Jumat, 02 November 2012

Yahya bin Syaraf al-Nawawi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pada fase awal, ulum al-hadits berkembang secara bersamaan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Sesudah wafatnya Nabi, umat Islam semakin memperhatikan hadits dengan  mengumpulkan dan mengadakan perlawatan ke berbagai kota. Dengan sendirinya, dibutuhkan kaidah atau manhaj sebagai tolak ukur diterima atau ditolaknya hadits, walaupun kaidah tersebut belum dibakukan dan dibukukan. Pembukuan Ilmu hadits tersebut awalnya bercampur dengan pembukuan hadits. Baru sekitar abad ke IV H, ulum al-hadits disusun dan dibukukan secara terpisah oleh al-Ramahurmuzy. Pada akhirnya ulum al-hadits mengalami kesempurnaan pada abad ke VII H. Hal ini ditandai dengan munculnya kitab muqadimah Ibn Shalah. Kitab ini menjadi acuan para ulama’ sesudahnya. Banyak ulama’ yang mensyarahinya dan banyak pula yang meringkasnya. Selain ibn Shalah, pada abad ke VII H ini juga ada Syeh Muhyi al-Din Yahya bin Syaraf al-Nawawi. Beliau adalah salah seorang ahli hadits yang meringkas kitab muqadimah Ibn Shalah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Siapakah imam al-Nawawi itu dan bagaimana latar belakang keilmuannya?
2.      Bagaimana kontribusi al-Nawawi terhadap ulum al-hadits?

C.    TUJUAN PEMBAHASAN MASALAH
1.      Mengetahui biografi imam al- Nawawi dan latar belakang keilmuannya.
2.      Mengetahui kontribusi imam al-Nawawi dalam ulum al-hadits.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI Al-NAWAWI
Imam al-Nawawi mempunyai nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Nawawi. Beliau di lahirkan di Nawa kota Damaskus pada bulan Muharram 631 H/Oktober 1233 M.[1] Beliau adalah seorang yang Syeh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadits, fiqih, dan bahasa. Karena itulah beliau mempunyai banyak gelar keilmuwan yakni Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, dan Muhyiddin.
Pada saat masih kecil beliau diasuh, dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Pada saat berusia 9 tahun beliau telah menghafal al-Qur’an dan mulai menekuni belajar fiqih. Atas nasehat dari syeh Yasin bin Yusuf al-Zarkasyi, ayahnya menyuruh al-Nawawi kecil untuk menekuni dalam belajar ilmu syara’ (agama). Pada saat mengijak usia 19 tahun beliau bersama ayahnya pergi ke Damaskus untuk menyempurnakan ilmunya di madrasah Rawahiyyah.[2] Di sana beliau sangat tekun dalam mencari ilmu selama 20 tahun sampai ia menguasai beberapa disiplin ilmu agama, seperti hadits dan ilmu hadits, fiqih dan ushul fiqih serta bahasa.[3]
Sepanjang hayatnya beliau tidak pernah membiarkan waktunya terbuang percuma tanpa diisi dengan belajar, mengajar atau member nasehat kepada masyarakat. Pada masa permulaan belajarnya selama 2 tahun beliau tidak pernah merebahkan tubuhnya di bumi dan beliau hanya makan dengan jumlah yang sangat sedikit. Imam Nawawi terkenal sebagai ulama’ yang zahid serta wara’ hal ini terbukti bahwasanya beliau tidak mau makan buah yang ada di Damaskus karena buah itu subhat. Karena kesibukannya dalam mengembangkan ilmunya beliau sampai tidak sempat memikirkan untuk menikah sampai saat beliau wafat. Dalam mengajarkan ilmu beliau tidak mengambil upah walaupun cuma satu dirham dan untuk memenuhi kebutuhannua beliau mendapatkan kiriman dari keluarganya yang ada di Nawa.[4]
Imam Nawawi banyak belajar kepada ‘ulama’ yang masyhur pada zamannya, diantaranya adalah:
1.      Di bidang fiqih dan ushulnya beliau berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 650 H, Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi kemudian ad- Dimasyqi, yang wafat pada tahun 654 H, Sallar bin aI-Hasan al-Irbali kemudian al-Halabi lalu ad-Dimasyqi, yang wafat pada tahun 670 H, Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari, yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.
2.      Di bidang ilmu hadits beliau berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H, Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H, Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H, Ibrahim bin ’Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H, Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H.
3.      Di bidang ilmu Nahwu dan bahasa, Imam an-Nawawi pernah belajar kepada Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, yang wafat pada tahun 664 H, dan juga al-’Izz al-Maliki.
Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar al-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an--Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.[5]
Selama hayatnya beliau banyak menghasilkan buah pena dari berbagai cabang ilmu yang beliau kuasai. Karya-karya beliau ada yang sudah beliau selesaikan adapula yang belum selesai.Diantara karya-karya beliau yang sudah selesai beliau tulis adalah:
1.      Al-Raudhah (Raudhatut Thalihin). Di dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir berikut pen-jelasan cabang-cabangnya secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai cabang permasalah-an yang semula berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tash-hih, referensi para cerdik pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai persoalan kontemporer.
2.      Al-Minhaj: Mukhtashar Muharrar Fil Fiqh;
3.      Daqa’iqul Minhaj;
4.      Al-Manasikus Sughra;
5.      Al-Manasikul Kubra;al nawawi
6.      At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an;
7.       Tashhihut Tanbih;
8.      Al-Fatawa. Kitab ini merupakan kumpulan berbagai persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun secara tematis oleh murid beliau Syaikh Alauddin Aththar dengan tambahan beberapa hal penting yang didengarnya langsung dari beliau.
9.      Syarh Shahih Muslim;
10.  Al-Adzkar;
11.  Riyadhus Shalihin;
12.  Al-Arba’in;
13.  Syarh Al-Arba’in;
14.  Thabaqatul Fuqaha;
15.  Tahdzibul Asma’ Wal Lughat. Kitab No. 14 dan 15 ini belum sempat beliau rapikan dan bersihkan dari naskah aslinya, beliau keburu wafat. Akhirnya dibersihkan dan disalin oleh Al-Hafizh Jamaluddin Al-Mazi.
16.  Tashnif Fil Istiqsa’ Wa Fi Istihbabil Qiyaam Li Ahlil Fadhl;
17.  Mukhtasharut Tashniif Fil Istisqa’.[6] Kedua kitab yang disebut terakhir ini termasuk karya terakhir beliau.      
Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai adalah:  
1.      Syarh Al-Muhadzdzab. Ketika tengah menyusun kitab ini-lah beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada pembahasan Riba;
2.      At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat Musafir;
3.      Syarh Muthawwal ’Alat Tanbih. Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada pembahasan Shalat;
4.      Syarh Al-Wasith, disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat Shalat; dan 
5.      Al-Isyarat Ila MaWaqa’a Fir Raudhah Minal Asma’ Wal Ma’ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pemba-hasan Shalat.[7] 
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.
Sesudah berziarah ke makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim)dan Ishaq ‘Alaihima al-salam terlebih dahulu, barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat -qoddasalloohu sirroh- pada malam Rabu tanggal 24 Rajab 676 H/ 22 Desember  1277 M. Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya.[8 
B.     KONTRIBUSI AL-NAWAWI DALAM ULUM AL-HADITS
Dalam bidang ulum al-Hadits Imam al-Nawawi mempunyai kitab yang menginduk kepada kitab asal karya Ibn Shalah, yaitu Irsyad Thulab Al-Haqaiq ila ma’rifat Sunan Khair Al-Khalaiq. Kemudian kitab ini beliau ikhtishar kembali dan diberi nama Al-Taqrib wa Al-Taisir li ma’rifah Sunan Al-Basyir Al-Nadzir. Kitab al-Taqrib ini lebih masyhur dari pada kitab Irsyad, hal ini terbukti dengan adanya syarah dari kitab al-Taqrib, diantaranya:
1.      Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, Jalal Ad-Din Abu Alfadl Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Khudhayri As-Suyuthi Al-Mishri Asy-Syafi’I (849-911 H).
2.      Syarh Taqrib An-Nawawi, karya Syamsuddin As-Sakhawi,
3.      Syarah Taqrib An-Nawawi, karya Al-Iraqi,
4.      Le Taqrib de En Nawawi, karya W. Marcais,
5.      Al-Hadits An-Nawawi Asy-Syarif; Tarikhuhu wa Mushthalahatuh, sebuah komentar, karya Dr. baran Abu Al-Inayn Badrah.
Dilihat mulai dari segi pembahasannya An-Nawawi masih mengikuti seluruh urutan yang dijelaskan Ibnu Shalah. An-Nawawi melakukan penambahan kajian dalam subkajian yang disebut mas’alah. Sebagai contoh dalam pembahasan pertama tentang hadits shahih, ia membaginya ke dalam enam mas’alah:
1.        Definisi,
2.        Sanad-sanad terpilih,
3.        Kitab shahih,
4.        Jumlah hadits shahih,
5.        Kitab Mukharajat untuk kitab shahih,
6.        Tingkatan hadits shahih. Pembahasan yang ke enam ini kemudian menjadi pegangan para ulama’-ulama’ hadits setelahnya.
Manhaj An-Nawawi dalam menyusun Al-Irsyad, sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimah-nya, bertujuan: Pertama, memberikan penjelasan yang sangat mudah dimengerti oleh pembaca. Kedua, meringkas dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan ynag dianggap tidak perlu. Ketiga, menjaga tujuan dari kandungan kitab Ibn Shalah sebagaimana tujuan yang diinginkan penyusunnya. Keempat, menambah beberapa faedah yang dianggap perlu untuk memberikan kejelasan, yaitu dengan memberikan submasalah.
Ada istilah lain selain mas’alah yang juga digunakan An-Nawawi dalam memberikan penjelasan tambahan, yaitu dengan menggunakan istilah Furu’  (فروع) dan Fashal (فصل). Dalam Al-Irsyad, An-Nawawi menambah sembilan furu’ dan 12 fashal. [9]
Di dalam masalah pendefinisian hadits shahih, imam al-Nawawi memberikan definisi yang lebih ringkas dari definisi yang ditawarkan oleh Ibn Shalah. Menurut Ibn Shalah definisi hadits Shahih adalah:
الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولامعللا[10]
Artinya: "hadis yang disandarkan (sampai kepada Nabi) yang bersambung sanadnya melalui orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabiih pula sampai akhir (sanad) dan tidak ada padanya syadz (kejanggalan) dan illat (cacat).
Sedangkan menurut imam al-Nawawi, definisi Hadits Shahih adalah:
وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة[11]
Artinta: Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlabit serta tidak ada kejanggalan dan syadz.
Imam al-Nawawi adalah orang yang pertama kali mengklasifikasikan tingkatan hadits shahih. Pendapat beliau ini akhirnya menjadi pegangan para ulama’ sesudahnya. Menurut al-Nawawi, tingkatan hadits shahih itu adalah sebagai berikut:
1.      Hadits yang disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang dikenal dengan istilah muttafaq’alaih.
2.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sendiri.
3.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4.      Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhori dan Muslim sekalipun tidak ditakhrij oleh kedua imam itu.
5.      Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhori sekalipun tidak ditakhrij oleh beliau.
6.      Hadits yang diriwayatkan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Muslim, sekalipun tidak ditakrij oleh beliau.
7.      Hadits-hadits yang dishahihkan oleh selain Imam Bukhori dan Imam Muslim, seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, sekalipun telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.[12]
Di dalam masalah hadits, imam al-Nawawi tidak seperti ulama’-ulama’ ahli hadits pada umumnya yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pengumpulan hadits, mengkritik hadits, mengetahui rijal al-hadits dan berlomba-lomba dalam sanad al-‘aly. Ketika ahli hadits itu mendapatkan hadits yang bersambungnya kepada Nabi mempunyai sanad yang pendek, mereka sangat membanggakan diri. Akan tetapi kebanyakan dari mereka kurang mengerti tentang masalah fiqh al-hadits.[13] Sedangkan al-Nawawi tujuan dari mempelajari hadits sebagaimana yang beliau katakan di dalam muqadimah sarayah Muslim adalah menghidupkan sunah yang mati. Al-Nawawi berpendapat bahwa sunah atau hadits itu adalah bagian dari agama. Hal ini dikarenakan syari’at agama kita terbangun atas al-Qur’an dan hadits, dan hadits merupakan sumber dari kebanyakan hukum-hukum fiqih dan juga sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global. Menurut al-Nawawi yang paling baik bagi orang yang sudah menguasai ‘ulum al-hadits adalah menguraikan maksud dari suatu hadits (fiqh al-hadits). Hal ini dikarenakan di dalam hadits tersimpan banyak faidah yang perlu untuk digali.[14]









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Nawawi. Beliau di lahirkan di Nawa kota Damaskus pada bulan Muharram 631 H/Oktober 1233 M. Beliau adalah seorang yang Syeh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadits, fiqih, dan bahasa. Karena itulah beliau mempunyai banyak gelar keilmuwan yakni Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, dan Muhyiddin. Beliau mulai belajar di bawah bimbingan ayahnya dan pada umur 9 tahun sudah hafal al-Qur’an. Menginjak umur 19 tahun beliau mendalami ilmu agama di madrasah Rawahiyyah (Damaskus). Setelah mengamalkan ilmunya, akhirnya beliau wafat pada pada malam Rabu tanggal 24 Rajab 676 H/ 22 Desember  1277 M.
2.      Dalam bidang ulum al-Hadits Imam al-Nawawi mempunyai kitab yang menginduk kepada kitab asal karya Ibn Shalah, yaitu Irsyad Thulab Al-Haqaiq ila ma’rifat Sunan Khair Al-Khalaiq. Kemudian kitab ini beliau ikhtishar kembali dan diberi nama Al-Taqrib wa Al-Taisir li ma’rifah Sunan Al-Basyir Al-Nadzir. Kitab beliau ini banyak dihafal oleh orang-orang sesudahnya karena lebih ringkas. Beliau adalah orang yang merumuskan tingkatan hadits shahih yang menjadi pegangan para ulama’ sesudahnya. Selain itu beliau juga lebih memperhatikan masalah fiqh al-hadits.
B.     SARAN
Kontribusi al-Nawawi dalam bidang hadits memang tidak seperti Ibn Shalah yang begitu terkenal. Hal ini sangat wajar karena pemikiran al-Nawwi masih terpengaruh oleh pemikiran Ibn Shalah. Hal ini berakibat pada kurangnya minat para sarjana untuk menkaji pemikiran beliau dalam bidang ulum al-hadits. Bagi para pembaca yang menginginkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang al-Nawawi, silahkan mengkaji sendiri dengan melihat referensi yang kami cantumkan.
DAFTAR PUSTAKA


Al-Daqari, Abd al-Ghani. 1994. al-Imam al-Nawawi: syaikh al-Islam wa al-Muslimin wa Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin. Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1992. Al-Tibyan fii Adab Hamlah al-Qur’an. Beirut: Dar al-Nafais.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. t.t . Minhal al-Rawi min Taqrin al-Nawawi. ---: dar al-Malah.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1985. al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir al-Nadzir, tahqiq Muhammad ‘Utsman al-Khatsti. Beirut: dar al-Kitab al-‘Araby.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1929. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi juz I. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2003. Ensiklopedi Islam 4. Jakarta: PT. ICHTIAR BARU VAN HOEVE.
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Shalah, Ibn. 1966. Ulum al-Hadits. tahqiq Nur al-Din ‘Itr. Alepo: al-Mathba’ah al-Ashil.
Zain, Biografi Imam Nawawi, http://solihin87.abatasa.com/post/detail/8757/biografi-imam-nawawi, diakses tanggal 13 maret 2012 jam 08.51.





[1]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta: PT. ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2003), h. 22.
[2]Lihat di tarjamah al-Muallif di dalam Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Tibyan fii Adab Hamlah al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Nafais, 1992), h. 9.
[3]Lihat di Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4.,… h. 22.
[4]Lihat di tarjamah al-Muallif di dalam Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Tibyan fii Adab.,… h. 10-11
[5]Zain, Biografi Imam Nawawi, http://solihin87.abatasa.com/post/detail/8757/biografi-imam-nawawi, diakses tanggal 13 maret 2012 jam 08.51
[6]Lihat di Abd al-Ghani al-Daqari, al-Imam al-Nawawi: syaikh al-Islam wa al-Muslimin wa Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), h. 159-181
[7]Ibid., h. 181.
[8]Tarjamah muallif di Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhal al-Rawi min Taqrin al-Nawawi, (-: dar al-Malah, t.t), h. 16-17.
[9]Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits dari Klasik sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 75-78
[10]Ibn Shalah, Ulum al-Hadits, tahqiq Nur al-Din ‘Itr, (Alepo: al-Mathba’ah al-Ashil, 1966), h.10-11.
[11]Muhyi al-Din Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir al-Nadzir, tahqiq Muhammad ‘Utsman al-Khatsti, (Beirut: dar al-Kitab al-‘Araby, 1985), h. 25.

[12]Ibid.,  h. 28.
[13]Abd al-Ghani al-Daqari, al-Imam al-Nawawi.,… h. 62.
[14]Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi juz I, (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, 1929), h. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar