BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada fase awal, ulum
al-hadits berkembang secara bersamaan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Sesudah
wafatnya Nabi, umat Islam semakin memperhatikan hadits dengan mengumpulkan dan mengadakan perlawatan ke
berbagai kota. Dengan sendirinya, dibutuhkan kaidah atau manhaj sebagai tolak
ukur diterima atau ditolaknya hadits, walaupun kaidah tersebut belum dibakukan
dan dibukukan. Pembukuan Ilmu hadits tersebut awalnya bercampur dengan
pembukuan hadits. Baru sekitar abad ke IV H, ulum al-hadits disusun dan
dibukukan secara terpisah oleh al-Ramahurmuzy. Pada akhirnya ulum al-hadits
mengalami kesempurnaan pada abad ke VII H. Hal ini ditandai dengan munculnya
kitab muqadimah Ibn Shalah. Kitab ini menjadi acuan para ulama’
sesudahnya. Banyak ulama’ yang mensyarahinya dan banyak pula yang meringkasnya.
Selain ibn Shalah, pada abad ke VII H ini juga ada Syeh Muhyi al-Din Yahya bin
Syaraf al-Nawawi. Beliau adalah salah seorang ahli hadits yang meringkas kitab muqadimah
Ibn Shalah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Siapakah imam al-Nawawi itu dan bagaimana latar belakang
keilmuannya?
2.
Bagaimana kontribusi al-Nawawi terhadap ulum al-hadits?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN MASALAH
1.
Mengetahui biografi imam al- Nawawi dan latar belakang
keilmuannya.
2.
Mengetahui kontribusi imam al-Nawawi dalam ulum
al-hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI Al-NAWAWI
Imam al-Nawawi mempunyai
nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain
bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Nawawi. Beliau di lahirkan di Nawa kota Damaskus pada bulan
Muharram 631 H/Oktober 1233 M.[1]
Beliau adalah seorang yang Syeh Islam yang banyak menulis
buku, ahli hadits, fiqih, dan bahasa. Karena itulah beliau mempunyai banyak
gelar keilmuwan yakni Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, dan Muhyiddin.
Pada saat masih kecil
beliau diasuh, dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah
menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Pada saat berusia 9 tahun beliau
telah menghafal al-Qur’an dan mulai menekuni belajar fiqih. Atas nasehat dari
syeh Yasin bin Yusuf al-Zarkasyi, ayahnya menyuruh al-Nawawi kecil untuk
menekuni dalam belajar ilmu syara’ (agama). Pada saat mengijak usia 19 tahun
beliau bersama ayahnya pergi ke Damaskus untuk menyempurnakan ilmunya di
madrasah Rawahiyyah.[2] Di
sana beliau sangat tekun dalam mencari ilmu selama 20 tahun sampai ia menguasai
beberapa disiplin ilmu agama, seperti hadits dan ilmu hadits, fiqih dan ushul
fiqih serta bahasa.[3]
Sepanjang hayatnya beliau tidak pernah
membiarkan waktunya terbuang percuma tanpa diisi dengan belajar, mengajar atau
member nasehat kepada masyarakat. Pada masa permulaan belajarnya selama 2 tahun
beliau tidak pernah merebahkan tubuhnya di bumi dan beliau hanya makan dengan
jumlah yang sangat sedikit. Imam Nawawi terkenal sebagai ulama’ yang zahid
serta wara’ hal ini terbukti bahwasanya beliau tidak mau makan buah yang ada di
Damaskus karena buah itu subhat. Karena kesibukannya dalam mengembangkan ilmunya
beliau sampai tidak sempat memikirkan untuk menikah sampai saat beliau wafat. Dalam
mengajarkan ilmu beliau tidak mengambil upah walaupun cuma satu dirham dan
untuk memenuhi kebutuhannua beliau mendapatkan kiriman dari keluarganya yang ada
di Nawa.[4]
Imam Nawawi banyak belajar kepada ‘ulama’ yang
masyhur pada zamannya, diantaranya adalah:
1.
Di bidang fiqih dan ushulnya beliau berguru
pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi al-Maqdisi, yang wafat pada tahun
650 H, Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi kemudian ad- Dimasyqi, yang
wafat pada tahun 654 H, Sallar bin aI-Hasan al-Irbali kemudian al-Halabi lalu
ad-Dimasyqi, yang wafat pada tahun 670 H, Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi
asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’
al-Fazari, yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.
2.
Di bidang ilmu hadits beliau berguru pada
Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H, Abdul
’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H,
Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H, Ibrahim bin ’Isa
al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H, Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang
wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada
tahun 682 H.
3.
Di bidang ilmu Nahwu dan bahasa, Imam
an-Nawawi pernah belajar kepada Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, yang wafat
pada tahun 664 H, dan juga al-’Izz al-Maliki.
Melalui tangannya, bermunculan para ulama
besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah
al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali
Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya
sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar al-Nawawi (an-Nawawi junior),
Syamsuddin bin an--Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang
lainnya.[5]
Selama hayatnya beliau banyak menghasilkan
buah pena dari berbagai cabang ilmu yang beliau kuasai. Karya-karya beliau ada
yang sudah beliau selesaikan adapula yang belum selesai.Diantara karya-karya
beliau yang sudah selesai beliau tulis adalah:
1.
Al-Raudhah (Raudhatut Thalihin). Di
dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir berikut pen-jelasan
cabang-cabangnya secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai
cabang permasalah-an yang semula berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini
menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tash-hih, referensi para cerdik
pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai
persoalan kontemporer.
2.
Al-Minhaj: Mukhtashar Muharrar Fil Fiqh;
3.
Daqa’iqul Minhaj;
4.
Al-Manasikus Sughra;
5.
Al-Manasikul Kubra;al nawawi
6.
At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an;
7.
Tashhihut Tanbih;
8.
Al-Fatawa. Kitab ini merupakan kumpulan berbagai
persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun
secara tematis oleh murid beliau Syaikh Alauddin Aththar dengan tambahan
beberapa hal penting yang didengarnya langsung dari beliau.
9.
Syarh Shahih Muslim;
10. Al-Adzkar;
11. Riyadhus Shalihin;
12. Al-Arba’in;
13. Syarh Al-Arba’in;
14. Thabaqatul Fuqaha;
15. Tahdzibul Asma’ Wal Lughat.
Kitab No. 14 dan 15 ini belum sempat beliau rapikan dan bersihkan
dari naskah aslinya, beliau keburu wafat. Akhirnya dibersihkan dan disalin oleh
Al-Hafizh Jamaluddin Al-Mazi.
16. Tashnif Fil Istiqsa’ Wa Fi Istihbabil Qiyaam
Li Ahlil Fadhl;
17. Mukhtasharut Tashniif Fil Istisqa’.[6]
Kedua kitab yang disebut terakhir ini termasuk karya terakhir
beliau.
Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis
sampai selesai adalah:
1.
Syarh Al-Muhadzdzab.
Ketika tengah menyusun kitab ini-lah beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada
pembahasan Riba;
2.
At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat
Musafir;
3.
Syarh Muthawwal ’Alat Tanbih.
Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada
pembahasan Shalat;
4.
Syarh Al-Wasith,
disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat
Shalat; dan
5.
Al-Isyarat Ila MaWaqa’a Fir Raudhah Minal
Asma’ Wal Ma’ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pemba-hasan
Shalat.[7]
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung
halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari
sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis
bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari
keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di
pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan
kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau menjawab: "Sesudah
200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah
hari kiamat.
Sesudah berziarah ke
makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim)dan Ishaq ‘Alaihima
al-salam terlebih dahulu, barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di
sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat -qoddasalloohu
sirroh- pada malam Rabu tanggal 24 Rajab 676 H/ 22 Desember 1277 M. Ketika kabar wafatnya beliau tersiar
sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian
beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat
itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam
Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya.[8
B.
KONTRIBUSI AL-NAWAWI DALAM ULUM AL-HADITS
Dalam bidang ulum
al-Hadits Imam al-Nawawi mempunyai kitab yang menginduk kepada kitab asal karya
Ibn Shalah, yaitu Irsyad Thulab Al-Haqaiq ila ma’rifat Sunan Khair
Al-Khalaiq. Kemudian
kitab ini beliau ikhtishar kembali dan diberi nama Al-Taqrib wa Al-Taisir li ma’rifah Sunan
Al-Basyir Al-Nadzir. Kitab al-Taqrib
ini lebih masyhur dari pada kitab Irsyad, hal ini terbukti dengan adanya
syarah dari kitab al-Taqrib, diantaranya:
1. Tadrib Ar-Rawi
fi Syarh Taqrib An-Nawawi,
Jalal Ad-Din Abu Alfadl Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Khudhayri As-Suyuthi
Al-Mishri Asy-Syafi’I (849-911 H).
2. Syarh
Taqrib An-Nawawi, karya Syamsuddin As-Sakhawi,
3. Syarah
Taqrib An-Nawawi, karya Al-Iraqi,
4. Le Taqrib
de En Nawawi, karya W. Marcais,
5. Al-Hadits
An-Nawawi Asy-Syarif; Tarikhuhu wa Mushthalahatuh, sebuah komentar, karya
Dr. baran Abu Al-Inayn Badrah.
Dilihat mulai dari segi pembahasannya
An-Nawawi masih mengikuti seluruh urutan yang dijelaskan Ibnu Shalah. An-Nawawi
melakukan penambahan kajian dalam subkajian yang disebut mas’alah.
Sebagai contoh dalam pembahasan pertama tentang hadits shahih, ia
membaginya ke dalam enam mas’alah:
1.
Definisi,
2.
Sanad-sanad terpilih,
3.
Kitab shahih,
4.
Jumlah hadits shahih,
5.
Kitab Mukharajat untuk
kitab shahih,
6.
Tingkatan hadits shahih. Pembahasan
yang ke enam ini kemudian menjadi pegangan para ulama’-ulama’ hadits
setelahnya.
Manhaj An-Nawawi dalam menyusun
Al-Irsyad, sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimah-nya,
bertujuan: Pertama, memberikan penjelasan yang sangat mudah dimengerti
oleh pembaca. Kedua, meringkas dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan
ynag dianggap tidak perlu. Ketiga, menjaga tujuan dari kandungan kitab
Ibn Shalah sebagaimana tujuan yang diinginkan penyusunnya. Keempat,
menambah beberapa faedah yang dianggap perlu untuk memberikan kejelasan, yaitu
dengan memberikan submasalah.
Ada istilah lain selain
mas’alah yang juga digunakan An-Nawawi dalam memberikan penjelasan tambahan,
yaitu dengan menggunakan istilah Furu’
(فروع)
dan Fashal (فصل). Dalam Al-Irsyad, An-Nawawi menambah sembilan furu’
dan 12 fashal. [9]
Di dalam masalah pendefinisian hadits
shahih, imam al-Nawawi memberikan definisi yang lebih ringkas dari
definisi yang ditawarkan oleh Ibn Shalah. Menurut Ibn Shalah definisi hadits
Shahih adalah:
الحديث المسند الذي
يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولامعللا[10]
Artinya: "hadis yang disandarkan (sampai kepada Nabi) yang
bersambung sanadnya melalui orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil
dan dhabiih pula sampai akhir (sanad) dan tidak ada padanya syadz (kejanggalan)
dan illat (cacat).
Sedangkan menurut imam al-Nawawi, definisi Hadits
Shahih adalah:
وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة[11]
Artinta: Hadits
shahih adalah “hadits
yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlabit serta
tidak ada kejanggalan dan syadz”.
Imam al-Nawawi adalah orang yang
pertama kali mengklasifikasikan tingkatan hadits shahih. Pendapat beliau ini
akhirnya menjadi pegangan para ulama’ sesudahnya. Menurut al-Nawawi, tingkatan
hadits shahih itu adalah sebagai berikut:
1.
Hadits
yang disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang dikenal dengan istilah muttafaq’alaih.
2.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sendiri.
3.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4.
Hadits
yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam
Bukhori dan Muslim sekalipun tidak ditakhrij oleh kedua imam itu.
5.
Hadits
yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam
Bukhori sekalipun tidak ditakhrij oleh beliau.
6.
Hadits
yang diriwayatkan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam
Muslim, sekalipun tidak ditakrij oleh beliau.
7.
Hadits-hadits
yang dishahihkan oleh selain Imam Bukhori dan Imam Muslim, seperti Ibnu
Huzaimah, Ibnu Hibban, sekalipun telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.[12]
Di dalam masalah hadits, imam al-Nawawi tidak
seperti ulama’-ulama’ ahli hadits pada umumnya yang menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap pengumpulan hadits, mengkritik hadits, mengetahui rijal
al-hadits dan berlomba-lomba dalam sanad al-‘aly. Ketika ahli hadits itu
mendapatkan hadits yang bersambungnya kepada Nabi mempunyai sanad yang pendek,
mereka sangat membanggakan diri. Akan tetapi kebanyakan dari mereka kurang
mengerti tentang masalah fiqh al-hadits.[13] Sedangkan
al-Nawawi tujuan dari mempelajari hadits sebagaimana yang beliau katakan di
dalam muqadimah sarayah Muslim adalah menghidupkan sunah yang mati. Al-Nawawi
berpendapat bahwa sunah atau hadits itu adalah bagian dari agama. Hal ini
dikarenakan syari’at agama kita terbangun atas al-Qur’an dan hadits, dan hadits
merupakan sumber dari kebanyakan hukum-hukum fiqih dan juga sebagai penjelas
dari ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global. Menurut al-Nawawi yang
paling baik bagi orang yang sudah menguasai ‘ulum al-hadits adalah menguraikan
maksud dari suatu hadits (fiqh al-hadits). Hal ini dikarenakan di dalam hadits
tersimpan banyak faidah yang perlu untuk digali.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain
bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Nawawi. Beliau di lahirkan di Nawa kota Damaskus pada bulan
Muharram 631 H/Oktober 1233 M. Beliau adalah seorang
yang Syeh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadits, fiqih, dan bahasa.
