A.
Titik Persamaan
Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan
objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan, disamping
masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian
tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya penekatan kepanya. Jadi, dilihat dari
aspek objeknya, ketiga ilmu tersebut membahas masalah yang berkaitan dengan
ketuhanan.[1]
Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf berurusan
dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri
berusaha dan mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengannya.
Filsafat dengan wataknya sendiri pula berusaha menghampiri kebenaran, baik
tentang alam maupun manusia yang belum atau tidak dapat dijangkaunya atau
tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal
berusaha mencari kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju
Tuhan.[2]
B.
Titik Perbedaan
Perbedaan diantara ketiga ilmu tersebut terletak pada
aspek metodologinya. Ilmu kalam berpangkal pada pengakuan akan dasar-dasar
keimanan sebagaimana yang disebutkan dalam Qur’an (naqliah), yang kemudian di
lanjutkan dengan pembuktian secara rasional tentang kebenarannya dan
menghilangkan keragu-raguan yang terdapat disekelilingnya dengan alasan-alasan
logika. [3]
Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga
dengan istilah dialok keagamaan. Sebagai sebuah dialok keagaaman, ilmu kalam
berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui
argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa ilmu ini berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaannya ajaran agama, serta
pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional[4].
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Seorang filosof mempelajari
sesuatu persoalan dengan cara yang objektif dan dimulainya dengan keragu-raguan
terhadap suatu persoalan. Setelah dipelajarinya ia baru keluar dari dengan
suatu pendapat yang dipercayainya dan dibuktikan kebenarannya.[5]
Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan /
mengelanakan) akal budi secara radilak (mengakar) dan integral (menyeluruh)
serta universal (mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali
logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh
pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining
of conceptual clarity).[6]
Berkenaan dengan keberagaman kebenaran yang dihasilkan
oleh logika maka di dalam filsafat dikenal dengan apa yang disebut kebenaran
korespondensi. Dalam pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian
antara fakta dan data itu sendiri. dengan bahasa yang sederhana, kebenaran
adalah persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan kenyataan yang
sebenarnya di alam nyara. Selain itu juga ada kebenaran koherensi. Dalam
pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru
dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen.
Disamping itu ada juga kebenaran pragmatic, dalam pandangan pragmatisme,
kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat
dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan
rasa daripada rasio oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif.
Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa. Ilmu tasawuf bersifat
sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah
sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio[7]. Dalam
memecahkan persoalan tasawuf mencoba dengan wakilan batin, perasaan dan
kesederhanaan berpola pikir dengan memandang dengan cara agama[8].
Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh
kebenarannya dan mudah digambarkan dengan bahsa lambang, sehingga sangat
interpretable (dapat di interpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar
mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi atau ilham atau inspirasi
yang dapat dari Tuhan kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu tasawuf adalah
kebenaran hudhuri yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam
diri subjek sendiri.
Dalam perkembangannya, ilmu kalam (teologi) berkembang
menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Teologi rasional memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut[9]:
- Hanya terikat pada dogma-dogma yang jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasikan lagi kepada arti lain, selain arti harfinya).
- Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
Teologi tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut
ini:
- Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain slain dari arti harfinya)
- Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan bebruat
- Memberikan daya yang kecil kepada akal
Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat
sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, sosial dan humaniora
sedangkat filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan dan
filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan
tasawuf teoretis.
Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya) teologi
berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio
sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan
sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk
mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan
ekosistemnya langsung. Adapun tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi
kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak
memperoleh apa yang ingin dicarinya[10].
C.
Titik Singgung antara
Ketiganya
Pertalian antara ilmu kalam dengan filsafat nampak
jelas karena theologi Islam bercorak filsafat yang menunjukkan ada pengaruh
pikiran-pikiran dan metode filsafat, sehingga banyak diantaranya para penulis
menggolongkan ilmu teologi Islam kepada filsafat[11].
Goldziher (wafat 1931 M) ketika memberikan penghargaannya
terhadap usaha-usaha golongan theology Islam untuk membela agama Islam,
mengatakan bahwa pengenalan dunia Islam terhadap filsafat Aristoteles dan
pengaruhnya terhadap pikiran-pikiran kegamaan dari tokoh-tokohnya merupakan
bahaya yang sangat mengancam Islam. Usaha pemaduan (sinkretisme) antara agama
dan filsafat tidak cukup menghindarikan bahaya tersebut, karena tidak mungkin
di buat jembatan penghubung antara Aristoteles yang bercorak Neo-platonisme dan
kepercayaan-kepercayaan Islam yang tidak bisa ditawar lagi. Kepercayaan tentang
alam dalam suatu masa, tentang pemeliharaan Tuhan (al-Inayah al-Ilahiyah)
terhadap ala mini sampai soal yang sekecil-kecinya dan tentang mu’jizat,
semuanya itu tidak mungkin bertemu dengan pikiran-pikiran Aristoteles. Akan
tetapi ada suatu aliran baru yang kebetulan dapat menjadi alat untuk menjaga
agama Islam dan tradisi-tradisi pikirannya yang ada pada tokoh-tokohnya. Aliran
tersebut ialah Theology islam (Ilmu Kalam).[12]
Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada pembicaraan
yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun
naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang
cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah
biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits.
Ilmu kalam sering menempatkan dirinya pada kedua pendekatan ini (aqli dan
naqli), suatu metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan ilmu kaam ini
hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam,
tanpa argumentasi rasional ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri
dengan istilah ilmu tauhid (ilmu ‘aqoid).
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam
terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid
menerangkan bahwa Allah bersifat sama’ (mendengar), basher (melihat), kalam
(berbicara), qudrah (kuasa). Namun ilmu kalam / tauhid tidak menjelaskan
bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan
melihatnya. Bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an.
Dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipt merupakan
pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah.[13]
Pertanyaan ini sulit dijawab apabila hanya
melandasakan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya yang membicarakan
tentang penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf.
Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai aqidah dengan
memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq (bagaimana merasakan) tidak saja
termasuk dalam lingkup hal yang sunah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk
hal yang diwajibkan.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan
definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.
Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk
merasakan keyakinan dan ketenteraman, serta upaya menyelematkan diri dari
kemunafikan. Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya mengetahui
batasan-batasannya. Hal ini karena terkadang seseorang yang sudah tahu
batasan-batasan kemunafikanpun tetap saja melaksanannya.
Dalam kautannya dengan ilmu kalam. Ilmu tasawuf
berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan
yang mendalam lewat hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid / ilmu kalam
menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan
demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid jika dilihat bahwa
ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalampun berfungsi sebagai pengendali ilmu
tasawuf. Oleh karena itu jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan
aqidah atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama salaf, hal itu harus
ditolak. [14]
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai
pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana
disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu
yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah. Jika tidak
diimbangi oleh kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih
liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah
sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang
kering dari kesadaran penghayatan dan sentuhan secara qolbiyah.
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh
yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya muncullah
kekufuran. Begitu juga ilmu tauhid juga dapat memberikan kontribusi kepada ilmu
tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akal timbullah
penyakit kalbu seperti ujub, riya’ dan sombong. Andai kata manusia sadar bahwa
Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja
manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada.
Sifat ujub dan riyah. Dari sinilah dapat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang
pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian kaum sufi)[15].
[1]
Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
hal. 39
[2] Ibid
1. hal 40
[3] A.
Hanafi. Pengantar Teologhy Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1992. hal.
30
[4] Ibid
I. hal. 40
[5] Ibid
II. hal. 30
[6] Ibid
I. hal. 41
[7] Ibid
I.
[8]
A.Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hal24
[9] Ibid
I. hal. 32
[10] Ibid
I. hal. 42
[11] Ibid
II. hal. 29
[12] Ibid
II. hal. 29-30
[13] Ibid
I. hal. 44
[14] Ibid
I. hal. 46
[15] Ibid
I. hal. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar