Kamis, 05 Desember 2013

makalah ABU BAKAR AL-SHIDDIQ

A.    Biografi Abu> Bakr al-S{iddi>q
Abu> Bakr al-S{iddi>q merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang pertama kali masuk Islam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai sahabat yang menemani Nabi Muhammad saw. saat melakukan perjalanan hijrah ke Madinah. Nama Abu> Bakr sendiri merupakan gelar yang diberikan oleh Rasulullah saw. karena dia adalah orang yang bergegas masuk Islam, sedangkan gelar al- S{iddi>q yang berarti “amat membenarkan” merupakan gelar yang diberikan kepadanya karena ia segera membenarkan Rasulullah saw. dalam berbagai peristiwa, terutama peristiwa Isra’ Mi’raj. Yakni ketika kebanyakan orang tidak percaya akan kejadian tersebut, tetapi justru Abu> Bakrlah yang tidak meragukan kebenaran peristiwa itu.[1]
Abu> Bakr dilahirkan dua atau tiga tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. di kota Makkah.[2] Dia memiliki nama lengkap Abdulla>h[3] bin ‘Us\ma>n Abi> Quh}a>fah bin ‘A. Ibunya bernama Umm al-Khair Salma> binti S{akhr bin ‘A>mir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah al-Taimi>.[4] Kedua orang tua Abu> Bakr merupakan keturunan dari Bani Taim, yaitu salah satu keluarga yang mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di kalangan suku Quraisy.[5]
Banyak penulis sejarah yang menyebutkan bahwa  Abu> Bakr sejak masa mudanya memiliki sifat dan kebiasaan-kebiasaan yang sangat dekat dengan sifat dan kebiasaan Rasulullah saw. Maulana Muhammad Ali sebagaimana yang dikutib oleh Imam Fuadi menyebutkan bahwa hal yang membedakan antara Abu> Bakr dengan Rasulullah saw. adalah bahwa Abu> Bakr pernah menerima pendidikan dan ia juga bisa membaca dan menulis. Di samping itu, dia juga seorang geneologis[6] dan seorang yang memiliki kedalaman pengetahuan dan pengalaman. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya itu, masyarakat kemudian menempatkannya pada derajat yang tinggi.[7]
Semasa kecil Abu> Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Me-
kah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai
pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat kesuksesan. Dalam berdagang, ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses. Dalam usia muda itu
ia menikah dengan Qutailah bint Abd al-‘Uzza>. Dari perkawinan ini lahir
Abdulla>h dan Asma>'. Asma>' inilah yang kemudian dijuluki Z{a>t al-Ni-
t
}aqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman
bint
A<mir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abd al-Rah}man
dan
A<isyah. Kemudian di Madinah ia menikah dengan H{abi>bah bint Khari>jah, setelah itu dengan Asma>' bint Umais yang melahirkan Muh}ammad.[8]
Abu> Bakr tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa per-
dagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam
dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung yang sama itulah yang
membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Mu-
hammad menikah dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Persamaanbidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy —dalam kepercayaan dan adat— mungkin sekali yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan
Abu> Bakr.[9]   
Abu> Bakr adalah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka, ia adalah orang yang menerima dakwah tanpa ragu dan ia adalah orang pertama yang memperkuat agama Islam serta menyiarkannya.[10] Karena ajakan Abu> Bakr banyak masyarakat Makkah yang mau memeluk agama Islam, seperti: ‘Us\ma>n bin ‘Affa>n, Abd al-Rah}man bin ‘Auf, T{alh}ah bin ‘Ubaidilla>h, Sa'd bin Abi> Waqqa>s}, Zubair bin al-‘Awwa>m, Abu> ‘Ubaidah bin Jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.[11]
Dalam menjalankan dakwah itu, Abu> Bakr tidak hanya berbicara saja dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuh-musuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifat-nya yang lemah lembut, tetapi ia juga menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orang-orang tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi dianiaya oleh orang-orang kafir Quraisy. Harta sebanyak empat puluh ribu dirham yang dikumpulkannya dari hasil perdagangan habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh majikannya disiksa dengan berbagai cara, tak lain hanya karena mereka masuk Islam.[12] Hampir tidak ada yang meragukan bahwa Abu> Bakr sangat besar jasanya dalam mendampingi perjuangan Rasulullah saw., baik pengorbanan yang bersifat materi maupun non materi. Dia sangat hormat dan cinta kepada Rasulullah saw.

B.     Abu> Bakr al-S{iddi>q Khalifah yang Pertama
Rasulullah saw. wafat pada tanggal 12 Rabi>’ al-Awwa>l tahun 11 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Juni 632 M.[13] Sebelum Rasulullah saw. wafat, Rasulullah tidak meninggalkan pesan kepada seorang juga dari sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum muslimin sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum muslimin berdasarkan hasil musyawarah diantara mereka sendiri.[14]
Ketika berita wafatnya Rasulullah tersiar, umat Islam sempat mengalami perpecahan. Mereka saling berbedat mengenai kepemimpinan umat Islam sepeninggalan Rasulullah saw. Pada saat itu terdapat dua kelompok besar yang saling bersaing untuk memimpin umat Islam, yakni golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Kedua golongan ini terlibat ketegangan dalam proses pemilihan khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah. Selain itu, dalam keterangan yang lain menyebutkan bahwa kelompok Bani Hasyim juga punya kepentingan dalam pemilihan tersebut. Ada juga aspirasi dari suku-suku Nomaden yang tidak mau tunduk pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku Quraisy.[15]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin yang memimpin dan pihak Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin dengan mengajukan Sa`ad bin ‘Ubadah.[16] Situasi yang memanas inipun dapat diatasi oleh Abu> Bakr, dengan cara Abu> Bakr menyodorkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin al-Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu> Bakr dan mengucapkan baiat memilih Abu> Bakr, seraya ‘Umar berkata kepadanya: “Bukankah Nabi telah menyuruhmu wahai Abu> Bakr, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah Khalifah pengganti dan penerus beliau”. Setelah itu kaum Muhajirin dan Anshar berturut-turut membai’atnya.[17] Bai’ah al-Saqi>fah ini dinamakan bai’ah al-Khas}s{ah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok kecil dari Muslimin, yakni mereka yang hadir di al-Saqi>fah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu> Bakr di atas mimbar Masjid Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara umum kaum muslimin membai’atnya.[18]
Menurut Imam Fuadi, terpilihnya Abu> Bakr sebagai khalifah disamping karena kemampuan dan senioritasnya juga karena kesadaran umat Islam akan adanya kepentingan bersama dan pentingnya menjaga stabilitas politik. Selain itu, faktor lain yang mendukung terpilihnya Abu> Bakr sebagai khalifah adalah dia merupakan orang yang menggantikan Rasulullah saw. sebagai imam sholat saat rasul sedang sakit, dia juga orang yang menemani Rasulullah saw. saat hijrah, dan dia adalah sahabat senior yang masuk Islam pada masa awal.[19]
Maka sejak saat itu, Abu> Bakr menjadi khalifah umat Islam. ia disebut sebagai khali>fah al-rasu>lilla>h, yang berarti pengganti Rasulullah saw. Maksudnya pengganti di sini adalah dalam hal kenegaraan saja, sehingga dengan otoritasnya sebagai pemimpin negara, dia memiliki kekuasaan untuk memimpin masyarakat Madinah sebagaimana yang dilakukan dan dimiliki oleh para pemimpin yang lain.  

C.    Pemerintahan pada Masa Khalifah Abu> Bakr al-S{iddi>q
Walaupun Abu> Bakr menjadi khalifah dalam rentang waktu yang cukup singkat, yakni sekitar 2 tahun lebih beberapa bulan, tetapi cukup banyak kontribusi yang dia berikan bagi masyarakat muslim, diantaranya adalah:


1.    Perbaikan Sosial-Politik
Pada saat Abu> Bakr menjabat sebagai kepala negara, dia mendapat beberapa tugas berat yang perlu segera diselesaikan. Diantara permasalahan yang muncul selama dia menjabat sebagai khalifah adalah munculnya nabi-nabi palsu (Tulaihah, Musailamah, dan Aswad al-Ansi), orang-orang yang tidak mau membayar zakat, dan orang-orang yang murtad (keluar dari Islam). Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, Abu> Bakr menggunakan pendekatan persuasif, walaupun pada kondisi tertentu Abu> Bakr terpaksa bertindak secara tegas. Persoalan-persoalan tersebut harus segera diselesaikan agar tidak merugikan umat Islam sendiri.[20]
Dalam rangka menghadapi nabi-nabi palsu beserta para pengikutnya, demikian juga mereka yang enggan membayar zakat, dan mereka yang murtad dari Islam, Abu> Bakr mempersiapkan sebelas pasukan yang antara lain dipimpin oleh Kha>lid bin Wali>d, ‘Amr bin al-‘A Jahl, dan yang lainnya. Lewat pasukan-pasukan ini akhirnya semua gerakan pengacau tersebut dapat ditumpas.[21]
2.    Sistem Politik
Pengangkatan Abu> Bakr sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada peristiwa S|aqi>fah Bani> Sa’i>dah, merupakan bukti bahwa Abu> Bakr menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu> Bakr menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Tampaknya sistem politik Islam yang dijalankan masa Khalifah Abu> Bakr, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti Nabi Muhammad saw., Abu> Bakr juga selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.[22] Untuk mengambil sebuah keputusan, Abu> Bakr membentuk semacam dewan perwakilan. Pengambilan keputusan sendiri didasarkan pada suara mayoritas, dengan melalui prosedur-prosedur tertentu.[23]
Pemilihan Abu> Bakr sebagai khalifah dengan jalan musyawarah ini merupakan sistem yang paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan berbagai sistem yang telah dilakukan oleh manusia pada zaman modern ini.[24]Sesuai dengan firman Allah swt. Q.S. Ali Imra>n [3]: 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَÇÊÎÒÈ  
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[25] kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Selain dituntut untuk menyelesaikan masalah dalam negeri, Abu> Bakr juga dituntut untuk untuk menyelesaikan masalah yang lainya, seperti mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari serbuan dan intervensi dari dua kerajaan adidaya, Bizantium dan Persia. Kedua kerajaan tersebut bisa saja menyerang balik Islam karena merasa terancam dengan seringnya wilayah perbatasan mereka diserang oleh pasukan Islam. Pada zaman Islam kedua negara adi kuasa ini masih cukup kokoh terutama kerajaan Bizantium.
Mengingat pentingnya menjaga wilayah perbatasan, maka tidak mengherankan apabila Abu> Bakr bersikeras untuk tetap mengirimkan pasukan ke Suriah di bawah pimpinan Usa>mah bin Zaid sesuai dengan rencana Rasulullah saw. sebelum wafat walaupun ada sahabat seperti ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang tidak menyetujui rencana Abu> Bakr tersebut. Alasan ketidaksetujuan mereka, karena dalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan Islam dari dalam. [26]
Setelah pasukan Usa>mah bin Zaid kembali dan masalah para nabi palsu serta orang yang enggan membayar zakat selesai, Abu> Bakr berusaha untuk memperluas dan mengembangkan wilayah Islam dengan melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua daerah itu menurut Abu> Bakr harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khali>d bin Wali>d, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu : ‘Amr bin al-‘Ad bin Abu> Sufya>n dan Surahbil bin H{asanah.[27]
Saat mengirim pasukan perang, Abu> Bakr juga menasehati kepada para tentaranya untuk mematuhi etika dalam berperang. Diantara etika perang yang coba dikembangkan Abu> Bakr adalah orang-orang tua, anak-anak dan wanita tidak boleh disakiti, ahli ibadah berikut tempat ibadahnya tidak boleh dirusak, mereka yang sudah menyerah tidak boleh disakiti, lahan-lahan produktif dan habita-habitat yang ada tidak boleh dirusak atau dibakar, perjanjian yang telah dibuat dengan kalangan non-Islam harus dipatuhi, dan mereka yang menyerah dan kemudian masuk ke dalam golongan muslim akan diberi hak yang sama dengan muslim lainnya.[28]
3.    Perekonomian
Sedangkan kebijakan yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian, Abu Bakar membentuk lembaga "Bait al-Ma>l", semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu> ‘Ubaidah, sahabat Nabi saw. yang digelari "ami>n al-ummah" (kepercayaan umat).[29] Walaupun lembaga ini masih sangat sederhana, tetapi untuk ukuran waktu itu merupakan sebuah kemajuan. Sumber pendanaan bagi lembaga ini diantaranya berasal dari hasil pengumpulan zakat, sodaqah, dan infaq umat, serta bagian seperlima dari harta rampasan perang yang masuk ke kas negara. Sedangkan pengalokasiannya antara lain untuk membiayai peperangan, menggaji prajurit yang dikirim ke medan pertempuran dan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Operasionalisasi dana tersebut ada yang bersifat terencana dan tidak jarang pula bersifat insidentil. Selain itu, gaji khalifah dan petugas lembaga inipun diambil dari kas negara ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa pengaturan keuangan di zaman Abu> Bakr sudah mulai tertata rapi.[30]
Kebijakan lain yang ditempuh Abu> Bakr yaitu membagi sama rata hasil rampasan perang (ghani>mah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu> Bakr adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.[31]
Selama masa pemerintahan Abu> Bakr, harta Bait al-Ma>l tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu> Bakr wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.[32]
4.    Keagamaan
Dalam bidang keagamaan, jasa Abu> Bakr yang paling menonjol adalah pengumpulan ayat-ayat suci al-Qur’an dalam satu mushaf. Kodifikasi al-Qur’an ini merupakan usul dari ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang merasa khawatir akan eksistensi al-Qur’an karena begitu banyaknya para sahabat yang hafal al-Qur’an gugur sebagai syuhada’ saat memerangi para nabi palsu.[33] Padahal saat itu al-Qur’an masih berserakan pada kulit, tulang, kulit kayu yang sangat mudah hilang.
Atas usul ‘Umar bin al-Khat}t}a>b tersebut pada awalnya Abu> Bakr  agak berat melaksanakan tugas tersebut, karena belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad saw. Namun karena alasan Umar yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya, akhirnya Abu> Bakr  menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada Zaid bin S|a>bit, penulis wahyu pada masa Rasulullah saw., untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.[34]
Setelah menjadi khalifah selama 2 tahun lebih beberapa bulan, akhirnya Abu> Bakr  wafat pada hari Senin malam Selasa tanggal 21 Jumad al-Akhir tahun 13 H saat berusia 63 tahun.[35] Persoalan besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon khalifah yang akan menggantikannya. Ketika Abu> Bakr  sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para sahabat, kemudian mengangkat ‘Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijakan Abu> Bakr  tersebit diterima masyarakat yang secara beramai-ramai membaiat ‘Umar. Dengan demikian ia telah mempersempit peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya Abu> Bakr  tidak memilih anak atau kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat ‘Umar bin al-Khat}t}a>b.[36]



[1]Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, ed. Muhammad Ridho, cet. ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 19-20. Bandingkan dengan Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar as-Siddiq yang Lembut Hati, terj. Ali Audah, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2003), h. 3.
[2]Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}man al-Suyu>t}i>, Tari>kh al-Khulafa>' (Beirut: Da>r ibn Kas\i>r, 2003), h. 28; Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S{ah}a>bah (Kairo: t.p., 2008), Juz VI, h. 271.
[3]Pada masa jahiliyah, nama asli Abu> Bakr adalah ‘Abd al-Ka’bah. Setelah masuk Islam, Rasulullah saw. mengganti namanya menjadi ‘Abdullah. Abi> ‘Umar Yusu>f bin ‘Abd al-Barr al-Namari> al-Qurt}ubi>, al-Isti>’a>b fi> Asma>' al-As}h}a>b (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), Juz I, h. 577.
[4]Jama>l al-Di>n Abi> al-Hajja>j Yusu>f al-Mizi>, Tahz\i>b al-Kama>l fi> Asma>' al-Rija>l (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1983), Jilid XV, h. 282-283.
[5]Dalam suku Quraisy terdapat pembagian tugas yang jelas diantara para kabilah (bani), misalnya saja Bani ‘Abd al-Manaf sebagai siqayah dan rifadah, Bani ‘Abd al-Dar sebagai liwa’, hijabah dan nadwah, Bani Makhzum (nenek moyang Khalid bin Walid) sebagai pimpinan tentara perang, dan Bani Taim bin Murrah sebagai penyusun masalah diyat (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Lihat Haikal, Abu Bakar, h. 1-2.
[6]Garis keturunan manusia dalam hubungan sedarah; asal usul keturunan; ilmu keturunan masusia; Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Apollo, t.th.), h. 170.
[7]Fuadi, Sejarah, h. 20.
[8]Haikal, Abu Bakar, h. 3.
[9]Ibid., h. 4.
[10]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 393. 
[11]Haikal, Abu Bakar, h. 5.
[12]Ibid., h. 8.
[13]Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhoeve, t.th.), Jilid 3, h. 273.
[14]Hasan, Sejarah, h. 396.
[15]Fuadi, Sejarah, h. 21-22.
[16]Sa`ad bin ‘Ubadah merupakan pemimpin suku Khazraj. Sampai akhir hayatnya dia tidak pernah melakukan bai`ah, baik kepada Abu> Bakr maupun ‘Umar. Lihat Haikal, Abu Bakar, h. 44.
[17]Hasan, Sejarah, h. 397.
[18]Menurut Ya’qubi sebagaimana yang dikutip oleh Haikal, masih ada segolongan Muhajirin terkemuka yang tidak ikut bai’ah umum kepada Abu> Bakr. Diantara yang tidak ikut itu adalah ‘Ali> bin Abi> T{a>lib, ‘Abba>s bin ‘Abd al-Mut}t}alib, Fad}l bin al-‘Abba>s, Zubair bin al-‘Awwa>m bin al-‘As}, Kha>lid bin Sa'i>d, Miqda>d bin ‘Amr, Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|ar al-Gifa>ri>, ‘Amma>r bin Ya>sir, Bara' bin ‘Azib dan Ubai bin Ka'b. Meskipun demikian, pada akhirnya mereka juga melakukan bai’ah kepda Abu> Bakr. Haikal, Abu Bakar, h. 47-54.
[19]Fuadi, Sejarah, h. 21-22. Lihat juga Mohammad Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 77.
[20]Fuadi, Sejarah, h. 23.
[21]Ibid., h. 23-24.
[22]Badri  Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.36; Fuadi, Sejarah, h. 29.
[23]Fuadi, Sejarah, h. 29.
[24]Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 135.
[25]Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

[26]Fuadi, Sejarah, h. 25-26.
[27]Chatibul Umam dkk.Sejarah Kebudayaan Islam (Kudus: Menara Kudus, 2003), h. 140.
[28]Fuadi, Sejarah, h. 30. Lihat juga Haikal, Abu Bakar, h. 82.
[29]Fuad, Perkembangan, h. 36.
[30]Fuadi, Sejarah, h. 28.
[31]Fuad, Perkembangan, h. 36.
[32]Syamsudduha, Pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq, dalam http:// armayant.blogspot.com /2012/06/makalah-pemerintahan-abu-bakar-as.html, diakses tanggal 10 Oktober 2013 jam 20.30.
[33]Al-Zarqa>ni< dalam Mana>hil al-‘Irfa>n menyebutkan bahwasanya sahabat yang hafal al-Qur’an yang wafat pada perang Yama>mah ada sekitar 70 orang, sedangkan menurut sumber yang lain jumlahnya mencapai 500 orang.  Muh}ammad ‘Abd al-Kari>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1995), juz I, h. 205.
[34]Mengenai dialog antara Abu> Bakr, ‘Umar bin al-Khat{t{a>b, dan Zaid bin S|a>bit bisa dilihat di Ibid., h. 206; Abu> ‘Isa> Muh}ammad bin ‘Isa> al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i>, Kita>b Tafsi>r al-Qur’an ba>b Surah al-Taubah (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H), h. 696; Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, Kita>b al-Tafsi>r ba>b Surah Bara>'ah al-Taubah (Kairo: Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), Juz III, h. 240.
[35]Al-Mizi>, Tahz\i>b al-Kama>l, h. 284-285.
[36]Badri  Yatim, Sejarah, h. 37; Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah, cet. ke-3 (Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), h. 87-89.