Minggu, 07 April 2013

HERMENEUTIKA DAN KRITIK BIBEL



HERMENEUTIKA DAN KRITIK BIBEL
A.    Pengertian Hermeneutika Dan Kritik Bible
1.    Hermeneutika
Seperti yang berkembang pada masa modern, bidang Hermeneutika dapat didefinisikan paling tidak dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual. Salah satu dari enam bentuk tersebut adalah hermeneutika telah ditafsirkan sebagai teori eksegesis (penjelasan/penafsiran) Bible.[1] Terdapat justifikasi historis menyangkut definisi ini, karena kata tersebut memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).[2]
Sejarah hermeneutika Bible dapat ditelusuri melalui gereja primitif, patriarkhi, interpretasi ganda Bible abad pertengahan, perlawanan luther terhadap interpretasi mistik, dogmatik, humanistik, dan sistem lain dalam interpretasi, muncul kritik historis pada abad ke-18 dan kekuatan kompleks yang mendominasi pada periode ini dalam membentuk kembali interpretasi kitab suci, kontribusi Schleiermacher, sekolah sejarah agama kaitannya dengan interpretasi, munculnya teologi dialektis pada tahun 1920-an, dan Hermeneutika Baru teologi kontemporer.[3] Sejarah hermeneutika detailnya tidak akan kami paparkan di sini, namun dari sedikit pembahasan tersebut kita bisa mengetahui bahwa dalam perjalanannya hermeneutika dijadikan sebagai pisau bedah dalam mengkaji Bible yang salah satunya adalah kajian kritik Bible pada abad ke-18.



2.    Kritik
Kata kritik dirasa berkonotasi buruk. Lihat saja, tidak sedikit orang yang merasa terhina jika mendapatkan kritik dari orang lain. Padahal pada hakikatnya kritik adalah suatu usaha untuk membangun sesuatu menjadi lebih baik. Apakah sesuatu itu yang bersifat bathiniah ataupun lahiriah. Pengertian kritik secara umum dapat dipahami sebagai:[4]
a.        Analisis (التحليل)
Adapun unsur-unsur analisis meliputi: rasionalitas, realistis, dapat dipertanggung jawabkan.
b.      Interpretasi (التفسر)
unsur-unsur interpretasi meliputi: factual dan inovasi
c.       Penilaian (التقويم)
Dari beberapa makna kritik di atas, maka secara jelas yang dimaksud di sini adalah suatu usaha dalam menganalis sesuatu sehingga dapat terungkap apa yang ada di dalam sesuatu tersebut, baik sisi positif ataupun negatifnya.
3.    Bible
kata Bible berasal dari bahasa Yunani yang diserap kedalam beberapa bahasa dunia melalui bahasa Latin atau Prancis. Kata ini merupakan bentuk plural dari kata bibilon atau biblos yang berarti buku. Dalam bentuk ini, kata bible (dengan ‘b’ kecil)  berarti juga perpustakaan atau koleksi buku. Makna lain dari kata bible adalah buku yang memilki otoritas atau karya sastra yang unggul, batu kecil yang suci atau mesin penggiling batu. Sedangkan Bible (dengan ‘B’ besar) berarti buku yang  berisi catatan atau tulisan suci dari agama-agama, sehingga sering juga disebut dengan holy Books atau Holy Writings. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an adalah Bible kaum Muslimin. Akan tetapi ketika disebut The Bible, maka yang dimaksud  khusus, yaitu menunjuk pada buku yang diterima sebagai kitab suci Kristiani. The Bible bukan merupakan buku tunggal tetapi merupakan koleki dari sejumlah buku dan surat. Bible dibagi dua bagian utama. Bagian pertama dan merupakan bagian terbesar disebut Perjanjian Lama. Bagian kedua dan merupakan bagian terkecil disebut Perjanjian Baru.[5]
Dari keterangan di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud Hermeneutika dan Kritik Bible di sini adalah suatu usaha dalam menganalis kitab Bible sehingga dapat terungkap apa yang ada di dalam kitab tersebut, baik sisi positif ataupun negatifnya dengan memakai metode Hermeneutika. Sebelum kami membahas lebih jauh tentang Hermeneutika dan Kritik Bibel terlebih kami akan membahas hal-hal yang janggal dalam Bible yang kami rangkum dalam sub bab “Problem Bible”. 

B.     Problem Bible
Bible merupakan salah satu kitab suci tertua di dunia. Istilah "Bible " digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya - meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah - berbagi irisan dalam soal Bible. Hingga kini Bible (Latin: Biblia, artinya 'buku kecil'; Yunani: Biblos) biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau Perjanjian Lama. Istilah "Old Testament" ditolak oleh Yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan Yahudi adalah Perjanjian Lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan digantikan dengan "Perjanjian Baru" (New Testament), dengan kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak klaim Jesus sebagai juru selamat manusia.[6]
Bagi Yahudi, yang disebut sebagai Bible adalah 39 Kitab dalam 'Perjanjian Lama-nya kaum Kristen, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut Kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bible, yang didalamnya termuat Torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital. Louis Jacobs, seorang teolog Yahudi merumuskan: "A Judaism without God is no Judaism. A Judaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism." Yang disebut Torah adalah lima kitab pertama dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (Kejadian), Exodus (Keluaran), Leviticus (Imamat), Numbers (Bilangan), dan Deuteronomy (Ulangan).
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman  dalam bukunya Who Wrote the Bible, menulis bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalamnya (dalam teks-nya) dijumpai banyak kontradiksi.[7]
Selain itu Anas Adnan menyebutkan di dalam bukunya bahwa Thomas Hobbes telah menemukan di dalam observasinya bahwa Pentateukh (5 kitab pertama dalam Perjanjian Lama) bukanlah wahyu yang diterima dan ditulis oleh Nabi Musa, melainkan ditulis oleh orang lain setelah kematian Musa.[8] Anas Adnan di dalam bukunya juga mengutib pendapat Simon yang di tulis di dalam bukunya “Histoire Critique du Vieux Testamen, (1682)” bahwa Pentateukh tidak hanya ditulis oleh satu orang, melainkan ditulis oleh beberapa orang. Simon juga menunjukkan analisanya yang sistematis berupa penyelidikan yang menyimpulkan: “Gaya tulisan Alkitab (Bible) selalu berbeda-beda. Kadang terlalu singkat, kadang sangat berlebihan”. Padahal bentuk seperti itu tidak boleh terjadi pada kitab suci.[9]
Problem lain dalam Hebrew Bible adalah soal standar moral para tokohnya. David (the King of Israel) digambarkan melakukan tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan Batsheba dan menjerumuskan suaminya (Uria) ke ujung kematian. Akhirnya, ia mengawini Batsheba dan melahirkan Solomon. Harper's Bible Dictionary, mencatat sosok David sebagai: "The most powerful King of Biblical Israel." Namun, David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible mengungkap sederet kejanggalan perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut dalam Bible. Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang diikuti dengan kekejaman yang ganas. Dan dosa besarnya, adalah perzinahannya dengan seorang perempaun cantik bernama Batsheba, yang ketika itu masih menjadi istri sah dari anak buahnya sendiri. "The great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are perhaps but the common crimes of an oriental despot; but so far as we can judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew of a higher moral standard." Kasus perzinahan dan perselingkuhan banyak tersebar dalam Bible. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak Jacob dari Lea, berzina dengan menantunya sendiri yang bernama Tamar (Kejadian 38:1-11 dan 15­18). Juga, Amon bin David diceritakan memerkosa adiknya sendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1-22. Padahal, hukuman bagi pezina menurut Kitab Imamat 20, adalah hukuman mati.[10]
Adian Husaini menyebutkan bahwa kajian ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New Testament) yang berkembang pesat dikalangan teologi Kristen serta fakta sejarah dan sains dalam Bible membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Dua pakar Yahudi, Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis buku: The Bible Unearthed: Archaelogy's New Vision of Ancient Israel and the Origin of Its sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Hebrew Bible. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya yang berjudul "The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration" menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam pembukaan bukunya yang lain berjudul "A Textual Commentary on the Greek New Testament", (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini,[11] dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.[12]
Dalam bukunya itu Metzger menjelaskan bahwa The New Testament yang asalnya berbahasa Yunani (Greek) itu mengalami problem kanonifikasi yang rumit. Banyaknya manuskrip menyebabkan keragaman versi Bible teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, "Limitation of Latin in Representing Greek": "Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin. " (meskipun bahasa latin secara umum sangat cocok untuk digunakan menterjemahkan dari bahasa Yunani, tetap saja ada bagian-bagian yang tidak bisa di ekspresikan dalam bahasa latin). [13]
Memang bahasa asli Bible menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). Jadi karena Bible asli tidak ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi oleh tradisi Kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja.[14]

C.    Hermeneutika Sebagai Kritik Bible.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas bahwasanya teks Perjanjian Baru pertama kali diterbitkan dalam bahasa Yunani pada tahun 1516 M, oleh Dcsiderius Erasmus (1469-1536) dari Rotterdam, Belanda. Naskah teks tersebut dijadikan textus receptus dan teks standar hingga tahun 1881. Perjanjian Baru versi Erasmus yang dijadikan textus receptus mendapat kritikan untuk pertama kalinya dari Rich­ard Simon (1638-1712), seorang pendeta Perancis, yang diju­luki “the father of Biblical criticism. Mengomentari Simon, Kümmel (seorang teolog Kristen Jerman) menyimpulkan Simon adalah orang yang pertama menggunakan metode-medote kritis di dalam studi historis asal mula bentuk tradi­sional teks Perjanjian Baru.[15]
Memanfaatkan karya-karya Simon, John Mill (1645-1707), seorang teolog Anglikan menganalisa secara kritis teks Perjanjian Baru. Setelah 30 tahun mengkaji teks Perjanjian Baru, Mill menerbitkan karyanya di oxford pada tahun 1707, tepatnya dua minggu sebelum kematiannya (23 Juni 1707).[16] John Mill mengkaji kritis teks (textual criticism) Perjanji­an Baru dengan cara menghimpun varian bacaan dari manus­krip-manuskrip Yunani kuno, ragam versi teks Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat meng­himpun sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus receptus dalam versi bahasa Yunani kuno. Meski demikian, John Mill belum berani untuk mengubah textus receptus.
Penelitian John Mill akhirnya dilanjutkan oleh Dr. Edward Wells (1667-1727). Dia adalah orang pertama yang mengedit secara lengkap Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno. Dalam beberapa bacaan, Wells meninggalkan textus receptus dengan menyebelahi bacaan dari manuskrip-manuskrip kuno. Selain itu, Richard Bentlcy (1662-1742) mengkaji secara kritis teks edisi Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno dan Latin. Hasilnya, Bcntiey meninggalkan textus receptus lebih dari 40 tempat. Ia menghimpun materi-materi untuk membuat Perjanjian Baru edisi kritis yang akan mengganti textus receptus. Ketika ia sedang melakukan itu, Daniel Mace (seorang Pastur Presbyterian di Newbury) menerbitkan Perjan­jian Baru dalam 2 jilid dan dalam dua bahasa,[17] Yunani kuno dan Inggris. Mace memilih varian bacaan yang telah dihimpun Mill. Dalam pandangan Macc, varian bacaan yang dihimpun Mill lebih tinggi dari textus receptus.
Fase baru dalam analisa teks Perjanjian Baru bermula de­ngan Johan Albrecht Bengel (1687-1752). Dengan meman­faatkan 30.000 varian bacaan yang telah dihimpun Mill, Bengel memfokuskan kajiannya kepada periwayatan teks (the transmission of the text). Bengel yang pertama kali menyusun bukti-bukti kepada teks Perjanjian Baru. Ia juga memformula­si aturan kritis (a canon of criticism) untuk menetapkan akurasi sebuah varian bacaan. Dalam pandangan Bengel, ke­mungkinan besar penulis akan memudahkan tulisan yang sukar dipahami, ketimbang menyulitkan tulisan yang mudah dipahami. Bengel memformulasikan sebuah prinsip; bacaan yang lebih sulit lebih diprioritaskan dibanding bacaan yang mudah (proelivi seriptioni praestat ardua). Bagaimanapun, Bengel masih belum sepenuhnya mengkritik textus receptus. Bengel membuat apparatus criticus dalam textus receptus. Di halaman pinggir, Bengel mencantumkan varian bacaan dengan kategori berikut: α menunjukkan bacaan asal; β menunjukkan bacaan yang lebih baik dari yang dicetak di dalam teks; menunjukkan bacaan sama baiknya dengan teks; dan Ԑ menunjukkan sangat rendah dan ditolak. Sezaman dengan Bengel, Johann Jakob Wettstcin (1693-1754) seorang Pastor yang berasal dari Basel (Swiss) membuat apparatus criticus serta memasukkan berbagai ragam bacaan sebagai alternatif kepada textus receptus.[18]
Dengan memanfaatkan kajian analisa teks (textual criti­cism) yang telah dilakukan oleh para pendahulunya, Johan Salomo Semler (1725-1791), seorang profesor dalam bidang teologi di Halle (Jerman) menulis berbagai karya yang menga­nalisa secara kritis-historis teks Perjanjian Baru. Ia mengkaji individu-individu yang mengarang Bible. Dalam pandangan­nya, Kalam Ilahi (God's Word) dan Kitab Suci (Holy Scrip­ture) tidak identik. Kitab Suci memuat buku-buku yang penting hanya untuk masa terdahulu saat buku-buku tersebut ditulis. Menurut Scmlcr, ajaran seperti itu tidak dapat mem­beri sumbangan moral kepada manusia hari ini untuk maju. Konsekwensinya, dalam pandangan Scmlcr, bagian-bagian dari Bible bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif. Semler juga berpendapat buku yang ada di dalam Bible adalah murni historis belaka. Bible terbentuk berdasar­kan kepada kesepakatan dari wilayah-wilayah Gereja. Menu­rut Scmlcr lagi, setiap orang Kristen berhak untuk meneliti secara bebas kondisi historis setiap buku di dalam Bible ketika ditulis.[19]
Dengan menggunakan hermeneutika dari perspektif studi kritis sejarah, berarti Semler  telah melakukan pendekatan Bible dan sejarah dogma secara radikal. Ia mengajukan gagasan transformasi radikal terhadap dasar-dasar hermenuetika teologis. Interpretasi Bible kata Semler harus dihentikan dari sekedar upaya untuk menveritivikasi dogma-dogma tertentu. Dengan kata lain, interpretasi dogmatis terhadap teks Bible harus diakhiri, dan perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut “truly critical reading”. Hermeneutika menurutnya mencakup banyak hal, seperti tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan, dan kritik terhadap teks.[20] 
Semler adalah sarjana yang pertama kali menggunakan istilah recension untuk mengklasifikasi manuskrip-manuskrip Perjanjian Baru. Ia mengklasifikasi manuskrip-manuskrip tersebut dalam tiga versi (recensions); Alexandria, Timur (Eastern), dan Barat ( Western). Disebabkan karya-karyanya, Semler digelar "the founder of the historical study of the New Testamene (pendiri studi historis Perjanjian Baru). Murid Semler di Halle, Johann Jakob Griesbach (1745-1812) menerbitkan pada tahun 1774-1775 sebuah edisi Per­janjian Baru Yunani yang memasukkan versinya sendiri ke­timbang menggunakan textus receptus. Griesbach juga mem­buat apparatus criticus. Dengan karya tersebut, Griesbach mengakhiri dominasi Perjanjian Baru Yunani edisi Erasmus yang sebelumnya telah dijadikan textus receptus. la melaku­kan kritik metodologis (methodological criticism). Sekalipun ia merujuk kepada bukti-bukti teks kepada tiga versi, yaitu Al­exandria, Barat dan Konstatinopel, Griesbach menganggap hanya kodex Alexandria dan kodex Barat yang berharga. Pembahasannya mengenai kodex-kodex tersebut merupakan fondasi bagi perkembangan analisa teks dan studi historis teks Perjanjian Baru. Selain itu, Griesbach menganalisa pengarang Perjanjian Baru. Ia mengkaji keterkaitan antara Matius, Markus dan Lukas. Dalam pandangannya, susunan kronologis dari objek pembahasan ketiga para pengarang Bible (Synoptics) tersebut tidak dapat dipercaya. Karya mereka mustahil dihar­monisasikan.[21]
Menolak mengharmonisasikan Synoptics, Johann Gott­fried Herder (1744-1803), seorang Ketua Pastor di Weimar (Jerman) menyatakan setiap pengarang Bible memiliki mak­sud, waktu dan lokasi masing-masing. Ia menegaskan Bible yang utama (Primal Gospel) adalah oral dibanding tulisan. Bible yang paling tua adalah ucapan oral Yesus. Usaha Herder yang mengkaji bentuk-bentuk kuno dari tradisi Bible dan karakter dari semua Bible kanonik sebagai alat bukti, dalam pandangan Kümmel, merupakan cikal bakal kelak terbentuknya kritik bentuk (form criticism).[22]
Salah seorang yang juga memfokuskan kajiannya kepada bentuk-bentuk Bible adalah Fricdrich Daniel Ernst Schlcier-macher (1768-1834). Ia adalah seorang profesor teologi di Universitas Berlin, yang digelari juga sebagai the founderof General Hermeneutic. Schiciermachcr memformulasi Gen­eral Hermeneutics karena alasan-alasan teologis. Tujuan akhirnya supaya hermeneutika Bible memiliki dasar yang kuat. Dasar tersebut menurut Schlcirmacher dapat disiapkan jika hermeneutika Bible (hermeneutica sacra) memanfaatkan wawasan dari hermeneutika sastra (hermenéutica profana). Menurut Schleiermacher, sekalipun Bible adalah wahyu, na­mun ia ditulis dalam bahasa manusia. Schleiermacher diang­gap sebagai the founder of General Hermeneutics bukan saja karena ia secara eksplisit mengemukakan cara-cara melaku­kan penafsiran, namun ia menjadikan General Hermeneutics sebagai sebuah permasalahan filosofis.
Dalam pandangan Schleiermacher, Timotius I bukanlah berasal dari Paul. Alasannya, penggunaan bahasa serta situasi yang digambarkan di dalam teks tersebut, tidak sesuai dengan kehidupan Paul. Schleiermacher berpendapat bahwa buku-buku yang ada di dalam Bible sepatutnya diperlakukan sama dengan karya-karya tulis yang lain.  Schleiermacher melengkapi tafsirnya kepada teks dengan menganalisa pemahaman sejarah bahasa dan psikologis, ia berusaha kompleksitas ide yang ada sebagai sebuah momen di kehidupan individu tertentu (to comprehend every given com-plex of ideas as a moment in the life of a definite individual).[23]
Di bawah pengaruh Schleiermacher, Karl Lachmann (1793-1851), seorang profesor filologi di Berlin, untuk per­tama kalinya meninggalkan textus receptus secara total. Ia menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno pada tahun 1831. Edisi baru tersebut menggunakan analisa teks ke­tika mengevaluasi varian bacaan. Dalam pandangannya, tidak mungkin teks orisinal Perjanjian Baru akan dapat dihasilkan lagi. Dengan karya tersebut, Lachmann merupakan 'the founder of the modern era of textual criticism' (pendiri kritik teks era modern).
Setelah Lachmann, banyak sekali para sarjana Kristen menganalisa teks dan menolak textus receptus, seperti Lobe-gottjfFriedrich Constantin von Tischendorf (1815-1874), Samuel Prideaux Trcgelles (1813-1875), Henry Alford (1810-1871), Brooke Foss Westcott (1825-1901), Bernhard Weiss (1827-1918), Hermann Freiherr von Soden (1852-1914), dan Iain-Iainnya.
Uraian ringkas di atas menunjukkan pada abad ke-19 M, textus receptus Perjanjian Baru sudah ditolak. Berbagai jenis disiplin ilmiah untuk mengkritik Bible (biblical criticism) telah mapan. Kata kritik (criticism) ketika dikaitkan dengan Perjanjian Baru bukan lagi sesuatu yang negatif. Makna kata tersebut berubah menjadi sesuatu yang positif. Kata criticism berasal dari kata kerja Yunani, krino: memisahkan, membeda­kan, memilih, menentukan atau menilai. Sarjana yang meng­gunakan metode kritis-historis bertindak sebagai sejarawan dan hakim yang berusaha untuk menentukan kebenaran prob­lema yang sedang dikaji.
Salah satu bentuk dari biblical criticism adalah metode kritis-historis (historical-critical method). Ketika diterapkan pada studi Bible, kritik-historis melibatkan penentuan teks yang paling lama, watak kesastraannya, kondisi-kondisi yang memunculkannya, dan makna asalnya. Ketika diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, kritis-historis melibatkan usaha untuk memisahkan legenda dan mitos dari fakta, mengkaji mengapa para penulis Bible melaporkan dengan versi yang berbeda-beda, dan berusaha menentukan mana yang betul-betul perkataan Yesus.[24]
Dalam metode yang luas ini, terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks (textual criti­cism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (liter­ary criticism), kritik bentuk (form criticism) dan kritik redaksi (redaction criticism).
Kritik teks (textual criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recen­sion) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memi­lih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada se­buah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.
Kajian filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. Kajian filolo­gis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup studi bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.
Kritik sastra (literary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan studi sumber (source criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyim­pulkan kandungan Bible akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bible diteliti.[25]
Kata form criticism (kritik bentuk) adalah terjemahan dari kata Jerman Formgeschichte, yang artinya "sejarah-bentuk" dan kata Forngeschichte muncul pertama kalinya di dalam karya seorang sarjana Jerman Martin Dibclius (1919). Dise­babkan karya Dibelius dan dua karya sarjana Jerman lainnya, yaitu K. L. Schmidt (1919) dan R. Bultmann (1921),  form criticism menjadi sebuah metode dalam studi Perjanjian Baru. Ketika form criticism diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang memper­cayainya, yang mendahului penulisan Bible. Kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanya­kannya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat diten­tukan dan diklasifikasikan menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bible adalah hasil dari memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bible di dalam berbagai bentuk.
