Kamis, 18 April 2013

AGAMA PRIMITIF



A.    Agama  Primitif
Agama adalah ajaran yang berasal dari tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan dari generasi kegenerasi dengan tujuan untuk memeberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia.[1] Istilah primitif dinisbatkan kepada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada masa lampau. Dengan demikin primitf dapat dikatakan bahwa sesuatu yang kuno. Dalam hubungan dengan kepercayaan agama ,istilah primitive digunakan untuk menandai masa perkembangan manusia yang palinag awal dan bentuk agama  paling awal manusia di nisbatkan kepada masyarakat ini. Jadi Agama primitive adalah agama manusia pada tingkat yang pertama yang selanjutnya  mengalami kemajuan dari politeisme menjadi monoteisme. 
Dalam agama primitif dikenal istilah tentang ‘Necrolatry’, Spiritisme, Naturalisme, dan Animisme. Necrolarya dalam pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhadap makhluk sepiritual ang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan objek-objek tertentu. Naturlisme adalah pemujaan terhadap makhluk sepiritual yang dikaitkan dengan fenomena alam dan kekuatan komik yang besar seperti angin, sungai, bintang-bintang, langit dan juga objek-objek yang menyelimuti bumi ini yaitu tanaman dan binatang. Sedangkan animesme adalah pemujaan terhadap makhluk sepiritual yang objeknya tidak dapat dilihat oleh mata manusia.
B.     Cirri-ciri keagamaan masyarakat primitive [2]
a)      Pandangan tentang alam semesta
Masyarakat primitive beranggapan bahwa dunia dan alam sekitarnya merupakan subjek (kedudukanya sama dengan makhluk yang berpribadi). Berbeda dengan pandangan orang modern yang beranggapan bahwa alam ini adalah objek bagi perasaan ,perasan, dan tindakannya. Tetapi baik masyarakat moderen dan primitif meyakini bahwa diluar dirinya ada yang menimbulkan kekeuatan tetapi sikap atau cara menghadapi kekuatan itu berbeda antara masyarakat primitive dan modern.
b)      Mudah menyakralkan objek tertentu
Konsekwensi dari pandangan yang tidak membedakan antara subjek dan objek dan juga antara manusia dan alam sekitarntya menyebabkan masyarakat primitive  memandang syakral terhadap sesuatu yang menimbulkan madharat dan manfa’at. Keris, batu, pohon yang mempunyai keunikan tertentu dianggap syakral dan peerlu untuk dihormati dan dianggap suci
c)      Sikap hidup yang serba magis
Dalam Masyarakat primitive magis merupan sesuatu yang sangat penting.  Semua acara keagamaan adalah magis. Sikap hidupny adalah magis. Karena perbuatan mereka selalu dihubungkan dengan kekuatan yang ada dialam gaib, manusia primitive mengisi alat perlengakapan hidup dan kehidupanya dengan daya-daya gaib. Menurut Malinowski sikap hidup masyarakat primitive banyak menggantungkan pada hal-hal magis, sementara kepercayaan terhadap pengetahuan empiris dan keahlian praktis berkurang.
d)     Hidup penuh dengan upacara keagamaan
Selain kehiduapan masyarakat primitf diliputi kehidupan yang serba magis, kehidupan mereka juga diliputi dengan upacara-upacara keagamaan dan perbuatan mereka yang serba religius. Oleh karena itu, upacara-upacara keagamaan juga mewarnai aktifitas kehidupan mereka. Pengerjaan sawah, ladang, perkawinan dan perbuatan–perbuatan yang lain, semuanya mengandung arti sebagai upacara keagamaan. Setiap upacara memiliki mitenya sendiri, suatu naskah atau skenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara pada dalam hidupnya.    
C.    Animesme
Animesme berasal dari bahasa latin “anima” yang artinya nyawa, roh atau sukma dan animea yang berarti napas atau jiwa, jadi animesme adalah kepercayaan bahwa setiap benda itu mempunyai roh baik pada benda hidup atau benda mati, kadang-kadang juga disebut orang dengan serba sukma.[3]
Animisme adalah suatu paham bahwa alam ini mempunyai atau semua benda memiliki roh atau jiwa.[4]
Orang –orang primitif percaya terhadap roh dan juga memuliakanya sebab mereka berkeyakinan bahwa roh dapat memeberikan manfa’at dan madhorot terhadap manusia,mereka juga berkeyakinan bahwa mereka bisa meminta pertolonagn terhadap roh-roh tersebut.misal mereka memuja/ menymbah pohon beringin.mereka percaya bahwa pohon berngin memepunyai roh dan mereka percaya bahwa pohon beringin tersebut dapat membantu merrekadalam hal-hal yang mereka kehendaki.begitu juga penyembahan terhadap benda –benda lain seperti, batu, batu besar,arca ,gununga ,binatang , pohon-pohon besar dan lain-lain ynag mereka anggap sakral dan mereka yakini dapat memberikan manfa’at dn madhorot
 Bila dipandang dari bentuknya animisme  itu dapat disebut sebagai agama karena animisme menyerupai sifat-sifat agama misalnya:
1.      Dalam animisme orang percaya terhadap hal-hal yang gaib dan barang-barang yang bersifat rohani
2.      Memuja dan memuji terhadap kekuatan yang maha tinggi untuk mendapatkan kasih sayang dan kebahagiyaan dalam hidup
3.      Sadar akan kelemahan manusia sehingga mereka patuh dan tunduk dan menyandarkan diri kepada kekuatan gaib(roh tersebut )
selain animisme mempunyai sifat-sifat keagamaan animisme juga merupakan falsafah (pandangan hidup) bagi orang-orang primitif karena animisme mencoba menerangkan dengan akal pikiran kejadian yang dihadapi orang primitif  dan hasil fikiran dan keterangan mereka dapat memberikan kepuasan kepada jiwa –jiwa pengikutnya.


1.      Sifat-sifat khas animisme
Dalam animism terdapat suatu susnan keagamaan dengan suatu rangkaian uapacara-upacara dan bentuk-bentuk sesembahan yang melukiskan adanya makhluk-makluk halus ,roh-roh dan jiwa-jiwa yang mempunyai keinginan dan kehendak.
Dalam animisme kita dapatkan kepercayaan bahwa makhluk-makhluk halus atau roh-roh yang ada disekitar manusia kadang bersikap baik terhadap manusia kadang sebaliknya, sehingga manusia dikuasai rasa takut. Roh-roh ini bersifat supra manusiawi yang sangat mempengaruhi dan sangat menentukan kehidupan manusia. Masyarakat primitif menyadari bahwa pada keinginan manusia sendiri ada keinginan lain, pada kehendaknya sendiri ada kehendak orang lain.
2.      Teori animisme
Dalam karyanya yaitu Primitive Culture, Taylor mengemukakan bahwa agama mulai dengan animesme. Menurutnya Animesme adalah pelambangan dari suatu juwa atau roh pada beberapa makhluk hidup dan objek bernyawa lainnya. Tylor juga berpendapat bahwa agama adalah kepercayaan seseorang terhadap adanya suatu hubungan antara dirinya sendiri dengan roh-roh yang dianggap memiliki, menguasai,dan ada dimana-mana memenuhi alam semesta ini.

3.      Sikap dan bentuk Kultus Kesembahan
a.       Pemujaan terhadap roh-roh leluhur
Orang primitip menganggap bahwa orang yang telah meninggal mempunyai kedudukan tinggi, menentukan nasib dan mengontrokl manusia. Roh-roh orang yang telah meninggal dunia dianggap dan dipercaya sebagai makhluk kuat yang menentukan, dan segala kehendak dan kemauanya harus dituruti. Menurut orang primitip roh orang yang telah meninggal tersebut tinggal di gua-gua atau di dalam tanah di dasar sebagai mana halnya pada waktu masih hidup di dunia ini. Mereka juga membutuhkan makan dan minum.
Sebenarnya, asal mula pemujaan terhadap arwah leluhur sebagai kultus sesembahan di kalangan orang-orang primituip adalah karena rasa takut terhadap hantu-hantu yang bergentayangan yang sering mendatangi mereka dan karena keinginan untuk menjaga dan memelihara hubungan baik.
Pemujaan terhadap roh para lerluhur merupakan suatu cabang terbesar dalam agama manusia. Para leluhur yang telah meninggal dianggap tetap melindungi keluarga sendiri dan tetap menerima penghargaan, pelayanan serta penghormatan sebagai sesepuh.

4.      Kepercayaan tentang hidup setelah mati
a.       Jiwa setelah manusia mati
Di Flores barat terdapat kepercayaan bahwa jiwa seseorang yang sudah meninggal atau sudah mati bersatu dalam suatu masyarakat atau suatu persekutuan tersendiri dan msih berhubungan dengan keturunannya yang masih hidup. Sebenarnya pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal terdapat disemua masyarakat dan itu merupakan salah satu bentuk kuno dalam kepercayaan  masyarakat primitif kepercayaan ini dikuatkan dengan penguburan mayat disertai makanan dan minuman untuk bekal perjalanan setlah hidup kembali. Ini menguatkan adanya kepercaayaan mereka tentang hidup setelah mati.

b.      Cara menghubungi roh-roh leluhur
Roh-roh leluhur dipercayai mampu memberikan sabda ramalan kepada anak keturunan mereka yang sellu minta saran pada waktu dalam bahaya atau kesulitan. Menurut W. Crooke, biasanya orang-orang primitif melakukan ini di tempat-tempat tertentu. Misalnya  dengan cara mempersembahkan korban, sesajian sambil mengharapkan roh orang yang sudah meninggal menampakkan diri kepadanya dan ini dilakukan dengan tidur diatas kuburan orang yang sudah meninggal tadi.
Di Melanesia cara menghubungi roh leluhur yaitu setelah selesai penguburan mayat, mereka mengambil suatu kantong dan sebatang bambu yang panjangnya kira-kira 5-7 meter. Dialam kantong ditaruh pisang lalu mulut kantong diikatkan pada ujung bambu kemudian diletakkan tepat diatas kuburan si mati.
Di Luzon Philipina terdapat suku Ifugao yang melakukan upacara dengan diiringi dengan beberpa ekor binatang yang dikorbankan dengan maksud  menyeru atau memanggil roh-roh nenek moyang para leluhur.

5.      Totem dan tabu sebagai pola tingkah laku animistis
Kata totem berasal dari ototeman yang dalam bahasa dan dialog suku Ojibwa dari Amerika utara berarti kekerabatan dan kekeluargaan. Kata inii sering digunakan untuk mengungkapkan  adanya suatu hubungan antara manusia dengan binatang yang bersifat kekeluargaan. Kata ote itu sendiri mempunyai pengertian pertalian keluarga dan kekerabatan antara saudara laki-laki maupun perempuan. Hubunga kelompok karena kelahiran atau pengangkatan kekeluargaan dimana membawa pengertian tidak dapat saling mengawini. Totem itu tadi dalam perkembangannya memberikan pengartian tentang adanya sejneis roh pelindung manusia yang berwujud manusia. Para sarjana anteopologi menyebut tetemisme, tetemisme ini semacam bentuk agama pada orang primitif. Namun para sarjana agama lebih menekankan totemisme bukan suatu agama, karena totemisme hanyalah merupakan ekspresi keagaman dalam pemujaan dan penyambhan terhadap binatang.
Tabu atau tabu atau tapu adalah suatu kata yang berasal dari Polynesia. Ta yang artinya tanda dan pu yang artinya telah melampaui. Tabu biasanya dikaitkan dengan totem. Tabu digunakan untuk pengertian yang diterapkan pada adanya larangan-larangan tertentu, baik terhadap orang, barang atau obyek tertentu, binatang tertentu, dan juga makanan trertentu karena akan mnimbulkan ketakutan dan bahaya.
Tabu erat hubungannya dengan mana. Menurut A Fan Gennep yanmg disebut mana adalah kekuatan supra alami yang erat sekali hubungannya dengan dinamisme. Orang yang memiliki mana dapat memberi pengertian adanya suatu tabu atau larangan bagi orang lain yang lebih sedikit mananyasuatu contoh yang sangat menarik adalah tabu seperti yang dikemukakanoleh Raleph Linton dalam artikelnya Merguesan Culture dalam buku Abram Kardiner The Individual and his society sampai-sampai pada orang dari suku polinesia ada orang tertentu yang tabu bagi orang lain untuk menyentuhnya bahkan menginjak bayang-bayangnya sekalipun.
Ide tentang tabu mencakup suatu adat kebiasaan yang menunjukkan rasa takut terhadap obyek-obyek tertentu yang erat sekali hubungannya dengan ide maupun praktik pemujaan yang mengarah kepadanya.


D.    Dinamesme
1.      Pengertian Dinamesme
Dinamesme berasal dari bahasa Yunani yaitu dunamos dan di inggriskan menjadi dinamis yang artinya kekuatan, kekuasaan atau kasiat. Sedngkan Dr. Harun Nasution tidak mendefinisikan dinamisma secara tegas, beliau hanya menerangkan bahwa “bagi manusia primitif yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali tiap-tiap benda yang berada disekelilingnya bisa meempunyai kekuatan batin yang misterius. Dalam ensiklopedi umum dijumpai definisi dinamesme sebagai “kepercayaan keagamaa, primitif pada zaman sebelum kedatangan agamma hindu ke Indonesia. Selanjutnya dinyatakan,  bahwa  dasarnya adalah percaya adanya kekuatan yang maha ada yang berada dimana-mana (mana). Dinamesme disebut juga pre Animesme yang mengajarkan bahwaa tiap-tiap benda mempunyai mana.
2.      Beberapa kosep yang erat hubungannya dengan dinamesme:
a.       Mana
Mana adalah salah satu istilah lain saja dari apa yang disebut dinamesme. Menurut James e. o menyatakan bahwa mana sebagai salah satu istilah dari penduduk daerah pasifik yang berarti kekuasaan gaib yang rahasia atau pengaruh yang mengikat benda-benda tertentu kemudian menjadikan benda-benda itu sici dan tabu. Dalam bentuknya yang kuno orang melanesia mempercayai mana sebagai sumber segala kekuatan dan dasar segala tindakan manusia. Keberhasilan seseorang dianggap bukanlah karena usahanya secatra murni tetapi karena mana yang terdapat pada dirinya.
Menurut Honig dikalangan jawa ada istilah kotor dan keramat yang terkandung dalam mana. Sesuatu dianggap kotor jika mengandung kekuatan atau yang membinasakan orang, sehingga orang harus berhati-hati terhadapnya. Yang disebut keramat adalah sesuatu yang mengandung daya yang dianggap mendatangkan keselamatan.

b.      Fetish
Fetish yang berasal dari bahasa Portugis feitico yang berarti jimat dan kemudian diterapkan juga pada pengertian pusaka atau peninggalan, yaitu sesuatu yang mengandungdaya gaib atau benda- benda yang berkualitas magi. Dengan singkat fetis adalah benda-benda yang mengandung mana dan disebut juga benda bertuah. dasar faham fetish adalah bahwa daya-daya gaib bertemat pada benda-benda materi yang menyebabkan benda itu menjadi suci, keramat, mempunyai kasiat, berguna untuk suatu kepentintingan baik yang bersifat rohaniah atau jasmaniah.
Fetish juga menjadi benda yang dipuja artinya benda itu diperlakukan hati-hati, disimpan baik-baik, diolesi, disirami setiap waktu tertentu, dan diasapi dengan menyan. Semua ini denga maksud supaya kekuatan yang terkandung dalam benda itu bertambah terpelihara atau terbaharui. Namun perbuatan baik, pemujaan, dan pensucian terhadap fetish bisa berkurang bahkan sampai hapus sama sekali bila benda itu hilang kesaktiannya.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa setiap benda yang aneh karena bentuknya atau karena lainnya dan ternyata sakti dapat dipakai sebagai fetish. Adakalanya berbagai suku memiliki fetish sendiri-sendiri untuk menjamin kelangsungan dan keselamatan suku itu. Fetish jenis ini disebut pusaka. Pusaka dapat berupa keris, tombak, rantai, kereta keraton, payung atau pakaian-pakaian tertentu. Cotohnhya pusaka tombak korowelang di Tulung Agung

c.       Magi
Dalam kamus ilmiah popular kata magi semakna dengan gaib; rahasia; sihir[5] Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Honig yang menyatakan bahwa magi sama dengan sihir 
Dalam Dictionari of pagan religion di sebutkan  magis adalah penguasa segala sesuatu yang berhubunagn dengan rohani manusia ,pelopor, perbuatan-perbuatan yang bersifat misterius dan juga menyiksa manusia dengan berbagai cobaan
Dalam ensiklopedi umum magi(kekuatan gaib ) didefinisikan sebagai cara–cara terentu yang diyakini dapat menimbulakan kekuatan gaib, sehingga orang yang memepraktekannya dapat menguasai orang lain baik dalam pikiranya maupun dalam tingkah lakunya.
Magi juga didefinisikan sebagai mantra yang diyakini memiliki kekuatan untuk menolong atau mencelakakan orang lain. Magi yang menolonag orang disebut magi putih(white magic).  Sedangkan magi untuk mencelakan disebut(black magic).Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa magic sama dengan ilmu sihir.
d. Dukun dan Syaman
 Dukun adalah orang yang mempunyai kekeuatan gaib, yang tahu akan upacara-upacara yang diperlukan untuk menggunakan daya kekeuatan itu dan menjalankan upacara-upacara itu untuk kepentingan masyarakat. Dia bekerja secara sadar dengan ilmu pengetahuanya.
 Syaman hampir sama dengan dukun, tetapi kekeuatan gaib yang dimilikinya bersifat ekstatis/lupa diri dan bekerja apa yang disebut depersonalisasi artinya di dalam saman bekerja dan dari saman berbicaralah suatu daya yang memiliki dan menguasai saman itu sepenuhnya saman terdapat pada suku bangsa samoyet dan suku-suku lain di Asia Utara. Syaman memperoleh ke ekstaseanya melalui berbagai cara.Bisa dengan menyanyi, menari, atau minum yang memabukan. Diantara yang telah disebutkan tadi, tari-tarian merata dipraktekan masyarakat primitive, karena dari tarian itu dapat dikeluarkan suatu daya yang memakas sifatnya.


[1] Abudin nata metodologi studi islam, jakarta ,raja grafindo persada, 2001, hal 15
[2] Hal87
[3] Abu Ahmadi, perbandingan agama, Surakarta, Ab Siti Syamsiyah, 1983. Hlm. 72.
[4] M.dahl.an al barri,kamus ilmiah populer surabaya, apolo, hal 32
[5] Hal 351

HUBUNGAN KALAM, FILSAFAT DAN TASAWUF



A.    Titik Persamaan
Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan, disamping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya penekatan kepanya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu tersebut membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.[1]
Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha dan mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengannya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia yang belum atau tidak dapat dijangkaunya atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha mencari kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.[2]

B.     Titik Perbedaan
Perbedaan diantara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam berpangkal pada pengakuan akan dasar-dasar keimanan sebagaimana yang disebutkan dalam Qur’an (naqliah), yang kemudian di lanjutkan dengan pembuktian secara rasional tentang kebenarannya dan menghilangkan keragu-raguan yang terdapat disekelilingnya dengan alasan-alasan logika. [3] Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialok keagamaan. Sebagai sebuah dialok keagaaman, ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaannya ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional[4].
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Seorang filosof mempelajari sesuatu persoalan dengan cara yang objektif dan dimulainya dengan keragu-raguan terhadap suatu persoalan. Setelah dipelajarinya ia baru keluar dari dengan suatu pendapat yang dipercayainya dan dibuktikan kebenarannya.[5] Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan / mengelanakan) akal budi secara radilak (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity).[6]
Berkenaan dengan keberagaman kebenaran yang dihasilkan oleh logika maka di dalam filsafat dikenal dengan apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian antara fakta dan data itu sendiri. dengan bahasa yang sederhana, kebenaran adalah persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan kenyataan yang sebenarnya di alam nyara. Selain itu juga ada kebenaran koherensi. Dalam pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Disamping itu ada juga kebenaran pragmatic, dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio[7]. Dalam memecahkan persoalan tasawuf mencoba dengan wakilan batin, perasaan dan kesederhanaan berpola pikir dengan memandang dengan cara agama[8]. Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenarannya dan mudah digambarkan dengan bahsa lambang, sehingga sangat interpretable (dapat di interpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi atau ilham atau inspirasi yang dapat dari Tuhan kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu tasawuf adalah kebenaran hudhuri yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri.
Dalam perkembangannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Teologi rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut[9]:
  1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasikan lagi kepada arti lain, selain arti harfinya).
  2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
Teologi tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
  1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain slain dari arti harfinya)
  2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan bebruat
  3. Memberikan daya yang kecil kepada akal
Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, sosial dan humaniora sedangkat filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoretis.
Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya) teologi berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Adapun tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya[10].

C.    Titik Singgung antara Ketiganya
Pertalian antara ilmu kalam dengan filsafat nampak jelas karena theologi Islam bercorak filsafat yang menunjukkan ada pengaruh pikiran-pikiran dan metode filsafat, sehingga banyak diantaranya para penulis menggolongkan ilmu teologi Islam kepada filsafat[11].
Goldziher (wafat 1931 M) ketika memberikan penghargaannya terhadap usaha-usaha golongan theology Islam untuk membela agama Islam, mengatakan bahwa pengenalan dunia Islam terhadap filsafat Aristoteles dan pengaruhnya terhadap pikiran-pikiran kegamaan dari tokoh-tokohnya merupakan bahaya yang sangat mengancam Islam. Usaha pemaduan (sinkretisme) antara agama dan filsafat tidak cukup menghindarikan bahaya tersebut, karena tidak mungkin di buat jembatan penghubung antara Aristoteles yang bercorak Neo-platonisme dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang tidak bisa ditawar lagi. Kepercayaan tentang alam dalam suatu masa, tentang pemeliharaan Tuhan (al-Inayah al-Ilahiyah) terhadap ala mini sampai soal yang sekecil-kecinya dan tentang mu’jizat, semuanya itu tidak mungkin bertemu dengan pikiran-pikiran Aristoteles. Akan tetapi ada suatu aliran baru yang kebetulan dapat menjadi alat untuk menjaga agama Islam dan tradisi-tradisi pikirannya yang ada pada tokoh-tokohnya. Aliran tersebut ialah Theology islam (Ilmu Kalam).[12]
Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada pembicaraan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits. Ilmu kalam sering menempatkan dirinya pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), suatu metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan ilmu kaam ini hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, tanpa argumentasi rasional ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid (ilmu ‘aqoid).
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’ (mendengar), basher (melihat), kalam (berbicara), qudrah (kuasa). Namun ilmu kalam / tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya. Bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an. Dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipt merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah.[13]
Pertanyaan ini sulit dijawab apabila hanya melandasakan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya yang membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai aqidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq (bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenteraman, serta upaya menyelematkan diri dari kemunafikan. Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya mengetahui batasan-batasannya. Hal ini karena terkadang seseorang yang sudah tahu batasan-batasan kemunafikanpun tetap saja melaksanannya.
Dalam kautannya dengan ilmu kalam. Ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid / ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid jika dilihat bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalampun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan aqidah atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama salaf, hal itu harus ditolak. [14]
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan dan sentuhan secara qolbiyah.
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya muncullah kekufuran. Begitu juga ilmu tauhid juga dapat memberikan kontribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akal timbullah penyakit kalbu seperti ujub, riya’ dan sombong. Andai kata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada. Sifat ujub dan riyah. Dari sinilah dapat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian kaum sufi)[15].



[1] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2006. hal. 39
[2] Ibid 1. hal 40
[3] A. Hanafi. Pengantar Teologhy Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1992. hal. 30
[4] Ibid I. hal. 40
[5] Ibid II. hal. 30
[6] Ibid I. hal. 41
[7] Ibid I.
[8] A.Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hal24
[9] Ibid I. hal. 32
[10] Ibid I. hal. 42
[11] Ibid II. hal. 29
[12] Ibid II. hal. 29-30
[13] Ibid I. hal. 44
[14] Ibid I. hal. 46
[15] Ibid I. hal. 47