Karena itulah beliau mempunyai banyak gelar keilmuwan yakni Al-Imam,
Al-Hafizh, Syaikhul Islam, dan Muhyiddin. Beliau mulai belajar di bawah bimbingan
ayahnya dan pada umur 9 tahun sudah hafal al-Qur’an. Menginjak umur 19 tahun
beliau mendalami ilmu agama di madrasah Rawahiyyah
(Damaskus). Setelah mengamalkan ilmunya, akhirnya beliau wafat pada pada malam Rabu tanggal 24 Rajab 676 H/ 22 Desember 1277 M.
2.
Dalam bidang ulum al-Hadits Imam al-Nawawi mempunyai
kitab yang menginduk kepada kitab asal karya Ibn Shalah, yaitu Irsyad
Thulab Al-Haqaiq ila ma’rifat Sunan Khair Al-Khalaiq. Kemudian kitab ini beliau
ikhtishar kembali dan diberi nama Al-Taqrib wa Al-Taisir li ma’rifah Sunan
Al-Basyir Al-Nadzir. Kitab beliau ini banyak
dihafal oleh orang-orang sesudahnya karena lebih ringkas. Beliau adalah orang
yang merumuskan tingkatan hadits shahih yang menjadi pegangan para ulama’
sesudahnya. Selain itu beliau juga lebih memperhatikan masalah fiqh al-hadits.
B.
SARAN
Kontribusi al-Nawawi dalam bidang hadits
memang tidak seperti Ibn Shalah yang begitu terkenal. Hal ini sangat wajar
karena pemikiran al-Nawwi masih terpengaruh oleh pemikiran Ibn Shalah. Hal ini
berakibat pada kurangnya minat para sarjana untuk menkaji pemikiran beliau
dalam bidang ulum al-hadits. Bagi para pembaca yang menginginkan pengetahuan
yang lebih mendalam tentang al-Nawawi, silahkan mengkaji sendiri dengan melihat
referensi yang kami cantumkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Daqari, Abd al-Ghani. 1994. al-Imam al-Nawawi: syaikh al-Islam wa al-Muslimin wa
Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin. Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1992. Al-Tibyan
fii Adab Hamlah al-Qur’an. Beirut: Dar al-Nafais.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. t.t . Minhal al-Rawi
min Taqrin al-Nawawi. ---: dar al-Malah.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1985. al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir
al-Nadzir, tahqiq Muhammad ‘Utsman al-Khatsti. Beirut: dar
al-Kitab al-‘Araby.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1929. Shahih Muslim
bi Syarh al-Nawawi juz I. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyah bi
al-Azhar.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2003. Ensiklopedi
Islam 4. Jakarta: PT. ICHTIAR BARU VAN HOEVE.
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits
dari Klasik sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Shalah, Ibn. 1966. Ulum al-Hadits. tahqiq Nur al-Din ‘Itr. Alepo: al-Mathba’ah al-Ashil.
Zain, Biografi Imam Nawawi, http://solihin87.abatasa.com/post/detail/8757/biografi-imam-nawawi, diakses tanggal 13 maret 2012 jam 08.51.
[1]Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta: PT. ICHTIAR
BARU VAN HOEVE, 2003), h. 22.
[2]Lihat
di tarjamah al-Muallif di
dalam Yahya
bin Syaraf al-Nawawi, Al-Tibyan fii Adab Hamlah al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Nafais, 1992), h. 9.
[3]Lihat
di Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4.,… h. 22.
[5]Zain, Biografi Imam Nawawi, http://solihin87.abatasa.com/post/detail/8757/biografi-imam-nawawi, diakses tanggal 13 maret 2012 jam 08.51
[6]Lihat di Abd al-Ghani al-Daqari, al-Imam
al-Nawawi: syaikh al-Islam wa al-Muslimin wa Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), h. 159-181
[8]Tarjamah muallif di Yahya bin Syaraf
al-Nawawi, Minhal al-Rawi min Taqrin al-Nawawi, (-: dar al-Malah, t.t),
h. 16-17.
[9]Muhammad
Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik sampai
Modern, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), h.
75-78
[10]Ibn Shalah, Ulum al-Hadits, tahqiq
Nur al-Din ‘Itr, (Alepo: al-Mathba’ah al-Ashil, 1966), h.10-11.
[11]Muhyi al-Din Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li
Ma’rifat Sunan al-Basyir al-Nadzir, tahqiq Muhammad ‘Utsman al-Khatsti, (Beirut:
dar al-Kitab al-‘Araby, 1985), h. 25.
[12]Ibid.,
h. 28.
[14]Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahih
Muslim bi Syarh al-Nawawi juz I, (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyah
bi al-Azhar, 1929), h. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar