zat Tuhan yang Maha Kuasa.[23]
2.      Al-Insan Al-Kamil
Al-Insan Al-Kamil adalah nama yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menanamkan seorang muslim yang telah sampai ke tingkat tertinggi, yaitu (menurut seorang sufi) tingkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah. Memang, terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi dalam menentukan siapa yang bisa disebut al-Insan al-kamal.[24]
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam system (tasawuf) Ibn ‘Arabi adalah ajaran tentang Al-Insan Al-Kamal. Menurut ajaran tersebut, manusia sebenarnya adalah ganbaran wujud Tuhan dan sebagai penjelmaan yang sempurna pada daya ciptaan-Nya. Adanya manusia adalah untuk menunjukkan akan kesempurnaan Tuhan dalam alam dan untuk mencerminkan akan kebesaranNya. Dan yang dimaksud dengan Insan al-Kamil menurut Ibn ‘Arabi, seperti yang tersebut di dalam kitabnya Fusus, adalah: ‘Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun Al-Haqq (Tuhan) ‘ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan ‘ain (zat)-Nya karena ia hanya perwujudan sebagian asmaNya, bukan Tuhan bertajalli pada sesuatu itu dalam bentuk zatNya. Dan apabila engkau berkata insan (manusia), maka maksudnysa ialah Al-Insan Al-Kamil dalam kemanusiaannya, yaitu Tuhan bertajalli dalam bentuk zatNya sendiri, itulah yang disebut dengan ‘ainNya.[25]
Masalah Al-Insan Al-kamil, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad, seperti ditegaskan: “Ketahuilah, bukanlah yang dimaksudkan dengan Al-Insan Al-Kamil, kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Illahi yang Dia tiupkan kepada Adam. Oleh karena itu, Adam adalah esensi kehidupan dan awal manusia. Dikatakan bahwa “Nabi Muhammaad SAW adalah Al-Insan Al-Kamil yang paling sempurna. Sedang yang dimaksud disini adalah Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah. Dan dengan Al-Haqiqah Al-MuhammadiyaH inilah orang bisa mencapai derajat Al-Insan Al-kamil.
Menurut Ibn ‘Arabi, untuk mencapai Al-Insan Al-kamil orang harus melalui jalan sebagai berikut:
a.)    Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan hingga seorang sufi menjadi satu dengan-Nya.
b.)    Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam pandangannya, wujud Tuhanlah pada kesegalaan ini.
Semua ini, menurutnya seperti disimpulkan oleh Ibrahim Hilal, merupakan upaya pencapaian ke tingkat Al-Insan Al-kamil, dan ia hanya akan didapat melalui pengembangan daya intuisi atau zauq sufi.


[1]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yokyakarta: Pustaka pelajar, 2004), h. 138
[3]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 138
[4]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 348
[6]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 139-140
[7]Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 348
[8]-, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 150-151
[9] Abdul Wahid, Aliran Tafsir Ibn ‘Arabi, www.4shared.com,  2010,  h. 3
[10] Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 348
[11]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 141
[12]Abdul Wahid, Aliran Tafsir Ibn ‘Arabi, www.4shared.com, 2010,  h. 9
[13]-, Ensiklopedi Islam.,… h. 150-151
[14]Di kalangan ulama dikenal ada dua Ibn ‘arabiy, sama-sama lahir di Andalusia Spanyol, perbedaannya, yang satu memakai “al” (Ibn al-‘Arabiy) sebagai seorang fuqaha dan teolog besar yang lahir tahun 1076 M (467 H), sedangkan tokoh yang dibahas dalam makalah ini adalah seorang sufi besar dari Andalusia.
[15]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,(yogyakarta: Teras, 2008), h. 199-200
[16]Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 350
[17]Ibid., h. 351
[18]Ibid., h. 352
[19]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,(Yogyakarta: Teras, 2008), h. 200-201
[20]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 149-150
[21]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 92-93 
[22]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 202-203
[23]Ibid., h. 204-205
[24]Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 353-354
[25]Ibid., h. 355-356