A. Biografi Abu>
Bakr al-S{iddi>q
Abu> Bakr al-S{iddi>q merupakan salah seorang sahabat Nabi
Muhammad saw. yang pertama kali masuk Islam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai
sahabat yang menemani Nabi Muhammad saw. saat melakukan perjalanan hijrah ke
Madinah. Nama Abu> Bakr sendiri merupakan gelar yang diberikan
oleh Rasulullah saw. karena dia adalah orang yang bergegas masuk Islam,
sedangkan gelar al- S{iddi>q yang berarti “amat
membenarkan” merupakan gelar yang diberikan kepadanya karena ia segera
membenarkan Rasulullah saw. dalam berbagai peristiwa, terutama peristiwa Isra’
Mi’raj. Yakni ketika kebanyakan orang tidak percaya akan kejadian tersebut,
tetapi justru Abu> Bakrlah yang tidak meragukan
kebenaran peristiwa itu.[1]
Abu> Bakr dilahirkan dua atau tiga tahun setelah kelahiran Nabi
Muhammad saw. di kota Makkah.[2] Dia
memiliki nama lengkap Abdulla>h[3]
bin ‘Us\ma>n Abi> Quh}a>fah bin ‘A. Ibunya bernama Umm al-Khair Salma> binti
S{akhr bin ‘A>mir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah al-Taimi>.[4]
Kedua orang tua Abu> Bakr merupakan keturunan dari Bani Taim, yaitu salah
satu keluarga yang mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di kalangan suku
Quraisy.[5]
Banyak penulis sejarah yang
menyebutkan bahwa Abu> Bakr sejak masa mudanya memiliki sifat dan kebiasaan-kebiasaan
yang sangat dekat dengan sifat dan kebiasaan Rasulullah saw. Maulana Muhammad
Ali sebagaimana yang dikutib oleh Imam Fuadi menyebutkan bahwa hal yang
membedakan antara Abu> Bakr dengan Rasulullah saw. adalah bahwa Abu>
Bakr pernah menerima
pendidikan dan ia juga bisa membaca dan menulis. Di samping itu, dia juga
seorang geneologis[6]
dan seorang yang memiliki kedalaman pengetahuan dan pengalaman. Berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya itu, masyarakat kemudian menempatkannya pada
derajat yang tinggi.[7]
Semasa kecil Abu>
Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Me-
kah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai
pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat kesuksesan. Dalam berdagang, ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses. Dalam usia muda itu
ia menikah dengan Qutailah bint Abd al-‘Uzza>. Dari perkawinan ini lahir
Abdulla>h dan Asma>'. Asma>' inilah yang kemudian dijuluki Z{a>t al-Ni-
t}aqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman
bint ‘A<mir bin ‘Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abd al-Rah}man
dan ‘A<isyah. Kemudian di Madinah ia menikah dengan H{abi>bah bint Khari>jah, setelah itu dengan Asma>' bint Umais yang melahirkan Muh}ammad.[8]
kah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai
pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat kesuksesan. Dalam berdagang, ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses. Dalam usia muda itu
ia menikah dengan Qutailah bint Abd al-‘Uzza>. Dari perkawinan ini lahir
Abdulla>h dan Asma>'. Asma>' inilah yang kemudian dijuluki Z{a>t al-Ni-
t}aqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman
bint ‘A<mir bin ‘Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abd al-Rah}man
dan ‘A<isyah. Kemudian di Madinah ia menikah dengan H{abi>bah bint Khari>jah, setelah itu dengan Asma>' bint Umais yang melahirkan Muh}ammad.[8]
Abu> Bakr tinggal di
Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa per-
dagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam
dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung yang sama itulah yang
membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Mu-
hammad menikah dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Persamaanbidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy —dalam kepercayaan dan adat— mungkin sekali yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan Abu> Bakr.[9]
dagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam
dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung yang sama itulah yang
membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Mu-
hammad menikah dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Persamaanbidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy —dalam kepercayaan dan adat— mungkin sekali yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan Abu> Bakr.[9]
Abu> Bakr adalah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan
berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka, ia adalah orang yang menerima
dakwah tanpa ragu dan ia adalah orang pertama yang memperkuat agama Islam serta
menyiarkannya.[10]
Karena ajakan Abu> Bakr banyak masyarakat Makkah
yang mau memeluk agama Islam, seperti: ‘Us\ma>n bin ‘Affa>n, Abd
al-Rah}man bin ‘Auf, T{alh}ah bin ‘Ubaidilla>h, Sa'd bin Abi> Waqqa>s},
Zubair bin al-‘Awwa>m, Abu> ‘Ubaidah bin Jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.[11]
Dalam menjalankan dakwah
itu, Abu> Bakr tidak hanya berbicara
saja dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum
duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuh-musuh dakwah,
tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifat-nya yang lemah lembut, tetapi
ia juga menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk
membela golongan lemah dan orang-orang tak punya, yang telah mendapat petunjuk
Allah ke jalan yang benar, tetapi dianiaya oleh orang-orang kafir Quraisy.
Harta sebanyak empat puluh ribu dirham yang dikumpulkannya dari hasil
perdagangan habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan
Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus
orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh majikannya
disiksa dengan berbagai cara,
tak lain hanya karena mereka masuk Islam.[12] Hampir tidak ada yang meragukan bahwa Abu>
Bakr sangat besar jasanya dalam mendampingi perjuangan Rasulullah saw., baik
pengorbanan yang bersifat materi maupun non materi. Dia sangat hormat dan cinta
kepada Rasulullah saw.
B.
Abu>
Bakr al-S{iddi>q Khalifah yang Pertama
Rasulullah saw. wafat pada tanggal 12 Rabi>’
al-Awwa>l tahun 11 H atau
bertepatan dengan tanggal 3 Juni 632 M.[13] Sebelum
Rasulullah saw. wafat, Rasulullah tidak meninggalkan pesan kepada seorang juga
dari sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum muslimin
sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum muslimin
berdasarkan hasil musyawarah diantara mereka sendiri.[14]
Ketika berita wafatnya Rasulullah tersiar, umat Islam sempat mengalami
perpecahan. Mereka saling berbedat mengenai kepemimpinan umat Islam
sepeninggalan Rasulullah saw. Pada saat itu terdapat dua kelompok besar yang
saling bersaing untuk memimpin umat Islam, yakni golongan Muhajirin dan
golongan Anshar. Kedua golongan ini terlibat ketegangan dalam proses pemilihan
khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah. Selain itu, dalam keterangan
yang lain menyebutkan bahwa kelompok Bani Hasyim juga punya kepentingan dalam
pemilihan tersebut. Ada juga aspirasi dari suku-suku Nomaden yang tidak mau
tunduk pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku Quraisy.[15]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin yang memimpin dan pihak
Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin dengan mengajukan Sa`ad bin ‘Ubadah.[16]
Situasi yang memanas inipun dapat diatasi oleh Abu>
Bakr, dengan cara Abu> Bakr menyodorkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar
bin al-Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu>
Bakr dan mengucapkan baiat
memilih Abu> Bakr, seraya ‘Umar berkata kepadanya: “Bukankah Nabi telah menyuruhmu
wahai Abu> Bakr, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah Khalifah
pengganti dan penerus beliau”. Setelah itu kaum Muhajirin dan Anshar
berturut-turut membai’atnya.[17] Bai’ah
al-Saqi>fah ini
dinamakan bai’ah al-Khas}s{ah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok
kecil dari Muslimin, yakni mereka yang hadir di al-Saqi>fah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu>
Bakr di atas mimbar Masjid
Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara umum kaum muslimin
membai’atnya.[18]
Menurut Imam Fuadi, terpilihnya Abu> Bakr sebagai khalifah disamping karena kemampuan dan
senioritasnya juga karena kesadaran umat Islam akan adanya kepentingan bersama
dan pentingnya menjaga stabilitas politik. Selain itu, faktor lain yang
mendukung terpilihnya Abu> Bakr sebagai khalifah adalah
dia merupakan orang yang menggantikan Rasulullah saw. sebagai imam sholat saat
rasul sedang sakit, dia juga orang yang menemani Rasulullah saw. saat hijrah,
dan dia adalah sahabat senior yang masuk Islam pada masa awal.[19]
Maka sejak saat itu, Abu>
Bakr menjadi khalifah umat
Islam. ia disebut sebagai khali>fah al-rasu>lilla>h, yang berarti pengganti Rasulullah saw. Maksudnya
pengganti di sini adalah dalam hal kenegaraan saja, sehingga dengan otoritasnya
sebagai pemimpin negara, dia memiliki kekuasaan untuk memimpin masyarakat
Madinah sebagaimana yang dilakukan dan dimiliki oleh para pemimpin yang
lain.
C.
Pemerintahan pada Masa Khalifah Abu>
Bakr al-S{iddi>q
Walaupun Abu>
Bakr menjadi khalifah dalam
rentang waktu yang cukup singkat, yakni sekitar 2 tahun lebih beberapa bulan,
tetapi cukup banyak kontribusi yang dia berikan bagi masyarakat muslim,
diantaranya adalah:
1.
Perbaikan Sosial-Politik
Pada saat Abu>
Bakr menjabat sebagai kepala
negara, dia mendapat beberapa tugas berat yang perlu segera diselesaikan.
Diantara permasalahan yang muncul selama dia menjabat sebagai khalifah adalah
munculnya nabi-nabi palsu (Tulaihah, Musailamah, dan Aswad al-Ansi),
orang-orang yang tidak mau membayar zakat, dan orang-orang yang murtad (keluar
dari Islam). Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, Abu> Bakr
menggunakan pendekatan persuasif, walaupun pada kondisi tertentu Abu> Bakr
terpaksa bertindak secara tegas. Persoalan-persoalan tersebut harus segera
diselesaikan agar tidak merugikan umat Islam sendiri.[20]
Dalam rangka menghadapi
nabi-nabi palsu beserta para pengikutnya, demikian juga mereka yang enggan
membayar zakat, dan mereka yang murtad dari Islam, Abu>
Bakr mempersiapkan sebelas pasukan yang antara lain dipimpin oleh Kha>lid
bin Wali>d, ‘Amr bin al-‘A Jahl, dan yang
lainnya. Lewat pasukan-pasukan ini akhirnya semua gerakan pengacau tersebut
dapat ditumpas.[21]
2.
Sistem Politik
Pengangkatan Abu> Bakr sebagai Khalifah (pengganti Nabi)
sebagaimana dijelaskan pada peristiwa S|aqi>fah
Bani> Sa’i>dah,
merupakan bukti bahwa Abu> Bakr menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari
musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu>
Bakr menjadi Khalifah, maka
mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun
sebagai pemimpin pemerintahan. Tampaknya sistem politik Islam yang
dijalankan masa Khalifah Abu> Bakr, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral, kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda
pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti Nabi
Muhammad saw., Abu> Bakr juga selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.[22] Untuk
mengambil sebuah keputusan, Abu> Bakr membentuk semacam dewan perwakilan.
Pengambilan keputusan sendiri didasarkan pada suara mayoritas, dengan melalui
prosedur-prosedur tertentu.[23]
Pemilihan Abu>
Bakr sebagai khalifah dengan
jalan musyawarah ini merupakan sistem yang paling baik dan paling sempurna
dibandingkan dengan berbagai sistem yang telah dilakukan oleh manusia pada
zaman modern ini.[24]Sesuai
dengan firman Allah swt. Q.S. Ali Imra>n [3]: 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَÇÊÎÒÈ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu.[25]
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Selain dituntut untuk
menyelesaikan masalah dalam negeri, Abu> Bakr juga dituntut untuk untuk menyelesaikan masalah yang
lainya, seperti mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari serbuan dan
intervensi dari dua kerajaan adidaya, Bizantium dan Persia. Kedua kerajaan
tersebut bisa saja menyerang balik Islam karena merasa terancam dengan
seringnya wilayah perbatasan mereka diserang oleh pasukan Islam. Pada zaman
Islam kedua negara adi kuasa ini masih cukup kokoh terutama kerajaan Bizantium.
Mengingat pentingnya
menjaga wilayah perbatasan, maka tidak mengherankan apabila Abu>
Bakr bersikeras untuk tetap
mengirimkan pasukan ke Suriah di bawah pimpinan Usa>mah
bin Zaid sesuai dengan rencana
Rasulullah saw. sebelum wafat walaupun ada sahabat seperti ‘Umar
bin al-Khat}t}a>b yang tidak menyetujui
rencana Abu> Bakr tersebut. Alasan ketidaksetujuan mereka, karena dalam
negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang
merambah untuk menghancurkan Islam dari dalam. [26]
Setelah pasukan Usa>mah
bin Zaid kembali dan masalah para nabi palsu serta orang yang enggan membayar
zakat selesai, Abu> Bakr berusaha untuk memperluas dan mengembangkan wilayah Islam dengan
melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah
Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua
daerah itu menurut Abu> Bakr harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam
dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak
dipimpin oleh Khali>d bin Wali>d, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu
: ‘Amr bin al-‘Ad bin Abu> Sufya>n
dan Surahbil bin H{asanah.[27]
Saat mengirim pasukan
perang, Abu> Bakr juga menasehati kepada
para tentaranya untuk mematuhi etika dalam berperang. Diantara etika perang
yang coba dikembangkan Abu> Bakr adalah orang-orang tua, anak-anak dan wanita tidak boleh
disakiti, ahli ibadah berikut tempat ibadahnya tidak boleh dirusak, mereka yang
sudah menyerah tidak boleh disakiti, lahan-lahan produktif dan habita-habitat
yang ada tidak boleh dirusak atau dibakar, perjanjian yang telah dibuat dengan
kalangan non-Islam harus dipatuhi, dan mereka yang menyerah dan kemudian masuk
ke dalam golongan muslim akan diberi hak yang sama dengan muslim lainnya.[28]
3.
Perekonomian
Sedangkan kebijakan yang dicapai untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan perekonomian, Abu Bakar membentuk lembaga "Bait
al-Ma>l", semacam kas
negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu>
‘Ubaidah, sahabat Nabi saw. yang
digelari "ami>n al-ummah" (kepercayaan umat).[29] Walaupun
lembaga ini masih sangat sederhana, tetapi untuk ukuran waktu itu merupakan
sebuah kemajuan. Sumber pendanaan bagi lembaga ini diantaranya berasal dari
hasil pengumpulan zakat, sodaqah, dan infaq umat, serta bagian seperlima dari
harta rampasan perang yang masuk ke kas negara. Sedangkan pengalokasiannya
antara lain untuk membiayai peperangan, menggaji prajurit yang dikirim ke medan
pertempuran dan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Operasionalisasi dana
tersebut ada yang bersifat terencana dan tidak jarang pula bersifat insidentil.
Selain itu, gaji khalifah dan petugas lembaga inipun diambil dari kas negara
ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa pengaturan keuangan di zaman Abu>
Bakr sudah mulai tertata rapi.[30]
Kebijakan lain yang ditempuh Abu>
Bakr yaitu membagi sama rata
hasil rampasan perang (ghani>mah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan ‘Umar bin al-Khat}t}a>b yang menginginkan pembagian dilakukan
berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu>
Bakr adalah semua perjuangan
yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah
SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.[31]
Selama masa pemerintahan Abu> Bakr, harta Bait al-Ma>l tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung
didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu>
Bakr wafat, hanya ditemukan
satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan
bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat,
seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang
dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan
pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang
yang kaya dengan yang miskin.[32]
4. Keagamaan
Dalam bidang keagamaan, jasa Abu> Bakr yang paling menonjol adalah pengumpulan ayat-ayat suci al-Qur’an dalam satu
mushaf. Kodifikasi al-Qur’an ini merupakan usul dari ‘Umar bin
al-Khat}t}a>b yang merasa
khawatir akan eksistensi al-Qur’an karena begitu banyaknya para sahabat yang
hafal al-Qur’an gugur sebagai syuhada’ saat memerangi para nabi palsu.[33] Padahal
saat itu al-Qur’an masih berserakan pada kulit, tulang, kulit kayu yang sangat
mudah hilang.
Atas usul ‘Umar bin al-Khat}t}a>b tersebut pada awalnya Abu>
Bakr agak berat melaksanakan tugas tersebut, karena
belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad saw. Namun karena alasan Umar
yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an yang gugur di medan
pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya, akhirnya Abu>
Bakr menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan
kepada Zaid bin S|a>bit, penulis wahyu pada masa Rasulullah saw., untuk mengerjakan tugas
pengumpulan itu.[34]
Setelah menjadi khalifah selama 2 tahun lebih beberapa bulan, akhirnya Abu>
Bakr wafat pada hari Senin malam Selasa tanggal 21
Jumad al-Akhir tahun 13 H saat berusia 63 tahun.[35] Persoalan
besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon
khalifah yang akan menggantikannya. Ketika Abu>
Bakr sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia
bermusyawarah dengan para sahabat, kemudian mengangkat ‘Umar sebagai
penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan
dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijakan Abu>
Bakr tersebit diterima masyarakat yang secara
beramai-ramai membaiat ‘Umar. Dengan demikian ia telah mempersempit peluang
bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam
menetapkan calon penggantinya Abu> Bakr tidak memilih anak atau kerabatnya
yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu
mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat ‘Umar
bin al-Khat}t}a>b.[36]
[1]Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, ed.
Muhammad Ridho, cet. ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 19-20. Bandingkan
dengan Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar as-Siddiq yang Lembut Hati, terj.
Ali Audah, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2003), h. 3.
[2]Jala>l
al-Di>n ‘Abd al-Rah}man al-Suyu>t}i>, Tari>kh al-Khulafa>' (Beirut:
Da>r ibn Kas\i>r, 2003), h. 28; Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>,
al-Is}a>bah fi> Tamyi>z al-S{ah}a>bah (Kairo: t.p., 2008), Juz VI, h. 271.
[3]Pada masa jahiliyah, nama asli Abu>
Bakr adalah ‘Abd al-Ka’bah.
Setelah masuk Islam, Rasulullah saw. mengganti namanya menjadi ‘Abdullah. Abi>
‘Umar Yusu>f bin ‘Abd al-Barr al-Namari> al-Qurt}ubi>, al-Isti>’a>b
fi> Asma>' al-As}h}a>b (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), Juz I, h. 577.
[4]Jama>l
al-Di>n Abi> al-Hajja>j Yusu>f al-Mizi>, Tahz\i>b
al-Kama>l fi> Asma>' al-Rija>l (Beiru>t: Muassasah
al-Risa>lah, 1983), Jilid XV, h. 282-283.
[5]Dalam suku Quraisy terdapat pembagian tugas yang
jelas diantara para kabilah (bani), misalnya saja Bani ‘Abd al-Manaf sebagai siqayah
dan rifadah, Bani ‘Abd al-Dar sebagai liwa’, hijabah dan nadwah,
Bani Makhzum (nenek moyang Khalid bin Walid) sebagai pimpinan tentara
perang, dan Bani Taim bin Murrah sebagai penyusun masalah diyat (tebusan darah)
dan segala macam ganti rugi. Lihat Haikal, Abu Bakar, h. 1-2.
[6]Garis keturunan manusia dalam hubungan sedarah;
asal usul keturunan; ilmu keturunan masusia; Farida Hamid, Kamus Ilmiah
Populer (Surabaya: Apollo, t.th.), h. 170.
[7]Fuadi, Sejarah, h. 20.
[8]Haikal, Abu Bakar, h. 3.
[10]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam
(Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 393.
[11]Haikal, Abu Bakar, h. 5.
[13]Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta:
Ikhtiar Baru Vanhoeve, t.th.), Jilid 3, h. 273.
[14]Hasan, Sejarah, h. 396.
[15]Fuadi, Sejarah, h. 21-22.
[16]Sa`ad bin ‘Ubadah merupakan pemimpin suku Khazraj.
Sampai akhir hayatnya dia tidak pernah melakukan bai`ah, baik kepada Abu>
Bakr maupun ‘Umar. Lihat
Haikal, Abu Bakar, h. 44.
[17]Hasan, Sejarah, h. 397.
[18]Menurut Ya’qubi sebagaimana yang dikutip oleh
Haikal, masih ada segolongan Muhajirin terkemuka yang tidak ikut bai’ah umum
kepada Abu> Bakr. Diantara yang tidak ikut itu adalah
‘Ali> bin Abi> T{a>lib, ‘Abba>s bin ‘Abd al-Mut}t}alib, Fad}l bin
al-‘Abba>s, Zubair bin al-‘Awwa>m bin al-‘As}, Kha>lid bin Sa'i>d,
Miqda>d bin ‘Amr, Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|ar
al-Gifa>ri>, ‘Amma>r bin Ya>sir, Bara' bin ‘Azib dan Ubai bin Ka'b. Meskipun demikian, pada akhirnya mereka
juga melakukan bai’ah kepda Abu> Bakr. Haikal, Abu Bakar, h. 47-54.
[19]Fuadi, Sejarah, h. 21-22. Lihat juga
Mohammad Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hal. 77.
[20]Fuadi, Sejarah, h. 23.
[22]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.36; Fuadi, Sejarah, h. 29.
[23]Fuadi, Sejarah, h. 29.
[24]Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 135.
[25]Maksudnya:
urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[26]Fuadi, Sejarah, h. 25-26.
[28]Fuadi, Sejarah, h. 30. Lihat juga Haikal, Abu
Bakar, h. 82.
[29]Fuad, Perkembangan, h. 36.
[30]Fuadi, Sejarah, h. 28.
[31]Fuad, Perkembangan, h. 36.
[32]Syamsudduha, Pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq,
dalam http:// armayant.blogspot.com /2012/06/makalah-pemerintahan-abu-bakar-as.html, diakses tanggal 10 Oktober 2013 jam 20.30.
[33]Al-Zarqa>ni<
dalam Mana>hil al-‘Irfa>n menyebutkan bahwasanya sahabat yang
hafal al-Qur’an yang wafat pada perang Yama>mah ada sekitar 70 orang,
sedangkan menurut sumber yang lain jumlahnya mencapai 500 orang. Muh}ammad ‘Abd al-Kari>m al-Zarqa>ni>,
Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Da>r
al-Kita>b al-‘Arabi>, 1995), juz I, h. 205.
[34]Mengenai
dialog antara Abu> Bakr, ‘Umar bin al-Khat{t{a>b, dan Zaid bin S|a>bit
bisa dilihat di Ibid., h. 206; Abu> ‘Isa> Muh}ammad bin ‘Isa>
al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i>, Kita>b Tafsi>r al-Qur’an
ba>b Surah al-Taubah (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H), h. 696; Abu>
‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’
al-S{ah}i>h}, Kita>b al-Tafsi>r ba>b Surah Bara>'ah
al-Taubah (Kairo: Maktabah al-Salafiyah, 1400 H), Juz III, h. 240.
[36]Badri Yatim, Sejarah, h. 37; Muhammad
Husain Haikal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah, cet. ke-3 (Bogor:
Litera Antar Nusa, 2002), h. 87-89.