A.
BIOGRAFI IBN ‘ARABI
Ibn Arabi nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad
ibn al-‘Arabi al-Thai al-Tamimi.[1] Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu
Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu
‘Arabi Muhyiddin, dan al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul
Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.[2] Beliau lahir di Murcia, Spanyol bagian tenggara pada tanggal 17
Ramadlan 560 H / 28 Juli 1163 M pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa’id ibn
Mardanisy. Ibn Arabi meninggal di Damaskus dan di makamkan di sana tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/ 16 Nopember
1240 M dalam usia 78 tahun. Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang
shaleh. Ayah dan tiga pamannya dari jalur ibu adalah tokoh sufi yang masyhur.
Ia sendiri digelari Muhy al-Din (penghidup agama) dan al-Syaikh
al-Akbar (Doktor Maximus) karena gagasan-gagasanya yang besar terutama
dalam bidang mistik.[3]
Ketika dia berusia 8 tahun keluarganya pindah ke Seville, tempat di mana dia
mulai menuntut ilmu dan belajar al-Qur’an, hadits dan fiqih bersama sejumlah
murid kepada seorang faqih yang terkenal di Andalusia yaitu Ibn Hazm
al-Zhahiri.[4]
Perpindahan inilah menjadi awal
sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak; terjadi
transformasi pengetahuan dan keperibadian Ibnu ‘Arabi. Keperibadian sufi,
intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia
kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga
ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu ‘Arabi belajar pada
banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim
asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya,
serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan
Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis mazhab Imam Malik dan
Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak bertaklid kepada mereka.
Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.[5]
Selama menetap di Seville Ibn Arabi muda sering melakukan kunjungan
ke berbagai kota di Spanyol untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para
tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling
mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 H), dimana saat
itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini didalam
perdebatan dan tukar pikiran. Hal ini menunjukkan kecerdasan yang luar biasa
dan luasnya wawasan spiritual Ibn Arabi. Ibn Arabi adalah seorang mistikus
sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman
spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana
dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.[6]
Setelah berumur 30 tahun mulailah dia berkelana ke berbagai kawasan
Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di berbagai daerah ini, dia belajar
kepada beberapa orang sufi, diantaranya Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari.
Kemudian selama beberapa waktu dia pergi mundar-mandir antara Hijaz, Yaman, Syria,
Irak dan Mesir.[7]
Pada tahun 612 H/ 1215 M, Ibn Arabi pergi ke malatya dan bermukim di sana
sampai 618H/ 1221 M. Di sini ia sempat menikah dengan janda Majiduddin Ishaq
dan mempunyai anak bernama Sa’addin Muhammad (618 H/1221 M). Ibn Arabi
disebut-sebut pernah beberapa kali menikah dan mempunyai
beberapa orang anak. Tetapi anaknya yang dikenal dalam sejarah hanya dua orang,
yaitu Sa’addin Muhammad dan Imaddin Abu Abdullah (w. Damaskus 667 H/1269 M).[8] Akhirnya pada tahun 620 H dia menetap di Hijaz hingga akhir
hayatnya. Makamnya sampai saat ini masih terpelihara dengan baik di sana.
Beliau pergi
yang tidak akan
kembali lagi meninggalkan
semua yang ada
didunia ini. Jasadnya yang sudah membeku, membisu seribu bahasa
disemadikan di dalam Masjid Imam Akbar Muhyi
al-Din bin ‘Arabi
terletak di kaki
bukit Qasiyun. Meskipun jasadnya
telah kembali keasalnya,
mulutnya tidak pernah
bicara lagi tangannya telah berhenti
menggoreskan tinta, namun
karyanya masih tetap
berbicara, semua usaha dan
jerih payahnya masih dapat
dinikmati hingga saat
ini tetap hidup
dihati umat ini.[9]
B.
KARYA-KARYANYA
Di dalam Concise
Encyclopaedia of Arabic Civilization disebutkan bahwa jumlah karya Ibn ‘Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150
buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan
dan dari buku buku-bukunya yang dapat ditemui hingga karang ada dua buah yang
sangat terkenal yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu Al-Futuhat Al-Makiyyah dan Fusus Al-hikam.[10]
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif.
Menurut Osman Yahia, Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis,
tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi,
tafsir dan hamper setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan
menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futuhat
al-Makiyah, (penaklukan Makkah) yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab,
18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushush al-Hikam
(permata-permata hikmah), yang menurutnya diterima dari Rasulullah SAW agar
disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak
dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling
masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushush
al-Hikam tersebut.[11]
Kitab Fusus
al-Hikam juga merupakan buah karya Ibn ‘Arabi yang
cukup dikenal, kitab ini
selesai ditulis pada
tahun 628 H, ketika
beliau berada di Damsik. Sekalipun
kitab ini tidak
setebal kitab al-Futuhat al-Makkiyah, namun
dianggap sebagai puncak
kematangan Ibn ‘Arabi
dalam bidang penulisan. Di dalam
kitab ini terkandung kesempurnaan alirannya
yang telah di
bincangkan dalam tulisan- tulisannya yang lain.[12]
Karya-karyanya yang lain diantaranya:[13]
1.
Mawaaqid al-Nujum (posisi Planet)
2.
Taaj al-Rasaail (mahkota risalah-risalah)
3.
Ruh al-Quds (roh
suci)
4.
Risalah al-Nuur (risalah tentang cahaya)
5.
Musyahadah al-Asraar (melihat
rahasia-rahasia)
6.
Al-Misbah Fi al-Jam’i Baina al-Shihah Fi al-Hadits (penerang unutk mengumpulkan hadits-hadits shahih)
7.
Futuhat al-Madaniyah
(penaklukan Madinah)
8.
Tafsir al-Syaikh al-Akbar (tafsir simbolis al-qur’an versi sufi)
9.
Al-hikmah al-Ilahiyah (hikmah Tuhan)
Sebagai seorang sufi yang
bertanggung jawab membimbing umat, Ibn ‘Arabiy[14]
banyak menuliskan nasihat dan wasiat yang sebagian besar terangkum dalam kitab al-Wasaya
li Ibn ‘Arabiy. Dan tasawuf yang dianut Ibn ‘Arabiy adalah tasawuf
falsafati yang oleh sebagian ulama ditantang keras, karena tasawufnya dipandang
mengandung ajaran yang menyimpang dari kebenaran, namun demikian tidak sedikit
pula kaum sufi menghormati dan menyanjungnya sebagai sufi besar, ajarannya
cukup bergema pada tarekat-tarekat yang berkembang luas pada abad-abad
sesudahnya. Salah satu
faham yang dikembangkannya dalam bidang tasawuf adalah faham wahdat al-wujud.[15]
C.
KONSEP-KONSEP IBN ‘ARABI
1.
Wahdah al-Wujud
Ibn Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makiyah menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak”,
yaitu zat yang mandiri yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu
apapun. Allah SWT adalah
pencipta alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam
tulisannya Fusus al-Hikam.
Dalam teori Ibn Arabi, terjadinya alam ini tidak bisa
dipisahkan dengan ajarannya tentang Haqiqah Muhammadiyah atau Nur
Muhammad. Ibn Arabi mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu
yang pertama kali wujud (menitis) dari Nur Illahi. Dr. Ibrahim Hilal
mengatakan bahwa Nur Muhammad merupakan tahapan pertama dari
tahapan-tahapan tanazzul (emanasi) zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Ibn
Arabi juga berpendapat bahwa dari Nur Muhammad lah terbitnya alam ini.
Juga diriwayatkan bahwa dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad
ini dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya, tidak ada yang
maujud melainkan dari Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad.[16]
Tahapan-tahapan kejadian dalam proses penciptaan alam
menurut Ibn Arabi adalah:[17]
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu zat
yang mandiri tanpa disebabkan/ berhajad wujud-Nya kepada sesuatu apapun .
2. Wujud Haqiqah Muhammadiyah atau Nur
Muhammad sebagai emanasi pertama dari wujud Tuhan dan dari padanya melimpah
wujud-wujud lainya.
3. Bentuk-bentuk al-a’yan al-sabithah
(wujud-wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut dengan ‘Alam
al-Ma’ani.
4. Realitas-realitas rohaniah (wujud-wujud
rohani), yang disebut dengan ‘Alam al-Arwah.
5. Realitas-realitas al-Nafisah
(wujud-wujud jiwa) yang disebut dengan ‘Alam al-Nufus al-Natiqah.
6. Bentuk-bentuk zat tanpa materi, yang
disebut ‘Alam al-Misal.
7. Wujud-wujud jasad bermateri,
yang disebut pula dengan Alam al-Ajsam al-Madiyah, atau yang disebut
juga ‘Alam al-Hisbi atau ‘Alam al-Syahadah.
Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam
ini berasal “dari tiada kepada ada”, min al-‘adam ila al-maujud (creatilo
ex nihilo). Menurut Ibn Arabi, asal segala yang ada (alam) ini adalah
emanasi Tuhan yang terus-menerus. Dalam kitabnya al-Futuhat, dia
mengatakan: “Maha suci Dia yang menjadikan segala sesuatu dan Dialah ‘ain
segala sesuatu.”
Dr. Ibrahim Hilal mengatakan:” Teori emanasi telah mendasari ajaran
tasawuf Ibn Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dari Tuhan. Karena
itu dapat dikatakan, sesungguhnya alam ini
adalah Tuhan. Esensi dari alam semesta ini adalah Tuhan, sedangkan lainya yang berupa
materi hanyalah bayang-bayang saja.[18]
Ajaran tasawuf falsafi tentang wahdat al-wujud yang
dipelopori Ibn Arabiy ini muncul dari sebuah hadits yang oleh sebagian pakar
dinilai sebagai hadits qudsi yang menerangkan bahwa Allah ingin melihat diri-Nya
diluar diri-Nya. Untuk itu dijadikan-Nya
alam ini. Maka alam ini cermin bagi Allah. Dikala Dia ingin melihat diri-Nya,
Ia melihat kepada alam, karena pada tiap-tiap benda yang ada di alam ini
terdapat sifat ketuhanan.[19]
Dari sinilah timbul paham kesatuan. Yang
ada di alam ini kelihannya banyak, tetapi sebenarnya satu. Tak ubahnya
seseorang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
Penggambaran di atas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih
dan tanzih yang digunakan Ibn Arabi. Dari segi tasybih Tuhan sama
dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi
sifat-sifat-Nya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam
terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara
tegas Ibn Arabi mengatakan ‘Huwa laa Huwa’ (Dia bukanlah Dia -yang kita
bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar
menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan
bayang-banyang-Nya bukan dengan zat-Nya.[20]
Dalam paham wahdat al-wujud, tiap sesuatu mempunyai dua
aspek yaitu khalq dan haq. Kata-kata khalq dan haq
merupakan sinonim dari al-‘ard dan al-jawhar. Menurut paham ini
tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang merupakan ‘ard
dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam yang
merupakan jawhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan
kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq
dan sifat kemakhlukan atau khalq.[21]
Menurut Ibn Arabi, Tuhan merupakan wujud yang mutlak (sumber dari
segala yang wujud) sebagai wujud yang maha tinggi, Ia berbeda dengan segala
yang wujud yang ada di luar diri-Nya dan Maha Suci dari segala yang disifatkan
makhluk. Hanya saja apa yang maujud ini tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan Tuhan.
Realitas alam secara keseluruhan menurut pandangan Ibn Arabi tidak
akan terlepas dari keberadaan zat Tuhan yaitu maujud yang mutlak sebagai sumber
dari segala sesuatu yang maujud. Namun demikian tidak berarti dengan ketiadaan alam
ini membuktikan ketiadaan zat Tuhan, sebab keberadaan alam semesta ini bukanlah
menyebabkan adanya Tuhan, sebab Ia ada dengan sendiri-Nya, sedangkan alam
semesta ini ada karena tajalli atau Tuhan menampakkan diri melalui
proses penciptaan alam.
Wujud hakiki adalah wujud mutlak atau wujud kulli (universal) yang
menurut Ibn Arabi merupakan pangkal dan sekaligus akhir dari segala sesuatu
maujud. Segala yang maujud di alam ini bergantung pada wujud hakiki dan
Tuhanlah yang maujud hakiki itu. Dengan demikian, yang merupakan wujud
sebenarnya hanyalah Tuhan, sedangkan wujud lainnya di alam ini pada hakikatnya
bergantung pada wujudnya Tuhan. Dan yang
dijadikan ini tidaklah mempunyai wujud (secara hakiki), sebab hanya Allah yang
punya wujud hakiki.[22]
Menurut Ibn ‘Arabiy, al-‘adaam dalam kaitannya
dengan proses penciptaan adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya. Segala yang
ada pastilah bersumber dari zat-Nya, sehingga al-adaam itu berarti ketiadaan
wsaat akan menjadi wujud empirik, namun nyata dalam hakikat dan kekal dalam
ilmu pengetahuan, sebab setiap saat akan menjadi wujud yang konkrit di saat
Tuhan menghendakinya.
Dengan demikian,maka proses penciptaan menurut Ibn
‘Arabiy tidak berarti sesuatu diciptakan dari tidak ada (creation exnihilo) akan tetapi berawal dari wujud potensial yang
menjadi inti dari segala yang ada.
Meski ajaran wahdat Al-wujud memandang semua yang ada
di alam ini terdiri dari dua aspek yakni aspek ketuhanan dan aspek kemakhlukan,
sehingga semua yang wujud ini mempunyai wujud satu dengan Tuhan, namun ajaran
ini berbeda dengan ajaran panteisme yang
memandang semua alam semesta sebagai Tuhan (seperti yang disinyalir sementara
pihak) sebab Ibn ‘arabiy memandang ajarannya sebagai ajaran tauhid yang
mensucikan zat Tuhan dari persamaan dari persamaan dan persekutuan dengan
segala makhluk-Nya,tidak ada maujud yang hakiki kecuali zat Tuhan yang Maha
Kuasa.[23]
2. Al-Insan Al-Kamil
Al-Insan Al-Kamil adalah nama yang dipergunakan oleh kaum
sufi untuk menanamkan seorang muslim yang telah sampai ke tingkat tertinggi,
yaitu (menurut seorang sufi) tingkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah. Memang, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan kaum sufi dalam menentukan siapa yang bisa disebut al-Insan al-kamal.[24]
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam system
(tasawuf) Ibn ‘Arabi adalah ajaran tentang Al-Insan
Al-Kamal. Menurut ajaran tersebut, manusia sebenarnya adalah ganbaran wujud
Tuhan dan sebagai penjelmaan yang sempurna pada daya ciptaan-Nya. Adanya
manusia adalah untuk menunjukkan akan kesempurnaan Tuhan dalam alam dan untuk
mencerminkan akan kebesaranNya. Dan yang dimaksud dengan Insan al-Kamil menurut Ibn ‘Arabi, seperti yang tersebut di dalam
kitabnya Fusus, adalah: ‘Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah
perwujudan bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan segala
sesuatu yang lain, meskipun Al-Haqq (Tuhan)
‘ain segala sesuatu, tetapi segala
sesuatu itu bukan ‘ain (zat)-Nya
karena ia hanya perwujudan sebagian asmaNya,
bukan Tuhan bertajalli pada sesuatu
itu dalam bentuk zatNya. Dan apabila engkau berkata insan (manusia), maka maksudnysa ialah Al-Insan Al-Kamil dalam kemanusiaannya, yaitu Tuhan bertajalli dalam bentuk zatNya sendiri,
itulah yang disebut dengan ‘ainNya.[25]
Masalah Al-Insan
Al-kamil, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, tidak bisa dilepaskan kaitannya
dengan paham adanya Nur Muhammad, seperti
ditegaskan: “Ketahuilah, bukanlah yang dimaksudkan dengan Al-Insan Al-Kamil, kecuali Nur
Muhammad, yaitu roh Illahi yang
Dia tiupkan kepada Adam. Oleh karena itu, Adam adalah esensi kehidupan dan awal
manusia. Dikatakan bahwa “Nabi Muhammaad SAW adalah Al-Insan Al-Kamil yang paling sempurna. Sedang yang dimaksud disini
adalah Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah. Dan
dengan Al-Haqiqah Al-MuhammadiyaH inilah
orang bisa mencapai derajat Al-Insan
Al-kamil.
Menurut Ibn ‘Arabi,
untuk mencapai Al-Insan Al-kamil orang
harus melalui jalan sebagai berikut:
a.) Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan hingga seorang sufi
menjadi satu dengan-Nya.
b.) Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam
pandangannya, wujud Tuhanlah pada kesegalaan ini.
Semua ini, menurutnya seperti disimpulkan oleh Ibrahim
Hilal, merupakan upaya pencapaian ke tingkat Al-Insan Al-kamil, dan ia hanya akan didapat melalui pengembangan
daya intuisi atau zauq sufi.
[1]A. Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yokyakarta: Pustaka pelajar, 2004),
h. 138
[2] http://ummahonline.wordpress.com/2008/04/27/ibn-%E2%80%98arabi-rambu-rambu-tuhan/ diakses tanggal 10 maret
2011 jam 12.00
[4]Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 348
[5]http://ummahonline.wordpress.com/2008/04/27/ibn-%E2%80%98arabi-rambu-rambu-tuhan/ diakses tanggal 10 maret
2011 jam 12.00
[13]-, Ensiklopedi Islam.,… h. 150-151
[14]Di kalangan ulama dikenal ada dua Ibn ‘arabiy, sama-sama lahir di
Andalusia Spanyol, perbedaannya, yang satu memakai “al” (Ibn al-‘Arabiy)
sebagai seorang fuqaha dan teolog besar yang lahir tahun 1076 M (467 H),
sedangkan tokoh yang dibahas dalam makalah ini adalah seorang sufi besar dari
Andalusia.
[19]M. Alfatih
Suryadilaga, Miftahus Sufi,(Yogyakarta: Teras, 2008), h. 200-201
[21]Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.
92-93