Kamis, 23 Mei 2013

IBN ARABI



A.    BIOGRAFI IBN ‘ARABI
Ibn Arabi nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘Arabi al-Thai al-Tamimi.[1] Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Arabi Muhyiddin, dan al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.[2] Beliau lahir di Murcia, Spanyol bagian tenggara pada tanggal 17 Ramadlan 560 H / 28 Juli 1163 M pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy. Ibn Arabi meninggal di Damaskus dan di makamkan di sana  tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/ 16 Nopember 1240 M dalam usia 78 tahun. Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang shaleh. Ayah dan tiga pamannya dari jalur ibu adalah tokoh sufi yang masyhur. Ia sendiri digelari Muhy al-Din (penghidup agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus) karena gagasan-gagasanya yang besar terutama dalam bidang mistik.[3] Ketika dia berusia 8 tahun keluarganya pindah ke Seville, tempat di mana dia mulai menuntut ilmu dan belajar al-Qur’an, hadits dan fiqih bersama sejumlah murid kepada seorang faqih yang terkenal di Andalusia yaitu Ibn Hazm al-Zhahiri.[4]
Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan keperibadian Ibnu ‘Arabi. Keperibadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu ‘Arabi belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis mazhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.[5]
Selama menetap di Seville Ibn Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 H), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini didalam perdebatan dan tukar pikiran. Hal ini menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual Ibn Arabi. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.[6]
Setelah berumur 30 tahun mulailah dia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di berbagai daerah ini, dia belajar kepada beberapa orang sufi, diantaranya Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari. Kemudian selama beberapa waktu dia pergi mundar-mandir antara Hijaz, Yaman, Syria, Irak dan Mesir.[7] Pada tahun 612 H/ 1215 M, Ibn Arabi pergi ke malatya dan bermukim di sana sampai 618H/ 1221 M. Di sini ia sempat menikah dengan janda Majiduddin Ishaq dan mempunyai anak bernama Sa’addin Muhammad (618 H/1221 M). Ibn Arabi disebut-sebut pernah beberapa kali menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Tetapi anaknya yang dikenal dalam sejarah hanya dua orang, yaitu Sa’addin Muhammad dan Imaddin Abu Abdullah (w. Damaskus 667 H/1269 M).[8] Akhirnya pada tahun 620 H dia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya. Makamnya sampai saat ini masih terpelihara dengan baik di sana.
Beliau pergi  yang  tidak  akan  kembali  lagi  meninggalkan  semua  yang  ada  didunia ini. Jasadnya yang sudah membeku, membisu seribu bahasa disemadikan di dalam Masjid Imam Akbar Muhyi  al-Din  bin  ‘Arabi  terletak  di  kaki  bukit Qasiyun. Meskipun jasadnya  telah  kembali  keasalnya,  mulutnya  tidak  pernah  bicara  lagi  tangannya telah  berhenti  menggoreskan  tinta,  namun  karyanya  masih  tetap  berbicara,  semua usaha  dan  jerih  payahnya masih  dapat  dinikmati  hingga  saat  ini  tetap  hidup  dihati umat ini.[9]
B.     KARYA-KARYANYA
Di dalam Concise Encyclopaedia of Arabic Civilization disebutkan bahwa jumlah karya Ibn ‘Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan dan dari buku buku-bukunya yang dapat ditemui hingga karang ada dua buah yang sangat terkenal yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu Al-Futuhat Al-Makiyyah dan Fusus Al-hikam.[10]
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia, Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hamper setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futuhat al-Makiyah, (penaklukan Makkah) yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushush al-Hikam (permata-permata hikmah), yang menurutnya diterima dari Rasulullah SAW agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushush al-Hikam tersebut.[11]
Kitab  Fusus  al-Hikam  juga merupakan  buah  karya  Ibn  ‘Arabi  yang  cukup dikenal,  kitab  ini  selesai  ditulis  pada  tahun  628 H,  ketika  beliau berada di Damsik. Sekalipun  kitab  ini  tidak  setebal  kitab  al-Futuhat  al-Makkiyah,  namun  dianggap sebagai puncak  kematangan  Ibn  ‘Arabi  dalam bidang  penulisan. Di  dalam  kitab  ini terkandung  kesempurnaan    alirannya  yang  telah  di  bincangkan  dalam  tulisan- tulisannya yang lain.[12]
Karya-karyanya yang lain diantaranya:[13]
1.      Mawaaqid al-Nujum (posisi Planet)
2.      Taaj al-Rasaail (mahkota risalah-risalah)
3.      Ruh al-Quds (roh suci)
4.       Risalah al-Nuur (risalah tentang cahaya)
5.      Musyahadah al-Asraar (melihat rahasia-rahasia)
6.       Al-Misbah Fi al-Jam’i Baina al-Shihah Fi al-Hadits (penerang unutk mengumpulkan hadits-hadits shahih)
7.      Futuhat al-Madaniyah (penaklukan Madinah)
8.      Tafsir al-Syaikh al-Akbar (tafsir simbolis al-qur’an versi sufi)
9.      Al-hikmah al-Ilahiyah (hikmah Tuhan)
Sebagai seorang sufi yang bertanggung jawab membimbing umat, Ibn ‘Arabiy[14] banyak menuliskan nasihat dan wasiat yang sebagian besar terangkum dalam kitab al-Wasaya li Ibn ‘Arabiy. Dan tasawuf yang dianut Ibn ‘Arabiy adalah tasawuf falsafati yang oleh sebagian ulama ditantang keras, karena tasawufnya dipandang mengandung ajaran yang menyimpang dari kebenaran, namun demikian tidak sedikit pula kaum sufi menghormati dan menyanjungnya sebagai sufi besar, ajarannya cukup bergema pada tarekat-tarekat yang berkembang luas pada abad-abad sesudahnya. Salah satu faham yang dikembangkannya dalam bidang tasawuf adalah faham wahdat al-wujud.[15]
C.     KONSEP-KONSEP IBN ‘ARABI
1.      Wahdah al-Wujud
Ibn Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makiyah  menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak”, yaitu zat yang mandiri yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apapun. Allah SWT adalah pencipta alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam tulisannya Fusus al-Hikam.
Dalam teori Ibn Arabi, terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dengan ajarannya tentang Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Ibn Arabi mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama kali wujud (menitis) dari Nur Illahi. Dr. Ibrahim Hilal mengatakan bahwa Nur Muhammad merupakan tahapan pertama dari tahapan-tahapan tanazzul (emanasi) zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Ibn Arabi juga berpendapat bahwa dari Nur Muhammad lah terbitnya alam ini. Juga diriwayatkan bahwa dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad ini dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya, tidak ada yang maujud melainkan dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad.[16]
Tahapan-tahapan kejadian dalam proses penciptaan alam menurut Ibn Arabi adalah:[17]
1.      Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu zat yang mandiri tanpa disebabkan/ berhajad wujud-Nya kepada sesuatu apapun .
2.      Wujud Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad sebagai emanasi pertama dari wujud Tuhan dan dari padanya melimpah wujud-wujud lainya.
3.      Bentuk-bentuk al-a’yan al-sabithah (wujud-wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut dengan ‘Alam al-Ma’ani.
4.      Realitas-realitas rohaniah (wujud-wujud rohani), yang disebut dengan ‘Alam al-Arwah.
5.      Realitas-realitas al-Nafisah (wujud-wujud jiwa) yang disebut dengan ‘Alam al-Nufus al-Natiqah.
6.      Bentuk-bentuk zat tanpa materi, yang disebut ‘Alam al-Misal.
7.      Wujud-wujud jasad bermateri, yang disebut pula dengan Alam al-Ajsam al-Madiyah, atau yang disebut juga ‘Alam al-Hisbi atau ‘Alam al-Syahadah.   
Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam ini berasal “dari tiada kepada ada”, min al-‘adam ila al-maujud (creatilo ex nihilo). Menurut Ibn Arabi, asal segala yang ada (alam) ini adalah emanasi Tuhan yang terus-menerus. Dalam kitabnya al-Futuhat, dia mengatakan: “Maha suci Dia yang menjadikan segala sesuatu dan Dialah ‘ain segala sesuatu.”
Dr. Ibrahim Hilal mengatakan:” Teori emanasi telah mendasari ajaran tasawuf Ibn Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dari Tuhan. Karena itu dapat dikatakan, sesungguhnya alam ini adalah Tuhan. Esensi dari alam semesta ini adalah Tuhan, sedangkan lainya yang berupa materi hanyalah bayang-bayang saja.[18]
Ajaran tasawuf falsafi tentang wahdat al-wujud yang dipelopori Ibn Arabiy ini muncul dari sebuah hadits yang oleh sebagian pakar dinilai sebagai hadits qudsi yang menerangkan bahwa Allah ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya. Untuk  itu dijadikan-Nya alam ini. Maka alam ini cermin bagi Allah. Dikala Dia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat kepada alam, karena pada tiap-tiap benda yang ada di alam ini terdapat sifat ketuhanan.[19] Dari sinilah timbul paham  kesatuan. Yang ada di alam ini kelihannya banyak, tetapi sebenarnya satu. Tak ubahnya seseorang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
Penggambaran di atas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih yang digunakan Ibn Arabi. Dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifat-sifat-Nya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibn Arabi mengatakan ‘Huwa laa Huwa’ (Dia bukanlah Dia -yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan bayang-banyang-Nya bukan dengan zat-Nya.[20]
Dalam paham wahdat al-wujud, tiap sesuatu mempunyai dua aspek yaitu khalq dan haq. Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari al-‘ard dan al-jawhar. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam yang merupakan jawhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.[21]
Menurut Ibn Arabi, Tuhan merupakan wujud yang mutlak (sumber dari segala yang wujud) sebagai wujud yang maha tinggi, Ia berbeda dengan segala yang wujud yang ada di luar diri-Nya dan Maha Suci dari segala yang disifatkan makhluk. Hanya saja apa yang maujud ini tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Tuhan.
Realitas alam secara keseluruhan menurut pandangan Ibn Arabi tidak akan terlepas dari keberadaan zat Tuhan yaitu maujud yang mutlak sebagai sumber dari segala sesuatu yang maujud. Namun demikian tidak berarti dengan ketiadaan alam ini membuktikan ketiadaan zat Tuhan, sebab keberadaan alam semesta ini bukanlah menyebabkan adanya Tuhan, sebab Ia ada dengan sendiri-Nya, sedangkan alam semesta ini ada karena tajalli atau Tuhan menampakkan diri melalui proses penciptaan alam.
Wujud hakiki adalah wujud mutlak atau wujud kulli (universal) yang menurut Ibn Arabi merupakan pangkal dan sekaligus akhir dari segala sesuatu maujud. Segala yang maujud di alam ini bergantung pada wujud hakiki dan Tuhanlah yang maujud hakiki itu. Dengan demikian, yang merupakan wujud sebenarnya hanyalah Tuhan, sedangkan wujud lainnya di alam ini pada hakikatnya bergantung  pada wujudnya Tuhan. Dan yang dijadikan ini tidaklah mempunyai wujud (secara hakiki), sebab hanya Allah yang punya wujud hakiki.[22]
Menurut Ibn ‘Arabiy, al-‘adaam dalam kaitannya dengan proses penciptaan adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya. Segala yang ada pastilah bersumber dari zat-Nya, sehingga al-adaam itu berarti ketiadaan wsaat akan menjadi wujud empirik, namun nyata dalam hakikat dan kekal dalam ilmu pengetahuan, sebab setiap saat akan menjadi wujud yang konkrit di saat Tuhan menghendakinya.
Dengan demikian,maka proses penciptaan menurut Ibn ‘Arabiy tidak berarti sesuatu diciptakan dari tidak ada (creation exnihilo) akan tetapi berawal dari wujud potensial yang menjadi inti dari segala yang ada.
Meski ajaran wahdat Al-wujud memandang semua yang ada di alam ini terdiri dari dua aspek yakni aspek ketuhanan dan aspek kemakhlukan, sehingga semua yang wujud ini mempunyai wujud satu dengan Tuhan, namun ajaran ini berbeda dengan ajaran panteisme yang memandang semua alam semesta sebagai Tuhan (seperti yang disinyalir sementara pihak) sebab Ibn ‘arabiy memandang ajarannya sebagai ajaran tauhid yang mensucikan zat Tuhan dari persamaan dari persamaan dan persekutuan dengan segala makhluk-Nya,tidak ada maujud yang hakiki kecuali zat Tuhan yang Maha Kuasa.[23]
2.      Al-Insan Al-Kamil
Al-Insan Al-Kamil adalah nama yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menanamkan seorang muslim yang telah sampai ke tingkat tertinggi, yaitu (menurut seorang sufi) tingkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah. Memang, terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi dalam menentukan siapa yang bisa disebut al-Insan al-kamal.[24]
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam system (tasawuf) Ibn ‘Arabi adalah ajaran tentang Al-Insan Al-Kamal. Menurut ajaran tersebut, manusia sebenarnya adalah ganbaran wujud Tuhan dan sebagai penjelmaan yang sempurna pada daya ciptaan-Nya. Adanya manusia adalah untuk menunjukkan akan kesempurnaan Tuhan dalam alam dan untuk mencerminkan akan kebesaranNya. Dan yang dimaksud dengan Insan al-Kamil menurut Ibn ‘Arabi, seperti yang tersebut di dalam kitabnya Fusus, adalah: ‘Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun Al-Haqq (Tuhan) ‘ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan ‘ain (zat)-Nya karena ia hanya perwujudan sebagian asmaNya, bukan Tuhan bertajalli pada sesuatu itu dalam bentuk zatNya. Dan apabila engkau berkata insan (manusia), maka maksudnysa ialah Al-Insan Al-Kamil dalam kemanusiaannya, yaitu Tuhan bertajalli dalam bentuk zatNya sendiri, itulah yang disebut dengan ‘ainNya.[25]
Masalah Al-Insan Al-kamil, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad, seperti ditegaskan: “Ketahuilah, bukanlah yang dimaksudkan dengan Al-Insan Al-Kamil, kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Illahi yang Dia tiupkan kepada Adam. Oleh karena itu, Adam adalah esensi kehidupan dan awal manusia. Dikatakan bahwa “Nabi Muhammaad SAW adalah Al-Insan Al-Kamil yang paling sempurna. Sedang yang dimaksud disini adalah Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah. Dan dengan Al-Haqiqah Al-MuhammadiyaH inilah orang bisa mencapai derajat Al-Insan Al-kamil.
Menurut Ibn ‘Arabi, untuk mencapai Al-Insan Al-kamil orang harus melalui jalan sebagai berikut:
a.)    Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan hingga seorang sufi menjadi satu dengan-Nya.
b.)    Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam pandangannya, wujud Tuhanlah pada kesegalaan ini.
Semua ini, menurutnya seperti disimpulkan oleh Ibrahim Hilal, merupakan upaya pencapaian ke tingkat Al-Insan Al-kamil, dan ia hanya akan didapat melalui pengembangan daya intuisi atau zauq sufi.


[1]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yokyakarta: Pustaka pelajar, 2004), h. 138
[3]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 138
[4]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 348
[6]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 139-140
[7]Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 348
[8]-, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 150-151
[9] Abdul Wahid, Aliran Tafsir Ibn ‘Arabi, www.4shared.com,  2010,  h. 3
[10] Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 348
[11]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 141
[12]Abdul Wahid, Aliran Tafsir Ibn ‘Arabi, www.4shared.com, 2010,  h. 9
[13]-, Ensiklopedi Islam.,… h. 150-151
[14]Di kalangan ulama dikenal ada dua Ibn ‘arabiy, sama-sama lahir di Andalusia Spanyol, perbedaannya, yang satu memakai “al” (Ibn al-‘Arabiy) sebagai seorang fuqaha dan teolog besar yang lahir tahun 1076 M (467 H), sedangkan tokoh yang dibahas dalam makalah ini adalah seorang sufi besar dari Andalusia.
[15]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,(yogyakarta: Teras, 2008), h. 199-200
[16]Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 350
[17]Ibid., h. 351
[18]Ibid., h. 352
[19]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,(Yogyakarta: Teras, 2008), h. 200-201
[20]A. Khudori Soleh, Wacana Baru.,… h. 149-150
[21]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 92-93 
[22]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 202-203
[23]Ibid., h. 204-205
[24]Asmaran As, Pengantar Studi.,… h. 353-354
[25]Ibid., h. 355-356