HERMENEUTIKA DAN KRITIK BIBEL
A. Pengertian Hermeneutika Dan
Kritik Bible
1.
Hermeneutika
Seperti
yang berkembang pada masa modern, bidang Hermeneutika dapat didefinisikan
paling tidak dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak awal kemunculannya,
hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis
tekstual. Salah satu dari enam bentuk tersebut adalah hermeneutika telah
ditafsirkan sebagai teori eksegesis (penjelasan/penafsiran) Bible.[1]
Terdapat justifikasi historis menyangkut definisi ini, karena kata tersebut
memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku
yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).[2]
Sejarah
hermeneutika Bible dapat ditelusuri melalui gereja primitif, patriarkhi,
interpretasi ganda Bible abad pertengahan, perlawanan luther terhadap
interpretasi mistik, dogmatik, humanistik, dan sistem lain dalam interpretasi,
muncul kritik historis pada abad ke-18 dan kekuatan kompleks yang mendominasi
pada periode ini dalam membentuk kembali interpretasi kitab suci, kontribusi
Schleiermacher, sekolah sejarah agama kaitannya dengan interpretasi, munculnya
teologi dialektis pada tahun 1920-an, dan Hermeneutika Baru teologi
kontemporer.[3]
Sejarah hermeneutika
detailnya tidak akan kami paparkan di sini, namun dari sedikit pembahasan
tersebut kita bisa mengetahui bahwa dalam perjalanannya hermeneutika dijadikan
sebagai pisau bedah dalam mengkaji Bible yang salah satunya adalah kajian
kritik Bible pada abad ke-18.
2.
Kritik
Kata
kritik dirasa berkonotasi buruk. Lihat saja,
tidak sedikit orang yang merasa terhina jika mendapatkan kritik dari orang
lain. Padahal pada hakikatnya kritik adalah suatu usaha untuk membangun sesuatu
menjadi lebih baik. Apakah sesuatu itu yang bersifat bathiniah ataupun
lahiriah. Pengertian kritik secara umum dapat dipahami sebagai:[4]
a.
Analisis (التحليل)
Adapun unsur-unsur
analisis meliputi:
rasionalitas, realistis, dapat dipertanggung jawabkan.
b.
Interpretasi (التفسر)
unsur-unsur interpretasi
meliputi: factual dan inovasi
c.
Penilaian (التقويم)
Dari
beberapa makna kritik di atas, maka secara jelas yang dimaksud di sini adalah suatu
usaha dalam menganalis sesuatu sehingga dapat terungkap apa yang ada di dalam
sesuatu tersebut, baik sisi positif ataupun negatifnya.
3.
Bible
kata
Bible berasal dari bahasa Yunani yang diserap kedalam beberapa bahasa
dunia melalui bahasa Latin atau Prancis. Kata ini merupakan bentuk plural dari
kata bibilon atau biblos yang berarti buku. Dalam bentuk ini,
kata bible (dengan ‘b’ kecil) berarti
juga perpustakaan atau koleksi buku. Makna lain dari kata bible adalah buku
yang memilki otoritas atau karya sastra yang unggul, batu kecil yang suci atau
mesin penggiling batu. Sedangkan Bible (dengan ‘B’ besar) berarti buku
yang berisi catatan atau tulisan suci
dari agama-agama, sehingga sering juga disebut dengan holy Books atau Holy
Writings. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an adalah Bible kaum Muslimin.
Akan tetapi ketika disebut The Bible, maka yang dimaksud khusus, yaitu menunjuk pada buku yang
diterima sebagai kitab suci Kristiani. The Bible bukan merupakan buku tunggal
tetapi merupakan koleki dari sejumlah buku dan surat. Bible dibagi dua bagian
utama. Bagian pertama dan merupakan bagian terbesar disebut Perjanjian Lama.
Bagian kedua dan merupakan bagian terkecil disebut Perjanjian Baru.[5]
Dari keterangan
di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud Hermeneutika
dan Kritik Bible di sini adalah suatu usaha dalam menganalis kitab Bible
sehingga dapat terungkap apa yang ada di dalam kitab tersebut, baik sisi
positif ataupun negatifnya dengan memakai metode Hermeneutika. Sebelum kami membahas
lebih jauh tentang Hermeneutika dan Kritik Bibel terlebih kami akan membahas
hal-hal yang janggal dalam Bible yang kami rangkum dalam sub bab “Problem
Bible”.
B. Problem Bible
Bible merupakan salah satu kitab suci tertua di dunia. Istilah "Bible " digunakan
oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya - meskipun memiliki konflik yang panjang
dalam sejarah - berbagi irisan dalam soal Bible. Hingga
kini Bible (Latin: Biblia, artinya
'buku kecil'; Yunani: Biblos) biasanya
dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan
antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang
oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau
Perjanjian Lama. Istilah "Old Testament" ditolak
oleh Yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan
dengan Yahudi adalah Perjanjian Lama (Old
Testament) yang sudah dihapus dan digantikan
dengan "Perjanjian Baru" (New Testament), dengan
kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi
menolak klaim Jesus sebagai juru selamat manusia.[6]
Bagi Yahudi, yang disebut
sebagai Bible adalah 39 Kitab dalam 'Perjanjian Lama-nya kaum Kristen, dengan
sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut Kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan
Bible, yang didalamnya termuat Torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital.
Louis Jacobs, seorang teolog Yahudi merumuskan: "A Judaism without God is no
Judaism. A Judaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no
Judaism."
Yang disebut Torah adalah lima kitab
pertama dalam Hebrew
Bible, yaitu Genesis (Kejadian), Exodus (Keluaran),
Leviticus (Imamat), Numbers (Bilangan),
dan Deuteronomy
(Ulangan).
Meskipun Hebrew Bible merupakan
kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap
masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman dalam bukunya Who Wrote the Bible, menulis
bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini
masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with
certainty who produced the book that has played a central role in our
civilization). Ia
mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga
ditulis oleh Moses.
Book of lamentation ditulis
Nabi Jeremiah.
Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman,
tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan
teka-teki paling tua di dunia (It
is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam
Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalamnya (dalam
teks-nya) dijumpai banyak kontradiksi.[7]
Selain itu Anas Adnan
menyebutkan di dalam bukunya bahwa Thomas Hobbes telah menemukan di dalam
observasinya bahwa Pentateukh (5 kitab pertama dalam Perjanjian Lama)
bukanlah wahyu yang diterima dan ditulis oleh Nabi Musa, melainkan ditulis oleh
orang lain setelah kematian Musa.[8] Anas
Adnan di dalam bukunya juga mengutib pendapat Simon yang di tulis di dalam
bukunya “Histoire Critique du Vieux Testamen, (1682)” bahwa Pentateukh tidak
hanya ditulis oleh satu orang, melainkan ditulis oleh beberapa orang. Simon juga
menunjukkan analisanya yang sistematis berupa penyelidikan yang menyimpulkan:
“Gaya tulisan Alkitab (Bible) selalu berbeda-beda. Kadang terlalu singkat,
kadang sangat berlebihan”. Padahal bentuk seperti itu tidak boleh terjadi pada
kitab suci.[9]
Problem lain dalam Hebrew Bible adalah soal standar
moral para tokohnya. David (the King of Israel) digambarkan melakukan
tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan Batsheba dan menjerumuskan
suaminya (Uria) ke ujung kematian. Akhirnya,
ia mengawini Batsheba dan melahirkan Solomon. Harper's Bible Dictionary, mencatat sosok David sebagai: "The most powerful King of Biblical Israel."
Namun,
David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible mengungkap sederet kejanggalan
perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut dalam Bible.
Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang diikuti dengan kekejaman
yang ganas. Dan dosa besarnya, adalah perzinahannya dengan seorang perempaun
cantik bernama Batsheba, yang ketika itu masih menjadi istri sah dari anak
buahnya sendiri. "The
great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are
perhaps but the common crimes of an oriental despot; but so far as we can
judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew
of a higher moral standard." Kasus perzinahan dan
perselingkuhan banyak tersebar dalam Bible. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak
Jacob dari Lea, berzina dengan menantunya sendiri yang bernama Tamar (Kejadian
38:1-11 dan 1518). Juga, Amon bin David diceritakan memerkosa adiknya sendiri.
Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2
Samuel 13:1-22. Padahal, hukuman bagi pezina menurut Kitab Imamat 20, adalah
hukuman mati.[10]
Adian Husaini menyebutkan
bahwa kajian
ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New Testament) yang berkembang pesat
dikalangan teologi Kristen serta fakta sejarah dan sains dalam Bible
membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Dua pakar Yahudi, Israel
Finkelstein dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis buku: The Bible Unearthed: Archaelogy's New Vision of
Ancient Israel and the Origin of Its sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang
tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Hebrew Bible. Profesor Bruce M.
Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary,
menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya yang
berjudul "The Text
of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration" menunjukkan problematika teks
yang serius. Dalam pembukaan bukunya yang lain berjudul "A Textual Commentary on the Greek New
Testament", (terbitan United Bible Societies, corrected edition
tahun 1975), Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh
interpreter Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini,[11] dan (2) bahan-bahan yang ada
pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.[12]
Dalam bukunya itu Metzger menjelaskan bahwa The New Testament yang asalnya berbahasa Yunani
(Greek) itu mengalami problem kanonifikasi yang rumit. Banyaknya manuskrip
menyebabkan keragaman versi Bible teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada
sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan
lainnya. Cetakan pertama The
New Testament bahasa
Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang
menyebut tahun 1514 terbit The
New Testament edisi
Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus
menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu
(Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal,
teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. Dalam
bukunya yang lain, The
Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan
Bonifatius Fischer, yang berjudul, "Limitation of Latin in Representing
Greek": "Although the Latin
language is in general very suitable for use in making a translation from
Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin.
" (meskipun bahasa latin secara
umum sangat cocok untuk digunakan menterjemahkan dari bahasa Yunani, tetap saja
ada bagian-bagian yang tidak bisa di ekspresikan dalam bahasa latin). [13]
Memang
bahasa asli Bible menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan
makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit
edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin
Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522)
dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek
yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit
sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal
istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham
Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya.
Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah
mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is
open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament
canon). Jadi karena Bible asli tidak ditemukan maka teks standar untuk
membuat berbagai versi pun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi
oleh tradisi Kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa
agama secara penuh kepada gereja.[14]
C. Hermeneutika Sebagai Kritik Bible.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas
bahwasanya teks Perjanjian Baru pertama kali diterbitkan dalam bahasa Yunani
pada tahun 1516 M, oleh Dcsiderius Erasmus (1469-1536) dari Rotterdam, Belanda.
Naskah teks
tersebut dijadikan textus receptus dan teks standar hingga tahun 1881. Perjanjian Baru versi Erasmus yang dijadikan textus
receptus mendapat kritikan untuk
pertama kalinya dari Richard Simon (1638-1712), seorang pendeta Perancis, yang
dijuluki “the father of Biblical criticism”. Mengomentari Simon,
Kümmel (seorang
teolog Kristen Jerman) menyimpulkan Simon adalah orang yang pertama
menggunakan metode-medote kritis di dalam studi historis asal mula bentuk tradisional teks Perjanjian
Baru.[15]
Memanfaatkan karya-karya
Simon, John Mill (1645-1707), seorang teolog Anglikan
menganalisa
secara kritis teks Perjanjian Baru. Setelah 30 tahun
mengkaji teks Perjanjian Baru, Mill menerbitkan karyanya di oxford pada tahun
1707, tepatnya dua minggu sebelum kematiannya (23 Juni 1707).[16] John Mill
mengkaji kritis teks (textual criticism) Perjanjian Baru dengan cara
menghimpun varian bacaan dari manuskrip-manuskrip Yunani kuno, ragam versi teks
Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat menghimpun
sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus receptus dalam
versi bahasa Yunani kuno. Meski demikian, John Mill belum berani untuk mengubah
textus receptus.
Penelitian John Mill
akhirnya dilanjutkan oleh Dr. Edward Wells (1667-1727). Dia adalah orang
pertama yang mengedit secara lengkap Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno. Dalam
beberapa bacaan, Wells meninggalkan textus receptus dengan menyebelahi
bacaan dari manuskrip-manuskrip kuno. Selain itu, Richard Bentlcy (1662-1742)
mengkaji secara kritis teks edisi Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno dan
Latin. Hasilnya, Bcntiey meninggalkan textus receptus lebih dari 40 tempat. Ia menghimpun
materi-materi untuk membuat Perjanjian Baru edisi kritis yang akan mengganti textus
receptus. Ketika ia sedang melakukan itu, Daniel
Mace (seorang
Pastur Presbyterian di Newbury) menerbitkan Perjanjian Baru
dalam 2 jilid dan dalam dua bahasa,[17] Yunani kuno dan Inggris. Mace memilih varian bacaan yang telah dihimpun Mill. Dalam pandangan Macc, varian
bacaan yang dihimpun Mill lebih tinggi dari textus
receptus.
Fase baru dalam analisa teks Perjanjian Baru bermula
dengan Johan Albrecht Bengel (1687-1752). Dengan memanfaatkan 30.000 varian bacaan yang telah
dihimpun Mill, Bengel memfokuskan kajiannya kepada periwayatan teks (the
transmission of the text). Bengel yang pertama kali menyusun bukti-bukti kepada
teks Perjanjian Baru. Ia juga memformulasi aturan kritis (a
canon of criticism) untuk menetapkan akurasi sebuah varian bacaan. Dalam
pandangan Bengel, kemungkinan besar penulis akan memudahkan
tulisan yang sukar dipahami, ketimbang menyulitkan tulisan yang mudah dipahami.
Bengel
memformulasikan sebuah prinsip; bacaan yang lebih sulit lebih diprioritaskan
dibanding bacaan yang mudah (proelivi seriptioni
praestat ardua). Bagaimanapun, Bengel masih belum sepenuhnya mengkritik
textus receptus. Bengel membuat apparatus
criticus dalam
textus receptus. Di halaman
pinggir, Bengel mencantumkan varian bacaan dengan kategori berikut: α
menunjukkan bacaan asal; β menunjukkan bacaan yang lebih baik dari yang dicetak
di dalam teks; menunjukkan bacaan sama baiknya dengan teks; dan Ԑ menunjukkan
sangat rendah dan ditolak. Sezaman dengan Bengel, Johann Jakob Wettstcin
(1693-1754) seorang Pastor yang berasal dari Basel (Swiss) membuat apparatus
criticus serta memasukkan berbagai ragam bacaan sebagai alternatif kepada textus
receptus.[18]
Dengan memanfaatkan kajian
analisa teks (textual criticism) yang telah dilakukan oleh para
pendahulunya, Johan Salomo Semler (1725-1791), seorang profesor dalam bidang
teologi di Halle (Jerman) menulis
berbagai karya yang menganalisa secara kritis-historis teks Perjanjian Baru.
Ia mengkaji individu-individu yang mengarang Bible. Dalam pandangannya, Kalam
Ilahi (God's Word) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak
identik. Kitab Suci memuat buku-buku yang penting hanya untuk masa terdahulu
saat buku-buku tersebut ditulis. Menurut Scmlcr, ajaran seperti itu tidak dapat
memberi sumbangan moral kepada manusia hari ini untuk maju. Konsekwensinya,
dalam pandangan Scmlcr, bagian-bagian dari Bible bukanlah inspirasi dan tidak
dapat diterima secara otoritatif. Semler juga berpendapat buku yang ada di
dalam Bible adalah murni historis belaka. Bible terbentuk berdasarkan kepada
kesepakatan dari wilayah-wilayah Gereja. Menurut Scmlcr lagi, setiap orang
Kristen berhak untuk meneliti secara bebas kondisi historis setiap buku di
dalam Bible ketika ditulis.[19]
Dengan menggunakan
hermeneutika dari perspektif studi kritis sejarah,
berarti Semler telah melakukan pendekatan Bible dan sejarah
dogma secara radikal. Ia mengajukan gagasan transformasi radikal terhadap
dasar-dasar hermenuetika teologis. Interpretasi Bible kata Semler harus
dihentikan dari sekedar upaya untuk menveritivikasi dogma-dogma tertentu.
Dengan kata lain, interpretasi dogmatis terhadap teks Bible harus diakhiri, dan
perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut “truly critical reading”.
Hermeneutika menurutnya mencakup banyak hal, seperti tata bahasa, retorika,
logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan, dan kritik terhadap teks.[20]
Semler adalah sarjana yang
pertama kali menggunakan istilah recension untuk mengklasifikasi
manuskrip-manuskrip Perjanjian Baru. Ia mengklasifikasi manuskrip-manuskrip
tersebut dalam tiga versi (recensions); Alexandria, Timur (Eastern),
dan Barat ( Western). Disebabkan karya-karyanya, Semler digelar "the
founder of the historical study of the New Testamene (pendiri studi
historis Perjanjian Baru). Murid Semler di Halle, Johann Jakob Griesbach
(1745-1812) menerbitkan pada tahun 1774-1775 sebuah edisi Perjanjian Baru
Yunani yang memasukkan versinya sendiri ketimbang menggunakan textus
receptus. Griesbach juga membuat apparatus criticus. Dengan karya
tersebut, Griesbach mengakhiri dominasi Perjanjian Baru Yunani edisi Erasmus
yang sebelumnya telah dijadikan textus receptus. la melakukan kritik
metodologis (methodological criticism). Sekalipun ia merujuk
kepada bukti-bukti teks kepada tiga versi, yaitu Alexandria, Barat dan
Konstatinopel, Griesbach menganggap hanya kodex Alexandria dan kodex Barat yang
berharga. Pembahasannya mengenai kodex-kodex tersebut merupakan fondasi bagi
perkembangan analisa teks dan studi historis teks Perjanjian Baru. Selain itu,
Griesbach menganalisa pengarang Perjanjian Baru. Ia mengkaji keterkaitan antara
Matius, Markus dan Lukas. Dalam pandangannya, susunan kronologis dari objek
pembahasan ketiga para pengarang Bible (Synoptics) tersebut tidak dapat
dipercaya. Karya mereka mustahil diharmonisasikan.[21]
Menolak mengharmonisasikan
Synoptics, Johann Gottfried Herder (1744-1803), seorang Ketua Pastor di Weimar
(Jerman)
menyatakan setiap pengarang Bible memiliki maksud, waktu dan lokasi
masing-masing. Ia menegaskan Bible yang utama (Primal Gospel) adalah
oral dibanding tulisan. Bible yang paling tua adalah ucapan oral Yesus. Usaha
Herder yang mengkaji bentuk-bentuk kuno dari tradisi Bible dan karakter dari
semua Bible kanonik sebagai alat bukti, dalam pandangan Kümmel, merupakan cikal
bakal kelak terbentuknya kritik bentuk (form criticism).[22]
Salah seorang yang juga
memfokuskan kajiannya kepada bentuk-bentuk Bible adalah Fricdrich Daniel Ernst
Schlcier-macher (1768-1834). Ia adalah seorang profesor teologi di Universitas
Berlin, yang digelari juga sebagai “the founderof General
Hermeneutic”.
Schiciermachcr memformulasi General Hermeneutics karena alasan-alasan
teologis. Tujuan akhirnya supaya hermeneutika Bible memiliki dasar yang kuat.
Dasar tersebut menurut Schlcirmacher dapat disiapkan jika hermeneutika Bible (hermeneutica
sacra) memanfaatkan wawasan dari hermeneutika sastra (hermenéutica
profana). Menurut Schleiermacher, sekalipun Bible adalah wahyu, namun ia
ditulis dalam bahasa manusia. Schleiermacher dianggap sebagai “the
founder of General Hermeneutics” bukan saja karena ia secara
eksplisit mengemukakan cara-cara melakukan penafsiran, namun ia menjadikan
General Hermeneutics sebagai sebuah permasalahan filosofis.
Dalam pandangan
Schleiermacher, Timotius I bukanlah berasal dari Paul. Alasannya, penggunaan
bahasa serta situasi yang digambarkan di dalam teks tersebut, tidak sesuai
dengan kehidupan Paul. Schleiermacher berpendapat bahwa buku-buku yang ada di
dalam Bible sepatutnya diperlakukan sama dengan karya-karya tulis yang
lain. Schleiermacher melengkapi tafsirnya
kepada teks dengan menganalisa pemahaman sejarah bahasa dan psikologis, ia
berusaha kompleksitas ide yang ada sebagai sebuah momen di kehidupan individu
tertentu (to comprehend every given com-plex of ideas as a moment in the
life of a definite individual).[23]
Di bawah pengaruh
Schleiermacher, Karl Lachmann (1793-1851), seorang profesor filologi di Berlin,
untuk pertama kalinya meninggalkan textus receptus secara total.
Ia menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno pada tahun 1831. Edisi
baru tersebut menggunakan analisa teks ketika mengevaluasi varian bacaan.
Dalam pandangannya, tidak mungkin teks orisinal Perjanjian Baru akan dapat
dihasilkan lagi. Dengan karya tersebut, Lachmann merupakan 'the founder of
the modern era of textual criticism' (pendiri kritik teks era modern).
Setelah Lachmann, banyak
sekali para sarjana Kristen menganalisa teks dan menolak textus receptus,
seperti Lobe-gottjfFriedrich Constantin von Tischendorf (1815-1874), Samuel
Prideaux Trcgelles (1813-1875), Henry Alford (1810-1871), Brooke Foss Westcott
(1825-1901), Bernhard Weiss (1827-1918), Hermann Freiherr von Soden
(1852-1914), dan Iain-Iainnya.
Uraian ringkas di atas
menunjukkan pada abad ke-19 M, textus receptus Perjanjian Baru sudah ditolak.
Berbagai jenis disiplin ilmiah untuk mengkritik Bible (biblical criticism)
telah mapan. Kata kritik (criticism) ketika dikaitkan dengan Perjanjian Baru
bukan lagi sesuatu yang negatif. Makna kata tersebut berubah menjadi sesuatu
yang positif. Kata criticism berasal dari kata kerja Yunani,
krino: memisahkan, membedakan, memilih, menentukan atau menilai.
Sarjana yang menggunakan metode kritis-historis bertindak sebagai sejarawan
dan hakim yang berusaha untuk menentukan kebenaran problema yang sedang
dikaji.
Salah satu bentuk dari biblical
criticism adalah metode kritis-historis (historical-critical method).
Ketika diterapkan pada studi Bible, kritik-historis melibatkan penentuan teks
yang paling lama, watak kesastraannya, kondisi-kondisi yang memunculkannya, dan
makna asalnya. Ketika diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible,
kritis-historis melibatkan usaha untuk memisahkan legenda dan mitos dari fakta,
mengkaji mengapa para penulis Bible melaporkan dengan versi yang berbeda-beda,
dan berusaha menentukan mana yang betul-betul perkataan Yesus.[24]
Dalam metode yang luas ini,
terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks
(textual criticism), kajian filologis (philological study),
kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism)
dan kritik redaksi (redaction criticism).
Kritik teks (textual
criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan
akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension)
dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa
segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang
menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan
kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang
terbaik.
Kajian filologis (philological
study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang.
Kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun
ia juga mencakup studi bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.
Kritik sastra (literary
criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan
khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan studi
sumber (source criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad
ke-17 dan ke-18 M ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi,
pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyimpulkan
kandungan Bible akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang
melatarbelakangi teks Bible diteliti.[25]
Kata form criticism
(kritik bentuk) adalah terjemahan dari kata Jerman Formgeschichte, yang
artinya "sejarah-bentuk" dan kata Forngeschichte muncul
pertama kalinya di dalam karya seorang sarjana Jerman Martin Dibclius (1919).
Disebabkan karya Dibelius dan dua karya sarjana Jerman lainnya, yaitu K. L.
Schmidt (1919) dan R. Bultmann (1921), form criticism menjadi sebuah metode
dalam studi Perjanjian Baru. Ketika form criticism diterapkan untuk
mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode
mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang mempercayainya, yang mendahului
penulisan Bible. Kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus
kebanyakannya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat ditentukan dan
diklasifikasikan menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bible adalah hasil dari
memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bible di dalam berbagai
bentuk.
Kritik redaksi (redaction
criticism) di dalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana
para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada di tangan mereka. Kritik
redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu
dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka.
Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak
beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang diketahui pangarang Bible.
Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bible itu sendiri.[26]
Metode bible memang tepat diterapkan untuk Bible,
karena Bible merupakan hasil karangan beberapa penulis. Karangan pengarang Bible
terwarnai oleh latar belakang mereka masing-masing. Oleh karena itu,
kononisasi, textus receptus, dan teks standar Bible memang harus
ditolak. Jadi, sebenarnya Bible bukanlah kitab suci sebagaimana yang dipahami
oleh masyarakat awam kristen. Bible memuat beberapa permasalahan mendasar.
Bagaimanapun, ketika para sarjana Barat, orientalis atau islamolog Barat
mengkaji al-Qur’an, mereka membawa Biblical criticism masuk ke dalam
studi al-Qur’an. Padahal, al-Qur’an bukanlah karangan manusia. Ia adalah tanzil,
dan bukan produk budaya. Jadi, metodologi Biblical criticism tidak tepat
diaplikasikan ke dalam metodologi ulumul Qur’an. Memang ada kemiripaan antara
ulumul Qur’an dan Biblical criticism, namun, terdapat juga perbedaan
mendasar antara keduanya.[27]
[1]Richard
E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005) terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed, h. 38.
[3] Ibid.,
h. 41.
[4]Http://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-kritik/Pengertian kritik.
Diakses: 4/4/2012
[6]Adian
Husaini, Problem Teks Bible, htpp: //www. Insistnet.com, diakses tanggal
26 maret 2012, jam 19.45.
[7]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni
Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 42.
[8]Anas Adnan, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an
dengan Metode Manhaji, (Surabaya: Pendidikan dan Pengembangan al-Qur’an
[PPQ], 2010), h. 76.
[10]Adian
Husaini, Problem Teks Bible, htpp: //www. Insistnet.com, diakses tanggal
26 maret 2012, jam 19.45.
[11]Anas Adnan di dalam bukunya mengatakan bahwa Bible
pertama kali menggunakan bahasa Aram, bahasa Ibrani, kemudian bahasa Yunani,
dan akhirnya diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia tanpa menunjukkan bahasa
aslinya. Bahasa yang dipakai Yesus adalah Arami, sama dengan bahasa
masyarakatnya, kemudian Injil diakui berbahasa asli Ibrani, tapi tidak pernah
dijumpai Injil yang asli itu. Lihat di Anas Adnan, Buku Pendamping Belajar
Memahami al-Qur’an.,... h. 129-133.
[12]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat.,... h. 42-43
[14]Adian
Husaini, Problem Teks Bible, htpp: //www. Insistnet.com, diakses tanggal
26 maret 2012, jam 19.45.
[15]Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an:
Kajian Kritis, (Jakarta: Grma Insani Press, 2005), h. 36.
[16]Tiga
tahun setelah itu, karyanya diedit dan diterbitkan kembali di Amsterdam oleh
Westphalian L. Kuster dengan judul Novum Testamentum Graecum cum lectionibus
variantibus studio et labore, Joannis Millii. Collectionem Millianam
locupletavit, Ludolphus Kusterus (Perjanjian Baru Yunani dengan varian
bacaan, studi dan kajian John Mill, editor Ludolph Kiister).
[17]Naskah
tersebut diterbitkan di London pada tahun 1729 dengan judul The New
Testament in Greek and English, Containing the Original Text Corrected from the
Authority of the Most Authentic Manuscripts: and a New Version Form'd agreeably
to the Illustrations of the most Learned Commentators and Critics: with Notes
and Various Readings, and a Copious Alphabetical Index.
[19]Ibid., h. 39.
[20]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat.,... h. 302.
sangai indah, terima kasih
BalasHapusTerima kasih atas perkongsian
BalasHapus