Kritik redaksi (redaction criticism) di dalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada di tangan mereka. Kri­tik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang di­ketahui pangarang Bible. Bukan kepada tradisi oral dan sum­ber-sumber Bible itu sendiri.[26]
Metode bible memang tepat diterapkan untuk Bible, karena Bible merupakan hasil karangan beberapa penulis. Karangan pengarang Bible terwarnai oleh latar belakang mereka masing-masing. Oleh karena itu, kononisasi, textus receptus, dan teks standar Bible memang harus ditolak. Jadi, sebenarnya Bible bukanlah kitab suci sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat awam kristen. Bible memuat beberapa permasalahan mendasar. Bagaimanapun, ketika para sarjana Barat, orientalis atau islamolog Barat mengkaji al-Qur’an, mereka membawa Biblical criticism masuk ke dalam studi al-Qur’an. Padahal, al-Qur’an bukanlah karangan manusia. Ia adalah tanzil, dan bukan produk budaya. Jadi, metodologi Biblical criticism tidak tepat diaplikasikan ke dalam metodologi ulumul Qur’an. Memang ada kemiripaan antara ulumul Qur’an dan Biblical criticism, namun, terdapat juga perbedaan mendasar antara keduanya.[27]



[1]Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed, h. 38.
[2] Ibid.,  h. 39.
[3] Ibid., h. 41.
[4]Http://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-kritik/Pengertian kritik. Diakses: 4/4/2012
[5] Waryono Abdul Ghafur, Kristologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 75-76.
[6]Adian Husaini, Problem Teks Bible, htpp: //www. Insistnet.com, diakses tanggal 26 maret 2012, jam 19.45.
[7]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 42.
[8]Anas Adnan, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an dengan Metode Manhaji, (Surabaya: Pendidikan dan Pengembangan al-Qur’an [PPQ], 2010), h. 76.
[9]Ibid., h. 77.
[10]Adian Husaini, Problem Teks Bible, htpp: //www. Insistnet.com, diakses tanggal 26 maret 2012, jam 19.45.
[11]Anas Adnan di dalam bukunya mengatakan bahwa Bible pertama kali menggunakan bahasa Aram, bahasa Ibrani, kemudian bahasa Yunani, dan akhirnya diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia tanpa menunjukkan bahasa aslinya. Bahasa yang dipakai Yesus adalah Arami, sama dengan bahasa masyarakatnya, kemudian Injil diakui berbahasa asli Ibrani, tapi tidak pernah dijumpai Injil yang asli itu. Lihat di Anas Adnan, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an.,... h. 129-133.
[12]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat.,... h. 42-43
[13]Ibid., h. 43.
[14]Adian Husaini, Problem Teks Bible, htpp: //www. Insistnet.com, diakses tanggal 26 maret 2012, jam 19.45.
[15]Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Jakarta: Grma Insani Press, 2005), h. 36.
[16]Tiga tahun setelah itu, karyanya diedit dan diterbitkan kembali di Amsterdam oleh Westphalian L. Kuster dengan judul Novum Testamentum Graecum cum lectionibus variantibus studio et labore, Joannis Millii. Collectionem Millianam locupletavit, Ludolphus Kusterus (Perjanjian Baru Yunani dengan varian bacaan, studi dan kajian John Mill, editor Ludolph Kiister).
[17]Naskah tersebut diterbitkan di London pada tahun 1729 dengan judul The New Testament in Greek and English, Containing the Original Text Corrected from the Authority of the Most Authentic Manuscripts: and a New Version Form'd agreeably to the Illustrations of the most Learned Commenta­tors and Critics: with Notes and Various Readings, and a Co­pious Alphabetical Index.
[18]Armas, Metodologi Bible dalam Studi.,… h. 38-39.
[19]Ibid., h. 39.
[20]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat.,... h. 302.
[21]Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis,………  h. 40.
[22]Ibid., h. 42.
[23]Ibid., h. 43.
[24]Ibid., h. 44.
[25]Ibid., h. 45.
[26]Ibid., h. 46.
[27]Ibid., h. 47.

2 komentar: