Jumat, 02 November 2012

kumpulan artikel hubungan antar agama

BAB I
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
DIMENSI INTERNAL DAN EKSTERNALNYA
 DI INDONESIA
Abdurrahman Wahid

Hubungan antar agama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara kualilatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran keagamaan dikalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin atau umat islam, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Tulisan ini di maksudkan untuk menelusuri beberapa sisi yang dapat di lihat pada  dimensi teologis dan dimensi politis dari hubungan kaum muslimin yang  “mewakili islam” dan umat beragama lain. Pada di akhir tulisan akan dikemukakan beberapa aspek yang dapat di proyeksikan pada perubahan yang terjadi dalam pola hubungan antar umat beragama yang ada pada saat ini.
Sebagaimana telah diketahui dari sejarah dari bangsa kita, Islam datang dikawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang kemari dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi. Utusan politik dari sumber-sumber Islam di negeri lain dapat dilihat, umpamanya, pada heterogenitas gelar penguasa muslim di negeri ini. Kerajaan ternate dengan raja pertama Mubarok Syah jelas merupakan “utusan” dari penguasa-penguasa bergelar sama yang datang dari Asia Tengah, Persia dan kawasan Afganistan. Gelar Almalikus Shaleh, yang disandang raja-raja muslim di aceh menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari lingkungan penguasa dinasti Ayyubid (Ayyubiyin, dengan tokoh utama Salahudin Al- Ayyubi atau Saladin The Saracen). Dari wilayah Turko, Syiria sekarang ini. Gelar sultan menunjukkan hubungan dengan para sultan di India, kalau tidak langsung dari jantung kerajaan Abbasyiah di Baghdad, Irak.
Nama dari kata-kata seperti Pasai, Jayakarta (fathan mubina), Bonang dan Demak menunjukkan asal usul geografis yang sangat beragam dari pusat pemerintahan Islam di seluruh pemerintahan Cina, Asia Selatan, Asia Barat dan Afrika Utara. Tidaklah mengherankan jika nama-nama yang umum dipakai disini merujuk pada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat pemerintah Islam atau sumber gerakan-gerakan besar dalam islam. Nama-nama seperti Dimyati, Hamdani dan Sayuti menunjukkan pada kota-kota seperti Damiyetta di Mesir, Hamdan di Iran, dan Aisut di Mesir. Nama Asmoro Kendi sangat populer di Jawa Timur, merujuk pada Syah Ibrohim pada Syah Samarkan di Asia Tengah, yang menyebarkan agama Islam di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tokoh legenda Ki Ageng Selo, yang terkenal penyambar petir, tidak lain adalah tokoh politik yang berasal usul Tabarqah (Toburk) dalam bahasa barat di Libya. Nama daerah kota Tabarqah ini di ambil dari istilah barq dalam bahasa arab, yang berarti petir.
Demikian juga peristilahan politik yang masuk kemari dari khazanah Islam yang berasal usul heterogen, menunjukkan pluralitas yang tinggi. Gelar seperti wazir, modin (singkatan imamuddin), Sultan, Syahbandar dan sebagainya, menunjukkan ragam jabatan yang berasal dari dinasti kerajaan Islam. Tidak lupa pula, hukum-hukum agama Islam (fiqih) menunjukkan keragaman asal usul politik Islam di Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Selatan. Pejabat pelaksana agama Islam dengan gelarnya yang beraneka ragam, mulia dari kadi (qadi) hakim dan penghulu menunjukkan pluralitas asal usul politis Islam.
* * * * *
Para pedagang muslim berdatangan kemari sejak sekitar 9 abad yang lalu. Batu nisan Fatimah binti Maimun di desa leran, Gresik, menunjukkan telah ada komunitas muslim di daerah pelabuhan pantai utara Jawa Timur bahkan sebelum Raja pahit berdiri. Pasai, Peuruelak dan Samudra di wilayah Aceh merupakan komunitas kaum muslimin yang pertama kali di laporkan oleh para pelapor Barat dan Cina pada abad ke 13 Masehi. Kantor dagang dan kedutaan Banten di wilayah kerajaan Inggris telah ada semenjak abad ke 11 masehi. Kesibukan luar biasa dalam pelayaran niaga antara kawasan Timur Tengah dan nusantara, sebagaiman di laporkan Laszbo dan Al-Sairafi dari abad ke 10 Masehi, menunjukkan variasi sangat tinggi dalam proses integrasi kaum pedagang muslim asing ke dalam masyrakat pribumi di kepulauan nusantara.
Di kerajaan Malaka dan Goa, pedagang muslim asing itu memasuki istana raja-raja melalui perkawinan, sedangkan hal itu tidak di lakukan di keraton Mataram di Jawa. Demikian pula di kawasan Aceh dan Sumatra Utara, kaum pedagang pribumi dan kaum pedagang muslim berintregasi melalui perkawinan, menciptakan lapisan orang kaya yang memiliki kekuatan politik sangat besar dan sanggup mengimbangi kekuatan politik kaum bangsawan di istana-istana. Gilda- gilda para pengrajin di berbagai kota juga menunjukkan hiterogenitas asal usul niaga kaum muslmin di negeri ini, dari kerajinan tenun, arsitektur, ukiran, kerajinan logam, keramik dan penyamakan kulit hingga pengolahan makanan.
Alat pengukur kuantitas barang dan pembukuan transaksi finansial di berbagai daerah di masa lampau menunjukkan ketinggian variasi praktek-praktek niaga kaum pedagang muslim negeri ini.
* * * * *
Mistisisisme Islam (tasawwuf) juga menunjukkan heterogenitas sangat tinggi dalam asal usul geografis Islam yang sampai ke negeri ini dalam kurun waktu berbeda-beda dan melalui “titik-titik pendaratan” yang berlainan, gerakan tasawwuf berbentuk tarekat maupun non tarekat berkembang di Indonesia. Tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Sattariyyah dan Rifa’iyyah berdatangan kemari dari “titik pemberangkatan” yang berbeda dalam kurun waktu yang berlainan, seperti Naqsyabandiyyah yang masuk ke Jawa Barat dan Jawa Tengah melalui pamijahan di pantai wilayah Tasikmalaya, yang berbeda dari tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah yang kini terbesar di Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui kerajaan Banten dan arus jamaah haji yang pulang dari tanah suci dalam abad ke 19 Masehi.
Kepercayaan kepada Wali Sembilan (wali songo) di Jawa Tengah dan Jawa Timur menyembunyikan dalam dirinya heterogenitas aliran tasawuf yang mereka ikuti. Jelas sekali sangat besar pertentangan antara sikap tasawuf Sunan Kalijaga, yang demikian toleran dan mampu menyerap praktek-praktek mistis dari era Hindu Budha di pesisir utara pantai Jawa. Kecenderungan ini pun masih tampak pada zaman ini, kalau dilihat “import praktek-praktek tasawuf” seperti Darul Arqam dan Jamaah Tabligh/ Jaulah yang masing-masing dari semenanjung Malaysia dan anak Benua India.
Heterogenitas asal usul Islam di ndonesia itu, menunjukkan pula variasi yang sangat tinggi dalam hubungan antar agama yang di bawa oleh kaum muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama dalam Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam Perang Padri di Sumatera Barat pada paroh pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar umat beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima” kekramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan hari penting Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari tersebut. Ironisnya, mereka juga menyebut hari Ahad Arab dengan sebutan hari Minggu, yang berasal dari domingo, yang berarti Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian di ikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja. Penyerapan “nama Kristen” menjadi hari Islam tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antar umat beragama, yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa.
Praktek-praktek mistis dari budaya pra Islam, yang menjadi pola umum  kehidupan keraton Jawa, dengan sekedar memberikan penghargaan formal dalam takaran minim kepada ajaran Islam, seperti perayaan sekaten, di terima sebagai kewajaran oleh mayoritas masyarakat muslim Jawa hingga hari ini. Demikian juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Praktek perdukunan masyarakat banjar di Kalimantan Selatan, penghormatan karuhun di masyarakat Sunda dan praktek-praktek lain di seluruh wilayah nusantara, menunjukkan besarnya muatan “budaya lokal” dalam kehidupan dalam beragam Islam di kepulauan nusantara hingga saat ini. Walaupun hidup kesantrian dan hidup kejawen di Jawa dapat di telusuru perbedaannya oleh Clifford Geertz namun identifikasi diri yang saling berbeda antara keduanya dapat di jembatani oleh universalitas manifestasi budaya Jawa dalam bentuk kesenian daerah (seperti wayang) dan tradisi kekerabatan orang Jawa.
Dengan ungkapan lain, antara tarikan integratif dan dorongan konflik dapat di cari keseimbangan elastis, yang memiliki kepentingan berbagai unsur dan sektor masyarakat itu. Kepercayaan diri yang besar yang timbul dari keseimbangan kekuatan serta kondisi elastis itu, ternyata memiliki momentum cukup besar untuk memunculkan sikap tenggang rasa di negeri kita pada masa lampau itu cukup mengesankan bagi para pengamat dan sejarawan. Kalaupun tidak bisa berbaur secara integratif dalam ukuran penuh, paling tidak umat berbagai agama di negeri ini mampu hidup berdampingan pada umumnya secara damai. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang memerlukan pengamatan dan pemahaman mendalam dari kita.
* * * * *
Tantangan-tantangan modernisasi, yang di lancarkan dunia Barat terhadap semua bangsa yang ada di dunia, telah menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam cara kaum muslimin memandang kaitan antara Islam dan kehidupan mereka sendiri. Islam, yang selama berabad-abad telah mengembangkan berbagai corak hubungan dengan faktor-faktor lain dalam kehidupan, di paksa memeriksa dan merumuskan kembali orientasi kehidupan yang di milikinya selama ini. Dengan sendirinya, pemeriksaan ulang dan perumusan kembali orientasi itu juga mempengaruhi dan sekaligus di pengaruhi oleh hubungan kehidupan yang lain itu. Islam yang pada mulanya bertumpukan pada tiga pilar kehidupan berupa hukum agama, kesusilaan (akhlaq) dan aqidah (teologia), di paksa oleh perkembangan zaman untuk mempertanyakan kembali keabsahan pilar-pilar itu sendiri.
Sebuah idiom baru masuk ke dalam pemikiran kaum muslimin, yaitu ideologi politik yang dengan sadar menyatukan ketiga pilar itu dalam sebuah entitas eksklusif yang membedakannya dari “pola longgar” yang di gunakan selama ini. Walaupun sama-sama beragama Islam, mereka yang tidak mengikuti identitas total keislaman itu di anggap sebagai orang luar, dan sebagai “mereka” yang berada di luar lingkungan “kita” . Kulminasi dari penonjolan identitas total keislaman itu, yang oleh Geertz dinamakan kesantrian, tampak pada penolakan ideologi pancasila oleh gerakan-gerakan keagamaan Islam di tahun-tahun 1950-an, sebuah kemacetan yang akhirnya dapat diatasi dengan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali pada undang-undang dasar 1945. Dalam wajah politik formalnya, sikap ini telah di gusur dari lahan percaturan melalui penyerdahanaan partai-partai politik di tahun 1973 dan kemudian penetapan sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan.
Tapi gagasan bahwa Islam adalah totalitas yang di bedakan secara formal dari golongan-golongan lain dalam kehidupan bangsa, masih memiliki gaya tariknya sendiri. Bersamaan dengan tampilnya kebutuhan semacam itu, tampil kebutuhan untuk “membuktikan” keunggulan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (life sistem). Di negeri-negeri muslim lain pemunculan identitas itu ada yang berujung pada berbagai macam ekspremin “pengislaman kehidupan” melalui pemberlakuan syari’at sebagai hukum negara, penerapan “ekonomi Islam” dengan segala perangkat institusional-nya (Bank Islam, Asuransi dan sebagainya), dan Islamisasi di segenap bidang kehidupan. Di beberapa negara, proses pengislaman kehidupan itu akhirnya berbuah pada berdirinya sejumlah negara Islam, seperti Iran, Sudan, Libya dan Pakistan. Di samping itu, proses pengislaman itu semakin memperkokoh tradisionalisme Islam di sementara kawasan, seperti Saudi Arabia, Afganistan, Malaisya dan Maroko.
Lawan besar bagi perkembangan seperti itu adalah faham kebangsaan yang bertumpu pada pluralisme. Pluralitas faktor-faktor kehidupan itu terutama berbentuk penyamaan hak-hak dan status antara golongan mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan bangsa. Masyarakat yang mengalami proses pluralisasi tentu saja menolak pemberlakuan syari’ah sebagai sistem perundang-undangan nasional, menekan diri pada pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan memiliki obyektifitas sangat tinggi dalam perlakuannya terhadap semua warga negara, tanpa melihat asal usul keagamaan atau etnis mereka.   
Perbenturan antara pola eksklusif, yang ingin menonjolkan islam sebagai faktor utama kehidupan di suatu pihak dan dipihak lain sikap inklusif, yang berusaha menekankan universalisme kehidupan masyarakat, berjalan secara berkepanjangan, dan belum berakhir hingga saat ini. Perbenturan itu dipengaruhi pada satu sisi oleh kerasnya perbenturan pandangan keislaman yang ekslusif dan inklusif itu, seperti tercermin dalam pelontaran isu kristenisasi di indonesia oleh para intelektual muslim yang berorientasi eksklusif yang tergabung dalam ICMI (ikatan cendikiawan muslim se indonesia). Sikap inklusif untuk memberlakukan obyektivitas persamaan status warga negara dalam kehidupan bermasyarakat itu di nilai oleh para cendikiawan berpandangan ekslusif itu sebagai kelemahan dan ketidak mampuan menghadapi tantangan yang ditujukan kepada jantung kehidupan islam sendiri. Dengan sendirinya perdebapatan seru mengenai isu-isu itu lalu sangat mempengaruhi hubungan antar umat beragama yang berkembang. Apa yang seharusnya menjadi masalah internal kaum muslimin akhirnya berkembang menjadi isu tersendiri dalam hubungan antar agama. Sebaliknya, kegigihan para cendekiawan muslim yang berpandangan inklusif untuk mempertahankan universalitas nilai-nilai kehidupan bangsa, menimbulkan sikap semakim eksklusif dan tuduan yang semakin menjadi-jadi (seperti antek zionisme, alat kristenisasi, anggota kaum falanggists dan agen “barat”) dari pihak mereka yang berpandangan ekslusif. Eskalasi proses internal dalam tubuh umat islam itu tentu saja memaksa umat-umat beragama lain untuk merumuskan hubungan antar agama mereka dan islam.
Jika pada kemelut keadaan seperti itu ditambahkan faktor politik, seperti dukungan salah satu pusat kekuasaan (power center) kepada gerakan slam ekslusif, “mengoreksi” ketimpangan kaum minoritas suatu agama, yang dianggap secara komparatif memiliki kekuatan bernilai lebih terhadap seluruh kekuatan kaum muslimin, dapat dibayangkan betapa tinggi intensitas hubungan internal dalam tubuh islam sendiri, dalam arti meluasnya salah pengertian antara mereka. Bahwa Dr. Nurkholis Majid dianggap munafik dan murtad oleh sementara pihak yang berpandangan ekslusif, karena pernyataannya antara kedudukan agama kristen sama dengan agama islam, merupakan petunjuk betapa tinggi intensitas perbenturan tersebut. Dalam pernyataan itu, ia melupakan arti masalah-masalah teologi yang membedakan islam dari agama-agama lain. Sedangkan lawan bicaranya melupakan bahwa dalam sebuah negara kebangsaan, seperti republik indonesia, bagaimanapun juga di jamin persamaan status dan perlakuan secara konstitusional bagi semua warga negara, tanpa memandang asal usul agama dan etnis mereka. Peliknya masalah dapat di perkirakan dari keputusan hukum gantung sampai mati yang di jatuhkan pemerintah sudan atas diri seorang muslim yang bernama Dr. Mahmud muhammad thoha lebih dari sepuluh tahun yang lalu, karena ia membela hak orang islam untuk berpindah agama. Hak berpindah agama ini, dalam peristilahan islam di namakan murtad(apostasi), memang di ancam hukuman mati oleh hukum agama islam(fikih) dan juga syari’ah sebagai sistem hukum islam.
Mau tidak mau, masalah-masalah semacam ini selalu mumcul dalam proses pengembangan hubungan antar umat beragama yang sehat di masa depan. Deklarasi universal hak-hak asasi manusia yang telah di rativikasi oleh pemerintahan kita, secara eksplisit mengakui universalitas hak berpindah agama. Sedangkan hukum islam menolak hal itu secara kategoris. Para pezina(adulterers) dalampandangan barat tidak di anggap melakukan tindak kriminal, sementara hal itu di anggap demikian oleh kalangan “islam ekslusif” itu. Seribu masalah lain masih akan muncul, yang keselurahannya merupakan dimensi internal dan eksternal dari proses dialog antara agama, dengan kedua dimensi itu yang lebih memenangkan percaturan akan sangat menentukan corak hubungan antar agama kita di kemudian hari…

BAB II
SEBUAH MODEL DIALOG KRISTEN ISLAM
Hans Kung

University of tubingen, tubingen, jerman barat
Sajian khusus nomor perdana jurnal ini menurunkan dua artikel, artikel pertama  ditulis oleh Hans Kung berjudul “christianity and world religions: The dialogue with islam as one model.” Artikel kedua ditulis oleh seyyed hossein nars berjudul “response to hans kung’s paper on christian-muslim dialogue. Mulanya kedua tulisan tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard Divinity School’s Jerome Hall Dialogue Series, yang diadakan pada tanggal 16 oktober 1984, yang kemudiat dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII,No, 2 (April 1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq, (Red.)
Setelah penelitian sulit bertahun-tahun, panel world christisn encyclopaedia (oxford,1982) menghitung bahwa pemeluk Buddha di  dunia berjumlah 274 juta, yang hanya sedikit bermukim di India. Pemeluk Hindu berjumlah lebih dari dua kali lipat, yaitu 583 juta. Tujuh ratus dua puluh tiga juta Muslim merupakan kelompok terbesar kedua setelah kristen yang berjumlah 1400 juta. Ini merupakan betapa besar dan pentingnya agama Islam, yang berbeda dari agama-agama mistis asal India, harus dilihat sebagai agama profetik bersama Yahudi dan Kristen.
Islam kini berkembang menjadi lebih dekat kepada kita ketimbang sebelumnya, dalam pengertian yang lebih luas ketimbang pengertian murni geografi dan mobolitas. Terdapat penambahan jumlah orang-orang muslim yang berada disekitar kita secara besar-besaran, yang kita bawa ke negara-negara kita karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Kita menginginkan tenaga kerja dan akhirnya kita pun dipertemukan dengan orang-orang yang seperti kita, yakni orang-orang yang secara tajam mendefinisikan keimanan mereka seperti kita dan kehadiran mereka menjadi tantangan bagi suatu lingkungan kristen yang tertutup.
Saya tidak akan membicarakan sejarah abad-abad silam yang telah dihiasi konflik dan pengetahuan mengenai Kristen dan Islam, juga tak akan membahas secara mendalam sebuah tema tunggal seperti Islam dan sikap kembali, atau sekularitas dalam Islam. Begitu pun saya tidak mau mengangkat kebiasaan teeror orang-orang Muslim fanatik di Iran, yang telah meremukkan rasa simpati terhadap Islam yang barangkali masih dimiliki oleh banyak orang diantara kita. Dalam situasi sekarang, persisnya yang saya rasakan penting sebagai seorang teolog untuk memilih masalah-masalah teologis yang sukar dan mengajukan sebuah pertanyaan, yakni pertanyaan lewat contoh ketimbang menyeluruh: Bagaimana umat Kristen hari ini menanggapi klaim-klaim keimanan Muslim? Dengan kata lain, saya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menolong kita untuk secara penuh menguji pendirian ekumenis (bersifat mewakili umat Kristen sedunia) kita yang berubah terhadap agama-agama lain yang secara umum, dengan pandangan lebih luas dan terbuka; pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membantu kita membaca kembali sejarah pemikiran teologi dan keimanan seperti yang diungkapkan dalam Islam.
Tak perduli dari pandangan teologis apapun kita memandang klaim-klaim Islam, satu hal yang tampak pasti di mata saya: terlepas dari khomeini, tak akan ada lagi upaya untuk kembali ke kebiadaban Islam abad-abad silam, atau kebal dari citra buruk. Oleh karenanya sebagaimana dalam agama-agama yang lain, Islam kini tidak dapat lagi disepelekan oleh teologi Kristen, melainkan sudah harus dipertimbangkan baik secara politis maupun teologis sebagai sebuah realitas satu dunia, dimana kita hidup serta mewujudkan upaya-upaya teologis kita.
Orang-orang Kristen masih menganggap Islam, untuk sebagian besar sebagai etintas yang kaku, sebagai sistem agama yang tertutup ketimbang agama hidup yang secara ajek berubah selama berabad-abad yang mengembangkan keanekaragaman inti yang besar dan dianut oleh sekelompok orang dengan spektrum yang luas dari sikap-sikap dan perasaan-perasaan. Akhir-akhir ini tentunya telah harus ada upaya berangsur-angsur untuk memahami dari dalam mengapa orang Islam melihat Tuhan dan Dunia, pengabdian kepada Tuhan dan kepada masyarakat, politik, hukum, dan seni dengan pandangan berbeda. Mengapa ia mengalami hal-hal itu semua dengan perasaan-perasaan yang yang berbeda dengan perasaan-perasaan orang-orang Kristen. Dengan mencamkan persia dewasa ini di benak, kita pertama-tama harus menangkap fakta bahwa malah sekarang agama Islam bukan sekadar”cabang lain” dalam kehidupan seorang muslim, “cabang” yang telah mensekulerkan masyarakat sebagaimana yang terjadi di dalam “faktor keagaman” atau “sektor keagaman” bersama-sama dengan “faktor-faktor kultural” atau “sektor-sektor kultural” yang lain. Kehidupan dan agama, agama dan budaya adalah saling terjalin secara dinamis. Islam berusaha menampilkan diri sebagai pandangan hidup yang serba mencakup, perspektif menyeluruh yang tentang kehidupan, dan cara yang menentukan seluruh kehidupan dan jalan menuju kehidupan kekal ditengah-tengah moralitas sebuah jalan keselamatan. Keselamatan? Apa yang didapat dikatakan seorang teolog Kristen untuk Klaim ini?

Islam –sebuah jalan keselamatan ?
Saya mengajukan pertanyaan ini dengan mempertimbangkan setidaknya sikap mendua dari world council of churches (dewan gereja-gereja sedunia). yang desebabkan konflik pandangan diantara anggota-angota gereja sendiri, memilih bahkan hingga akhir 1977-1979, di guidelines for dialogue with people of differen religion and ideologies (petunjuk-petunjuk untuk dialog dengan umat yang berbeda agama dan ideologi) untuk tidak menjawab pertanyaan apakah ada keselamatan diluar gereja-gereja kristen, sebuah pertanyaan yang tidak diragukan lagi sangat penting akhir-akhir ini.
Posisi Katolik  tradisional, seperti dipersiapkan di abad-abad awal gereja kristen oleh Origen, Cyprianus dan Augustinus, terkenal secara umum: Extra ecclesiam nulla salus!(tidak ada keselamatan di luar gerreja) maka untuk masa depan juga Extra ecclesiam nullus propheta! (tak ada nabi diluar gereja). Consiliflorensa pada 1442 mendefinisikan hal ini dengan sangat jelas. Gereja suci roma…. Tegas-tegas meyakini, beraksi dan menyatakan bahwa tak seorangpun di luar gereja katolik, baik orang kafir, atau yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari gereja, akan ikut bersama-sama dalam kehidupan yang kekal, tetapi akan binasa di dalam api kekal yang di sediakan untuk setan dan antek-anteknya, jika orang tersebut tidak bergabung dengannya (gereja katolik) sebelum mati.[1]
Bukan hal tersebut, sekurang-kurangnya bagi orang-orang katolik, tidak mengukuhkan klaim islam? Dan tampaknya halini telah berjalan selama lebih dari 1200 tahun.
Adalah benar bahwa suatu teologi katolik dekade-dekade belakangan ini telah mencoba untuk memperoleh pemahaman baru terhadap dokma tambahan yang tidak kompromistis tadi. Untuk sebagian besar hal itu berarti memgubah interpretasi yang selama ini dipegang teguh, malahpun menghasilkan suatu yang bertolak belakang. Walau begitu dokma tersebut, karena kekebalannya dari kesalahan, tetap tak mungkin dikoreksi. Akan tetapi pada abad ke-17, Roma telah didesak oleh kaum jamsenis extrim guna membuang pernyataan  Extra ecclesiam nulla gratia (tak ada rahmat di luar gereja).[2] Jika akhirnya ada rahmat chris, karisma yang bisa didapat di luar gereja tidaklah bisa disana juga ada kenabian, secara jelas salah satu charismata atau (anugerah spiritual) diluar gereja.
sekarang ini, betapapun juga, posisi katolik tradisional tidak l;agi menjadi posisi katolik resmi. Sejak awal tahun 1952 jemaat roma secara bertolak belakang mengucilkan pendeta mahasiswa Harvard, P.L. Feeney, yang menurut para bapak gereja dan konsili florensa, mempertahankan bahwa semua orangb di luar gereja adalah terkutuk. Sementara konsili vatikan kedua menyatakan secara gamblang dalam undangan-undangan yang berkaitan dengan gereja bahwa:
 mereka yang bukan karena kesalahan mereka sendiri, tidak mengetahui injil kristus atau gerejanya, namun mereka mencari tuhan dengan hati yang jujur dan digerak oleh rahmat, berusaha dalam tindakan-tindakan mereka melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana mereka mengetahui hal itu melalui bisikan kesadaran mereka sendiri-maka merekapun akan memperoleh keselamatan yang kekal.(Art 16).
Maksud sebenarnya dari pernyataan diatas ditunjuukkan kepada mereka yang, lantaran latar belakang mereka sendiri, memiliki kesamaan keyakinan dengan orang-orang yahudi dan orang-orang kristen dalam keesaan tuhan dan dalam melaksanakan kehendak-Nya: orang-orang muslim. “ tetapi rencana keselamatan juga brelaku bagi mereka yang mengakui pencipta, yang utama dalam hal ini disini adalah orang-orang muslim: orang-orang yang bersiteguh mengikuti keimana Ibrahim, dan bersama-sama kita mereka menghormati Tuhan Yang Esa, Yuhan yang pengasih, hakim manusia dihari akhir” (Art 16). Oleh sebab itu menurut vatikan kedua, bahkan orang-orang muslim tidak perlu “binasa dalam api kekal yang dipersiapkan untuk setan dan antek-anteknya;” merekapun bisa “memperoleh keselamatan yang  kekal.” Tapi barangkali jalan yang secara historis pengecualian atau jalan “luar biasa.”
Theologi katolik kontemporer ternyata membedakan antara jalan keselamatan yang “biasa” (yaitu jalan kristen) dan yang “luar biasa” ( yakni jalan non kristen). Bukankah ini berarti, sebagai sesuatu yang mungkin, bahwa sangatlah mungkin membedakan antara nabi-nabi yang “biasa” ( nabi-nabi kristen) dari nabi-nabi yang “luar biasa.” Selama berabad-abad Muhammad dianggap sebagai nabu gadungan, nabi palsu, dukun, tukang sihir, pemalsu, dan yang agak mendingan, penyair Arab. Tidakkah seharusnya kita berpikir sebaliknya, bahwa ia adalah seorang nabi asli, bahkan seorang nabi yang sebenarnya? Tetapi kemudia apakan Muhammad benar-benar seorang nabi asli, sungguh-sungguh seorang nabi yang sebenarnya?
Saya dapat menerangkan sejarah yang umum dikenal tentang Muhammad, yang sangat berbeda dengan sejarah Yesus: Muhammad ini putra seorang saudagar yang diminta seorang janda kaya untuk menikahi janda tersebut, dan muhammad bertemu janda itu saat bekerja; Nabi Arab ini menyampaikan pesan Tuhan Yang Esa serta keadilan-Nya, yang berbeda dengan kenyataan politeistik saat itu di Makkah, kemudian ia hijrah kemadinah, sekitar 350 kilometer, tetapi ia berhali disegala hal yang ia lakukan; dialah yang menaklukkan Makkah dan mempersatukan jazirah Arab dibawah kekuasaannya-sehingga ia adalah nabi sekaligus politisi, panglima perang sekaligus negarawan. Dari sudut pandang teologi kristen, hanya sat pertanyaan yang relevan: apakah ia benar-benar seorang Nabi?

Muhammad - seorang Nabi?
Tentu saja banyak agama tak mempunyai nabi-nabi dalam pengertian yang paling ketat. Orang-orang Hindu memiliki guru-guru dan sadhu-sadhu, orang Cina memiliki orang-orang bijak (Inggris:sages), orang-orang Budha mempunyai guru-guru (ingris:masters), tetapi tak satupun dari penganut agama-agama tersebut, seperti orang-orang Yahudi, orang-orang kristen, dan orang-orang muslim mempunyai nabi-nabi. Tak dapat diragukan bahwa bila seseorang didalam seluruh sejarah keagamaan disebut sang nabi, karena ia memang mengatakan dirinya sebagai nabi, begitu juga yang terjadi pada Muhammad. Dan apakah Muhammad memang begitu? Malah orang kristen yang beriman, jika ia berkesempatan menyelidiki  keadaan tersebut, tidak dapat untuk tidak menyetujui bahwa:
·         Seperti nabi-nabi israel, Muhammad tidak bekerja melalui kekuatan sebuah jabatan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (atau para penguasanya), melainkan melalui hubungan pribadi yang khusus dengan Tuhan.
·         Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seseorang yang mempunyai keinginan kuat, yang merasakan dirinya dipenuhi oleh seruan ketuhanan yang sepenuhnya ditunjukkan, secara eksklusif ditentukan untuk sebuah tugas.
·         Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara tentang jantung krisis agama dan sosial, dan denga kesalehan yang penuh gairah serta seruan revolusioner ia menentang kelompok penguasa kaya dan tradisi yang dipegang teguh.
·         Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad yang senantiasa menyebut diri sebagai pengingat, berusaha manunjukkan diri sebagai sebagai bukan apa-apa selain juru bisara Tuhan dan tidak mengatakan apa-apa selain kata-kata Tuhan.
·         Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tak letih-letih menyatakan Tuhan Yang Esa yang tidak mentoleransi tuhan-tuhan selain diri-Nya, pencipta yang baik, Hakim dan Penyayang.
·         Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad juga menghajatkan sebagai responsi pada Tuhan yang Satu ini, kepatuhan, penyerahan diri, ketaatan tanpa syarat, yang merupakan arti literal dari kata Islam: segala sesuatu yang meliiputi syukur kepada Tuhan dan kemurahan hati kepada orang-orang lain.
·         Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menggabungkan monoteisme dengan humanisme, percaya kepada satu Tuhan dan pengendalian-Nya dengan seruan kepada keadilan sosial: maka pengadilan dipadukan dengan keselamatan, dan ancaman bagi yang tidak adil, yang akan masuk neraka, dengan janji-janji bagi orang-orang yang adil, yang diletakkan disurga-Nya.
Siapapun yang membaca Bibel-sekurangnya perjanjian lama-dan al-Qur’an secara bersamaan akan digiring untuk merenungkan tentang apakah ketiga agama wahyu dari asal semitik- Yahudi, Kristen, dan Islam dan khususnya Perjanjian Lama dan al-Qur’an-memiliki dasae yang sama. Bukankah Tuhan yang stu dan tuhan yang itu-itu juga yang berbicara secara gamblang didalam kedua kitab tersebut? Tidakkah selaras antara “maka tuhanpun berkata” dalam Perjanjian lama dengan “Berfirman” dalam al-Qur’an dan antara pernyataan Perjanjian Lama “pergi dan nyatakan” dengan pernyataan dalam al-Qur’an “bangunlah dan peringatkan” bahkan kenyataan membuktikan jutaan orang kristen yang berbicara bahasa Arab tidak memiliki kata lain untuk Tuhan selain “Allah”
Karena itu apakah mungkin prasangka yang murni dogmatikmengakui Amos dan Hosea, Isaiah dan Jeremiah sebagai nabi-nabi, tetapi tidak mengakui Muhammad? Apapun yang dituduhkan seseorang terhadap Muhammaddari sudut pandang moralitas Kristen Barat (kekerasan dengan senjata, poligami, gaya hidup penuh nafsu), tidak dapat diperselisihkan:
·         Bahwa sekarang bahkan terdapat 800juta orang didaerah yang membentang antara moroko dibarat dan banglades ditimur, dari hamparan padang rumput Asia tengah diutara hingga dunia kepulauan Indonesia diselatan, yang derekatkan oleh kekuatan luar biasa dari sebuah keimanan yang tidak seperti keimanan lain, membentuk orang-orang yang mengakuinya kedalam sebuah tipe yang universal;
·         Bahwa mereka itu diikat oleh sebuah pengakuan keimanan yang sederhana (tak ada Tuhan delain Tuhan, dan Muhammad adalah utusan-Nya), diikat oleh lima kewjiban dasar (pengakuan keimanan, shalat, zakat untuk orang miskin, puasa satu bulan, dan haji); dan diikat oeleh penyerahan total pada kehendak Tuhan, yang keputusan-Nya tidak berubah, bahkan bila menderitakanpun harus diterima;
·         Bahwa pada mereka itu terdapat rasa persaamaan fundamental manusia dihadapan Tuhan dan rasa persaudaraan internasional yang secara dasariah mampu mengatasi persoalan ras (orang-orang Arab dan orang-orang non Arab) dan perbedaan Kasta-kasta di India.
·         Bahwa masyarakat Arab di abad ke-7 mendengar dan mengikuti seruan Muhammad;
·         Bahwa dalam perbandingandengan politeisme yang sangat duniawi dari agama-agama kesukan Arab lama, agama masyarakat dinaikkan ketingkat yang sepenuhnya baru, tingkat suatu agama tinggi yang monoteistik;
·         Bahwa orang-orang Muslim menerima dari Muhammad-atau secara lebih baik Dari al-qur’an-inspirasi, keberanian dan kekuatan yang tiada habis-habisnya untuk permulaan agama baru: sebuah permulaan menuju kebenaran lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah terobosan kebangkitan Kembali serta pembaharuan agama tradisional. Islam adalah pengilham besar bagi kehidupan.
Sesungguhnya Muhammad dulu dan kini adalah untuk masyarakat dunia semua dan bahkan lebih jauh adalah sang pembaharu agama, pembentuk hukum dan pemimpin: sang Nabi, per se. secara dasariah Muhammad yang tidak pernah menginginkan menjadi apapun selain manusia biasa, bagi orang-orang yang mengikutinya (imitatio Muhammetis)lebih dari sekedar seorang Nabi semata, contoh dalam gaya hidup yang diajarkan Islam. Dan jika gereja Katolik, menurut deklarasi yang berhubungan dengan agama-agama non-Kristen versi Vatikan Kedua (1964) (saya harap anda mengizinkan saya untuk tidak hanya menggunakan kutipan-kutipan ritual), memandang “orang-orang Muslim dengan penuh hormat, menyembah hanya pada satu Tuhan yang telah berbicara kepada manusia”, maka gereja-gereja tersebut, hemat saya, harus juga menghormati-terlepas darirasa malu, seseorang yang namanya tidak tercantum  dalam deklarasi tadi, yang justru orang itulah yang membawa orang orang Muslim menyembah Tuhan yang Satu ini, maka sekali lagi, justru lewat dia, Muhammad sang Nabi Tuhan ini “telah berbicara kepada manusia” tetapi bukankah pengakuan seperti itu mempunyai konsekuansi-konsekuensi suram dan menggelisahkan , khususnya kerena pesan yang diproklamirkan oleh Muhammad dan terterea dalam al-Qur’an?

Al-Qur’an - firman Tuhan?
Al-Qur’an lebih dari sekedartradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah firman yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui keberadaannya yang direkam lewat tulisan, Al-Qur’an memelihara suatu kekohohan yang luar biasa, kendati ada perubahan dan keanegaragaman sejarah islam dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya tertulis. Meskipun ada penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda, meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam, syari’ah, Al-Qur’an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator), sesuatu seperti “benang hijau” Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam historis maupun Islam normatif, tidak dapat , mengelak untuk kembali pada asalnya, yaitu Al-Qur’an abad ke-7.
Meskipun Al-Qur’an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu) perkembangan Islam, Ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam. Ia memasuki seluruh syari’ah, mencetak sistem legal (hukum) dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi, tapi Al-Qur’an tetap utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam islam di antara variabel-variabel lain yang terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, disamping ajaran-ajaran abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggungjawab manusia terhadap Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu Al-Qur’an adalah kitab suci Islam yang sebagaimana dipahami dari bentuk tulisannya, bukan firman manusia, melainkan firman Tuhan ditulis dalam sebuah kitab. Pertanyaan kita, betapapun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?
Selama berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan perpecahan-perpecahan polotik yang tajam di antara bangsa-bangsa di dunia, dari abad-abad pertama penaklukan Islam hingga perang salib dan perebutan Konstatinopel, hingga pengepungan vienna dan revolusi persia di bawah komando khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika barat sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa Al-Qur’an adalah firman Tuhan dan mengorientasikan hidupserta mati mereka sesuai dengan al-Qur’an, Orang-orang Kristen seluruh dunia mengatakan “Tidak”. Malah bukan saja orang-orang Kristen, melainkan juga kemudian juga para sarjana barat yang sekular, yang menganggap pasti bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada tahun 1962, seorang sarjana barat berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith, manjadi orang yang pertama yang mengajukan pernyataan tersebut diatas secara tajam, yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk pernyatan itu sendiri.[3] Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua kemungkinan yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang cerdas, kritis, dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra keyakinan dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman (kata orang-orang muslim kepada orang-orang kristen yang menolak al-Qur’an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang kristen kepada orang-orang muslim yang membenarkan al-Qur’an sebagai firman Tuhan)
Lalu, tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada, willard oxtoby, dalam meyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa” you get out what you put in” (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)? Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap al-Qur’an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur’an, dan juga sebaliknya.
Tetapi dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa panjang hal tersebut tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi penambahan jumlah dari orang-orang kristen dan bahkan mungkin orang-orang muslim yang kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai keimanan serta posisi orangg lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan dengan kedua posisi diatas:
a.   Penyangsian kritis diri terhadap pemahaman kristen tentang wahyu; bersamaan dengan semua pernyataan negatif mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non kristen berikut seliruh seruan untuk bertaubat, tidakkah juga kita dapatkan banyak pernyataan positif yang yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh manusia? Sungguh menurut perjanjian lama dan baru, orang-orang non kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri  pada wahyu Tuhan dan penciptaan, dan semua ini pun melibatkan rahmat tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu juga, dalam kaitan dengan agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus, karisma khusus? Dan dengan memperhatikan semua yang telah yang telah kita katakan, tidakkah hal itu semua bisa memperhatikan semua bisa terjadi terhadap Muhammad, sang Nabi? Extra ecclesiam gratia­-ada juga rahmat di luar gereja. Kalaukah memang begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang Nabi, maka agar konsisten kita pun harus mengakui bahwa bagi orang-orang muslim segala sesuatu tergantung pada pesan muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan Firmannya sendiri, tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan firman Tuhan dan dengan Wahyu?
b.  Penyangsian kritis terhadap penafsiran Isalm tentang al-Qur’an: apakah wahyu yang sudah diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim yang meyakini hal ini, melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam hubungan dengan Bibel. Disini kita telah sampai pada persoalan yang penting sekali.
Bagaimanapun sesorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal Al-Qur’an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur’an sebagi firman Tuhan dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan Nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim semisal karya seorang pakistan, Fazlur Rohman). Jadi al-Qur’an menyodorkan problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada pernyataan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apalagi kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel(untuk kepentingan keimanan Biblikal kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis terhadap al-Qur’an, dan hal itu untuk keimanan muslim yang cocok bagi masa modern? ketimbang menafsirkan al-Qur’an sebagai sebuah kumpulan pribahasa yang tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada)  dengan sangat merendahkan diri harus direproduksi dan secara harfiyah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur’an sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan penyempurna,dan terhadap pengadilan serta janji-Nya.
Bagaimanapun juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan hermeneuutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis, akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian antara Isalam dan Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang yahudi juga termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi konsili Vatikan kedua tentang agama-agama non Kristen.

Apa Unsur-unsur sama yang utama?
Hal-hal yang sama di antara orang-orang Muslim, Orang-orang yahudi dapat diringkas dalam empat aspek:
a.     Hal sama yang dasar di antara orang-orang Muslim, orang-orang yahudi dan orang-orang Kristen terletak pada keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang ditegakkan sejak “Adam”. Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di muka Tuhan didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apapun yang mungkin dikatakan menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya tuhan, tetapi untuk memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti dalam menghadapi politeisme kafir, yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini menghadapkan banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama panteon jauh sebelum Isalm.
b.    orang-orang kristen orang-orang yahudi dan orang-orang Muslim  menyimpan kesamaan pandangan dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan, sebagaimana diyakini orang-orang yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam, dasar dari segala segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai pencipta dunia dan manusia dalam sejarah, tuhan yang Esa dari Ibrahim yang berbicara  melalui para nabi dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden, tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih daripada “urat nadi”, begitu kata perumpamaan plastik al-Qur’an, yang kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisime Islam.
c.     Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Muslim adalah satu pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang-meskipun Ia gaib, mengatur dan menguasai segala sesuatu-adalah partner yang dapat didekati. Dia dapat disapa saat sholat dan meditasi, dipuji dalam senangdan rasa syukur, tempat mengadu dalam keadaan perludan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang “berkesimpuh di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum”, “berdoa dan berkurban”, “bermusik dan berjoget”, mengutip kata-kat berorientasi masa depan Martin Heidegger.
d.    Akhirnya, orang-orang yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan ramah, tuhan yang menjaga manusia. Dalam al-Qur’an sebagaiman dalam Bibel, manusia dipandang sebagai “hamba Tuhan”, yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang elementer dalam meresponi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rohman, “yang maha pengasih”, secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (hebrew,Yahudi) rahamim. Yang, bersama denagn hen dan hesed. Menjelaskan bidang simantik bagi kata charis dalam perjanjian baru, dan kata Inggris grace (glade dalam bahasa Jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur’an, Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga, namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur’an, Tuhan adalah Tuhan yang pengasih dan pemurah.
Bersama-sama di dunia ini, Yahudi, Kristen, dan Islam denagn demikian mencerminkan kepada satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan monoteistik yang besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap sepele; harus dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan peran dalam perjanjian  Camp David, tentunya iapun penting untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur tengah. Maka jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoaaalan-persoalan yesus dari nazareth, Kristus orang-orang Kristen.

Apakah penggambaran al-Qur’an tentang Yesus tepat?
Sangat masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal Al-Qur’an membicarakan Yesus dari Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika sesorang memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara Kristen dan Islam. Bagaiman kita bisa menilai bagiabagian ini secara teologis? Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap “teks-teks al-Qur’an yang relevan dengan Kristen”, yang diterjemah-ulang dan dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus,  menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan dengan yesus da dalam al-Qur’an terintegrasi (terpadu)  dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur’an. Dari tradisi apa pun kesaksian tentang yesus ini berasal- dan kita akan menjelaskan lebih dekat lagi-seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalamn profetik hebat muhammad dengan Tuhan yang maha Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus: seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan Virgin Birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan mu’jizat-mu’jizat diakui al-Qur’an tanpa iri hati, dengan satu pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi Tuhan, dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang maha Esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu yang paling dibenci.
Posisi Yesus dalam al-Qur’an tidak ambisius (tidak meragukan). Diolog oleh karenanya tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini yang lebih menafsirkan Al-Qur’an ketimbang apa yang dikandungnya, yang mengklaim bahwa dalam  al-Qur’an Yesus adalah fieman Tuhan. Tetapi bukan firman Tuhan dalam pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenai Virgin Birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dalam al-Qur’an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur’an Yesus adalah seorang nabi, seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Musa- tetapi tentu saja tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis nseperti diterangkan dalam perjanjian baru, Yohanes (Yahya) sang pembaptis adalah pendahulu (pratanda) Yesus, begitupuun dalam al-Qur’an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad. Menurut al-Qur’an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin Birth tersebut), tak seperti Muhammad.Yesus adalah, oleh karena itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena alasan ini, orang-orang kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat “orang-orang Kristen anonim”dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaiman beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim tentang diri mereka sendiri, sekali-kali berusaha melakukan itu. pada gilirannya hal ini akan dengan segara memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus menciptakan “seorang Muslim anonim” dari Kristus. Apalagi kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad berdasarkan sumber-sumber Isalm, khususnya al-Qur’an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam untuk memulai kembali penilaian Yesus dari Nazareth berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarka pada Injil-injil itu sendiri- sebagaimana yang telah dilakukan banyak orang dalam yahudi. Potret yesus dalam al-Qur’an terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang mu’jizat-mu’jizat. Pokoknya ini berbeda sekali dengan potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum, seperti direkam al-Qur’an, tetapi cenderung menentang seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun dalam al-Qur’an gagal mengakui hal ini. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus dan muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal ini. Walau begitu, hambatan teologis pertama terhadap sebuah pemahaman tidaklah untuk ditemukan disini.

Apakah perbedaan teologis utama?
 Perbedaan utama yesus sediri adalah mengatasi legalisme dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan mengingat kedatangan kerajaan (Tuhan). Bagi gereja kristen, perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar kepada pribadi yesus dan hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara kristen dan islam kemudian tetap sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang keberatan kristen terhadap islam terletak pada bantahan islam terhadap dua doktrin utama kristen yang saling berkelindan: trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, alQur’an berbicara kepada orang-orang kristen sebagai berikut:
Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas-batas agamamu.  janganlah katakan apa-apa tentang Allah kecuali yang benar, Al Masih, Yesus putera Maria, tidak lebih dari Rasul Allah dan firman-Nya yang Dia sampaikan kepada Maria: roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah katakan: (tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu) Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, (QS: an-nisa’ /4:171)
Apakah kenyataannya kita disini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki faktor-faktor yang sama dalam memahami tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran didalam pernyataan apologis-apologis kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog muslim selalu keliru menafsirkan doktrin kristen tentang trinitas (tiga dalam satu) sebagai triteisme (tiga Tuhan). (al-Qur’an memang memuat tradisi yang keliru, boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisana yang diragukan pengarangnya) tertentu, bahwa trinitas terdiri dari Tuhan bapak Maria Ibu Tuhan dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang muslim semata-mata tidak dapat memahami apa yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa kalau ada satu ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan melapaskan keimanan pada satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh Musa Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa adapula perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam tuhan?
Jelas bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin kristen tentang trinitas tidak memuaskan orang muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syiria, Yunani, dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaiman mungkin satu dan satu-satu-Nya Tuhan, tanya orang muslim, menjadi suatu percampuran hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi, dan relasi-relasi? Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang tidak digabung dengan cara begini atau begitu?
Menurut al-Qur’an, “orang-orang tidak beriman adalah mereka yang, mengatakan, Allah adalah satu dari tiga ( atau berfaset-tiga dalam trinitas )” pandangan ini,  mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak dengan pernyataan, “ tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa” (QS:al-Maidah / 5:73)

Bagaimana kita menilai perbedaan-perbedaan utama?
Yang berlaku bagi doktrin trinitas berlaku pula bagi kristolog. Jika orang-orang kristen dan orang-orang Muslim saat ini ingin mencapai pemahaman lebih baik, mereka harus kembali kepada asal-usul dengan mengambil sebuah sudut pandang kritis terhadap seluruh perkembangan kemudian. Pada titik asal-usul, kita yakin orang-orang yahudi, orang-orang kristen dan orang-orang muslim satu sama lain lebih dekat.
Penelitian ilmiah terhadap perjanjian baru mengakui betapa besar kesenjangan antara pernyataan-pernyataan orisinal yang menyangkut bapak, anak dan roh dan doktrin gerejawi tentang trinitas yang didokmatisasi kemudian, juga betapa konsepsi-konsepsi kristologis perjanjian baru berbeda satu sama lain.
Sementara misalnya kemudian injil Yohanes yang terpengeruhi secara hellenistik mengutip Yesus ketika berbicara kemuliaan bahwa ia telah bersama Tuhan sebelum dunia mulai (17:5), yang oleh para penafsir konservatif tidak dianggap sebagai kata-kata historis Yesus, injil (-injil) pertama tidak mengetahui apa-apa tentang seluruh virgin birth. Dan sementara dengan cerita bersemangat injil Yohanes menggambarkan yesus hampir secara berlebihan sebagai ”seperti Tuhan”, ketika ia mengembara di bumi, injil-injil sinoktik masih menampilkan yesus sebagai anak manusia sepenuhnya yang melaluinya Tuhan bertindak. Para penafsir menunjukkan khususnya kepada monolog-monolog kisah para Rasul yang di dalamnya lukas menggunakan bahan dari suatu tradisi lama yang menempatkan Yesus secara total lebih rendah dari Tuhan. Jelas Yesus dibicarakan sebagai hamba Tuhan, Al-Masih, kristus Tuhan, pilihan Tuhan: Tuhan bertindak melaluinya, Tuhan bersamanya; dia dibunuh sesuai rencana Tuhan, tetapi Tuhan mengangkatnya dari antara orang mati dan membuatnya menjadi Tuhan dan Kristus, menunjukkannya sebagai anak Tuhan. Tidakkah seluruh pernyataan lukas ini, yang diwarnai perspektif ”pungutan”, masih punya tempat di dalam kerangka keimanan Yahudi dan Islam yang keras kepada satu Tuhan? Sampai sekarang, ini adalah keimanan orang-orang kristen, orang-orang kristen (yang) Yahudi.
Sungguh memalukan tiada terkira bahwa, menyusul penghancuran Yerussalem di bawah kaisar Hadrianus pada tahun 132 dan mengungsinya orang-orang kristen yahudi ke timur, gereja yang berkembang hampir secara sempurna tercabut dari tanah yahudi. Gereja yang awalnya dipadati orang-orang yahudi menjadi gereja orang-orang yahudi dan gentiles (orang-orang non yahudi), dan ia kemudian menjadi gereja gentiles (hellenistik). orang-orang kristen yahudi yang tidak turut serta dalam pengembangan gereja hellenistik denagn kristologinya yang semakin eksesif ditolak sebagi pembuat bit’ah, seperti kasus orang-orang ebioni, yang menerima kelahiran yesus dari perawan suci menurut sejarahwan gereja Eusebius tetapi menolak gagasan tentang pra-eksistensinya- sebagaiman ditolak oleh al-Qur’an.
Penelitian kami ini sekali lagi tidak dimaksudkan mencoba menelusuri jejak Islam kembali kepada Yahudi atau kristen. Sebagai gantinya, kami berusaha keras melihat Islam secara sungguh-sungguh sebagai bentuk tantangan yang diperbarui bagi orang-orang kristen, karena sejak masa Yohanes (Yahya) dari Damaskus, yang menyangkal Islam sebagai suatu “bit’ah kristen”, karena Islam mengingatkan orang-orang kristen pada masa lampau kristen yahudi mereka sendiri. Disini nampaknya kita mempunyai contoh penting interdependensi dan interaksi antara gerakan-gerakan agama yang berbeda dalam persoalan kemanusiaan, sebagaimana ditekankan khususnya oleh W.C. Smith. Dalam bukunya korankunde firr chriten, Paul schwarzenau adalah benar ketika mengatakan bahwa ”adalah unsur yahudi dalam pesan kristen yang secara pasti memperlihatkan Al-Qur’an beruntung. orang-orang kristen yahudi yang ingkar [terhadap unsur yahudi tadi-peni] sekali lagi tampil kemuka”.[4] Schwarzenau menggunakan analisis cerdas ahli tafsir besar protestan, Adolt Schlatter, yang menganalisis di awal 1926 hubungan-hubungan antara kristen gentile,  kristen yahudi, dan Islam dalam buku Die geschichte der ersten christenheit:
Gereja yahudi, bagaimanpun juga, mati hanya di Palestina bagian barat. Yordania. Komunitas-komunitas kristen dalam praktek yahudi pada sisi lain, berlanjut ada di daerah-daerah bagian-bagian timur, Decapolis, di Batania, di antara orang-orang Nabatia, di tepi gurun Syiria dan ke Arabia, mereka benar-benar terputus sama sekali dari sisa umat kristen dan tanpa persahabatan dengan sisa [umat kristen tersebut]. Bagi orang kristen, orang yahudi semata-mata musuh, dan akhirnya pandangan yunani pun yang melihat sebelah mata kepada pembunuhan oleh jendral-jendral Troya dan Hadrianus dan kepada takdir orang-orang yahudi jahat dan merendahkan-mencapai gereja. Bahkan orang-orang terkemuka kristen seperti origen dan Eusebius dengan sangat mencengangkan tidak perduli pada kehancuran yerussalem dan gereja disana. Demikian pula informasi yang mereka tinggalkan untuk kita mengenai gereja yahudi dalam keberadaannya yang kemudian hanya sedikit mereka, orang-orang kristen yahudi [sic] adalah pembawa bit’ah lantaran tidak tunduk pada hukum yang berlaku bagi umat kristen yang lain dan karena itu mereka pun terceraikan dari umat kristen yang lain itu. tak satu pun dari pemimpin gereja kekaisaran mengira bahwa umat kristen yang mereka anggap rendah itu suatu saat akan menyaksikan betapa kehadirannya akan mengguncangkan dunia dan membelah-belah wilayah gereja yang telah mereka bangun. Saat itu pun tiba, yaitu ketika Muhammad mengambil alih kekayaan yang dikembangkan oleh orang-orang kristern yahudi, kesadaran mereka terhadap Tuhan, eskatologi mereka dengan pernyataan tentang Hari pengadilan, adat dan legenda-legenda mereka, dan ketika muhammad memulai kerasulan baru sebagai orang yang dikirim Tuhan.[5]
Lalu, apakah Muhammad, kata Schlatter, adalah seorang “ Rasul judaeo-Kristen” berbaju Arab? Ini merupakan bagian pandangan mencengangkan yang oleh schlatter secara kebetulan diperkuat lebih mendalam diawal 1918 lewat sebuah  esei berjudul “Die Ent Wickiung Des Judis Chen Christentums Zum Islam”.[6] Bagaimanapun, bahkan empat puluh tahun sebelum Schlatter, Adolf Von Harnack telah memperhatikan efek terluas dari kristen yahudi terhadap Islam, atau secara lebih tepat Kristen Yahudi Gnostik, dan khususnya orang-orang Elkesi, terlepas dari keinginan mereka, yang mempertahankan monoteisme keras dan menolak ajaran gerejawi tentang hipostasis dan anak Tuhan. Ini terdokumentasi di dalam sejarah dognatika Harnack.
Mengingat keadaan penelitian sekarang ini, segala ketergantungan langsung Islam apa saja yang dibuktikan lewat bahan-bahan asal akan terus menjadi perdebatan, tetapi analogi-analoginya senantiasa mengagumkan. Muhammad menolak kritologi anak Tuhan (monofisitik) yang sangat ortodoks, tapi menerima Yesus sebagai Rasul yang besar, sebagai al-masih yang membawa Injil. Sarjana Yahudi Hans-Joachim schoeps dengan benar mengatakan dalam theologie und Geschichte des jundenchristentums (Tubingen, 1949) bahwa:
Walaupun tidak mungkin membuktikan hubungan yang pasti sekali, tentu saja ada hal yang tidak dapat diragukan tentang ketergantungan langsung Muhammad pada kristen Yahudi sektarian. Denga demikian fatwa bahwa Kristen Yahudi telah lenyap dari gereja tetapi terpelihara didalam Islam dan berlanjut bahkan hingga saat ini didalam beberapa gerakan hati Islam yang utama, merupakan sebuah paradok yang luar biasa besar dalam sejarah dunia.[7]
Cukup mengherankan, bagian-bagian pandangan historis ini hampir tidak diketahui dalam teologi Kristen sampai sekarang, apalagi diterima dengan sungguh-sungguh. Banyak yang perlu diteliti dalam hal ini, seperti sejarah sepupu Muhammad (sepupu Khadijah), waraqah, yang sebagai seorang kristen (yang hampir tidak kena pengaruh Yunani) menarik perhatian Muhammad mula-mula kepada hubungan antara pengalaman-pengalaman wahyu Muhammad dan pengalaman-pengalaman wahyu Musa. Dengan kemungkinan seperti itu, siapa yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa disini terdapat kemungkinan-kemungkian tak terbayangkan bagi dialog segi tiga yang sama penting “trialog” antara orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Muslim? Apapun keputusan menyangkut persoalan ketergantungan genetik, dalam interpretasi Muhammad tentang Yesus, tradisi-tradisi Kristen Yahudi yang dihapuskan, disingkirkan dan dilupakan di dalam gereja hellenistik muncul kembali dalam sejarah; dan Kristen Yahudi ini untuk sebagiannya telah mempertahankan perhatian Yahudi yang utama terhadap Kristen awal.
Harus dilupakan bahwa dalam perjuangannya untuk tetap bertahan menolak politeisme Arab kuno, yang meyakini Allah mempunyai anak-anak lelaki dan perempuan yang semuanya dapat dibayangkan, Muhammad tidak mempunyai pilihan selain menolak istilah “anak Tuhan”. Pada saat yang sama, betapapun juga, Muhammad mengambil cerita Yesus sebagaimana yang beredar saat itu di Arab dan memberinya arti dari pikirannya sendiri. Apa yang terjadi begitu sering di dalam bibel sekarang terjadi juga di dalam al-Qur;an :suatu tradisi tua tidak semata-mata diteruskan, tetapi ditafsirkan agar relevan dengan sudut pandang pengalaman kontemporer. Ini pula yang terjadi dengan perjanjian baru. Persis seperti orang-orang Kristen telah menggunakan banyak uangkapan (“kenabian-kenabian”) perjanjian lama untuk merujuk pada Yesus, walaupun ungkapan-ungkapan tersebut dimaksudkan untuk arti yang berbeda. Maka Muhammad pun menggunakan banyak hal yang telah ia dengar tentang Yesus untuk merujuk pada dirinya sendiri. Bagi Muhammad, kebesaran Yesus disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam dan melalui diri Yesus sebagai hamba Tuhan, Tuhan sendiri telah berkarya. Dengan demikian, “kristologi” Muhammad tidak terlalu jauh bergeser dari kristologi gereja Kristen Yahudi. Apa konsekuensi-konsekuensi dari semua penemuan-penemuan ini?

Apa yang harus kita katakan?
Kita dihadapkan pada suatu problema momen yang luar biasa, konsekuensi-konsekuensi yang belum nampak. Melihat bahwa penemuan-penemuan tafsir dan sejarah yang kami urai  diatas adalah akurat dan dapat dijelaskan lebih jauh lagi, maka penemuan-penemuan tersebut merupakan tantangan bagi kedua belah pihak untuk menghentikan berpikir perihal alternatif-alternatif, Yesus atau Muhammad. Sebaliknya kedua belah pihak harus berpikir mengenai …….. yesus dan Muhammad, terlepas dari semua keterbatasan dan perbadaan. Muhammad bertindak sebagai saksi Yesus, bukan bagi seorang Yesus, Sebagaimana yang dapat dipandang oleh orang-orang Kristen non- Yahudi Hellenistik, tapi bagi Seorang Yesus sebagaimana dipandang oleh murid-murid pertamanya, yang adalah orang-orang Yahudi seperti Yesus itu sendiri. Untuk menghindari kesalah pahaman sejak permulaan dalam mendekati masalah ini, yang sangat sulit bagi orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, kita harus memperhatikan hal berikut. Sebagai seorang Kristen non-Yahudi Eropa, saya dapat sepenuhnya memahami perkembangan Hellenistik dari kristologi dan dapat menerima kebenaran konsili-konsili kristologis besar dari Nicaea hingga…….: dipandang dari sudut Perjanjian Baru, maksud-maksud dan isi konsili-konsili tersebut tentu saja bisa diperkokoh. Saya tidak percaya bahwa seorang Kristen hari ini dapat atau harus secara naif memulai lagi semuanya dan menjadi seorang kristen Yahudi, katakanlah begitu,  tetapi dalam konteks Ecumenis (dalam hubungan dengan orang Muslim dan orang-orang Yahudi), saya dibayangi sebuah pertanyaan : bagaimana saya dapat membuat seorang Muslim (atau seorang Yahudi) memahami kenapa orang-orang Kristen mempercayai Yesus sebagai Kristus, firman dan wahyu Tuhan? Yang menjadi tabiat saya kini, saya mempunyai hak penuh menarik perhatian kepada pilihan Krristologis yang orisinal dan sepenuhnya sah yang, walaupun ditepikan dan disembunyikan, dimulai di dalam komunitas Gereja Kristen Yahudi paling tertua dan diteruskan selama berabad-abad oleh komunitas-komunitas gereja Kristen Yahudi yang terpencar-pencar dari timur Yordania hingga Arabia, dan dengan demikian pada akhirnya beralih kepada Muhammad. Saya juga masih bertanya-tanya apakah mungkin terdapat kategori yang sudah ada yang dengan lebih mudah yang memungkinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Muslim mengerti Yesus ini sebagai wahyu Tuhan dari pada sebagai ajaran Hellenistik tentang dua tabiat, yang Ilahi dan yang manusiawi dalam pribadi Ilahi yang satu. Lalu, bagaimana seorang Muslim, mungkin dengan melihat dari suatu persepektif ecumenis seperti itu, mencoba melihat Yesus ini, dan demikian juga bagaimana juga seorang Kristen mungkin melihat Muhammad.
a.     Dengan cara apa orang-orang muslim dapat memandang Yesus? Saya akan meringkas pikiran-pikiran saya disini secara sangat singkat:
Orang-orang Muslim melihat Yesus sebagai Nabi besar dan utusan Tuhan  Yang Esa, sosok yang secara khusus diangkat untuk menjadi “Hamba Tuhan” oleh Tuhan sendiri, sejak dari kelahirannya hingga pemuliaanya kehadirat Tuhan-orang yang, bersama dengan pesan yang ia sampaikan adalah penting selama-lamanya bagi Muhammad. Tentu saja bagi orang-orang Muslim, Muhammad dan al-qur’an yang diterimanya akan tetap menjadi, seperti sebelumnya, petunjuk yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, kehidupan dan kematian. Betapapun juga, jika didalam al-Qur’an Yesus diistilahkan sebagai “firman” Tuhan dan pembawa  “Injil”. Bukankan orang-orang Muslim harus mencoba memperoleh suatu pemahaman lebih luas tentang Injil ini dan menerimanya secara sungguh-sungguh? Hukum Islam, yang kerap dicirikan oleh penindasan dari perspektif  pesan dan tingkah laku Yesus, dapat dilihat dalam suatu pengetahuan yang lebih relatif (berkaitan), demi Tuhan dan kemanusiaan. Dan manusia, meski tidak terbebas dari hukum itu sendiri, akan terbebas dari legalisme – sama halnya dengan kasus orang-orang Kristen Yahudi.
Dengan cara ini, akan diperoleh suatu pemahaman baru dan lebih mendalam tentang Tuhan yang mencintai dan menderita bersama rakyat, yang mempertimbangkan kehidupan Yesus, kematiannya-yang tidak bisa ditolak-dan kehidupan barunya. Maka kematian Yesus atas nama Tuhan ini dapat memberikan makna penderitaan dan kegagalan, dan tidak mempunyai arti apa-apa bila dipahami dipermukaan saja.
b.    Dengan cara apa orang-orang Kristen dapat memandang Muhammad? Banyak orang Kristen dengan jelas memandangnya sebagai Nabi yang penting bagi banyak bangsa di bumi seseorang yang telah diberkahi dengan kesuksesan yang luar biasa seumur hidupnya.
Tentu saja bagi orang-orang Kristen, Yesus Kristus dan berita baik yang  ia sampaikan merupakan ukuran yang menetukan bagi keimanan dan tingkah laku, hidup dan mati, firman Tuhan yang definitif (ibrani 1:1ff). oleh sebab itu , Kristus adalah dan tetap merupakan faktor pengatur yang menentuka bagi orang-orang Kristen, demi Tuhan dan kemanusiaan. Bagaimanapun juga, tidakkah orang-orang Kristen, harus sesuai dengan ajaran perjanjian baru bahwa mereka masih mengakuai kehadiran Nabi-nabi bahkan setelah kristus, menerima Muhammad ini, yang mengambil tradisi Kristen Yahudi, dan nasehat-nasehatnya dengan lebih sungguh-sungguh? Hal ini tak lain agar :
·      Tuhan yang tak terbandingkan dan yang Esa ditempatkan sepenuhnya dipusat keimanan;
·      Persekutuan Tuhan-Tuhan lain adalah mustahil;
·      Iman dan hidup, ortodoksi dan ortopraksis bersama-sama bahkan menjadi bagian politik.
Oleh karenanya Muhammad akan berulang-ulang memberikan koreksi profetik kepada orang-orang Kristen atas nama Tuhan Yang Esa dan sama : “aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan” (QS:46:9)
Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: jika seorang muslim atau Yahudi dapat diharapkan mengakui konsili-konsili Hellenis dari Nicea hingga Khalcedan, apa yang kan dilakukan oleh Yesus dari Nazareth, orang Yahudi? Pertanyaan ini penting tidak hanya terbatas untuk seorang Kristen Arab saja, malainkan juga bagi seorang Kristen Afrika, India, Indonesia, China, atau Jepang.
Akhirnya – dan akan saya tutup disini – islam dan kristen terlibat dalam keputusan keimanan yang harus diciptakan secara rasional dan bertanggung jawab baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Sebagai seorang kristen saya bisa yakin bahwa, sejauh saya telah memilih Yesus ini sebagai Kristus untuk hidup dan mati saya, saya juga telah memilih pengikutnya, yaitu Muhammad, lantaran Muhammad juga berseru kepada Tuhan yang sama dan Satu, dan Kepada Yesus.
Didalam buku pedoman anjuran-anjuran bermanfaat yang dipesan oleh gereja protestan di Jerman yang berjudul christen and Muslime im Gespruch(diterbitkan oleh J.Micksch dan M. mildenberger, 1982), perhatian diminta dengan adil, paling tidak secara singkat, untuk hubungan yang mungkin antara Islam dan Kristen Yahudi:
Hal yang paling penting ialah bahwa orang-orang kristen dan orang-orang Muslim tinggal didunia yang yang sama dan harus membuktikan keimanan mereka. mereka tidak selalu bereaksi dengan cara yang sama terhadap seluruh tantangan dunia ini. Walaupun begitu, terlepas dari semua perbedaan, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim diwajibkan oleh keimanan mereka hidup dengan tanggung jawab di hadapan Tuhan dan melayani masyarakat manusia. Dengan penuh penghormatan satu sama lain, mereka tidak boleh gagal untuk saling memberikan bukti keimanan mereka satu sama lain (edisi Jerman hal. 12ff)

BAB III

Tuhan Yang Diciptakan Dan Tuhan Yang Sebenarnya

oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

M.H. Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan. Siddharta Gautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan. Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah "memiskinkan" Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.
Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan "begitu". Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas.
Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan "begini" dan "begitu".
Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap "pukulan keras" itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya?

A.   Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia
"Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).
Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan "kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada "kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.
Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia memberi segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya; jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.[8]
"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah" Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann 'abdi bi).[9] Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.[10] Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah "pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.[11]
Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi berkata:
Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.[12]
Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat.[13] Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud dengan "siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit] ("the Heavenly God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi". Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal", bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It").
Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap "Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.[14] Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering disebut "agama-agama samawi", "agama-agama langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti "turun dari langit", "naik ke langit", dan "berada di langit", lazim digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.[15]
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu, "para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."[16]

B.   Tuhan Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God" (al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God" (al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak Diketahui", "the Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam, transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q., s. al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah "yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui" (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" (al-ghayb al-muthlaq) atau "Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda: "Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi menegaskan sebagai berikut:
Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu "Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.[17]
Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.[18]
Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir'awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I will be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, "Wujud ('Being') yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang adalah Wujud" ("Being that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah disebut Ain, "Ketiadaan" ilahi (the divine "Nothingness").[19]
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia Yang adalah Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.[20]
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman:
"Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.[21]
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena Upanisad).
Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan ini, bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu, Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan:
Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang;
Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze, Bab 2)                                        
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri" ("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".[22] Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".

C.   Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan" ("saying what cannot really be said").[23] Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking of the unspeakable"),[24] "mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable God"),180[25] "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),[26] "mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the inexpressible"),[27] "memikirkan yang tidak dapat dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"), "memahami yang tidak dapat dipahami" ("comprehending the incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing the indescribable").
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik" ("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing that is not seeing").[28] Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" ("we can know much more about what God is not than about what He is").[29] Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh [paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of God is that which is known by unknowing'").[30]
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".[31] Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".[32] Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" ("the blind stirring of love") yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" ("The Cloud of Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".[33] Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau "ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak mengetahui".
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang "Confessor", Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan".[34] Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy, "kemusnahan eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi tentang Ketiadaan"[35] Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya."
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".[36]
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi" ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak).[37] Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?
D.  Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya" (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri." (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).
Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.


BAB IV
Pendahuluan: Retorika Dialog

“….dan berpisahlah tiga orang bijaksana itu satu sama lain penuh cinta dan dengan cara yang sangat menyenangkan: mereka saling meminta maaf satu sama lain andaikata telah mengucapkan kata-kata yang kurang berkenan mengenai agama sahabatnya itu; dan mereka saling memberi maaf satu sama lain. Ketika mereka mau berpisah, salah satu orang diantaranya berkata: suatu manfaat mesti kita dapatkan dari pertualangan yang telah terjadi pada kita dihutan itu. Tidakkah baik kalau kita, mengikuti contoh lima pohon dan sepuluh kondisi sebagaimana ditampakkan oleh bunga mereka, membicarakan setiap datangnya hari baru petunjuk-petunjuk yang diberikan  kepada kita  oleh sang sang kebijaksanaan? Pembicaraan kiita harus dilanjutkan sejauh perlu, sampai kita mencapai satu iman dan satu agama, sehingga kita mempunyai satu bentuk cara menghargai satu sama lain dan melayani satu sama lain. Itulah jalan tercepaat untuk sampai kepada kesepakatan timbal balik. Sebab peperangan, kerja paksa dan kecurigaan akan mengakibatkan luka dan malu, merintangi orang dalam usahanya mencapai persetujuan dalam satu kepercayaan.”
Bab-bab berikut ini tidak bermaksud menguraikan sesuatu teori perjumpaan agama, melainkan merupakan bagian dari perjumpaan itu sendiri. Atas dasar praktis inilah saya ingin mengusulkan sikap-sikap dan model-model berikut sebagai retorika yang cocok dalam pertemuan tradisi-tradisi agama.
 Sementara ini tak ada maksud saya menguraikan nilai dari sikap-sikap itu atau manfaat-manfaat dari model-model itu, sebab untuk itu perlu mempelajari fungsi dan sifat dasar metafora dan juga mengembangkan suatu teori yentang perjumpaan agama. Saya hanya melukiskan beberapa sikap dan model, walaupun saya mungkin mengkhianati simpati saya dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan kritis. Dialog membutuhkan suatu retorika yang memadai-dalam arti kata yang klasik.

1.      Tiga Macam Sikap
a.       Eklusivisme
Seorang anggota dari suatu agama yang menjalankan kepercayaannya pastilah menganggap agamanya sebagai benar. Tuntutan kebenaran yang diperlukan mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eklusivitas. Artinya, kalau suatu pernyataan  dinyatakan benar, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bias benar. Dan jika suatu tradisi manusia mempunyai suatu anggapan telah menyumbangkan suatu konteks universal untuk kebenaran, apa saja yang bertentangan  terhadap kebenaran universal tersebut harus dinyatakan salah.
Sebagai contoh, jika islam mewujudkan agama yang benar, kebenaran yang non-islam tidak dapat digolongkan dalam bidang agama. Tentu saja, suatu tradisi agama yang sudah berjalan lama akan mengembangkan kekhususan-kekhususan yang penting supaya tidak tampak terlalu bodoh. Dinyatakan, misalnya, bahwa ada tingkat-tingkat kebenaran dan sesuatu kebenaran agama. Jika sungguh benar, dengan sendirinya adalah kebenaran muslim. Walaupun orang yang menganutnya mungkin tidak menyadari hal itu. Lebih jauh hal itu akan membedakan tatanan objektif kebenaran dari tatanan subjektif, sehingga seseorang dapat memeluk iman yang baik sekalipun berada dalam kesalahan objektif, sesuatu kesalahan yang tidak dapat ditimpakan begitu saja pada orang itu dsb.
Sikap ini mengandung unsur kepahlawanan tertentu. Anda menyucikan hidup anda dan membaktikan seluruh eksistensi anda untuk sesuatu yang sungguh pantas disebut sebagai perkara manusia, untuk sesuatu yang menyatakan diri bukan sekedar kebenaran parsial dan tidak sempurna, melainkan suatu kebenaran universal bahkan absolut. Suatu Allah atau Nilai yang mutlak, tentu saja, harus menjadi jaminan terakhir untuk sikap yang semacam itu, sehingga anda bukannya mengikuti karena kecerdikan pribadi atau  karena anda telah mengangkat begitu saja sudut pandangan Anda ketaraf nilai absolut. Kepentingan Allah lah yang anda bela ketika menyatakan agama anda sebagai agama yang mutlak. Hal ini tidak berarti langsung mengutuk kepercayaan-kepercayaan semua orang lain yang tidak menerima rahmat panggilan sebagai anda miliki. Anda boleh menganggap panggilan itu sebagai beban dan kwajiban (untuk memikul tanggung jawab yang dialami orang lain bagi seluruh dunia) lebih dari pada sebagai suatu keistimewaan dan suatu karunia. Siapakah kita ini sehingga berani menaruh ketentuan-ketentuan pada Yang Maha Kuasa?.
Pada sisi yang lain, sikap ini menimbulkan kesukaran-kesukarannya. Pertama, sikap ini membawa besertanya bahaya yang nyata akan intolereansi, kesombongan, dan penghinaan bagi yang lain. “kami menjadi  anggota kelompak  kebenaran”.  Lebih lanjut sikap ini mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis dari kenaifan epistemologis. Kebenaran mempunyai banyak segi; bahkan jika anda menganggap bahwa Allah berbicara dengan suatu bahasa eksklusif, segala sesuatu tetap bergantung pada pemahaman anda akan hal itu sehingga anda tidak pernah sungguh mengetahui apakah interpretasi anda adalah  satu-satunya yang benar. Dengan menunjuk  pada instansi diluar manusiawi dalam diskusi antara dua kepercayaan agama tidak akan memecahkan suatu persoalan pun, sebabnya yang terjadi biasanya Allah pun “berbicara” kepada yang lain, dan kedua lawan bicara yang mengandalkan autoritas Allah akan selalu membutuhkan pengantaran manusia, sehingga autoritas Allah pada akhirnya tergantung pada interpretasi (tentang pewahyuan ilahi) dari manusia.
Pada kenyataannya, walaupun de facto sekarang ada banyak sisa-sisa sikap eksklusivistik, namun de jure hampir tak mungkin dipertahankan. Menggunakan skandalon Kristen untuk membela kristianitas, misalnya, bisa diartikan sebagai penyangkalan atas apa yang dinyatakan sendiri batu sandungan itu. Sebab mengutuk yang lain dan membenarkan diri sendiri sehingga menggunakan skandal (batu sandungan) perwahyuan Allah sebagai alasan dasar untuk mempertahankan sikapnya sendiri justru bisa menjadi puncak kemunafikan; perwahyuan ilahi berhenti menjadi skandal bagi anda – karena anda tampaknya menerimanya tanpa skandal- dan anda mengenakan sandungan itu pada orang-orang lain.

b.       Inklusivisme
Dalam konteks dunia sekarang, orang hamper tidak dapat gagal untuk menemukan nilai-nilai yang positif dan benar bahkan menyangkut tatanan yang paling tinggi-harus diluar tradisi orang itu sendiri. Agama-agama tradisional harus menghadapi tantangan ini. Isolasi yang ketat tidak mungkin lagi. Maka kondisi yang paling masuk akal untuk membela kebenaran tradisi orang itu sendiri adalah dengan menyatakan  pada saat yang sama bahwa hal itu meliputi semua saja yang ada yang berkaitan dengan kebenaran pada tahap-tahap  yang berbeda dimana pun. Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara demikian sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Pada saat berhadapan  dengan suatu kontradiksi yang nyata, misalnya, suatu pembedaan yang perlu pun dapat dibuat antara tataran-tataran berbeda sehingga dimungkinkan untuk mengatasi kontradiksi itu. Hal ini akan lebih membawa kearah universalisme dari cirri eksistensial atau formal dari pada isi esensialnya. Suatu kebenaran doctrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universil jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena pencerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu forma mentis yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Suatu pola paying  atau struktur formal dapat dapat mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
Sebagai contoh, jika Vedanta sungguh akhir dan puncak dari semua veda, padahal  vedayang lain ini mewakili semua type pewahyuan pokok, hal itu tampaknya berarti bahwa semua penegasan manusia yang sejati mempunyai tempatnya dan skema veda itu karena penegasan-penegasan itu memperlihatkan tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan kesadaran manusia dan mempunyai nilai dalam konteks particular dimana dmereka dinyatakan. Tidak ada yang ditolak dan semuanya cocok pada tempat yang selayaknya.
Sikap demikian ini memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri dan tanpa perlu mengutuk yang lain. Anda bahkan dapat masuk kedalam persekutuan erat dengan semua jalan kehidupan lainnya dan, jika anda mempunyai pengalaman inklusivitas yang nyata, anda boleh jadi berdamai tidakhanya dengan diri anda sendiri, tapi dengan jalan manusia lainnya maupun dengan jalan ilahi. Ibadah anda dapat menjadi konkret dan pandangan anda dapat menjadi universal.
Pada sisi lain, sikap ini juga membawa beberapa kesulitan. Pertama, ia juga menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya andalah yang mempunyai previlese atas penglihatan yang mencakup semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan bagi yang lain tempat yang harus mereka ambil dalam alam semesta. Anda toleran menurut anda sendiri, tetapi tidak dalam pandangan mereka yang menggugat hak anda untuk berada dipuncak. Lebih jauh ada kesulitan-kesulitan intrinsik dari konsepsi kebenaran yang hampir-hampir tidak logis dan suatu kontradiksi yang melekat didalam sikap itu, ketika sikap itu diuraikan dalam teori dan praksis.
Jika sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengkuh system-sistem pemikiran yang berlainan pun, ia terpaksa membuat kebanaran bersifat relative murni. Kebenaran dalam arti ini tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang independen, karena berlainan bagi orang atheis dan orang teis. Jadi kebenaran juga merupakan suatu hal yang berlainan bagi anda sendiri, kecuali anda meloncat keluar dari model karena andalah yang mempunyai petunjuk, andalah yang menemukan tempat untuk semua pandangan dunia yang berbeda-beda. Tetapi kemudian kepercayaan anda, konsepsi, ideologi, intuisi atau nama apapun yang kita pakai, menjadi supersistem pada saat anda menyusunnya; anda sepertinya memahami pandangan yang lebih rendah dan meletakkannya pada tempat yang sesuai. Anda tidak dapat menghindari untuk menyatakan diri anda sendiri sebagai pemilik pengetahuan yang lebih tinggi bahkan jika anda menyangkal bahwa keyakinan anda adalah sesuatu pandangan yang lain. Selanjutnya, jika anda berkata bahwa posisi anda hanyalah hasil yang tak terperikan dari pandangan mistik, pada saat anda menjalankannya tidak ada sesuatupun yang mencegah yang lain untuk mendapatkan dan merumuskan dugaan implisit dari sikap itu. Akhirnya, anda menyatakan sebagai pemilik kebenaran yang lebih penuh dibandingkan dari semua orang lain yang hanya mempunyai kebenaran-kebenaran parsial dan relatif.
Pada kenyataannya, walaupun masih banyak tendensi dalam beberapa tradisi agama yang menganggap diri mereka sendiri sama sekali inklusif, dewasa ini hanya  ada sangat sedikit rumusan teoretis dan filosofis dari sikap yang semata-mata inklusif itu. Kenyataan pluralisme dewasa ini begitu kuatnya, sehingga tidak mungkin diabaikan begitu saja.

c.       Paralelisme
Jika agama anda tampaknya jauh dari sempurna, namun bagi anda tetap merupakan suatu simbol dari jalan yang benar dan keyakinan yang sama rupanya berlaku bagi yang lain pula; jika anda tidak dapat menolak klaim agama yang lain tetapi juga tidak mungkin memasukkannya secara utuh kedalam tradisi anda, maka alternatif yang masuk akal adalah untuk menganggap bahwa semua kepercayaan berbeda-beda yang mesti berliku-liku dan bersimpangan, sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada akhirnya, pada eschaton, pada akhir peziarahan manusia. Maka agama akan merupakan jalan-jalan yang sejajar dan kewajiban kita yang paling mendesak seharusnya adalah untuk tidak mencampuri yang lain, tidak untuk menobatkan mereka atau bahkan untuk meminjam dari mereka, melainkan untuk memperdalam tradisi kita sendiri-sendiri sehingga kita bisa bertemu pada akhir waktu, dan dalam lubuk kedalam tradisi kita sendiri. Jadilah seorang kristen yang lebih baik, seorang marxis yang lebih baik, seorang hindhu yang lebih baik, dan anda akan menemukan kekayaan yang tidak terduga dan juga titik-titik hubungan dengan jalan-jalan orang lain.
Sikap ini memberikan keuntungan yang sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang lain serta tidak mengadili mereka. Sikap ini menghindari sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang membuat suatu agama mengikuti selera pribadi kita; sikap ini menjaga batas-batas tetap jelas dan merintis pembaharuan yang ajeg pada jalan-jalan orang itu sendiri.
Pada sisi lain, sikap ini juga tidak lepas dari kesulitan-kesulitan. Yang pertama, sikap ini nampaknya berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan dan manusia yang berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh dan fertilisasi. Selanjutnya, sikap ini dengan tergesa-gesa juga menganggap seolah setiap tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya sendiri semua unsur untuk pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut; singkatnya, sikap ini mengandaikan kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya menyangkal adanya kebutuhan atau kesenangan untuk saling belajar, ataupun kebutuhan untuk berjalan diluar tembok-tembok sesuatu tradisi manusia seolah-olah dalam diri mereka masing-masing seluruh pengalaman manusia sudah dikristalkan atau dipadatkan. Sikap ini merayu kepada setiap dari kita untuk mendengarkan bahwa kiti memiliki in nuce (dalam bentuk mini) semua yang kita butuhkan untuk kepenuhan manusia dan kematangan agama, tetapi sikap ini memecah keluarga manusia kedalam bagian-bagian yang rapat terpisah, membuat setiap bentuk pertobatan apapun menjadi sungguh-sungguh suatu pengkhianatan terhadap adanya orang itu adanya orang itu sendiri. Sikap ini mengizinkan pertumbuhan, tetapi tidak mengizinkan mutasi. Tetapi kendati pun kita mengalir sejajar satu terhadap yang lain, bukankah disamping itu juga sangams, prayags, anak-anak sungai, luberan, dam-dam alamiah dan buatan, dan di atas semuanya itu, bukankah air yang satu dan sama dalam urat nadi manusia itu mengalir ‘menuju surga’? paralelisme belaka menilapkan banyak masalah nyata.
Sekalipun demikian, sikap ini, pada sisi yang lain, menjajikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita. Namun ketika menghadapi problem-problem yang konkret karena adanya campur tangan, saling pengaruh dan bahkan dialog, orang tidak hanya dapat menunggu sampai kalpa (abad) ini berakhir atau eschaton (masa akhir) muncul. Setiap persimpangan adalah bahaya, tetapi tidak ada kehidupan baru tanpa maithuna.
Saya telah menguraikan tiga sikap di atas sebagai suatu contoh postur dasar; namun kalau sikap itu mulai digiatkan, tentu saja, akan menjadi jauh lebih rumit. Kalau suatu perjumpaan sungguh terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupundalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan sejumlah metafora-dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang berbeda. Dalam hal inilah beberapa model sungguh bisa berguna. Saya akan mencoba menguraikan ketiganya dengan singkat.

2.      Tiga Macam Model
a.       Model Fisika: Pelangi
Tradisi keagamaan yang berbeda-beda pada umat manusia adalah seperti warna yang hampir tak terbatas jumlahnya, yang kelihatan tatkala cahaya putih jatuh di atas prisma pengalaman manusia: cahaya putih ini menyebar kedalam tradisi, ajaran dan agama yang tak terhitung jumlahnya. Hijau bukanlah kuning, Hinduisme bukanlah Buddhisme, namun pada perbatasannya orang tidak tahu, kecuali dibuat suatu dalil sebelumnya, dimana kuning berakhir dan hijau mulai. Meski demikian lewat satu warna partikular, yakni agama, orang dapat mencapai sumber dari cahaya putih. Setiap pengikut suatu tradisi, diberi kemungkinan mencapai tujuannya, kepenuhan dan keselamatan, asalkan ada cahaya terang dan bukan kegelapan semata-mata. Jika dua warna bercampur, mungkin akan menghasilkan warna yang lain. Demikian juga dengan tradisi agama. Pertemuan dua tradisi akan menghasilkan tradisi yang baru. Sebenarnyta kebanyakan agama yang sekarang inii kita kenal adalah hasi perasapan timbal balik (arya-dravidia, Yahudi-Yunani, Hindia Islam, dll.) lebih jauh, hanya dari sudut pandang yang disepakata bersama kita bisa menilai agama satu dengan yang lainnya. Tentang masalah sosial, misalnya, suatu tradisi mungkin lebih subur dari tradisi yang lainnya, tetapi yang lain itu mungkin lebih kuat dalam menjamin kebahagiaan personal. Kita dapat memulai pelangi dengan infra merah, atau denganultra violet, atau memilih misalnya lima ribu angstrom sebagai pusatnya, dst. Lagi pula dalam wilayah hijau segala sesuatu akan tampak dibawah warna khusus itu. objek yang sama, diwilayah merah akan berwarna kemerah-merahan. Model ini mengingatkan kita bahwa konteks adalah sangat penting dalam memperbandingkan “kebenaran agama”. Namun ini belumlah segalanya. Sebagaimana halnya warna badan merupakan satu-satunya warna yang umumnya tidak di serap oleh badan itu, demikian model ini pun mengingatkan kita bahwa suatu agama dengan cara yang sama menyerap semua warna yang lain dan menyembunyikan dalam dirinya. Karenanya, warna luar itu sebenarnya hanyalah penampakannya, pesannya pada dunia luar, tetapi bukan seluruh hakikatnya. Kita sampai pada seluruh kenyataannya ketika kita berusaha untuk memahami suatu agama dari dalam. Badan itu sebenarnya telah menerima seluruh curahan cahaya putih, tetapi menyimpan bagi dirinya semua warna yang lain. Maka tidaklah benar menilai suatu agama hanya dari warna luarnya. Kiasan ini masih dapat diperluas lebih jauh. Sesuatu agama barangkali hanya menerima sedikit curahan cahaya, sementara agama yang lain merangkum aspek yang lebih luas dari spectrum. Waktu dan ruang mungkin (seperti prinsip Doppler-Fizeau) mengantar ke perubahan-perubahan pada panjang gelombang dari tradisi tertentu sehingga dia berubah sepanjang zaman atau sesuai dengan tempatnya. Seorang Kristen di India pada abad ke-20 mungkin jauh berbeda dari apa yang dianggap demikian di Prancis pada abad ke-10.
Kiasan ini tidaak harus berarti bahwa semua agama adalah sama, bahwa tak mungkin ada tempat-tempat yang hitam atau tak berwarna, bahwa untuk beberapa masalah khusus hanya ada satu warna tertentu yang cocok,dst. Juga kiasan tersebut masih dapat membantu untuk memperlihatkan hak dari sesuatu yang tidak memilii cahaya di dalamnya untuk dapat disebut sebagai tradisi agama. Kritik humanistic dari agama-agama tradisional, misalnya, barangkali menganggap semua  agama zaman dulu sebagai obkurantistik dan menyangkal bahwa agama-agama itu membawa terang; hanya tradisi-tradisi pencerahan, katakan saja, rasionalisme, marxisme, dan humanism yang mereka bicarakan. Saya mengambil kasus ekstrem ini untuk memperjelas kemacam-ragaman kemungkinan yang begitu luas dalam penggunaan kiasan- dasar ini. Bahkan kiasan ini pun dapat memberikan suatu gambaran mengenai konsepsi agama tertentu yang menganggap diri sebagai cahaya putih, sedang semua agama lain sebagai pembelokan (diffraction) dari keagamaan primordial ini. Atau, sebaliknya, kiasan ini memberikan suatu contoh bagaimana mengatakan bahwa kemacam-ragaman agama itu merupakan bagian keindahan dan kekayaan situasi manusia: sebab hanya keseluruhan pelangilah yang bisa member gambaran lengkap mengenai dimensi religious manusia.
Namun nilai suatu model tidak hanya berasal dari kemungkinan penerapannya, melainkan juga dari kesamaan sifat dasarnya dengan fenomen yang diselidiki.kenyataan fisik dari pelangi dalam hal ini membantu kita untuk menerangkan seluk beluk fenomen antropogis agama.

b.       Model Geometri: Invarian Topologis
  Jika pada model pertama pembelokan adalah penyebab munculnya cahaya yang berbeda-beda, yakni bermacam agama, maka pada model kedua ini transformasi merupakan penyebab bentuk dan wujud yang beragam dari sosok geometris, yakni agama-agama.
Di dalam dan lewat ruangan dan juga karena pengaruh waktu, bentuk primordial dan asli mengadakan transformasi-transformasi yang dimungkinkan dalam jumlah yang hamper tak terbatas lewatberkisarnya manusia, rentangan sejarah, pembengkokan oleh kekuatan alami, dst. Agama-agama tampak berlain-lainan dan bahkan tidak bisa saling didamaikan sampai atau kecuali jika ditemukan titik (invariant) topologis yang tetap. Titik tetap ini tidak perlu harus satu untuk semua agama. Sementara orang lebih senang memegang teori rumpun agama. Sedang orang lain mungkin berusaha untuk mengolah hipotesis bahwa semua cara manusia yang berbeda-beda berasal dari suatu pengalaman dasar yang ditransformasikan menurut hokum-hukum yang-sebagaimana pada setiap persoalan geometris- harus ditemukan lebih dahulu. Orang yang lain lagi mungkin berkata bahwa agama-agama sesungguhnya berbeda-beda sampai transformasi topologis yang sesuai telah terbentuk. Modelnya mempunyai banyak kaitan (polyvalent). Homeomorfisme tidaklah sama dengan analogi: homeomorfisme menunjukkan kesamaan fungsional yang diketahui lewat transformasi topologis. Brahman dan Tuhan bukan semata-mata dua nama yang bisa dibandingkan ; kedua nama itu homeomorfik dalam arti bahwa masing-masing menggantikan sesuatu yang memainkan peran yang sama kuatnya (equivalent) didalam system yang bersangkutan. Namun hal ini baru dapat dirumuskan ketika homeomorfisme dari ekuivalensi topologis telah ditemukan. Agama yang pada penampilan pertama tampak sangat berbeda satu sama lain mungkin menemukan hubungannya begitu transformasi topologis ditemukan, sehinga dimungkinkan pembicaraan mengenai perkaitan dua tradisi itu. Model ini memberikan tantangan untuk studi lebih lanjut dan mencegah kita untuk cepat-cepat menarik kesimpulan. Penggunaan secara harafiah model topologis mengandaikan tidak hanya bahwa semua agama merupakan transformasi dari pengalaman primordial, instuisi atau datum (sama kiranya halnya pada model pelangi), tetapi juga bahwa tiap-tiap tradisi agama merupakan suatu dimensi dari agama lainnya, bahwa ada semacam “circumincessio” (bhs. Latin, artinya menjelajahi keliling) atau “perichoresis” (bhs. Yunani) atau “pratityasamutpada” (bhs. Sansekerta) di antara semua tradisi agama dunia, sehingga model-model persentuhan semata tidak cukup untuk mengungkapkan hubungan antar mereka. agama-agama tidak berdiri berdampingan melainkan benar-benar jalin-menjalin dan mencakupi satu sama lain. Vishnu tinggal didalam hati siva dan sebaliknya. Tiap-tiap agama mewakili keseluruhan bagi kelompok manusia tertentu dan dengan cara tertentu “merupakan” agama dari kelompok lain hanya saja dalam bentuk topologis yang berbeda. Mungkin ini merupakan pandangan yang terlalu optimistik, tetapi model tersebut menyediakan juga peringatan-peringatan atau larangan-larangan yang perlu. Orang tidak dapat secara a priori, misalnya, merumuskan teori ini, tetapi ini mungkin bisa menjadi hipotesis kerja yang memacu pikiran kita menuju suaatu kesatuan transendental dari pengalaman religius manusia. Jelas bahwa model ini tidak mengecualikan factor ilahi atau evaluasi kritis tradisi-tradisi manusia. Kadang-kadang kita tidak berhasil menemukan padanan topologis yang cocok, tetapi saat lain transformasi yang demikian itu barangkali juga tidak ada.
Perbandingan antar agama menurut model ini dengan demikian kiranya bukan soal untuk menemukan analogi-analogi, yang tentu saja akan bersifat superfisial dan memerlukan suatu primum analogatum sebagai titik acuan (yang mestinya sudah dimiliki oleh setiap tradisi yang diperbandingkan, kalau mau adil dalam perbandingannya), melainkan akan berupa kegiatan memahami agama-agama dari dalam agama itu sendiri dan menemukan struktur konkret agama tersebut serta homeomorfisme pada masing-masing agama. Kebermacam-ragaman agama disini tidak akan begitu tampak sebagai dunia penuh warna-warni yang menampilkan secara berbeda-beda suatu struktur dalam yang hanya bisa ditangkap dengan intuisi yang mendalam, baik yang disebut mistik ataupun ilmu.
Hukum-hukum topologis ini tidak harus mempunyai sifat dasar yang rasional atau logis saja, sebagaimana pada topologi geometrik. Bisa saja bersifat historis atau sui generis. Singkat kata, model topologis tidak hanya berlaku untuk ekuivalensi ajaran yang mungkin; tetapi dapat juga membantu menyelidiki bentuk-bentuk korespondensi dan ekuivalensi lainnya. Kita mungkin berhasil menerangkan, misalnya, bagaimana Buddhisme awal diserap kembali ke India lewat aliran advaita tertentu dengan menemukan hukum-hukum topologis transformasi yang tepat.

c.       Model Antropologis; Bahasa
Apa pun teori yang kita ambil mengenai asal dan hakikat agama, entah sebagai anugerah ilahi atau penemuan manusia ataupun keduanya, yang jelas hal itu setidaknya tetap merupakan kenyataan manusiawi dan dengan demikian sama luas dengan kenyataan lain yang setidaknya juga manusiawi, yakni bahasa. Model ini menganggap setiap agama sebagai suatu bahasa. Model ini telah lama dirintis. Pada kepercayaan lama yang telah tersebar luas mengenai adanya 72 bahasa, sementara orang menambahkan pendirian bahwa dengan demikian terdapat 72 agama juga. “Item dixit quod sicus sunt LXII lingue, ita sunt LXII fides”-demikian diputuskan dalam proses pengadilan inkuisisi pada abad ke-13 di Bologna, yang mengutuk seorang Kathar.
Setiap agama adalah lengkap, sebagaimana setiap bahasa, dan mampu mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa perlu untuk diungkapkan. Setiap agama terbuka untuk pertumbuhan dan evolusi sebagaimana halnya bahasa. Keduanya mampu mengunggkapkan atau menyembunyikan lagi sesuatu arti, mengubah istilah-istilah atau penemuan tertentu, memperhalus cara pengungkapan ataupun mengubahnya. Ketika dunia agama atau bahasa merasakan lagi sesuatu kebutuhan, maka selalu ada cara untuk menangani kebutuhan tersebut. Lagi pula, meskipun setiap bahasa merupakan dunia pada dirinya sendiri, hal ini tidak berarti tanpa hubungan dengan bahasa-bahasa tetangga, saling meminjam dari yang lain dan keterbukaan untuk pengaruh timbal balik. Meskipun demikian, setiap bahasa hanya mengambil sebanyak yang dapat diterimanya dari bahasa asing. Sama halnya dengan agama: mereka saling mempengaruhi dan saling meminjami satu sama lain tanpa kehilangan identitasnya sendiri. Dalam kasus yang ekstrem, suatu agama, seperti halnya suatu bahasa, bisa saja menghilang sama sekali. Alasannya juga tampak sangat mirip – penaklukan, kehancuran, perpindahan, dll.
Dari sudut pandangan internal setiap bahasa dan agama, sebenarnya tak ada banyak artinya menyatakan bahwa suatu bahasa lebih sempurna dari yang lainnya, sebab orang dapat saja mengatakan dengan bahasanya sendiri (seperti juga dengan agamanya) apa saja yang dia rasa perlu untuk dikatakan. Jika dia merasa perlu mengatakan  sesuatu yang lain atau sesuatu yang berbeda, dia akan mengatakannya. Dia barangkali menggunakan satu kata untuk unta dan ratusan kata untuk logam yang berbeda-beda, pahala bahasa yang lain justru melakukan yang sebaliknya. Demikian pula halnya dengan agama-agama. Anda mungkin hanya mempunyai satu kata untuk kebijaksanaan, Tuhan, rasa kasih atau keutamaan, sedangkan agama lain melebihinya.
Masalah besar muncul ketika kita sampai pada perjumpaan antar bahasa,  dan antaragama. Masalahnya adalah terjemahan. Agam-agama mempunyai ekuisvalensi seperti halnya bahasa-bahasa yang dapat saling diterjemahkan.di situlah terdapat dunia umum dari hal-hal yang bisa diobyektivasikan, yakni obyek pembenara secara empiris dan logis. Inilah dunia istilah-istilah. Setiap istilah merupakan sebuah tanda epistemic untuk sebuah objek yang bisa diverifikasi secara empiris atau secara logis.istilah “pohon”, “anggur”, “atom“, “empat” dapat diterjemahkan ke dalam setiap bahasa yang ada, asalkan kita mempunyai cara menunjuk barang yang terlihat mata itu secara empiris (pohon), substansi yang bisa dikenal secara fisis (anggur), entitas yang bisa dirumuskan secara psikomatematis (atom) dan suatu symbol yang logis (empat). Masing-masing hal tersebut menuntut beberapa syarat khusus, tetapi kita bisa mengandaikan bahwa semua syarat ini dapat diverifikasikan secara empiris atau logis kalau suatu aksioma tertentu sudah diterima. Pendeknya, semua istilah, sejauh itu bisa diterjemahkan seperti suatu nama, dapat dengan mudah diciptakan dan diterima bahkan oleh bahasa yang mungkin tidak mempunyai istilah untuk hal tertentu (“atom” misalnya). Sama halnya, semua agama mempunyai wilayah yang bisa diterjemahkan: semua menunjuk kepada manusia, kesejahteraannya, cara mengatasi halangan yang mungkin dihadapinya dan semacamnya. Istilah-istilah keagamaan-sebagai istilah-bisa diterjemahkan.
Bagian yang terpenting dari bahasa seperti juga pada agama, bukanlah istilah-istilah tetapi kata-kata, jadi bukannya tanda-tanda, jadi bukannya tanda-tanda epistemik yang memberi orientasi pada dunia objek melaikan symbol-simbol hidup yang mengizinkan kita hidup dalam dunia orang-orang dan Allah-allah. Kata-kata tidak bisa dijadikan objek. Sebuah kata tidak dapat sepenuhnya terpisah dari arti yang kita berikan dan masing-masing dari kita dalam kenyataannya memberi corak arti yang berbeda pada kata yang sama. Sebuah kata memantulkan suatu pengalaman total manusia dan tak bisa dipisahkan dari padanya.sebuah kata tidak bias diselidiki secara empiris dan logis. Ketika mengatakan ‘keadilan’, ‘dharma’, ‘karuna’, kita tidak bisa menunjuk ke suatu objek, tetapi harus berpaling pada kristalisasi pengalaman-pengalaman manusia yang terkait dengan bermacam-macam orang, tempat, zaman, dll. Dalam arti sebenarnya kita tidak bisa menerjemahkan kata-kata. Kita hanya bisamemindahkannya menurut konteks tertentu yang melingkupi, yang memberinya arti dan memberi horizon untuk bersandar bagi kata tersebut, dimana kata itu bias dimengerti, artinya mengasimilasikannya kedalam horizon lain. Dan bahkan kemudian kata yang dipindahkannya itu, jika bias bertahan, segera akan melebarkan akar-akarnya pada tanah dan memperoleh aspek-aspek, konotasi yang baru, dll. Sama halnya dengan agama: agama tidak bias diterjemahkan seperti istilah; hanya beberapa pemindahan tertentu dimungkinkan, dengan kondisi yang sesuai. Tidak ada objek ‘Allah’, ‘Keadilan’, atau ‘Brahman’, sesuatu yang pada dirinya tak tergantung dari kata-kata yang hidup itu, atas dasar mana kita bisa memeriksa kebenaran terjemahan. Untuk menerjemahkannya, kita harus memindahkan pandangan dunia yang terkait, yang membuat kata-kata itu menyatakan sesuatu yang memang dimaksudkan. Kata yang tidak berbicara adalah seperti lagu yang dinyanyikan. Jika kata itu tidak ditangkap sebagai kata yang berbicara tentang apa yang mau dikatakan, kita sesungguhnya belum menerjemahkan kata tersebut. Penerjemahan pandangan-pandangan keagamaan tidak bisa dilakukan kecuali kalau pandangan yang menghasilkan kata tersebut juga dipindahkan. Untuk itu, pandangan dari luar semata-mata tidak cukup. Kita mungkin, kalau demikian hanya menterjemahkan kerangka luar yang mati dari suatu kata dan bukan arti yang sesungguhnya. Tak satu katapun dapat dipisahkan dari pembicaraannya jika mau dipertahankan sebagai kata yang autentik dan bukan sekedar istilah. Penerjemah juga harus menjadi pembicara dalam bahasa asing tersebut, dalam tradisi asing tersebut. Ia harus menjadi juru bicara sejati dari agama tersebut. Ia harus yakin-pada tingkat tertentu(yang tidak akan saya jelaskan lebih lanjut disini)-akan kebenaran yang dibawanya, masuk sendiri jadi penganut tradisi yang diterjemahkannya. Di sini saya sudah berada dalam dialog intra agama.
Penerjemah harus berbicara dalam bahasa ‘asing’ sebagai bahasa sendiri. Sejauh kita massih berbicara dengan suatu bahasa yang diterjemahkan dari bahasa yang lain, kita tidak pernah akan berbicara lancer dan bahkan dengan benar. Hanya kalau kita bicara dengan bahasa itu, hanya kalau anda ‘berbicara’dalam agama itu sebagai agama sendiri, anda akan sungguh-sungguh bisa jadi juru bicara untuk agama itu, sebagai penerjemah sejati. Hal ini sekaligus mengandaikan tentu saja, bahwa anda tidak melupakan bahasa anda sendiri, bahwa anda mempunyaikemempuan yang sama juga untuk mengungkapkan diri dalam dunia bahasa yang lain. Baru kalau demikian, orang mulai kagum akan ketepatan penerjemahan, atau sementara pengungkapan masih berlangsung, kagum akan ‘kesetiaan’ dari banyak terjemahannya. Apakah anda tetap setia baik kepada Brahman maupun Allah, dharma maupun agama (atau keadilan, atau aturan?) kalau anda menerjemahkan dengan cara demikian? Atau apakah anda merasa harus memperluas, memperdalam dam merentang bahasa anda sendiri untuk memberi tempat bagi pandangan-pandangan yang lain? Dan barangkali demikian juga halnya dengan istilah yang sebagian dapat dibenarkan secara empiris. Apakah anda sungguh yakin bahwa ketika menerjemahkan gau dengan ‘cow’ anda tidak menjerumuskan pembaca inggris modern juika anda membuat dia percaya bahwa anda bicara semata-mata tentang sapi betina yang barang kali ada hubungannya dengan ‘cowboy’ tetapi tidak dengan kamadhenu? Padahal gau lebih dari sekedar nama hewan, sebagaimana surya (matahari) lebih dari sekedar nama untuk benda astronomis atau fisis.
Model bahasa juga membantu dalam masalah pelik perbandingan Agama. Hanya kalau kkita mempunyai bahasa bersama, baru kita dapat mulai memperbandingkan yakni mempertimbangkan bersandar pada latar belakang bersama. Hanya dengan demikian pemahaman timbal balik akan muncul. Lebih lanjut, model ini memberi kejelasan bahwa kita tidak dapat memperbandingkan bahasa-bahasa (agama-agama) diluar bahasa (agama) dan tidak ada bahasa (agama) kecuali dalam bahasa-bahasa (agama-agama) konkret. Perbandingan agama hanya mungkin sebagai perbandingan antaragama dari titik tolak agama-agama yang konkret itu sendiri. Hal ini menuntut suatu metode yang baru sama sekali dari munculnya anggapan bahwa ada ‘alasan’ netral non-agama, yang berhak untuk menjalankan penilaian perbandingan dibidang agama-agama.

3.      Pluralisme
Sebagai kesimpulan perlu disebut pluralisme. Tujuan dialog intra-agama adalah pemahaman. Bukan maksudnya untuk mengalahkan yang lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau pada suatu agama universal. Cita-citanya adalah komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktauhan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya dunia yang berbeda-beda, membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasa mereka sendiri. Sementara orang mungkin berharap mencapai persekutuan, tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa yang menjadi tujuan adalah keseragaman bentuk atau reduksi dari bermacam-ragaman manusia ke dalam agama, system, ideology atau tradisi yang satu-satunya. Puralisme berdiri atara pluraitas yang tidak saling berhubungan dan suatu kesatuan monolitik. Hal ini berarti bahwa kondisi manusia dalam relitasnya yang sekarang ini tidak boleh ditelantarkan, apalagi diremehkan demi keadaan yang ideal (?) dari kesatuan bentuk atau keseragaman manusia. Sebaliknya, hal ini membuat keadaan factual kita sebagai yang real dan menegaskan bahwa dalam polaritas actual dari eksistensi manusiawi kita, kita menemukan keberadaan kita yang sebenarnya.


BAB V
Sunyata dan Pleroma:
Jawaban Budha dan Kristen Mengenai Nasib Manusia
Purnasya purnam adaya
Purnam evavasisyate
Mengurangi kepenuhan dari kepenuhan
Kepenuhan tetap lestari
 Do’a Upanised*
* Bdk BU V, 1.

1.      Nasib Manusia
Kendati sudah banyak usaha untuk mendefinisikan agama, saya memberanikan diri mengajukan pernyataan sederhana dan singkat ini: Agama adalah jalan yang ditempuh manusia untuk mencapai tujuan hidup, atau secara lebih singkat, agama adalah jalan keselamatan. Segera harus ditambahkan bahwa di sini kata “jalan” dan”keselamatan” tidak dimaksudkan memuat isi khusus. Maksud kata-kata tersebut lebih sebagai peziarahan eksistensial yang dilakukan manusia dengan keyakinan bahwa usaha itu akan menolongnya meraih maksud atau tujuan akhir hidup.[38] Suatu jalan pemenuhan, jika kita lebih suka mengatakan demikian.
Dengan kata lain, dalam perspektif khusus yang kita sebut agama, setiap budaya manusia menampilkan tiga unsur: (1) suatu visi mengenai manusia sebagaimana ia tampak secara nyata (hic et nunc), (2) suatu pengertian tertentu yang kurang lebih telah berkembang mengenai tujuan atau pemberhentian akhir manusia (illic et postea),dan (3) sarana-sarana untuk berpindah dari keadaan yang terdahulu ke keadaan yang kemudian.[39]
Unsur pertama dapat disebut nasib manusia,yaitu gambaran khusus mengenai bagaimana manusia dipandang dan dinilai. Saya lebih cenderung memakai ungkapan ini daripada ungkapan yang lebih umum “kondisi manusia”, dengan maksud untuk menekankan bahwa tidak semua agama memandang situasi factual manusia sesuai dengan “kondisi” yang dimaksudkan. Manusia tidak bebas dalam hal apa yang menjadi gambaran mengenai dirinya dan kondisi manusia justru dikondisikan oleh pandangan manusia sendiri mengenai hal itu. Dengan nasib manusia saya maksudkan keberadaan factual manusia sebagaimana dinilai menurut konsepsi tertentu yang turut membentuk keberadaan faktual itu sendiri.
Tak ada agama, lebih lagi yang akan kita lihat kemudian, yang dapat dicakup suatu ajaran monolitis, seolah-olah satu ajaran saja sudah dapat merumuskan seluruh maknanya. Bab ini hanya akan mengupas sepasang pemahaman, yang berasal dari masing-masing tradisi, untuk menampilkan pandangan ortodoks dalam agama masing-masing.
Nasib manusia menurut tradisi Buddhis dapat diringkas sebagai berikut: (1) dalam pra-andaian filosofis: anatmavada;[40] (2) dalam pernyataan teologis: aryasatyani,[41] yang mengembangkan intuisi antropokosmis sarva duhkha;[42] dan (3) dalam ajaran moral yang diungkapkan secara paling baik dalam kata-kata terakhir Buddha: “Usahakanlah keselamatanmu penuh ketekunan.”[43]
Nasib manusia menurut pandangan Kristen dapat diringkaskan: (1) dalam pra- andaian filosofis, penciptaan dunia;[44] (2) dalam pernyataan teologis, kekuatan Kristus yang menebus atau menyelamatkan,[45] yang mengembangkan intuisi kosmoteandrik dari inkarnasi;[46] dan (3) dalam ajaran moral yang diungkapkan secara paling baik dalam sabda Kristus yang meringlkas kitab Taurat dan Nabi-nabi: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatanmu….[47] Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.”[48]
Kita bisa mencoba mengungkapkan dalam katra-kata kita sendiri intisari dari dua pandangan ini. Harus diingat bahwa sampai sekarang dua tradisi ini setuju mengenai nasib manusia. Benar atau salah, kedua tradisi ini tampaknya setuju dalam menyatakan bahwa manusia diberi suatu kerinduan – secara harfiah, suatu kehausan[49]- atau diberi suatu gairah – secara harfiah suatu keinginan[50]- yang menjadi sebab ketidakbahagiaannya. Kedua agama ini akan menerangkan hal tersebut sebagai Kebodohan atau Kejatuhan, karenanya penerangan atau penebusan perlu untuk mengatasi nasib manusia ini. Dalam hal manapun, nasib manusia ini bukanlah sesuatu yang seharusnya atau  yang sewajarnya. Buddha[51] dan Kristus[52] menyatakan diri mengobati nasib ini. Manusia harus mengatasi kondisi sekarang ini supaya terbebaskan, yakni dilepaskan dari roda samsara,[53] atau dari kosmos[54] ini. Baik Buddhisme maupun agama Kristen berpihak pada pembebasan manusia.[55]
Di sini, kedua tradisi ini mengungkapkan suatu pengalaman manusi yang hamper universal. Keduanya percaya bahwa manusia adalah keadaan yang belum selesai, suatu realitas yang tak tergapai, sedabng bertumbuh, menjadi, dalam perjalanan, seorang peziarah. Inilah nasib manusia. Masalah  yang sesungguhnya terletak dalam jawaban yang diberikan kedua agama ini terhadap nasib tersebut.

2.      Jawaban Buddha dan Kristen
a.       Nirvana dan Soteria
Seperti telah kami katakana, unsur kedua dari semua agama adalah pemahaman bahwa ada suatu tujuan atau perhatian akhir manusia. Manusia, adaan yang belum selesai ini, tidak harus tinggal seperti apa adanya, tetapi harus mengalami transformasi yang kurang lebih radikal, suatu perubahan, dengan tujuan untuk mencapai keadaan yang oleh kaum Buddha disebut nirvana1[56] dan oleh kaum Kristen disebut soteria.[57]Agama adalah dinamisme menuju suatu terminus ad quem, yang berasal mula dari ketidaksesuaian dengan status quo.
Cukup penting bahwa kitab-kitab kanon kedua tradisi ini tampaknya tidak cenderung membatasi hakikat kedua istilah tersebut. Nirvana hanyalah berhentinya proses menjadi,[58] berhentinya semua samkara,[59] semua mata rantai,[60]setiap kehausan.[61] Nirvana adalah padamnya semua karma,[62] istilah yang tak terangkan, pun juga yang menyangkut adanya,[63] daya pengasal yang mendasar dari segala sesuatu,[64] dan sang akhir tanpa jalan masuk atau jalan keluar.[65] Nirvana ada di seberang semua dialektika[66] dan pemikiran,[67] tanpa subjek atau objek[68]. Seluruh usaha diarahkan bukan untuk melukiskan dan memahaminya, melainkan untuk mencapainya.[69] Tetapi pernyataan ini keliru kalau dipahami sebagai menghubungkan nirvana bagaimanpun juga dengan kehendak atau imajinasi kita.[70] Nirvana “tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak dibuat, tidak dijumlahkan.”[71] Nirvana tidaklah transenden menurut arti yang biasa kita pakai. Jikalau nirvana transenden terhadap segala sesuatu, berarti ia mempunyai hubungan secara transenden dengan dilampauinya itu.[72] Nirvana adalah semata-mata kehancuran, atau lebih tepat ketidakjadian[73] dari segala yang ada; dan oleh kenyataan bahwa itu semua dapat tak terjadi, dihancurkan dan ditiadakan, terbuktilah kenyataan mereka. Jadi, nirvana adalah “hal” yang paling positif sebab ia menghancurkan ketiadaan.
Kekaburan yang sama tampaknya menandai juga gagasan kitab suci kristen soteria. Soteria adalah keselamatan dari kemusnahan, [74] dari kematian,[75] lewat kristus,[76] yang membimbing ke keselamatan.[77] Soteria abadi sifatnya[78] sebab keselamatan hidup kita.[79] Seringkali keselamatan digunakan tanpa diberi ciri-cirilebih lanjut dlam penggunaannya yang sudah diterima umum.[80] Ada jalan,[81] sabda,[82] dan pengetahuan[83] akan keselamatan. Yesus adalah penyelamat.[84] Ia menyelamatkan umat dari dosa-dosa mereka[85] dan tak ada keselamatan selain dalam yesus.[86]
Dengan kata lain, baik nirvana maupun soteria tidak mengembangkan pemikiran dasar kosmologis atau metafisis. Nirvana adalah hilangnya kondisi manusia dan soteria adalah kebebasannya dari dosa.

b.       Sunyata dan Pleroma
Diperlukan satu jilid tersendiri untuk menyajikan perbedaan panafsiran dari gagasan sentral ini, meski maksudnya hanya sepintas sekalipun. Seperti telah ditunjukkan, kita akan mengurangi kesulitan tersebut dengan memilih dau contoh yang penting dan hanya memberikan keranggka kasar dari keduanya. Disini dua kata kunci itu adalah sunyata[87] dan pleroma,[88] kekosongan dan kepenuhan. Keduanya radikal dan boleh menampilkan secara paling baik intisari dari tradisi mereka masing-masing. Lebih lamjut, sebagaimana arti prima facie yang diberikan oleh dua kata itu sendiri, tampaknya kedua istilah itu berbeda secara total, tak hanya satu sama lain, tetapi juga dengan tradisi-tradisi Humanistik modern.
Akhir perjalanan, tujuan manusia, menurut definisinya adalah nirvana dan soteria,tetapi hakekat dari tujuan itu adalah sebagai sunyata pada kasus yang pertama, dan pleroma pada kasus yang terakhir, menurut aliran dalam tradisi masing-masing.
Dalam keselarasan yang total dengan intuisi Buddhis yang sentral, yakni nairatmyavada, atau ajran tentang kefanaan terakhir dari segala sesuatu, konsep sunyata (kehampaan, kekosongan) berusaha mengungkapkan esensi dasar dari yang mutlak, kodrat terakhir dari segala sesuatu.[89]
Sunyavada bukanlah nihilisme filosofis atau agnotisisme metafisis, melainkan suatu penegasan positif dan kongkrit, satu dari antara intuisi manusia yang terdalam mengenai sruktur dasar realitas.[90] Dikatakan bahwa segala sesuatu, yang ada dalam lingkup pengalaman kita, sama sekali tanpa terkecuali-yang aktual dan yang mungkin- tiadak mempunyai konsistensi(yang dilapisi pada permukaan sehingga hanya tampak semunya) dengan mana kita cendrung menghiaskan kontingensi kita.
Semua, termasuk akal budi kita dengan mana kita mengungkapkan gagasan ini, ada dalam cengkraman perubahan terus menerus yang kontingen sifatnya. “pantai yang lain” dalam metafora Buddhis yang senantiasa di ulang-ulang sedemikian total transendensinya sehingga bahkan tidak ada. Pemikiran hal ini justru mengaburkan dan mengasingkannya.[91] “nircana adalah Samsara dan samsanra adalah nirvana”, demikian sebuah rumusan yang sangat dikenal[92] yang terus menerus diulang dalam bentuk yang berbeda-beda.[93] Tak ada jalan untuk pergi kepantai yang lain itu karena tak ada jembatan, bahkan tak ada juga pantai yang lainnya. Pengenalan ini adalah kebijaksanaan yang paling tinggi, intuisi advaita  atau non-dualistik, atau prajnaparamita. Mengenal samsara sebagai samsara,yaitu sebagai perubahan kontinu dari eksistensi dan eksistensi yang sama itu pula sebagai berada pada dalam perubahan kontinu, hal ini sudah merupakan permulaan dari penerangan, bukan karena orang mampu mengatasinya(sebab tidak ada “tempat lain” dibalik atau diseberang) melainkan karena pengenalan ini membersihkan selubung ketidahtahuan yang justru tampak dalam menganggap nyata atau subtansial apa yang sesungguhnya kosong dan hampa.[94] Inilah sebabnya, mengapa diam merupakan sikap yang tepat- bukan karena pertanyaan itu tak ada jawabannya, melainkan karena kita menyadari omong kosong dari pertanyaan itu sendiri, karena tidak bisa ada pertanyaan terhadap apa yang tidak bisa dipertanyakan(hal ini merupakan kontradiksi) dan tak bisa ada jawaban tak ada pertanyaan.[95] Siapa dapat mempertanyakan yang tak dapat dipertanyakan? Tentu bukan yang tak dapat dipertanyakan itu sendiri; dan dari dunia yang dapat dipertanyakan ini tak bisa ada pertanyaan tentang yang tak dapat dipertanyakan. Segala yang dapat ditanyakan tentulah bukan yang tak dapat ditanyakan. Inilah diam ontis(kebisuan adanya) dari Buddha.
Dalam keselarasan sempurna dengan ajaran pokok kristen Inkarnasi, konsep pleroma(kepenuhan dan pemenuhan), mengungkap tujuan manusia dan seluruh ciptaan.[96]  Tidak hanya bahwa penebus datang dalam kepenuhan waktu,[97] melainkan bahwa ia juga memperkenankan mereka yang percaya kepada-Nya sendiri,[98] sebab dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima,[99] dan dalam Dia kepenuhan ke-Allah-an tinggal secara badani.[100] Maka kepenuhan Allah-lah[101] yang mengisi segala sesuatu, sekalipun ada suatu pengmbangan, suatu masa penantian dan harapan sampai masa pemulihan segala sesuatu.[102] Segera setelah seluruh dunia ditundukkan kepada-Nya, kepada siapa segalanya telah ditklukkan, Ia sendiri akan menaklukkan Diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga Allah menjadi segala dalam segalanya.[103]
Lepas dari penggunaan yang sifatnya magis, gnostik, dan lainnya dari kata pleroma, tradisi kristen memahami pesannya sebagai dipanggil menjadi sempurna sebagai Bapa yang di surga;[104] menjadi satu dengan Kristus[105] sebagaimana Ia satu dengan Bapa[106] dan dengan demikian bukannya menjadi seperti Allah, menurut bujugan si penggoda,[107] melainkan Allah sendiri[108] lewat persatuan manusia dengan Putra berkat dan rahmat Roh.[109]
Theiosis, pengilahian, adalah kata teknis yang dipakai selama berabad-abad dalam tradisi kristen, dan rumusan yang paling sederhana mengatakan bahwa Allah telah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi Allah.[110]
Keseluruhan tata pengolaan kristen adalah trnsformasi seluruh kosmos sampai datangnya langit yang baru dan bumi yang baru,[111] termasuk kebngkitan badan.[112] Takdi manusia adalah untuk menjadi Allah, untuk mencapai pantai lain di man ke-Allah-an tinggal, lewat transformasi yang menuntut kelahiran baru supaya dapat masuk Kerajaan Surga.[113] Metanoia, perubahan hati, perubahan hidup dan akhirnya permindahan dari kematian ke kehidupan baru, adalah tema pokok pewartaan Kristus,[114] untuk itu Yohanes Pembaptis, sang pelopor, telah menyiapkan jalan.[115]
Kita harus mencoba sekarang untuk mengerti apa yang disimbolkan oleh kata-kata tersebut dalam tradisi masing-masing.
Tanpa sunyata, pikiran terikat.[116] Kenyataannya, apa yang terikat tidaklah dibebaskan, dan yang tak terikatpun bukan tidak dibebaskan.[117] Menyadari kekosongan dari segala sesuatu, merupakan puncak segala kebijaksanaan(prajna), yang membawa ke kesadaran akan kenisbian radikal segala sesuatu (Pratityasamutpada). Inilah awal pencapain Nirvana. Dari sudut kenyataan sebenarnyaterdapat lebih kesejajaran dari pada hierarki dari keempat gagasan tersebut.[118] Kita tidak melukiskan empat langkah epistemologis maupun ontologis, melainkan empat cara mengantar ke kesadaran yang satu dan sama. Kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang definitif di dunia ini dan bahwa kemungkinan lain manapun, bahkan pikiran kearah itu, masih juga terkait dengan pengalaman “ke-dunia-wian” kita ini dan karenanya terkondisikan, tergantung, dan tidak definitf singkatnya, kosong. Jika bukan karena kekosongan ini, hal-hal itu tak dapat bergerak. Perubahan tidak akan mungkin, karena badan-badan material tidak dapat bergerak manakala tak ada ruangan di antaranya. Kekosongan adalah kondisi utama untuk jenis keberadaan yang cocok untuk benda-benda. Dan tak ada hal lain, sebab sesuatu apapun lainnya yang mungkin ada tentu dipengaruhi oleh kekosongan yang sama, cukup dari kenyataan bahwa kita menganggap hal itu mungkin dan karenanya merupakan objek pikiran kita.
Tak ada air maupin tanah,
Api maupun udara tak dapat bertahan,
Bintang-bintang tidak bercahaya,
Mataharipun tidak bersinar,
Bulan tidak menjadi terang
Dan kegelapan tidak ada.[119]
Tanpa pleroma,tak ada tempat bagi Allah, keberadaan manusia tak ada artinya. Manusia lebih dari manusia. Manakala ia hanya ingin menjadi manusia semata, ia merosot menjadi seekor binatang saja.[120] Ia ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang lebih tinggi.[121] Pada saat ia gelisah[122], pada saat ia mencari-car sesuatu, hal itu disebabkan karena Allah telah memanggil lebih dahulu.[123] Transendensi Allah tetap terjaga sebab pengilahian kristen,tepatnya dikatakan lebih merupakan “keputraan” dari pada peleburan tak terbedakan dengan bapa. Trinitas kristen di sini merupakan jaminan pembedaan yang tepat tanpa pemisahan. Manusia, dan bersama dengan dia seluruh alam, menjadi satu dengan putra oleh kuasa dan anugerah Roh; sebagai putra ia bersatu dengan bapa tetapi tidak pernah menjadi bapa. Sekalipun demikian, pemikiran kristen ortodoks dengan cara bagaimanapun menekankan bahwa sementara Putra adalah Allah dari Allah, terang dari terang, manusia menjadi satu dengan Putra dan karena itu mencapai ke-Allah-an di dalam dan lewat putra. Kefanaan manusia tetap tinggal sebagai cacat, sebagaimana kenyataannya, dalam inti keberadaan. Pengilahian, seperti  ditekankan oleh tradis kristen, tidak berarti alienasi dari manusia, justru karena manusia berkodrat ilahi.[124] Manusia dipanggil untuk ambil bagian dengan Allah secara penuh, kembali keasal dan kodrat primordialnya. Pengilahian memulihkan gambaran yang telah menyimpang dan membuat manusia menjadi sesuatu menurut panggilannya. Keputraan Allah adalah panggilan manusia sebenarnya. Kristus menurut kodratnya[125] adalah kristus sebagai saudara manusia,[126] yang telah memungkinkan manusia ada dan memang demikian berkat pengangkatannya sebagai putra (penebusan); ambil bagian dalam keputraan-Nya[127] dalam generasi baru,[128] yang dilahirkan kembali dalam air dan Roh [129]

3.      Agama-agama dan Pemanusiaan Manusia
  Menurut seorang fisuf Yunani, Manusia adalah ukuran semua hal.[130] Tetapi filsuf Yunani lain menyangkal dia[131] dan menegaskan bahwa Allahlah dan bukan Manusia yang merupakan ukuran semua hal.[132] Maka murid filsuf itu mengatakan bahwa manusia, walaupun dapat mati, seharusnya tidak hanya memuaskan diri sendiri dengan hal-hal yang dapat mati, melainkan berusaha keras untuk menjadi immortal. [133]Namun mereka semua mungkin ingat seorang dari leluhur mereka yang mengatakan:  “Yang menjadi pola tingkah laku manusia adalah daimon-nya.”[134]
Dari inspirasi Ibrani, sesuatu ditulis mengenai Allah yang menciptakan manusia menurut gambaran dan keserupaannya sendiri. [135]Dari sumber yang sama pula, kalimat itu sering dibalikan dan dianggap lebih sebagai definisi mengenai Allah daripada suatu deskripsi mengenai manusia: Allah dalam gambaran manusia.[136]
Seorang Yahudi, yang dipengaruhi kebudayaan Yunani dan pandangan imannya yang menilai sebagai sama Allah, yang telah menjadi daging, [137]sedang seorang Romawi memperlihatkan orang yang sama ini sebagai Manusia[138].
Dan seorang ksatria dari Timur menolak untuk berbicara tentang Allah dan menolak untuk memperturutkan kata hatinya pada spekulais teoritis semata-mata.[139] Orang yang sama ini melibatkan diri secara langsung hanya pada pemberian nasihat yang konkret dan efektif bagimana menangani nasib manusia.[140] Sebagai reaksi terhadap religiostas yang berlebih-lebihan dari zamannya dan melawan kondisi manusia yang merusak dari para tetangganya, dia memusatkan seluruh hidupnya untuk menunjukkan bagaimana melepaskan diri dari keresahan dan kegelisahan manusia yang nyaris meliputi segala, malah dengan menolak untuk mendukung ajaran-ajarannya dengan sesuatu antropolgi.[141] Dalam hal ini, dia mengumandangkan tradisi kebudayaannya sendiri yang dengan sangat kuat menekankan bahwa :
Manusia sesungguhnya adalah Segala-galanya
Apa yang telah ada dan apa yang akan ada,[142]
karena manusia primordial adalah kenyataan yang tertinggi[143]. Maka tidak mengherankan kalau Buddhisme berkembang di tanah manusiawi (Humanistik) secara wajar, yakni dunia Konfusian, dan dalam kebudayaan Cina secara luas.[144]
Melanjutkan deskripsi fungsional agama yang telah kita berikan, mungkin masih perlu kita tambahkan bahwa agama merupakan cara dengan mana manusia menangani nasibnya supaya mampu mengemudikannya menuju suatu situasi  yang sedikit banyak lebih baik. Manusia modern menyadari sungguh-sungguh kepentingan dan kesulitan dalam melakukan tugas semacam ini. Di sini kerangka dari dua tradisi agama besar dapat memperlihatkan sesuatu nilai. Dengan ini mau diklatakan bahwa Perbandingan Agama, jauh dari sekedar membanding-bandingkan agama atau mempelajari sejarahnya, sesungguhnya merupakan studi mengenai problem-problem manusia yang paling mendasar – yakni tentang situasi-situasi religious – dengan bantuan lebih dari satu tradisi agama, sehingga dengan menjelaskan nasib manusia yang konkret dengan pengalaman umat manusia yang terkumpul kita mungkin berada dalam suatu posisi yang lebih baik untuk memahami hal itu.

a.     Buddhisme, Kristianitas dan Humanisme
Dalam penjelasan di atas ini kita sekarang bisa memusatkan diri pada situasi Humanistik dewasa ini. Selama beberapa dekade Humanisme telah menjadi kata yang penuh daya.[145] Kata ini mengekspresikan mitos berharga yang dalam Negara-negara Kristen secara tradisional dapat dipahami sebagai reaksi melawan suatu devaluasi manusia karena mengejar yang supernatural.[146] Abad ke-20 telah menyaksikan kelahiran segala macam Humanisme: atheistik, ilmiah, yang baru, yang klasik, yang modern, yang dari abad pertengahan, yang sosial dan bahkan yang hiperbolik. Sementara suara bahkan didengungkan menyangkut Humanisme Hindhu dan Budhdhis. Sulitlah untuk menguraikan apa yang bukan Humanisme, kecuali sejumlah tendensi manusia dalam beberapa ideology yang dilebih-lebihkan dan dengan jelas bersifat tak manusiawi. Manusia jemu dengan kecenderungan dehumanisasi tertentu dalam agama-agama yang sudah mapan. Humanisme mungkin suatu reaksi yang sehat. Sekarang ini, ideologi-ideologi modern dan apa yang dinamakan teknokrasi dalam segala jenis juga dilihat sebagai kekuatan-kekuatan dehumanisasi. Dewasa ini bukan hanya surga yang transenden dan neraka yang kekal dipandang sebagai dehumanisasai, tetapi masyarakat, teknik, kota-kota modern, dsb., juga dipandang sebagai yang merusak manusia. Dalam konteks inilah agama-agama tradisional ditantang untuk sungguh mengemban tugas pemanusiaan (humanisasi) manusia. Di sini kami bisa menbambhakan beberapa refleksi dari pandangan Buddhis dan Kristen.
Pertama-tama, agama sangatlah peka terhadap pendiktean dari luar atau perintah untuk melayani apa saja, sebab mereka ada di atas segala jenis pelayanan. Masalahnya, menurut mereka, bukanlah ‘menyelamatkan’ nasib manusia menurut pendapat-pendapat individual manusia, melainkan melihat situasi sebagaimana adanya dalam terang tradisi agama itu. Barangkali apa yang disebut ‘Pemanusiaan Manusia’ malah hanya keterjeratan dan kejatuhannya.
Untuk menghindari sikap-sikap yang peka ini, yang hanya muncul dari pendekatan-pendekatan superficial, kita ingin mendekatio masalah itu dari perspektif Perbandingan Agama atau Filsafat Agama seperti telah kita definisikan di atas.
Kira-kira tujuh ribu tahun ingatan sejarah manusia memperlihatkan suatu pola umum yang hadir hampir di mana-mana; keinginan manusia akan kelelahan kekekalan. Mengatasi kematian selalu menjadi keprihatinan sentral agama dan manusia. Menegenai cara-caranya, setiap agama berbeda. Dari sudut pandang Sejarah Agama-agama orang mungkin condong untuk menafsirkan pikiran ke arah yang ilahi sebagai suatu cara untuk menyelamatkan manusia dari cengkraman kematian, ataupun dari ketakuatan pada alam dan pada genggaman seluruh kosmos. Dalam hampir setiap tradisi agama, ciri fundamental dari pengilahian adalah imoralitas. Manusia dapat mati sedang Alah adalah imortal. Nasib manusia adalah untuk mengatasi situasinya dengan cara-cara yang berbeda yang ditawarkan agama-agama yang sangat bermacam-macam itu. Dengan satu lain cara, agama-agama tradisional ingin mengatasi kondisi manusia itu dengan mencapai yang tidak terkondisikan. Pengilahian dapat tampak secara fenomenologis sebagai peniadaan kondisi dari kondisi manusia. Manusia mencapai yang ilahi (yang bisa ditafsirkan secara berbeda-beda) ketika dia telah mengatasi kondisinya yang dapat mati. Kekristenan kiranya merupakan model yang khas untuk sikap ini. Doktrin trinitas Kristen menawarkan pembelaan terhadap suatu pengilahian total (persatuan dengan Putra) tanpa melenyaopkan pembedaan Allah-Manusia.
Buddhisme menawarkan suatu sikap yang berbeda. Ia tidak menginginkan penghapusan kondisi (uncondition) itu tetapi lebih pembatalan kondisi (decondition) manusia; tidak berupaya untuk mencapai yang transenden, melainkan mengatasi yang imanen; tidak terlalu peduli mengenai Allah dibandingkan dengan pembatalan kondisi manusia dengan cara yang radikal dan mustajab. Manusia harus berhenti menjadi apa yang adanya, bukan untuk menjadi hal yang lain, bahkan tidak juga untuk menjadi Allah, tetapi untuk secara total menyangkal situasi manusiawi dan duniawi. Buddhisme mengahncurkan impian manusia akan suatu kelangsungan hidup yang dapat dibayangkan atau dapat dipikirkan.
Berlawanan dengan kedua agama di atas, Sekularisme zaman ini kiranya mewakili suatu sikap baru yang menganggap waktu, yakni alam semesta yang sementara ini, sebagai yang nyata dan positif, dan karenanya tidak untuk diatasi.[147] Sekularisme tidak berarti penghpusan ataupun pembatalan kondisi dari nasib manusia, melainkan secara jernih mengakuinya sebagaimana ia tampak; tidak melarikan diri darinya atau menyangkalnya. Kekuatan yang mendorong di belakang sesuatu Humanisme bertujuan membuat manusia sungguh-sungguh manusia dan tidak lain kecuali manusia. Dan manusia, menurut Humanisme hendaknya membuang sikap ketakutan akan kekuatan-kekuatan duniawi atau adiduniawi. Dia telah dewasa, tidak perlu takut menjadi manusia. Namun setelah mengatasi kekutannya akan alam, akan Allah dan dewa-dewa, sekarang manusia mulai takut akan dirinya sendiri sendiri danm kenyataan sosialnya. Maka seluruh persoalan itu pun muncul kembali. Kita mungkin bertanya, apakah manusia sehingga mungkin bertanya. Apakah manusia sehinga ia harus dibuat menjadi manusia? Siapkah dia ini yang masih perlu untuk dibentuk dibentuk, untuk menjadi apa yang bukan (belum?) dia.

b.    Homo Viator
Suatu studi yang mendalam tentang ketiga jawaban di atas kiranya akan melengkapi manusia modern dengan sebuah model dengan sebuah model yang lebih tergarap daripada suatu pemecahan sepihak yang sejauh ini ditawarkan.[148]Inilah tugas Perbandingan Agama.[149]
Kita mungkin memperhatikan adanya pengandian ganda : (1) manusia adalah adaan (makhluk) yang belum tercapai; (2) pencapaian ini merupakan manusia yang nyata.
Bagian pertama hampir merupakan soal yang biasa. Keadaan manusia tidak pernah definitive. Selalu ada ruang untuk perubahan, penyesalan, harapan, penerangan, keselamatan, perbaikan dan semacamnya. Nasib manusia adalah tak terhingga karena tidak terbatas, tidak berakhir. Manusia adalah makhluk yang terbuka: dia mengada keluar (“ek-sets”) dengan membentangkan adanya, setidaknya menyangkut ruang dan waktu.
Pengandaian yang kedua kurang menyolok, namun berlaku secara sama untuk ketiga sikap fundamental yang kita bicarakan di atas. Tidak ada tradisi manusia, religious atapun secular, yang mengesahkan keterasingan manusia. Mengubah manusia secara radikal menjadi suatu adaan (makhluk) yang sama sekali berbeda tidak hanya merupakan ajaran simpang (heterodoks) dan asing bagi sesuatu tradisi, tetapi juga tak masuk akal. Sesuatu perbedaan hanya mempunyai arti di dalam dan melawan suatu identitas yang mendasarinya. Perubahan yang mutlak adalah kontradikitif dalam istilahnya sendiri, sebab tidak ada sesuatu pun yang tinggal dari apa yang dianggap berubah itu.
Jika Buddhisme mau melenyapkan manusia, untuk membatalkan kondisi manusiawinya, untuk memadamkan dalam dirinya seluruh eksistensi samsara, seluruh sisa dari kemakhlukannya, maka hal itu disebabkan karena ia menganggap manusia tidak ada, bahwa tidak ada atman, sehingga pemadaman (nirvana) dari seluruh struktur ruang-waktu dan pengalaman merupakan ‘perwujudan sejati dari “kodrat” manusia yang autentik’. Pemusnahan seluruh konstruksi kita merupakan pembebasan manusiawi yang nyata. Namun hal ini tidaklah bertentangan dengan sikap pokok ajaran Buddhis yang asli (ortodoks), yaityu kasih sayang universal (karuna),[150] keramahtamahan yang tak terbatas. Anda dapat mewujudkan sikap yang tenang, penuh kegembiraan dan bahkan sikap pragmatis dalam cinta yang efektif hanya kalau Anda telah mewujudkan sunyata dari semua hal.
Jika Kristianitas ingin mengilahikan manusia, agar dia ambil bagian dalam kodrat ilahi dan kembali kepada Bapa melalui Kristus, maka hal itu disebabkan karena kristianitas menganggap kodrat ilahi merupakan konstitusi manusia yang tertinggi dan paling intim.[151] Manusia merupakan keturunan Allah[152] dan haruskembali kepada Bapa untuk secara penuh mewujudkan diri yang sebenarnya.[153] Namun hal ini tidaklah bertentangan dengan pembedaan antara Allah dan manusia, ataupun dengan penekanan Kristiani pada kematian dan kebangkitan, kelahiran baru dan tobat yang total. Kristus yang bangkit begitui pula orang Kristen yang bangkit, tentu saja merupakan makhluk yang baru,[154] tetapi bukan sesuatu yang lain (aliud non alius). Orangnya tetap sama.[155]Dalam peristilahan skolastik; gratia non destruit, sed supponit et perficit naturam (rahmat tidak merusakkan, melainkan mengandaikan dan menyempurnakan kodrat).[156] Allah tidak menjadi Allah, tetapi manusia menjadi apa yang belum merupakan dirinya.
Demikian pula, jika Humanisme ingin memanusiakan manusia dengan membuatnya sadar dan menerima kondisi manusiawinya, dan membantunya melawan gidaan untuk melarikan diri ke wilayah-wilayah yang tidak nyata, maka hal itu disebabkan karena Humanisme beranggapan bahwa masa depan manusia adalah manusia dan bahwa martabatnya yang autentik berupa pengakuan teguh terhadap kemanusiaanya, kendati adanya bujukan-bujukan dari atas atau bawah. Manusia harus menghadapi masa depannya dengan keberanian dan penuh martabat. Bahkan kalaupun harus berhadapan dengan yang absurd atau yang tak bermakna, dia harus menerima dan mengakui dirinya dengan teguh.[157] Sikap ini tidak bertentangan dengan dogma Humanistik yang menyangkal adanya substansi yang lebih luhur dari manusia, karena ‘masa depan’ yang disekularisasdiakn memainkan banyak peranan dari Allah monoteistik; tetapi Humanisme juga menurut suatu kepercayaan yang benar pada manusia, yakni kepercayaan akan yang tampak. Humanism menurut manusia sikap-sikap kepahlawanan sama seperti pada agama tradisional.
Akan tetapi, kendati segala persamaan struktural antara pandangan-pandangan dunia itu, kita tidak dapat mengabaikan perbedaan antropologi mereka, yakni konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang manusia dan akhirnya tentang realitas mendasarinya. Tidak ada sesuatu yang lebih mandul dan berbahaya daripada persetujuan-persetujuan superficial dan kompromi-kompromi yang bersifat taktis. Perintah untuk memanusiakan manusia praktis disetuji oleh setiap orang, namun bagi pandangan-pandangan dunia dan tradisi agama-agama yang berbeda, hal itu berarti hal-hal yang bermacam-ragam dan berlawan-lawanan. Perjumpaan yang sesunguhnya terjadi ketika kita berhenti menganalisis pola-pola struktural dan memusatkan perhatian pada sifat dasar tujuan itu sendiri. Apakah pemanusiaan itu ? Di sini kita tidak dapat berbuat lebih dari hanya mengajukan pertanyaan.

c.      Persimpangan Antara Jalan-jalan
Jika studi agama mempunyai sesuatu arti pada zaman ini, maka itulah masalah yang harus dihadapi. Suatu metodik  yang sama sekali baru dituntut karena kita tidak dapat lagi mengajukan masalah ini dalam cara yang terbatas dan particular seperti yang telah kita lakukan sampai sekarang, dengan membiarkan dunia dibagi ke dalam kompartemen-kompartemen kultural. Bahkan Humanisme modern, pada umumnya, sama picik dan terbatasnya terhadap konsepnya sendiri yang khusus tentang manusia dan Realitas sebagaimana banyak kebudayaan yang lebih tradisional mengritiknya. Tak seorang pun dapat memutuskan secara apriori apa arti memanusiakan manusia, tidak juga hal ini sepenuhnya tergantung pada satu antropologi saja. Di sini bukan suatu metodologi yang dituntut, melainkan suatu metodik  khusus dari dirinya, yang akan muncul dari dalam dan melalui interaksi timbale balik dan fertilisasi silang yang dimungkinkan dari agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Suatu dialog yang dialogis penting di sini. Dialog yang dialogis ini, yang berbeda dari dialog yang dialektis, bersandar pada asumsi bahwa tidak seorang pun mempunyai jalan masuk ke cakrawala universal pengalaman manusia, dan hanya dengan tidak mendalilkan aturan-aturan perjumpaan itu dari sesuatu pihak saja, manusia dapat maju menuju pemahaman yang lebih dalam dan lebih universal tentang dirinya dan karena itu semakin lebih mendekati realisasi dirinya sendirinya. Pada pokok ini, menginginkan untuk memanusiakan manusia menurut suatu skema yang telah dikonsepkan sebelumnya. Meskipun bagi sejumlah orang mungkin meyakinkan, namun hal semacam itu hanya akan mengulangi kesalahan yang sama yang telah dilakukan begitu banyak tradisi agama dalam keyakinan mereka sebagai pemilik kebenaran atau Berkewajiban, dan karena itu juga berhak, untuk menyebarkan pesan keselamatan mereka. Padahal tidak seorang pun dikecualikan dari tugas untuk memanusiakan manusia; tidak ada tradisi manusia yang mesti berdiam diri dalam tugas umum ini.
Kita bisa menambahkan suatu pemikiran akhir, perbedaan antara eklektisisme dan sinkretisme. Yang pertama adalah campuran yang tidak kritis dari tradisi-tradisi agama dan persetujuan di antara mereka. Caranya dengan memotong semua ketidaksepahaman yang mungkin demi suatu denominator (sebutan) bersama yang tidak menentu. Sinkretisme memperbolehkan asimilasi yang mungkin dari unsur-unsur berkat mana unsur-unsur ini tidak lagi menjadi badan-badan asing, sehingga pertumbuhan organic dalam masing-masing tradisi menjadi mungkin, dan penyuburan timbal balik dari tradisi-tradisi agama menjadi suatu pilihan yang sejati.[158]
Dengan menghindari ekleksitisme, tetapi dengan memikirkan interaksi yang mungkin – walaupun kita tidak boleh meremehkan keterangan-keterangan yang ada, entah filosofis, teologis, atau keagamaan, antara tradisi-tradisi yang sedang dipertimbangkan – kita bisa membayangkan adanya koreksi, peringatan dan saling melengkapi yang kiranya tidak hanya akan menghilangkan saling kecurigaan dan sikap-sikap sepihak yang begitu sering terjadi, tetapi juga membantu memupuk pertumbuhan manusiawi yang nyata dan dengan demikian menyumbangkan secara positif pemanusiaan yang konkret terhadap kehidupan manusia di bumi.
Perkenankan saya menunjukkan beberapa hal untuk dipelajari. Perhatian pokok Buddhisme pada waktu yang tepat mengingatkan Kristianisme dan setiap Humanisme bahwa tidak ada ‘pewahyuan’ atau ‘penalaran’ yang membenarkan manipulasi dengan kedok ‘kehendak Allah’ ataupun ‘tuntutan-tuntutan Akal Budi’ mau menyetir manusia dan dunia ke tujuan-tujuan yang telah didefinisikan dengan jelas. Tujuan akhir selalu sedemikian tak terlukiskan sehingga hal itu malahan tidak ada. Buddhisme dengan seksama mempertahankan misteri eksistensi yang terakhir, yang secara mutlak tidak dapat ditangkap. Di sini misteri itu bersifat imanen.
Perhatian pokok Kristianisme pada waktu yang tepat mengingatkan  Buddhisme dan semua Humanisme bahwa tidak ada usaha sendiri dan kehendak baik yang memadai untuk merekayasa nasib manusia dengan semestinya. Kita harus terbuka terus-menerus terhadap pemunculan-pemunculan Realitas itu sendiri yang tidak diharapkan dan tidak dapat diramalkan, yang oleh orang Kristen disebut sebagai Allah atau Penyelenggaraan Ilahi. Kristianisme berpihak pada pembelaan yang autentik dan tidak egois terhadap terhadap hak-hak primordial Realitas itu, terhadap mana manusia bukanlah tuan. Di sini misteri bersifat transenden.
Selanjutnya, Humanisme pada waktu yang tepat mengingatkan Buddhisme dan Kristianisme bahwa  tidak saja agama-agama tradisional itu sering melupakan ajaran-ajaran mereka sendiri – seperti mereka yang tidak berwenang mengenai Buddha,[159] yang justru menjadi halangan paling besar untuk mewujudkan kodrat Buddha mereka sendiri,[160] atau seperti hari Sabat yang dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya[161] dan kebebasan anak-anak Allah,[162] dibebaskan oleh Sang Kebenaran sendiri[163] - tetapi juga bahwa pemanusiaan manusia tidak boleh kehilangan pandangan menyangkut manusia konkret yang akan dimanusiakan. Menunjkkan jalan atau mewartakan pesan tidak pernah akan mencukupi jika kondisi-kondisi tidak diberikan dan diolah. Sekularisme adalah kesadaran akan tanggung jawab penuh manusia terhadap masa yang akan datang. Di sini misteri merupakan titik pertemuan antara yang imanen dan yang transenden.
Meskipun ada resiko salah paham yang bisa terjadi (andaikata kata-kata saya ditafsirkan hanya dalam satu kunci), saya akan mencoba mengungkapkan apa yang dapat dipertimbangkan sebagai pemanusiaan manusia yang benar dalam kerangka tiga tradisi besar tersebut. Pemanusiaan manusia berarti menjadikan dia sungguh-sungguh manusia, tetapi ekspresi ini berbahaya dan ambivalen karena pembendaan kata kerja di situ (yakni “memanusiakan”) bukanlah sekedar transitif atau intransitif. Hal ini bukanlah seolah-olah seseorang lain sedang memanusiakan manusia atau seolah-olah manusia itu sendiri dapat mencapai apa yang belum menjadi dirinya. Pemanusiaan manusia lebih dimaksudkan sebagai penceburan ke dalam realitas dan partisipasi dalam keseluruhan nasib dari semua yang ada, yang terjadi di dalam dan di luar manusia. Ini adalah suatu proses dalam mana manusia menjadi sungguh-sungguh seorang pribadi, kadang-kadang melepaskan gambaran yang dia miliki tentang dirinya sendiri, mati, lenyap, mengatasi dirinya sendiri; saat lain meneguhkan adanya ketika ia diancam oleh kekuatan-kekuatan asing, tatapi dalam setiap peristiwa itu ia masuk ke dalam hubungan ontonomis yang lebih dalam dengan Realitas – apa pun hal yang terakhir ini, entah ada atau tidak ada. Yang disentuh di sini bukan hanya pantai kelemahlembutan, kekuatan dan kebijaksanaan tetapi juga lubuk keputusasaan, ketiadaan dan kematian. Pemanusiaan ini harus menyangkut segala sesuatu sehingga manusia secara unik sanggup untuk itu. Hal ini tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Setiap orang adalah simpul yang unik dalam jaringan semesta. Bisa berarti ia harus meraih puncak-puncak Ketuhanan, jika ini merupakan model yang dimiliki manusia untuk dirinya sendiri, asal panggilan semacam itu bukan sekeddar suatu proyeksi kosong dari keinginan-keinginan rendah yang tak terpenuhi. Bisa pula berarti manusia harus menyentuh pantai ketiadaan, asalkan dia tidak tinggal tempat yang tidak bereksistensi itu. Bisa berarti mengembangkan seluruh kemampuan manusia, asalkan hal-hal itu bukan mimpi-mimpi yang dibuat-buat. Akhirnya ini berarti mengetahui dan menerima nasib manusiawi dan sekaligus mengetahui bahwa nasib manusiawi ini membawa sertanya usaha terus-menerus untuk mengatasi semua yang merupakan manusia sekarang.[164]
Dalam pengertian inilah, dewasa ini suatu stadium tentang agama secara jujur dan dengan keterlibatan total (karena tidak berpamrih), dengan segala risiko, ketidakpastian dan kegirangan yang menyertainya, barangkali merupakan salah satu dari tindakan keagamaan yang paling autentik – setidaknya bagi beberapa orang dari kita.


BAB VI
AGAMA MASA DEPAN

Ada Banyak Ramalan (Prophecies) dan beberapa kepercayaan dalam subyek ini, tetapi yang paling diperlukan adalah untuk memahami apa arti agama. Agama yang ada saat ini, atau agama yang akan datang, atau agama masa lalu, adalah untuk mereka yang membagi Kebenaran, yang sebenarnya satu, menjadi banyak. Sebenarnya apakah itu? Dan mau jadi apa. Apakah pemikiran ini tidak didukung oleh Yesus Kristus, yang berkata: “Aku tidak datang untuk memberi hukuman baru; aku datang untuk memenuhi hukum?”  Jika Yesus Kristus berkata demikian, maka dapatkah orang lain menyatakan diri dan berkata: “Aku memberimu agama baru?” Tidak ada agama baru; orang dapat saja berkata, “Aku ingin mengajarimu kebijaksanaan baru.  Tidak ada kebijaksanann baru; kebijaksanaan selalu sama, sejak dulu hingga sekarang dan untuk yang akan datang akan begitu seterusnya.
Hal ini, bagi orang yang hatinya masih penasaran akan menimbulkan suatu pertanyaan; “lantas keanekaragaman agama macam apa ini, yang telah melibatkan umat manusia selama bertahun-tahun dalam konflik antara satu dengan yang lain, karena sebagian besar peperangan dipicu oleh sebab agama?” ini hanya menunjukkan kekanak-kanakan manusia. Agama yang dulu dan sekarang diberikan, dimanapun diberikan  adalah untuk persatuan, untuk keharmonisan, persaudaraan, tapi diperguna-kan oleh manusia yang kekanak-kanakan untuk berselisih, bertengkar dan melibatkan diri mereka sendiri dalam peperangan selama bertahun-tahun. Hal yang paling mengge-likan bagi orang bijaksana adalah untuk memikirkan dan melihat bagaimana mereka telah memberi nama dalam sejarah masa lalu, suatu karakter yang dianggapnya paling suci untuk ikut berperang, pertumpahan darah dan menyebut perang itu sebagai perang suci, atau perang keramat. Dan kecenderungan yang sama untuk memicu peperangan antara yang satu dengan yang lain, bermula dari agama mereka, hal ini terus berlangsung dalam kurun waktu materialism; kecenderungan yang sama berubah menjadi perang antara dua Negara. Pada saat yang sama keberadaan dari perbedaan dan ketidaksamaan antara dua kepercayaan yang berbeda masih tetap ada dalam tingkatan yang lebih kecil ataupun justru malah lebih besar. Fenomena ini menunjukkan apa? Hal ini menunjukkan bahwa arti sebenarnya dari agama belum dipahami oleh sebagian besar orang. Oleh karena itu misi bahwa agama harus menjadi penyelesai dalam hubungannya dengan umat manusia, masih tetap ada untuk ditindaklanjuti. Dan pemenuhan tugas itulah yang telah diisyaratkan oleh Yesus kristus: “Aku datang untuk menyempurnakan hukum, bukan untuk memberikan hukum baru”.
Agama bisa dipandang dari lima sisi. Yang pertama, agama yang kita ketahui sebagai dogma-dogma, hukum-hukum ataupun ajaran-ajaran tertentu. Kemudian ketika Tuhan berfikir dan melihat keadaan dunia sekarang ini, kita melihat bahwa hukum sekarang ditentukan oleh Negara. Sekarang setiap Negara bertanggungjawab atas ketentraman dan kedamaian penduduknya.
Disamping ini, aspek agama yang kedua adalah gereja (tempat ibadah) dan bentuk leyanannya. Dalam hal ini terdapat perbedaan-perbedaan, dan akan selalu ada perbedaan; ini adalah masalah temperamen, masalah kecenderungan, dan juga tergan-tung pada adat kebiasaan dan kepercayaan orang yang mewarisi kecenderungan tersebut dari leluhurnya. Beberapa agama mempunyai bentuk upacara dan do’a-do’a yang berbeda  tempat ibadahnya yang dapat membantu mereka merasakan peninggalan (spiritual); yang lainnya hanya mempunyai bentuk-bentuk pelayanan yang sederhana. Yang satu menarik bagi yang pertama sedangkan yang lain menarik bagi yang berikutnya.
Tidak diragukan lagi, dunia berevolusi menuju keseragaman, dan selagi kita sekarang melihat tidak ada persedaan yang sangat besar antara bentuk-bentuk tersebut – bentuk dari segala sesuatu, perbedaan kebiasaan dalam hal penyambutan, berpakaian, dan masih banyak lagi – sehingga orang menuju keseragaman tertentu. Pada saat yang sama, ketika kita melihat pada subyek tersebut dari sudut pandang yang berbeda, kita akan menemukan bahwa bahwa seringkali keseragaman menghilangkan keindahan dalam hidup ini. Di Negara-negara yang begitu beradab dan maju, bilamana semuanya berpakaian dengan cara yang sama, orang akan menjadi bosan sehingga mereka ingin pergi kenegara lain dan melihat rumah-rumah yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, demikian juga dengan orang-orangnya. Sebagai contoh, metode menulis music dan bentuk notasi untuk seluruh dunia Barat sama semua, tetapi perbedaan antar music Perancis, Italia, Jerman, Rusia member suatu stimulus bagi pecina music. Demikian juga dalam perbedaan bentuk-bentuk tadi. Menginginkan untuk menjadikan semua orang hidup serupa dan bertindak sama berarti mengubah semua orang menjadi satu bentuk dan satu wilayah, dan apa yang terjadi kemudian? Dunia akan menjadi sangat tidak menarik. Yang diperlukan adalah untuk mengetahui bagaimana menciptakan keharmonisan antara nada-nada yang berbeda tersebut.
Aspek agama yang ketiga adalah religious ideal (beragama secara ideal), agama Tuhan dan Yesus Kristus. Tuhan dan Yesus Kristus adalah jiwa yang telah dijunjung tinggi sebagai ideal-nya. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa didiskusikan, sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan. Semakin sedikit dibicarakan, semakin baik. Ini adalah hasil dari penyerahan diri dari hati yang tulus yang melahirkan ideal tersebut yang terlalu suci untuk disebut, suatu ideal yang tidak bisa diperbandingkan, tidak bisa dijelaskan. Ketika pengikut agama-agama yang berbeda sampai pada pertanyaan ini dan berselisih tentang sesuatu yang ideal bagi mereka, sesuatu yang suci yang mereka punyai walau sebatas tradisi – mereka tidak mengetahuinya, mereka hanya mempunyai tradisinya – dan berharap untuk membuktikan lebih dari yang lainnya, mereka sesungguhnya membuang-buang waktu dan mereka sendiri menghancurkan sentiment suci yang hanya bisa dipelihara dalam hati. Religious Ideal adalah sarana yang dipakai seseorang untuk meningkat menuju kesempurnaan. Apapun nama yang orang berikan pada ideal-nya, nama itu hanya untuknya, dan nama itu bukanlah yang paling suci baginya. Tetapi berarti bahwa nama tersebut membatasi ideal tersebut. Hanya ada satu ideal, divine ideal (teladan/cita-cita keilahian). Panggilah ia sebagai Kristus, dan biarkan Kritus yang  sama diketahui dengan nama berbeda, yang diberikan padaNya oleh berbagai komunitas. Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai kesetiaan besar, cinta yang besar dan keterikatan pada temannyam berbicara tentang persahabatan dalam kata-kata yang muluk, dan dia berkata betapa berharganya untuk menjadi temannya; tetapi kemudian ada yang lain lagi yang berkata: “Oh, aku tahu temanmu, bagaimana dia sebenarnya; dia tidak lebih baik dari orang lain.” Jawaban terhadap pemikiran ini diberikan oleh Majnun, dalam kisah yang diceritakan oleh orang-orang dahulu, yang mana seseorang berkata pada Majnun, “Leila kekasihmu itu, tidak secantik yang kamu kira.” Dia berkata,”Leilaku harus dilihat dengan mataku. Jika kamu ingin melihat betapa cantiknya Leila, kamu harus meminjam mataku.” Oleh karena itu jika anda ingin menghargai obyek kesetiaan, apapun kepercayaannya, atau apapun komunitasnya, orang yang bagaimanapun, anda harus meminjam mata mereka, anda harus meminjam hati mereka. Tidak ada gunanya memperselisihkan sejarah, tradisi dalam sejarah; karena hal-hal tersebut seringkali dibuat dengan prasangka. Kesetiaan adalah masalah hati, dan dibuat oleh mereka yang setia.
Aspek agama yang keempat adalah gagasan tentang Tuhan. Akan selalu ada perdebatan dan diskusi mengenai hal itu, orang berkata, “Tuhannya keluargaku adalah satu, dan Tuhannya keluargamu lain lagi.” Selalu ada pertengkaran. Pada zaman dahulu ada perselisihan antara orang-orang yang berkata bahwa Tuhanna Bani Israil adalah Tuhan yang istimewa; maka setiap komunitas dan setiap Gereja membuat Tuhannya adalah Tuhan yang istimewa. Jika ada Tuhan yang istimewa, tidak hanya Tuhan istimewa untuk satu komunitas, tetapi Tuhan setiap individu. Karena manusia harus membuat Tuhannya sendiri sebelum merealisasikan Tuhan yang sesungguhnya. Tetapi Tuhan yang dibuat manusia di dalam dirinya sendiri, pada akhirnya menjadi pintu baginya untuk memasuki tempat suci dari dirinya yang terdalam, Tuhan yang sejati, yang ada di dalam hati setiap manusia. Maka orang yang akan mulai menyadari bahwa Tuhan bukanlah hanya Tuhan untuk satu komunitas atau orang-orang tertentu saja tetapi Tuhan adalah Tuhan dari seluruh Keberadaan.
Kemudian sampailah kita pada aspek agama yang lain, yang tidak memerlukan hokum atau upacara atau divine ideal atau Tuhan, tetapi sesuatu yang terlepas dari keempat aspek diatas. Yaitu, sesuatu yang hidup dalam jiwa, dalam pikiran, dalam hati manusia, ketiadaannya memnbuat manusia seperti mati, dan kehadirannya member kehidupan. Seandainya ada agama, itu adalah perasaan yang khusus. Rasa yang bagaimana? Hindu menyebutnya dalam bahasa sanskerta: Dharma, yang dalam arti kata biasa adalah kewajiban. Tetapi ia adalah sesuatu yang lebih besar daripada yang kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari sebagai kewajiban. Saya tidak menyebutnya kewajiban, tetapi hidup itu sendiri. Ketika seseorang banyak berpikir, menimbang-nimbang, merasa ada sesuatu kewajiban yang harus dia kerjakan terhadap sesamanya, terhadap temannya, terhadap ayah atau ibunya, atau dalam hubungannya dengan siapapun orang itu, selama masih menjadi manusia, ia adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang seperti air, yang member rasa akan jiwa yang hidup; jiwa  yang tidak mati. Jiwa yang hidup inilah yang sesungguhnya membuat seseorang hidup. Dan orang yang tidak menyadari hal ini, kelembutan ini, kesucian hidup ini, dia hidup, tetapi jiwanya ada didalam kubur. Anda tidak perlu bertanya pada orang itu apa agamanya, apa kepercayaannya, karena ia hidup didalamnya; hidup itu sendiri adalah agamanya, dan inilah agama sejati. Manusia yang sadar akan kehormatan, yang punya rasa malu, yang mempunyai rasa ketulusan, yang mempunyai rasa simpati, yang mempunyai rasa penuh kesetiaan, orang tersebut jelas hidup, orang tersebut benar-benar beragama.
Agama inilah yang menjadi agama masa lalu dan akan menjadi agama masa depan. Dan agama, jika diajarkan oleh Kristus atau Orang Suci lainnya, adalah untuk membangkitkan rasa tersebut dalam diri manusia.
Tidak peduli kerumah ibadah mana anda masuk dan berdo’a, karena setiap saat dari hidup anda adalah agama itu sendiri. Maka hal itu bukanlah agama yang anda percayai, tetapi itu adalah agama yang mana anda hidup.
Apakah ajaran Sufi itu? Sufisme adalah Ajaran yang menggali hidup yang seperti air, yang telah terkubur oleh riak-riuk kehidupan materiil ini. Ada ungkapan Inggris: “Jiwa yang hilang.” Jiwa itu tidak hilang, hanya terkubur. Ketika ia digali maka sifat keilahian yang hidup memancar keluar seperti air. Pertanyaannya adalah, apa yang disebut menggali itu? Apa ayng digali orang dari dalam dirinya sendiri? Apakah tidak benar, tidak disebutkan di dalam kitab-kitab bahwa tuhan adalah Cinta? lantas dimanakah Tuhan harus dicari? apakah Dia harus dicari ke Surga ke tujuh ataukah Dia  harus dicari di dalam hati manusia? Dia harus dicari di dalam hato manusia, yang menjadi tempat sucinya. tetapi jika hati ini terkubur – hati yang telah kehilangan cahayanya, kehidupan itu, kehangatan itu – lantas ia nanti menjadi seperti apa? ia seperti kuburan.  keadaan seperrti itu digambarkan dalam lagu popular inggris, satu baris yang indah: “cahaya seluruh kehidupan mati ketika cinta usai”. sesuatu yang hidup dalam hati tersebut adalah cinta. ia bisa dating dalam bentuk kebaikan, persahabatan, simpati, toleransi, sikap pemaaf – dalam bentuk apapun dalam air kehidupan ini muncul dari hati, ini membuktikan bahwa hati adalah sebagai mata air keilahian. dan begitu mata air ini terbuka dan mengalir, setiap yang dilakukan manusia seperti suatu perbuatan, perkataan, perasaan, itu semua adalah agama; orang itu menjadi pemeluk agama.
                jika ada agama yang akan datang, suatu agama baru, tentulah agama itu agama hati. setelah mengalami berbagai penderitaan yang disebabkan oleh peperangan pada akhir-akhir ini, manusia mulai membuka matanya. dan seiring dengan berlalunya waktu, manusia akan membuka matanya untuk mengetahui dan memahami bahwa agama yang benar ada di dalam hati yang terbuka, dalam pandangan yang luas, dan dalam agama yang hidup yang mana itu adalah: satu agama.


VII
AGAMA
MANCARI YANG IDEAL

Agama adalah kebutuhan jiwa umat manusia. di sepanjang sejarah dan disetiap tahap evolusi umat manusia, ada agama yang diikuti eloh penduduk dunia. pada tahap evolusi apapun, dan dalam periode manapun, kebutuhan akan agama selalu dirasakan kehadirannya. alsannya adalah, bahwa jiwa manusia mempunyai lima keinginan yang mendalam, dan keinginan itu terjawab oleh agama.
1
Keinginan yang pertama adalah mencari ynag ideal. akan datang suatu saat, ketika manusia datang mencari keadilan yang lebih utuh daripada yang dia temukan diantar manusia, dan ketika dia mencari seseorang, yang padanya dia bisa bersandar lebih yakin dari pada yang dia dapatkan ketika bersandar pada teman-temannya didunia ini. akan datang suatu kondisi, ketika seseorang merasakan suatu keinginan untuk membuka hatinya pada tingkat keberadaan yang berada di atas keberadaan umat manusia dan yang dapat memahami hatinya. Manusia secara alamiah berkeingina untuk bertemu dengan seseorangyang lebih hebat darinya. dan ketika dia mencari di dunia yang fana ini, - karena jiwa tidak bisa sampai pada tahap yang menurutnya ideal – dia secara alamiah berpaling keatas menuju ”seseorang” yang lebih tinggi dari manusia. manusia ingin merasakan bahwa ada “seseorang” yang datang menolongnya, “seseorang” yang ada didekatnya ketika berada di dalam kesendirian. dia merasakan kebutuhan untuk memohon pengampunan pada “seseorang” yang berada di atas batas keterbatasan manusia, dan mencari perlindungan di bawah “seseorang” yang lebih kuat darinya. dan untuk semua kecenderungan alami Manusia ini ada sebuah jawaban, dan agamalah yang dapat memberikan jawbannya itu: ialah Tuhan.
2
Setiap mahluk hidup didunia ini mencintai kehidupan di atas yang lainnya. Serangga terkecil, yang hidupnnya berlangsung beberapa saat, mencoba untuk meloloskan diri dari setiap bahaya supaya hidup lebih lama. dan keingina untuk hidup adalah hal yang paling jelas terlihat dalam diri manusia. begitu kecerdasan diberikan pada diri manusia, dia mulai bertanya-tanya, apakah sesungguhnya hidup ini adalah persinggahan, dan jika begitu, setelah hidup ini apakah semuanya akan berakhir. suatu pemikirang yang menyatakan bahwa, ”setelah hidupku yang pendek ini, dunia akan terus berjalan; ia akan hidup” – pemikiran seperti ini, bagi seorang manusia, lebih mengerikan daripada kematian. dan jika kehidupan tidak memiliki efek melelapkan, pemikiran seperti ini akan membunuh banyak orang. orang yang berpikir bahwa setelah kehidupan ini tidak ada yang lain lagi, maka pemikiran itu tidak dapat bertahan dalam waktu lama. bila berpaku dalam pemikiran ini dan erus merenungkannya, adalah seperti apa yang dirasakan oleh orang-orang yang berdiri diketinggian dan melihat ke bawah membuatnya ngeri. kepercayaan bahwa hidup akan terus berjalan setelah kita mati, adalah gagasan yang paling menyenangkan bagi setiap jiwa. Orang yang belum menerima hasil atas usaha-usahanya, kebaikannya: orang yang belum, dalam keehidupannya, betemu dengan  satu jawaban pada rasa keadilan di dalam dirinya; orang yang  belum menemukan dalam dirinya suatu kepuasan secara seutuhnya; Orang yang belum bisa memenuhi keinginan dalam hidupnya, harannya sesudah itu ada di dalam apa yang akan datang, dan Agama ini menjanjikan kepadanya.
3
                Manusia mempunyai keinginan akan kemuliaan, kemuliaan yang didapat dalam kebersihan lahir dan kesucian bathin. Manusiaingin merasakan kemuliaan baik dengan kekuatan atas kata-kata(perintah) dan dari lingkungan sekelilingnya. Manusia mengusahakan kemuliaan tersebut dengan pemikiran, dengan tindakan dan dengan perasaan.secara alamiah hidup di dunia ini mengikat manusia secara terus-menerus kepada bumi (dan gemerlapnya). panca inderanya terus menerus menariknya agar condong ke bumi; sifat alami manusia yang kasar, yang sering sekali membuat kejutan-kejutan(ingin berbeda dengan lainnya), suatu ketertarikanyang inheren ada pada manusia terhadap bumi, dan menyebabkan manusia secara terus-menerus memikul beban tanggung jawab yang berat, dan pada akhirnya disadari, bahwa tanggung jawab ini tidaklah penting benar. satu-satunya perubahanyang bisa dilakukan untuk menghilangkan tanggung jawab material pada dirinya adalah dengan berdo’a, baik sendiri-sendiri maupun bergabung dengan yang lainnya dalam ritual dan upacara keagamaan, ini merupakan sarana bagi manusia untuk meraih kemuliaan tersebut sebagai jawaban atas keinginannya.
4
Manusia dengan semakin dewasa jiwanya, berkeinginan untuk menemukan kehidupan yang hakiki. Dia berkeinginan untuk menemukan kekuatan tersembunyi yang ada didalam dirinya, Dia berkeinginan menemukan asal muladan tujuan hidupnya, Dia rindurindu untuk memahami tujuan dan arti hidup, dia ingin memahami arti yang sebenarnya atas segala sesuatu, dan ia ingin membuka atas semua yang tertuttup oleh nama dan bentuk: Dia mencari pengertian yang mendalam pada sebab dan akibat, dia ingin menguak misteri Waktu dan ruang, dan dia ingin menemukan rantai yang putus antar Tuhan dan Manusia – dimana Manusia berakhir, diman Tuhan bermula. dan pemenuhan atas keinginan ini juga dapat ditemukan dalam hubunganya  dengan semangat yang diberikan oleh agama.
5
Adalah keinginan yang paling alamiah dari jiwa manusia adalah mencari kebahagiaan dan kesenangan. Manusia menginginkan adanya prinsip-prinsip dasar sebagai pegangan hidupnya, dan dia mengharapkan standar moral sebagai aturan bermasyarakat. Dia menginkan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat; dia menginginkan kehidupan bersama orang yang dicintainya; dia menginginkan keamanan atas semua yang menjadi miliknya, timbale balik yang paling menguntungkan , member dan menerima yang adil, dan segala hal yang memberikan kebahagiaan dan kedamaian di rumah dan di Negara.
Di dunia pada saat ini, masih banyak orang yang berpikir bahwa orang bisa berbuat tanpa agama, dan bahwa mereka sendiri telah menguasai (menjadi lebih tinggi dari) agama dengan alasan evolusi mereka. banyak yang tidak mempunyai kepercayaan dalam beragama. Oleh karena itu, dunia berada dalam keadaan yang lebih kacau. tidak diragukan lagi orang dapat menemukan dalam tradisi maupun dalam sejarah, bahwa atas nama agama, keegoisan dan pengbaian terhadap umat manusia telah memainkan peran yang besar. karena itu manusia – bangkitlah menentang keadaan ini – telah meninggalkan agama, dan melupakan semangat yang mengatasnamakan agama, juga telah memainkan sebagian perannya di dunia. sekarang, dalam ketidakadaan pengaruh agama, semangat yang dengan nama agama dapat memainkan perannya dalam sejarah, selanjutnya semangat ini berperan dibawah modernisme. meskipun manusia mencoba membuat pemisah antara dirinya dengan orang lain, dirinya selalu merasakan kekurangan dalam dirinya, di dalam rumah dan di negrinya. ini bisa dilihat , saat ini, diantara para materialis, yang tidak akan memperbolehkan dirinya, walaupun sekejap, untuk memeluk suatu keyakinan: Agama, tetapi mereka masih saja belum puas. alasannya adalah bahwa mereka kehilangan sesuatu yang sangat besar dan sangat penting, sesuatu itu tidak bisa mereka capai karena mereka telah membagun tembok di hadapan mereka sendiri.

BAB VIII
TUHAN DAN SEJARAH

Andaikan kematian seseorang berarti akhir seluruh cerita hidupnya, yang berarti setelah mati tak ada lagi kelanjutan hidup dan tak ada yang namanya pahala (reward) dan siksa (punishment), maka rasanya cerita kehidupan menjadi sangat pendek dan hampa (absured). Sejak terjang dan hiruk-pikuk kehidupan lalu berjalan tanpa tujuan yang lebih tinggi, kecuali sekedar menjalani hidup layaknya tumbuh-tumbuhan. Semuanya berakhir dengan kekalahan dan kepunahan. Andaikan tak ada keabadian jiwa setelah peristiwa kematian, sehingga tak ada pengadilan Tuhan Yang Maha Adil setelah peristiwa kematian, landasan moral apakah yang dijadikan pijakan absolut dalam menjalani hidup yang kadang kala sangat menyakitkan dan sulit dipahami ujung pangkalnya ini?
Demikianlah, sejarah manusian sejarah alam raya selalu menjadi obyek renungan dan perdebatan yang tidak pernah selesai karena terlalu kecil dan sangat terbatas kemampuan manusia untuk bisa memahami realitas hidup yang ujung dan pangkalnya di luar kemampuan nalar manusia. Kita tidak tahu secara persis bagaimana kehidupan ini bermula dan bagaiman akhirnya akan berakhir. Atau, adakah tidak bermula dan tidak berakhir? Di sini jelas sekali bahwa pemahaman dan pengetahuan manusia banyak mengandung perkiraan, tafsiran, dugaan yang kemudian dipercayai sebagai sebuah keyakinan karena hidup tanpa keyakinan bagaikan orang berjalan tanpa tujuan dan tapa tempat berteduh. Lelah dan bingung. Terlepas adakah sebuah keyakinan memang benar ataukah salah, yang pasti hidup tanpa keyakina tidak akan tenang. Adakah dalam hidup ini terdapat keyakinan yang kebenarannya absolut sehingga mampu membimbing pengembaraan hidup dan melewati batas-betas duniawi yang teramat pendek, teramat dekat, dan sangat terbatas ini?
Sulit dinafikan, di samping cerita bahagia, sejarah kehidupan juga menyajikan serial derita, ketidakadilan, kedzaliman, dan pengorbanan dari mereka yang sesungguhnya tidak bersalah. Jika kenyataan ini dipandang secara negatif, maka di mana peran Tuhan yang membiarkan smua ini berlangsung? Beberapa pertanyaan klasik yang selalu diulang antara lain, jika Tuhan Maha Kasih dan Maha Perkasa, mengapa kedzaliman terhadap mereka yang lemah dan tidak berdosa dibiarkan saja? Ketika rakyat sipil di Irak diajar dan dibantai oleh tentara Amerika dan Inggris, di mana campur tangan Tuhan? Jika Tuhan Maha Tahu, mangapa ada istilah Ia hendak menguji pada manusia yang lemah dan bodoh ini? Yakin bahwa Tuhan tidak pernah tidur, adakah proses sejarah ini selalu diintervensi ataukah dibiarkan berjalan bagaikan sebuah jam yang berjalan otomatis? Ataukah sesungguhnya sejarah berjalan tanpa pakem (batasan-batasan standar) yang baku?
Demikianlah, pelbagai pertanyaan teologis dan filosofis senantiasa muncul ketika kita dihadapkan pada relaitas sejarah yang begitu kompleks dan sering kali sulit dipahami oleh nalar. Asumsi dan jawaban yang muncul dari pelbagai pertanyaan di atas sangat beragam, dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing. Para ilmuan, teolog, filosof, dan sejarawan terbagi-bagi pada pelbagai madzhab sehingga sudut pandangnya berbeda yang pada urutannya melahirkan kesimpulan yang juga berbeda. Dengan kata lain, kita memang sulit lari dengan penafsiran terhadap Tuhan dan penafsiran atas kehendak-Nya, juga terhadap realitas sejarah itu. Karena penafsiran, mungkin sekali – atau bahkan pasti – mengandung kesalahan, tetapi jika dilakuka secara tulus, cermat, dan didorong oleh cinta kebenaran, pasti ada kebenarannya.

A.     Memakai Pengorbanan
Pelbagai peristiwa sejarah selalu melahirkan tragedi yang sulit dicerna oleh nalar sehat dan hati nurani. Tak terhitung jiwa manusia melayang dan sebuah masyarakat mengalami kehancuran akibat kebiadaban orang lain. Contoh paling mutakhir adalah rakyat Palestina dan Irak. Bagaimana memahami dan menafsirkan semua ini?
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, salah satu pandangan teologi Islam yang dikenal qodariyah menyebutkan bahwa Tuhan memang sebagai pencipta, penguasa, dan pengatur sejarah. Namun keterlibatan Tuhan dalam sejarah telah dituangkan dalam suatu hkum-hkum sejarah dan hukum alam. Jadi pada setiap peristiwa sejarah, intervensi Tuhan tidak langsung dan seketika. Di sana telah terbuka panggung kebebasan dan kecerdasan manusia untuk menerima tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Manusia lalu akan belajar dari perjalanan umat yang telah lalu, bagaimana membangun kehidupan yang beik, beradab, dan sejahtera.
Sekalipun Tuahn tidak langsung berintervensi, namun kaidah dan catatan mral bagi setiap individu tidak pernah berhenti. Dalam konteks demikian maka sesungguhnya setiap derita nasib buruk yang menimpa orang tidak bersalah akan menjadi sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia bagi proses pendewasaan dan pembelajaran manusia untuk membangun kehidupan yang beradab dalam pangung sejarah. Dan mereka menjadi korban demi kebaikan orang lain diyakini akan memperoleh kehidupan akhirat yang jauh lebih baik dan lebih mulia dari mereka yang merasa sukses hidup di dunia yang diraih secara semu karena haisl rampasan dan penpuan atas hak-hak orang lai.
Pandangan lain yang disebut Jabariyah bahwa seluruh peristiwa sekecil apa pun dalam sejarah merupakan pekerjaan Tuhan. Posisi manusia benar-benar seperti wayang yang hanya mengikuti kemauan sang dalang. Sejarah adalah panggung Tuhan untuk mempertunjukkan kekuasaan-Nya dan wadah untuk menerima kasih-Nya. Tuhan menciptakan manusia dan jagad raya sebagai prosuk dari kemauan-Nya dan sebagai cermin yang akan memantulkan wajah-Nya. Karena Tuhan Maha Kreatif dan Maha Berkehendak, maka sejarah adalah ekspresi dari kreatifitasnya, ibarat sang pelukis mengekspresikan gagasannya dalam kanvas sejarah. Perdebatan seputar Qodariyah dan Jabariyah ini sesungguhnya muncul dalam ilmu sosial dan ilmu alam. Pendukung paham Behaviorisme-Positivisme mengatakan bahwa perilaku manusia adalah produk dari pelbagai elemen-material yang ada baik yang ada di dalam mapun di luar, sehingga seseungguhnya semua tindakan manusia itu tidak ada yang murni muncul dari pilihan sadar dan kemerdekaan yang dimiliki. Bahkan yang namanya jatuh cinta pun dapat dikaji secara ilmiah pada formula mekanisme stimulus dan respon pada tataran psikobiologis.
Pandangan di atas tentu tidak menawarkan fondasi moral absolut dan menafikan prinsip pengorbanan yang dipahami dalam ajaran agama. Kalau paradigma penafsiran semacam ini diterima, maka sejarah adalah panggung bagi rentetan peristiwa dan perubahan yang secara moral bersifat random (acak) dan untung-untungan dari perjalanan nasib. Namun dari sudut padang agama, pelbagai tragedi sejarah yang menampilkan sosok pemenang (winner) dan kalah (loser) hanyalah persepsi manusia belaka, karena sesungguhnya penglihatan manusia terhadap realitas hidup ini teramat sangat sedikit dan banyak sekali kelemahannya.
Fasilitas ruang dan waktu yang sempat dimiliki manusia secara individual bagaikan sebutir pasir dan sedetik jarum jam ketika diposisikan dalam perspektif ruang dan waktu yang tidak terbatas. Kapan bermula dan kapan berakhir lorong waktu ini, sungguh kita hanya bisa bertanya namun tidak bisa menjawab. Begitupun sampai di mana batuas ruang ini, akal manusia terjenti dan tidak bisa memebri jawaban mutlak. Kesadaran akan keterbatasan diri untuk memahami pelbagai tragesi dan keagungan alam ini memberi ruang bagi kesadaran agama untuk menghayati makna “Islam”, yaitu sikap berserah diri pada Tuhan. Dari sinilah maka hidup tidak mengenal kata kalah, karena “kebersilaman” seseorang merupakan penyerahan diri dan pengorbanan terhadap Sang Pemilik sejarah. Andaikan dalam hidup tak ada konsep “berkorban” demi tujuan yang lebih mulia, sekalipun orang lain yang akan menuai hasilnya, maka jalannya sejarah manusia menjadi dangkal dan absolut dipahami.
Kata “korban” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “dekat”, yaitu bekerja keras dengan segala kemampuan yang ada serta mengalahkan dominasi egoisme termasuk ego kepemilikan harta untuk meningkatkan kualitas hidup agar seseorang menjadi dekat pada Tuhan. Uoaya untuk dekat kepada Tuhan ini ditempuh dengan cara membangun kedekatan dengan hamba Tuhan yang teraniaya, yang memerlukan pertolongan. Oleh karenanya, kata “korban” itu konotasinya selalu dikaitkan dengan “pemberian”, baik harta, raga maupun jiwa untuk tujuan yang mulia. Dalam pengertiannya yang populer, korban lalu diartikan sebagai “victim”, yaitu nasib buruk semacam kecelakaan akibat tindakan orang lain, padahal pada dia sendiri tidak dalam posisi salam. Dia menanggung derita akibat ketidakadilan sosial maupun keganasan alam. Kalau saja semua ini tidak dihiraukan oleh pemilik hidup, yaitu Tuhan, maka wsejarah tidak memiliki pijakan moral absolut, durasi hidup sangat pendek dan tidak memiliki harapan transendental. Lalu di sana tak ada lagi makna syuhada, yaitu mereka yang rela menderita dan meninggal demi membela kebenaran ajaran Tuhan.
Uraian di atas tentu sangat mengandalkan penafsiran rasional atas relasi sejarah dan Tuhan. Namun banyak orang yang menafsirkan dan akhirnya menerima realitas sejarah berdasarkan pengalaman dan keyakinan batiniyahnya. Kalangan sufi yang merasa dan meyakini telah memeperoleh pencerahan Tuhan melalui mata hatinya yang dikenal dengan istilah syuhud memiliki perspektif lain kalau bicara tentang sejarah. Mereka melihat sejarah dari dua macam perspektif waktu dan peristiwa, dengan kacamata immanent dan sekaligus juga trancendent. Ruang dan waktu historis  dan metahistoris. Batas dunia dan akhirat telah transparan di mata mereka.

B.     Intervensi Tuhan
Salah satu semangat dan ciri aktivitas keberagaman yang cukup menyolok adalah berdoa agar Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa sejarah. Di mana da kehidupan, di situ ada problem, ada penderitaan, dan ada kematian. Selama ada kehidupan maka selama itu juga ada kegiatan berdoa, sehingga dikatakan bahwa inti agama sesungguhnya berupa ritual doa. Ada doa yang dilakukan sendiri-sendiri dan ada pula yang beramai-ramai.
Setiap agama besar memiliki keyakinan dan tradisi tersendiri tentang upacara doa ini. Yang paling spektakuler adalah meungkin saja umat Islam yang ramai-ramai berkumpul dalam satu ruang dan waktu dalam jumlah di atas satu juta orang yang dikenal dengan ibadah haji. Inti dari doa di samping ingin memanjatkan rasa syukur adalah memohon agar Tuhan memberi perhatian, perlindungan, dan campur tangannya agar seseorang berhasil menjalani hidupnya dengan baik dan sejahtera. Pendeknya, ketika berdoa seseorang mengharap terjadinya intervensi Tuhan untuk mengubah jalannya hukum alam dan hukum sejarah dengan keyakinan karena Tuhan mengatasi hukum sejarah.
Intervensi Tuhan dalam sejarah yang dianggap paling nyata adalah peristiwa terjadinya pengiriman para rasul dan nabi yang dilengkapi dengan mukjizat. Dari sudut bahasa, mukjizat artinya senjata pemungkas, suatu bukti intervensi Tuhan yang menyertai kehadiran rasul-Nya untuk mengalahkan keangkuhan para penentangnya. Al-Qur'an, misalnya, bagi orang yang beriman lebih dihayati sebagai anugerah dan petunjuk, tetapi bagi mereka yang menentang merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang sangup mematahkan argumen lawan yang tidak mempercayai kerasulannya.
Harapan dan keyakinan akan intervensi Tuhan itu merupakan spirit yang selalu memberi harapan bagi orang yang beriman dalam menapaki hidup. Ketika tentara Amerika nInggris belum lama ini menyerang Irak, umat Islam berdoa semoga Tuhan mengirimkan pasukan burung ababil sebagaimana yang terjadi ketika pasukan Abraham hendak menghancurkan Ka’bah yang berakibat pasukan Abrahan berantakan dan menderita kekalahan fatal akibat terserang semacam kuman ebola. Virus ebola ini bisa melumatkan tubuh dalam waktu yang amat singkat dan peristiwa itu diyakini sebagai intervensi Tuhan untuk melindungi Ka’bah.
Dalam diskusi filsafat agama muncul pertanyaan, adakah campur tangan Tuahn ini bersifat langsung sehingga hukum alam yang berlaku selama ini menjadi berhenti, ataukah dengan perantaraan dengan hukum alam sehingga implementasinya tetap bisa dijelaskan secara rasional? Sebagian berpendapat bahwa karena Tuhan Maha Kuasa, maka kalau Dia berkehendak mengabulkan doa manusia, apa pun bisa terjadi sekalipun di luar kebiasaan. Sebaliknya, yang lain berpendapat bahwa campur tangan Tuhan tidak pernah keluar dari jalur hukum alam yang telah ditetapkannya. Oleh karena itu sekalipun orang beriman ramai-ramai berdoa minta hujan, misalnya, kalau hal itu dilakukan di musim kemarau maka hujan taka akan datang. Kecuali manusia membuat hujan buatan atau membuat irigasi dengan mengunakan teknologi tinggi.
Demikianlah, doa merupakan salah satu inti keberagamaan, namun kita hidup terikat dengan hukum alam dan hukum sosial relatif baku dan kita suilr menawarya.

C.      Tuhan, agama, Dan Ideologi
Hubungan antara keyakina terhadap Tuhan dan perjuangan idelogi keagamaan ini secara sangat menarik di paparkan oleh Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God (2000). Armstrong yang mantan biarawati ini menyajikan analisis-historis seputar akar dan pertumbuhan paham fundamentalisme Islam, Kristen, dan Yahudi. Pembaca bisa saja keberatan dengan istilah fundamentalisme dan kesimpulannya. Namun yang pasti keyakinan orang dan masyarakat tentang tuhan dan perintahnya sangat besar pengaruhnya dalam perjalanan hidup seseorang dan sejarah.
Para pemikir ateisme-materialisme telah berusaha membangun argumentasi bahwa keyakinan dan gagasan tentang Tuhan hanyalah produk penalaran dari kinerja saraf-saraf otak dan loncatan proyeksi psikologis yang tidak memiliki realitas ontologis. Bahwa keyakinan pada Tuhan itu secara psikologis fungisonal dan sangat kuat pengaruhnya bagi pembentukan pribadi seseorang, namun kebenarannya sangat lemah untuk dibuktikan. Namun demikian sejarah membuktikan bahwa secara statistikal katakina manusia pada Tuhan tetap bertahan dan lebih kuat pengaruhnya dari paham ateisme. Pelbagai polling yang telah dilakukan di Amerika Serikat yang dipersepsikan sekuler itu selalu memberikan gambaran bahwa orang yang percaya pada Tuhan dan pada surga lebih dari delapan puluh persen (80%).
Keyakinan pada Tuhan, pada urutannya melahirkan sikap keberagamaan (religiousity). Ada orang yang kemudian tumbuh dan bergabung dengan tradisi agama yang telah mapan selama ini, namun ada pula yang merasa dirinya bertuhan, tetapi tidak mau bergabung dengan komunitas agama. Bagi kelompok kedua ini sikap kebertuhanan tidak mesti beragama (god without religion) atau bisa jadi seeenaknya saja dalam menjalankan syariat agama, karena yang dipentingkan hanya rasa, keyakinan, dan keputusan intelektual tentang adanya Tuhan. Kebertuhanan semacam ini terindikasi memiliki semangat ideologis yang rendah,
Sekalipun keyakinan tentang Tuhan pada awalnya dan pada dasarnya bersifat pribadi dan abstrak, namun pengaruh keimanan pada Tuhan bisa berpengaruh secara sosial dan politik, terutama yang terjadi pada pemeluk agama semitik, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam panggung sejarah ketiga agama ini telah melahirkan gerakan ideologis yang sangat militan. Kata ideologis sering dipahami baik secara positif maupun negatif.
Ideologi adalah suatu cita-cita sosial (social blue print) yang memiliki ciri-ciri utama yang antara lain adalah: pertama, menawarkan tatanan sosial dengan jani-jani yang ideal, namun masih berada di masa depan sehingga mengandung utopia. Kedua, menawarkan metode tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan yang diidealkan. Semakin jelas janji dan metode yang ditawarkan, maka semakin kuat daya tariknya. Ketiga, sebuah ideologi terkait dengan semangat zaman (the spirit of the age) sehingga bersifat historis. Oleh karenanya ideoliogi tidak luput dari konstruksi perancangnya (manusia) dan bisa berubah-ubah karena perubahan zaman. Keempat, ideologi biasanya normatif, utopis, dan paradigmatik, serta global, sehingga kebenarannya sulit diverifikasi secara empiris sebagaimana kebenaran ilmiah. Kelima, ideologi yang solid akan mampu membangkitkan militansi emosional para pendukungnya, sehingga mereka siap berkorban untuknya. Keenam, ketika ideologi memiliki pijakan ajaran dan semangat kegamaan, maka ideologi akan disakralkan oleh para pemeluknya dan sosial-poliris, perannya akan lebih menonjil ketimbang institusi agama yang bersifat ritual-doktrinal. Ketujuh, pejuang ideologi keagamaan bisa saja menjadi sangat militan dalam membela kelompok dan simbol ideologinya, sementara penghayatan spiritualisnya malah menurun.
Demikianlah, dalam sejarahnya telah terjadi keterkaitan yang amat kuat antara keyakina pada Tuhan penerimaan sebuah ajaran agam, dan ideologisasi paham keagamaan ke dalam wilayah sosial-politik. Pelbagai krisis dan gejolak politik dan ekonomi dunia saat ini sulit dipisahkan dari sentimen, analisis, dan gerakan ideologi keagamaan, khususnya antara sesama pemeluk agama Semitik. Ketiga komunitas agama besar ini memiliki collective memory yang pahit akibat peperangan di masa lampau, yang bukannya dihapus, malah cenderung diabadikan dan diwariskan secara turun-temurun.

D.     God of the Battles?
Jika Karen Armstrong menulis buku dengan judul The Battle for God, pada tataran historis-ideologis muncul fenomena God of the Battles produk dari rasa lelah, curiga, dan frustasi akibat konflik yang berkepanjangan dan berdarah-darah, akibat gerakan ideologi keagamaan. Tuhan seakan dihadirkan ke panggung sejarah dan dikukuhkan sebagai komandan perang, untuk melawan tuhan-tuhan yang lain bersama prajuritnya.
Gerakan ideologi keagamaan pada urutannya melahirkan sikap dan keyakinan bahwa Tuhan itu banyak dan mereka saling berantem berebut kekuasaan dengan melibatkan manusia sebagai pendukungnya. Bumi dan langit hendak dikavling-kavling menjadi suatu koloni dari tuahn-tuhan yang berbeda dan selalu bertengkar. Pertanyaannya, benarkah Tuhan itu banyak, ataukah persepsi dan keyakinan manusia yang terbatas dan beragam tentang Tuhan sehingga melahirkan personifikasi Tuhan yang banyak?
Kalaupun Tuhan itu dipersepsikan banyak, mengapa pluralitan keyakina mesti dilanjutkan dengan agenda peperangan antar pemeluk agama? Demikianlah apapun keyakinan orang tentang Tuhan dan agamanya, pengalaman sejarah dan kesadaran manusiawi kita mengajarkan bahwa pengetahuan kita tentang realitas semesta dan tentang Tuhan amat sangat terbatas. Keterbatasan ini telah melahirkan dua macam sikap. Sadar akan keterbatasannya, maka seseorang bersikap rerndah hati, terbuka, toleran, inklusif, dan selalu rela belajar menerima perbedaan dan belajar dari perbedaan. Sikap yang lain, mengkin justru karena keterbatasannya itu seseorang menjadi militan dan memperkokoh keyakinannya agar tidak terombang-ambing oleh pilihan-pilihan akibat perbedaan yang muncul dihadapannya.
Tetapi benarkan sikap inklusif dalam berteologi berarti seseorang tidak militan dalam menghayati iman dan melaksanakan agamanya? Sebaliknya, benarkah orang yang militan dan eksklusif  dalam berteologi berarti bobot iman dan keberagamaannya lebih tinggi? Rasanya kedua fenomena lahiriyah itu tidak memberi jaminan dan kepastian. Yang pasti dalam melaksanakan dan memperjuangkan agama, terlebih ideologi keagamaan, peran subjektivitas penafsiran dan pilihan-pilihan emosional sangat berpengaruh. Maka sangat mungkin pelbahai konflik dan retorika besar yang mengatasnamakan Tuhan dan agama kalau saja ditelusuri ternyata lebih dominan digerakkan oleh kepentingan diri dan penafsirannya tentang Tuhan, tentang agama, dan tentang realitas di sekitarnya. Yang diperlukan adalah sikap saling terbuka untuk saling belajar dari yang lain, terutama dari pengalaman sejarah dan keprihatinan bersama akan masa depan manusia. Kalau nilai-nilai universal agama dan kemanusiaan yang dikedepankan dan diartikulkasikan dalam tatanan hukum dan etika sosial yang dijaga bersama, maka konstruksi teologis-psikologid God of the Battle dan The Battles for God akan berubah menjadi The God of Love dan The Gos of Peace.






DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghozali and Kant, Angkara: Tukie Dianet Vakhi, 1992.
Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam, Oxvord: Westview Press, 1994.
Barthes, Roland, The Semiotic Challenge, New York: Hill and Wang, 1988.
Bauman, Zygmunt, Hemeneutics and Social Science, New York: Columbia Univercity Press, 1978.
Blackburn, Simon, Spreading, The Words, Rounding in the Philosophy of Language, Oxford: Clarendon Press, 1984.
Bruns, Gerald L., Hermeneutics Ancient & Modern, Yale Univercity Press, 1992.
Calinicos, Aliex, Theories and Naratives, Refrection on the Philosophy of the History, Durham: Duke Univercity Press, 1995.
Cassirer, Erenst, An Essay on Man, Virginia: Yale Univercity Press, 1944.
Crapanzano, Vincent, Hermes Dilemma and Hamlet’s Desirer, Harvared Univercity Press, 1992.
Daneci, Marcel, Vico: Metaphor anf the Origin of Language, Indianapolis: Indiana Univercity Press, 1993.
David E. Linge, “Introduction,” dalam Hans-George Gadamer, Philosophical Hermeneutics, (terj. David E. Linge), California: Univercity of California, 1977






















BAB IX
TUHAN YANG IDEAL
                Seperti matahari dan sinarnya. Adakalanya matahari tertutup awan, demikian juga adakalanya Tuhan yang Ideal tertutup oleh paham materialistis. Tapi jika awan menutupi matahari, tidak berarti matahari itu hilang. Demikian juga, dalam kekuasaan materialism, Tuhan yang ideal kelihatannya menghilang. Padahal Tuhan tetap saja masih ada dan sama. Keadaan di dunia ini adalah seperti timbul dan tenggelamnya gelombang. Kadang naik dan kadang turun, meskipun begitu dengan naik turunya gelombang, laut tetap sama, demikian pula dengan segala perubahannya, hidup tetap sama.
                Kita temukan selama beberapa tahun belakangan ini di seluruh dunia telah datang fase, ketika Tuhan yang Ideal kelihatannya telah dilupakan. Tidak berarti bahwa gereja telah hilang, tidak berarti Tuhan tidak ada, tetapi cahaya yang pernah ada telah tertutupi, berhenti menyinari kita. Tetapi pada saat yang sama, sebagaimana adanya malam sehabis siang, perubahan keadaan ini datang dalam hidup kita – cahaya dan kegelapan.
                Pada zaman ilmu pengetahuan – pada satu sisi, dan materialism – pada sisi yang lain serta komersialisme pada puncaknya, manusia seperti membutakan dirinya sendiri karena silau terhadap kemakmuran dan kekuasaan, dan tidak pada yang lain. Bukannya tidak ada pencarian terhadap pencerahan (sifat alamiah dari setiap jiwa untuk mencari cahaya pencerahan), tetapi yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, bagaimana bisa pencerahan datang ketika bangsa-bangsa bermusuhan, antar ras saling bermusuhan, pengikut agama yang satu bermusuhan dengan pengikut agama yang lain; bagaimana bisa ada perdamaian dan datangnya Cahaya-Nya? Tanda siang adalah ketika semua terlihat dengan jelas, tanda malam adalah ketika tidak ada yang bisa ditemukan atau terlihat; ada awan (mendung) yang menutupi. Suatu mimpi buruk yang paling menakutkan di dinia, melihat peristiwa yang baru saja lewat; dan, walaupun gelombang ketakutan, mimpi buruk itu kelihatanya telah pergi, tetapi pengaruhnya masih ada, dan pengaruh yang ditinggalkanya lebih buruk dari sebabnya, seperti prasangka lebih buruk dari pertumpahan darah. Ketika manusia haus akan darah temannya sendiri, bagaimana kita bisa berkata ada pencerahan? Jika seseorang bisa makan di mejanya dengan nikmat sedangkan tetangganya sekarat karena kelaparan, dimanakah cahaya-Nya? Ini adalah kondisi perikemanusiaan yang ada sekarang. Dan apa sebabnya? Ini karena cahaya-Nya, Tuhan yang ideal, tidak ada disana. Pernah sekali saya terhibur oleh satu jawaban sederhana dari seorang pembantu rumah tangga wanita ketika seorang tamu datang mengetuk pintu, pembantu itu tidak langsung membukakan pintu, perlu waktu yang lama; ketika akhirnya pembantu itu datang, tamu itu sangat marah dan bertanya: “Mengapa kamu tidak segera membukakan pintu?” Saya tanya pembantu wanita itu: “Menurutmu apa alasan orang itu marah?” Dia menjawab dengan ekspresi tanpa dosa, “Karena Tuhan tidak bersamanya.”   
Perkataan Kristus adalah: Tuhan itu Kasih; dan jika Tuhan itu Kasih, maka kita, tak terkecuali bisa membuktikan bahwa Tuhan berada dalam diri kita dengan cara mengekpresikan-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Memang benar, menurut adat kebiasaan yang tampak dari setiap agama, seseorang pergi ke Gereja, yang lain ke Masjid, yang lain ke Sinagong, dan yang lain lagi ke Candi Budha, tetapi Gereja yang sesungguhnya bukannya di Masjid atau Sinagong, tetapi dalam hati setiap manusia, dimana Tuhan berada dan Kristus berdiam. Dengan unsur keilahian yang bersinar dalam hati manusia, manusia akan menuju tempat ibadatnya dan kemudian doanya akan didengar. Ada cerita terkenal di India tentang seorang gadis yang lewat didepan seorang Muslim yang sedang shalat, sedangkan hukum Islam menyebutkan tidak boleh lewat didepan orang yang sedang shalat. Ketika gadis itu kembali lagi, orang tersebut berkata “Taukah kamu apa yang telah kamu perbuat?” “Apa yang telah aku perbuat?” Tanya si gadis. Orang tersebut berkata bahwa, tidak ada yang boleh lewat di depan orang yang sedang shalat. “Aku tidak bermaksud mengganggu,” kata gadis itu, “Tapi tolong katakan, apa yang dimaksud dengan berdo’a?” “Bagiku, berdo’a adalah berfikir tentang Tuhan,” kata orang itu. “Oh!” timpal si gadis, “Aku akan bertemu dengan kekasihku dan aku sedang memikirkannya sehingga aku tidak melihatmu; tapi jika kamu sedang memikirkan Tuhan, bagaimana kamu bisa melihatku?”
Pada dasarnya, do’a akan menjadi hidup dan bermakna jika dikerjakan oleh hati yang hidup. Sedangkan pada hati yang mati, do’a tidak mempunyai makna apa-apa (sia-sia). Ada kisah, tentang orang Arab yang berlari menuju masjid ketika azan diperdengarkan, tetapi sebelum sampei disana, shalatnya sudah selesei. Di tengah perjalanan menuju masjid dia bertemu dengan seseorang yang datang dari masjid dan bertanya, “Apakah shalatnya sudah selesei?” Dijawab bahwa shalat sudah selesei, sehingga orang Arab itu sangat menyesal dan berkata “Aduh!” kemudian orang yang datang dari masjid itu bertanya: “Maukah anda memberikan pahala penyesalanmu kepadaku untuk ditukar dengan pahala shalatku?” Orang Arab itu setuju. Hari berikutnya, orang Arab itu melihat Nabi dalam mimpinya, yang member tahu bahwa dia telah membuat sesuatu kerugian karena satu penyesalan itu senilai shalat yang dilakukan seumur hidup karena penyesalan datang dari hati.
                Ada perbedaan diantara umat manusia dalam tahapan-tahapan evolusi, dan itu wajar sesuei dengan tahapan khusus dari evolusinya. Perbedaan itu ada dalam cara menghadirkan Tuhan di hadapannya, ketika ia berdo’a. siapapun bisa mengajukan pertanyaan untuk menilai seseorang yang berdo’a, dan berkata “Tuhan bukanlah ini atau itu?” Oarang yang memaksakan kepercayaannya lebih tinggi dari pada kepercayaan orang lain, walaupun kepercayaan orang lain itu benar. Akan membutuhkan begitu banyak kebijaksanaan, pemikiran dan pertimbangan untuk menerangkan kepercayaannya atau untuk mengoreksi kepercayaan orang lain. di satu sisi, bisa dikatakan tidak tahu malu bagi orang-orang yang berharap bisa menerangkan tentang Tuhan, walaupun manusia sekarang ini senang, tidak hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menguji apakah Ruh Tuhan itu ada. Di waktu yang lain, saya bahkan lebih takjub mendengar bahwa ada orang yang tidak hanya ingin memotret ruh, mereka bahkan ingin menimbang beratnya. Hal yang bagus pada zaman dahulu, ketika Negara menghormati Tuhan yang Ideal dan agama, dan mengajarkan penghormatan itu pada umat manusia seluruhnya. Manusia sekarang berkecenderungan menggunakan apa yang dinamakan “kebebasan” dalam beragama, bahkan didalam dasar dari semua agama, Tuhan yang Ideal! Tetapi harus diingat, bahwa bukannya jalan kebebasan itu yang membimbing kita pada tujuan kebebasan, tetapi jalan Tuhan yang Ideal-lah yang membimbing kita pada tujuan kebenaran.
                Manusia mempunyai rasa hormat dan segan pada orang tuanya, suami, istri, atau pada atasannya, tetapi mereka mempunyai kepribadian yang terbatas; lantas pada siapa dia harus memberikan rasa hormatnya yang terbesar? Hanya kepada yang Satu, Tuhan. Manusia bisa mencintai dan mengasihi manusia lainnya, tetapi sangat jelas, cintanya pada orang lain itu terbatas, untuk mengekspresikan seluruh cintanya dia harus mencintai Tuhan yang tak terbatas. Seseorang memuja semuanya yang indah, warnanya, nadanya, atau bentuknya, tapi semua yang cantik ada batasnya, ketika sesuatu naik dan berada diatas keterbatasan, itu adalah kesempurnaan yang mana hanyalah Tuhan sendiri. Banyak orang bilang “Ya, kesempurnaan dari segala hal, cinta, harmoni dan keindahan adalah Tuhan, tetapi dimanakah kepribadian (perwujudan) Tuhan?” kesulitan inilah yang dirasakan orang, ketika kehilangan dalam menemukan sesuatu untuk dipuja dan disembahnya berbeda dengan yang dilihatnya. Berabad-abad manusia telah menyembah patung, atau matahari, api, atau bentuk-bentuk lain sebagai Tuhan, karena mereka tidak bisa melihat lebih jauh lagi dari pengelihatan matanya. Tentu mudah untuk mengkritik atau merendahkan orang lain, tetapi sesungguhnya itu menunjukkan bahwa setiap insan mempunyai hasrat pada sesuatu atau seseorang untuk dikagumi, dipuja, dan disembah.
                Walaupun tidak ada jejak-jejak perwujudan Tuhan yang bisa ditemukan, tetapi kita bisa melihat ada satu sumber awal yang mana semua perwujudan itu berasal, dan satu tujuan yang mana semuanya harus kembali. Dan jika ada satu sumber, tentulah perwujudan dari sumber itu begitu besar. Ini tidak bisa dipelajari oleh pemikir besar, atau bahkan dengan studi metafisika atau perbandingan agama, tatapi hanya dapat dipahami oleh hati yang murni dan tak berdosa yang penuh kasih.
                Perwujudan besar yang telah turun ke bumi dari waktu ke waktu untuk membangkitkan safat keilahian-Nya, yang dimasukkan kedalam hati manusia berupa cinta kasih; menemukan gaungnya dalam hati yang suci, bukannya dalam hati pemikir besar. Manusia sering kali mencampuradukkan antara kebijaksanaan dengan kepandaian dan sebaliknya. Dua hal ini berbeda, manusia bisa bijaksana dan pandai, bisa pandai tapi tidak bijaksana dan dengan kepandaiannya seseorang akan berusaha keras, akan tetapi tidak menemukan Tuhannya. Hanyalah mata air dari sungei kasih-lah yang akan membimbingnya menuju Tuhan.
  
II
TUHAN YANG IDEAL
(lanjutan)
SESEORANG DAPAT MELIHAT TUHAN YANG IDEAL, dari dua sudut pandang. Pertama dari sisi imajinatif, dan yang kedua dari sisi kesadaran Tuhan. Yang awal, dari hati kecil (minor), sedangkan yang kedua dari hati (jiwa) yang besar (mayor). Yang satu berfikir bahwa Tuhan itu ada, sedangkan yang lain melihat Tuhan. Orang beriman mengabstraksikan Tuhannya dengan segala kemampuan imajinasinya, melihat tuhan sebagai manifestasi dari segala keindahan, segala kebaikan, sebagai yang maha Pengasih dan Penyayang, dan mengenal-Nya sebagai yang maha Besar, yang maha Segalanya. Dia melihat pada Tuhannya sebagai Hakim yang Adil dan berharap suatu hari akan menerima keadilan dari-Nya. Pada akhirnya, seseorang itu mengetahui bahwa hanya pada Tuhannyalah, dia akan menemukan cinta kasih yang sempurna dan yang bisa dipercaya sepenuhnya. Dia melihat Tuhan sebagai teman, yang pada-Nya dia bisa berpaling, baik di saat senag maupun susah. Dia memanggil-Nya: Bapa, Jasus Kristus, ataupun ayah dan Bundaku; dan menyadari bahwa semua yang baik dan indah berasal dari Tuhan. Mudahnya, dia membuat suatu bentuk Tuhan yang dapat dimengerti, itu hanya suatu kondisi yang mana dia bisa melihat Tuhan. Orang beriman yang telah membayangkan Tuhannya sesuei dengan kemampuan masing-masing menjadi rajin memuji-Nya, memohon pengampunan-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan berharap suatu hari akan dapat mencapai-Nya, dan merasakan ada Seseorang yang lebih dekat padanya melebihi orang lain, serta rahmat-Nya selalu bersamanya dalam kehidupan.
                Sudut pandang inilah yang dinamakan monoteisme – mempercayai Kepribadian Tuhan. Suatu Kepribadian yang dibuat manusia sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, Tuhan para penganut ajaran monoteisme itu ada didalam dirinya, diciptakan oleh pikirannya sendiri. Tetapi ini hanyalah bentuk Tuhan yang diciptakannya. Ruhnya tentu sama saja, tersembuhnyai dibalik benruk yang dibuat manusia, karena manusia memerlukan bentuk itu. Tak perlu diragukan lagi, bahwa pada tahap ini Tuhan yang dupercayainya adalah suatu bentuk yang dibuat oleh-Nya, dalam bentuk insan manusia. Tuhan ada dibalik bentuk itu, dan Dia menjawab penyembah-Nya melalui bentuk itu. Seseorang pernak berkata kepada seseorang Brahmana, “Hai orang bodoh, kamu telah menyembanh patung ini bertahun-tahun. Apakah kamu pernah berfikir dia akan menjawabmu ?” “Ya,” kata sang Brahmana, “bahkan jawabannya akan datang dari patung batu ini jika kamu benar-benar yakin. Tapi jika tidak benar-benar yakin, kamu tidak akan mendapat jawabannya, bahkan dari Tuhan di atas sana.” Seseorang yang mengetahui dan melihat semua benda dengan panca indra dan perasaannya, dan mencoba menggambarkannya dengan imajinasinya – segala hal yang belum pernah dilihat maupun diketahuinya, seperti roh, malaikat, peri-peri – adalah wajar, jika dia dengan imajinasinya akan menciptakan Tuhannya yang dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.
                Sudut pandang yang lain, yang saya sebut sudut pandang mayor, mungkin kurang menarik bagi orang lain, tapi mungkin lebih menarik bagi orang lainnya lagi, karena ini adalah sudut pandang yang benar. Ketika semua orang melihat semua kebaikan sebagai kebaikan Tuhan, semua keindahan di sekelilingnya sebagai keindahan tuhan, tidak diragukan lagi dia akan meyembah Tuhan yang terlihat, dan tidak ragu lagi, sebagaimana hatinya selalu mencintai dan memuja keindahan yang dia lihat, dia mulai melihat segalanya terlihat dari satu penglihatan, semuanya menjadi satu penglihatan, pandangan Keindahan tuhan. Cintanya pada keindahan meningkatkan kemampuannya pada suatu tingkatan diman kebijakan-kebijakan seperti sikap toleransi, pemaaf, mengalir dengan sendirinya dari hatinya. Bahkan hal-hal yang kebanyakan orang melihatnya dengan pandangan jijik, dilihatnya dengan rasa toleransi. Persaudaraan antar umat manusia baginya tidak perlu dipelajari, karena dia tidak melihat umat manusia, yang dilihatnya hanyalah Tuhan. Sebagaimana penglihatannya berkembang, hal itu menjadi penglihatan Ilahi yang menempati setiap waktu dari hidupnya. Pada ala mini dia melihat Tuhan, pada manusia dia melihat bayangan-Nya, dan pada seni dan puisi dia melihat tarian Tuhan. Gelombang laut membawakannya pesan dari atas sana, ayunan dahan-dahan pohon dalam semilir angin terlihat seperti orang yang berdo’a. baginya ada hubungan yang tidak terputus dengan Tuhannya. Dia tidak mengenal takut, ngeri ataupun rasa khawatir. Kelahiran dan kematian baginya adalah perubahan kecil dalam hidup. Hidup baginya adalah gambar bergerak yang dicintai dan disenanginya, dan dia terbebas dari semua itu. Dia adalah satu diantara mereka, seluruh dunia. Dia sendiri bahagia, dan membuat orang lain bahagia. Sudut pandang ini adalah sudut pandang panteistik.
                Pada kenyatannya, kedua sudut pandang ini adalah konsekuensi dari evolusi manusia secara wajar, dan tidak ada yang bisa memisahkannya. Tidak ada yang mencapai usia lanjut tanpa pernah melewati masa muda, dan tidak ada yang mencapai sudut pandang panteistik, tanpa pernah terlebih dahulu berpegang pada pandangan monoteistik. Dan seandainya seseorang pernah mencapai sudut pandang monoteistik, hal itu seperti seorang yang menjadi dewasa tanpa pernah menjadi anak-anak : keindahan yang hampa.
                Tentu saja ada dua kesalahan yang terjadi. Pertama, yang dibuat oleh seorang monoteis, ketika dia menyuruh Tuhan yang diciptakannya tanpa memperbolehkan dirinya sendiri untuk melihat dari sudut pandang panteistik. Untuk mencintai Tuhan, dia membatasi dirinya sendiri, walaupun tidak berarti bahwa Tuhan betul-betul terbatasi, Tuhan terbatasi hanya bagi orang itu saja. Kebiasaan di masa kanak-kanak adalah sangat menyenangkan bagi anak-anak, tetapi bagi orang dewasa dengan karakter kekanak-kanakan, tidak masuk akal (absurd). Ketika manusia memulai keimanannya pada Tuhan dengan cara pandang monoteistik, itu adalah cara terbaik, tapi jika dia mengakhiri hidupnya tanpa peningkatan, dia telah kehilangan kesempatannya yang terbesar. Orang yang melakukan ini berarti membuat satu kesalahan, karena memisahkan manusia dari Tuhan, yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan. Karena Tuhan dan manusia itu laksana dua ujung dari satu garis. Ketika seorang yang beriman memahami Tuhan sebagai bagian terpisah dan manusia terpisah dariNya, dia membuat dirinya terisolir – dari Kerajaan Tuhan. Dia memegang teguh bentuk Tuhan yang menciptakannya sendiri, sehingga dia tidak mencapai Ruh Tuhannya. Walaupun dalam kehidupannya, dia itu baik dan saleh, betapapun beriman-nya dia, dia belum memenuhi tujuan hidup ini.
                Seorang panties akan menciptakan satu kesalahan, jika dia memegang teguh semua pemikiran yang telah disusunnya dan semua yang terjawab oleh panca inderanya, dan keberadaannya.itu dipercayainya sendiri. Karena kesalahan ini, dia berpegang pada bentuk Tuhan dan kehilangan Ruh-Nya. Kita dapat memahami diri manusia tetapi tidak semuanya. Ada sesuatu yang berada di luar jangkauan pemahaman kita. Jika lubuk hati kita terlalu dalam untuk disentuh, bagaimana dia dapat menyentuh kedalaman-Nya? Semuanya yang terlihat, sesungguhnya adalah satu tubuh, yang mungkin dapat dinamakan tubuh Tuhan, tetapi di balik itu ada Ruh-Nya, Ruh tuhan. Apa yang ada di balik tubuh ini adalah awal mula dan tujuan dari segala sesuatu. Tentu saja bagian yang berupa ruh adalah yang paling penting. Penganut panteisme mengenali keilahian hanya sebatas yang dapat dipahaminya. Walaupun panteisme baginya adalah cita-cita yang hebat, namun begitu dia masih meraba-raba dalam kegelapan. Semua yang menjadi sasaran pokok bisa berubah, semua itu tidak tetap, semuanya melewati jalan kelahiran dan kematian, mungkin juga suatu hari akan dihancurkan. Manusia yang membatasi keberadaan Sang Ilahi bisa mengalami kehancuran, orang yang tidak dapat merasakan sedikitpun keberadaan Sang Ilahi melebihi pemahamannya, dia tersesat. Panteisme sejati adalah : Tuhan adalah semuanya, dan semuanya adalah Tuhan, yang diketahui dan yang tidak diketahhui, semua yang berada di dalam dan di luar, Tuhan adalah semua yang ada, dan tidak ada sesuatupun yang ada kecuali Dia.
                Permulaan monoteisme bisa dinamakan deisme, kepercayaan pada seseorang yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Jiwa-jiwa telah mencapai tahap perubahan ini, karena banyak bimbingan yang diberikan oleh Sang guru. Sang Guru mengajar mereka untuk memuja matahari, air, api pepohonan tertentu, dan patung-patung. Tidak diragukan lagi, di balik semua ajaran ini selalu ada kebijaksanaan Sang Tuhan. Ajaran yang diberikan pada orang-orang tertentu tidak ditujukan pada orang lain, sebagaimana juga sesuatu yang cocok untuk suatu masa tertentu belum tentu cocok untuk masa yang lain. dan untuk mengajarkan panteisme ada ajaran-ajaran dasarnya, seperti gagasan tentang dewa-dewa, contohnya : di masyarakat Yunani kuno, Hindu kuno, dan Mesir purba. Semua penduduknya percaya pada banyak dewa, dan ajaran ini diberikan pada mereka untuk melihat sesuatu yang berbeda di dalam Ruh Tuhan yang sama. Setiap dewa mempunyai cirri khas tersendiri yang manusiawi, yang artinya manusia diajar untuk bisa mengenali Tuhan diantara sesame manusianya, untuk menjadi toleran dan pemaaf; dia juga dibimbing untuk melakukan konsentrasi dan meditasi atas sifat-sifat tertentu manusia, menganggap mereka sebagai sesuatu yang bersifat ketuhanan. Perhatian dan penghormatan atas sifat-sifat tertentu umat manusia diajarkan dengan meditasi.                                         
                Manusia tanpa pengetahuan akan dua sudut pandang yang berbeda ini, dan sangat terkesan pada gagasan-gagasan materialistik, seringkali melihat Tuhan sebagai kekuatan atau energy, tetapi dia menyangkal dengan sangat tegas bahwa Tuhan itu mempunyai suatu kepribadian (perwujudan). Tidak diragukan lagi, akan menjadi kesalahan besar bila menganggap Tuhan itu Personalitas, tetapi kesalahannya akan lebih besar lagi kalau manusia menyangkal Personalitas Tuhan. Dan seandainya anda bertanya pada orang ini : ”Dari manakah asal mulamu? – apa tujuanmu? – Apakah dirimu sendiri itu personalitas? – Apakah mungkin kamu menjadi personalitas atas dirimu sendiri, jika tujuan dan asal mula dari mana dirimu datang bukan suatu personalitas?” Dia tidak punya jawaban. Sesuatu itu adalah benih, yang merupakan asal mula dari bunga dan buah, tetapi benih juga hasil dari bunga dan buah. Oleh karena itu manusia adalah miniature Personalitas tuhan; Dia adalah benih datangnya Personalitas. Manusia, di dalam menumbuh-kembangkan personalitasnya, merupakan ekspresi dari Personalitas Tuhan. Ini adalah subyek yang tidak bisa didiskusikan karena seseorang dapat membedakan segala sesuatu melalui perbandingan, dan, karena Tuhan hanya ada satu, Dia tidak bisa diperbandingkan, bahkan memakai kata personalitas di dalam membicarakan Tuhan adalah suatu kesalahan. Tidak ada cara yang lebih baik untuk melihat Tuhan Yang Ideal selain menerimanya sebagai kesempurnaan dalam makna kata yang paling luas dan paling dalam.



III
MARTABAT TUHAN
TUHAN YANG IDEAL TELAH DILIHAT OLEH SETIAP orang dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa orang menggambarkan Tuhan sebagai Raja Langit dan Bumi, yang lain mempunyai konsep Tuhan sebagai Person, yang lainnya lagi memikirkannya sebagai suatu abstraksi, beberapa orang percaya pada Tuhan, yang lainnya tidak, yang lainnya mengangkat Dewata yang ideal ke langit tertinggi, yang lainnya membawanya ke dasar bumi yang paling dalam, beberapa orang menggambarkan Tuhan di surge, yang lainnya membuat patung-patung dan arca kemudian menyembahnya. Begitu banyak gagasan dan kepercayaan, nama-nama yang berbeda, seperti panteisme, pemujaan berhala, percaya pada Tuhan yang tidak berbentuk, atau percaya percaya pada banyak dewa-dewi, tetapi semuanya berusaha keras untuk mencapai sesuatu dengan barbagai macam cara. Jika saya ditanya berapa banyak konsepsi tentang Tuhan, saya akan menjawab, “Sebanyak jiwa yang ada”; semua orang, yang bodoh ataupun yang bijaksana, masing-masing mempunyai konsepsi tentang Tuhan. Setiap orang mengetahui Tuhan dalam berbagai cara, dan mempunyai gambarannya sendiri tentang Tuhan, baik sebagai Manusia, sebagai Yang Mutlak, sebagai Kebaikan, sebagai Sesuatu yang Indah atau yang Menerangi. Setiap orang mempunyai konsepnya sendiri, dan untuk orang yang tidak mempercayai Tuhan, bahkan


BAB X
BERBAGAI PERLAMBANGAN DARI IDE-IDE KEBERAGAMAN
SIMBOLOGI

Orang yang bijaksana telah memberikan pada dunia dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan evolusi manusia pada waktu –waktu tertentu. Bentuk pengajaran yang pertama dan yang paling orisinil adalah dengan memakai simbol atau perlambang, suatu syarat. Metode pengajaran ini dihargai sepanjang masa, dan akan selalu mempunyai nilai penting. Itu adalah keindahan yang terselubungi. Tujuan dari kehidupan berhubungan dengan penyelubungan dan p enyingkapan tirai keindahan ini. Keindahan adalah sesuatu yang selalu di luar jangkauan. Seolah-olah kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya. Seolah-olah kamu menyentuhnya, padahal sebenarnya kamu tidak menyentuhnya. Ia nampak terlihat tetapi ia masih terselubungi; seolah-olah diketahui padahal tidak bisa diketahui. Olah karena itu kata-kata yang seringkali tidaklah cukup untuk mengekspesikan keindahan akan Kebenaran. Karena itulah simbolisme dipakai oleh orang yang bijaksana.
Agama-agama Mesir kuno, Yunani kuno, Hindu  dan Persia, semuanya mempunyai berbagai perlambangan yang mengekspresikan esensi Kebenaran yang tersembunyi di balik agama. Ada perlambang di dalam agama Nasrani dan dibanyak agama di dunia.manusia seringkali menentang penggunaan perlambang, tetapi itu wajar. Manusia selalu menentang terhadap sesuatu hal yang dia tidak mampu memahaminya. Sudah ada gelombang perlaewanan terhadap perlambangan yang digunakan di dua belahan dunia, di daearah Timur dan di daerah Barat. Ia datang di daerah Timur pada masa Islam dan di daerah Barat menggema kambali pada Reformasi. Maka tidak diragukan lagi ketika berbagai perlambangan sakral tersebut dipatenkan oleh kalangan umat beragama yang ingin memonopoli seluruh kebenaran untuk mereka sendiri, hal tersebut akan membangkitkan kecenderungan umat manusia yang selalu siap untuk menerima ataupun menolaknya. Akan tetapi, orang dapat berkata tanpa melebih-lebihkan bahwa simbologi selalu dipergunakan untuk menjaga kebijaksanaan pada masa lampau agar tetap utuh sepanjang masa. Sekarang ini dengan simbologi, orang dapat membuktikan perkataan Nabi Sulaiman: “Tidak ada sesuatu yang barudi bawah matahari.” Ada banyak pemikiran yang berhubungan dengan umat manusia, dengan kehidupan yang alami, berhbungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, berhubungan dengan jalan menuju Tuhan, yang diekspresikan lewat isyarat-isyarat.
Bag orang yang hanya melihatsisi kehidupan ini daripermukaan saja, maka berbagai perlambangan yang ada tidak bermanfaat. Rahasia dari berbagai lambang ini diungkapkan oleh jiwa-jiwa yang tidak pernah mengalami lewat kehidupan, yang dipandangnya berhasil menembus melalui benda-benda. Sesungguhnya, di hadapan orang saleh, sesuatu yang ada di dunia ini bersifat terbuka bagi mereka sendiri. Dalam penyingkapan sesuatu inilah keindahannya tersembunyi. Ada kegembiraan besar umtuk memahami khususnya dalam memahami sesuatu hal yang menurut sebagian besar tidak mempunyai arti apa-apa. Untuk memahami dibutuhkan intuisi, bahkan sesuatu yang lebih dalam dari intuisi – pengetahuanyang mendalam – untuk memmbaca berbagai lambang. Terhadap seseorang yang mengetahui berbagai lambang mengungkapkan tentang sifat dasar dan rahasia mereka, maka baginya tiap sibol itu adalah naskah yang hidup. Simbologi adalah cara yang terbaik utuk mempelajari misteri kehidupan, dan salah satu cara yang terbaik untuk meninggalkan ide-ide yang akan dijaga selam bertahun-tahun setelah sang Guru meninggal. Berbicara tanpa kata-kata; menulis tanpa tulisan. Perlambangnya mungkin dikatakan sebagai sebuah lautan didalam setetes air.

LAMBANG MATAHARI
Cahaya telah menjadi daya tarik bagi jiwa manusia. Manusia menyukai apa yang ada didalam api dan pada sesutu yang terang dan bersinar, dan itulah sebabnya mengaapa manusia menganggap emas dan permata berharga. Kosmos mempunyai daya tarik yang lebih besar baginya daripada bumi, karena cahayanya. Sesuai evolusi manusia secara alami dia berhenti memandang ke bawah yaitu bumidan mengagumi pada kosmos, cakrawala. Objek yang paling menarik baginya adalah matahari yang tanpa bantuan siapapun dan paling bercahaya dibandingkan dengan yang lainnya di langit. Oleh karena itu, seperti manusia tertarik pada keindahan dan takluk pada keindahan, dia membungkuk pada matahari sebagai keindahan terbesar di langit, dan manusia mengambil matahari sebagai simbol alam semesta dari Tuhan.
Lambang ini dia gambarkan dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Di Persia, China, Jepang, India, Mesir, dimanapun Tuhan digambarkan, pastilah dalam bentuk matahari. Disepanjang masa manusia telah menggambarkan Naabinya, Master, Penyelamatnya, dengan matahari di sekeliling kepalanya. Di Persia kuno biasanyaada piringan emas di belakang kepala raja yang gambarnya seperti matahari, dan mereka biasa menyebuut piringan ini dengan nama Zardash. Nama Zarathustra mempunyai asal kata yang sama; kata itu secara harfiah berarti piringan emas. Di candi Hindu dan Budha, di sekeliling gambar para Avatar ada tanda matahari, dan lambang ini digunakan baik di Timur maupun di Barat sebagai sorban dan topi. Sekarang ada bebrapa orang India menempelkan pita kuningan di sorban mereka, yang melambangkan matahari.
Studi yang mendalam mengenai matahari akan memberikan kesan adaanya garis dengan empat arah yang terbentuk sekelilingnya. Tanda inilah yang merupakan awal mula tanda salib. Tradisi kuno membuktikan bahwa pemikiran tentang salib ada di Timur jauh sebelum kedatangan Kristus, khususnya diantara para Brahmana. Dari tanda inilah dua senjata keramat dibuat, Chakra dan Trisula. Agama Islam yang membolehkan untuk tidak menganut memakai lambang, di dalam bangunan masjidnya ada perlambangan yang sama: matahari. Dituliskan dalam bahasa Persiaataupun dalam bahasa Arab, nama matahari menyerupai bentuk masjid.
Menusia, seperti telah menjadi sifat bawaannyamenyalahkan dan mengejek para pemuja matahari, tetapi tidak pernah bisa mengambil kehangatan, dan daya tarik dari jiwa manusia terhadap matahari.

BENTUK PENYEMBAHAN SIMBOLIS TERHADAP BRAHMANA
Puja adalah sebutan bentuk penyembahan Brahmana, yang dari awal sampai akhir adalah ekspresi simbolis tentang apa yang para pencari tersebut telah melaksanakan pada jalan pencapaian spiritual. Setelah berendam di air sungai secara berturut-turut, yang orang Hindu diberi nama sungai Gangga (apapun nama sungainya, pada waktu itu dia percaya bahwa itu adalah Gangga, sungai suci). Dia berjalan dengan membawa berbagai bunga menuju tempat suci para dewa, dan mengukangi mantra-mantra, dan berdiri memberi salam pada dewa dengan tangan terlipat, dan bersujud dihadapannya. Kemudian dia membunyikan lonceng dan mengulangi kata-kata suci. Lantas dia mengambil beras di tangannya dan meletakkan di kaki sang dewa. Selanjutnnya bubuk merah, coucou, disentuhnya dengan ujung jarinya, dan membuat satu tanda di tempat suci sang dewa dan kemudian di dahinya sendiri. Kemudian disentuhnya salep dengan ujung jarinya, dan setelah menyentuh sang dewa dia sentuh dahinya dengan salep yang sama. Sesudah itu dia bersujud dan membuat tiga lingkaran di tempat suci tersebut. Dibunyikan loncengnya dan selesailah upacaranya. Setelah itu dia bangkit dan menghadap matahari, sambil melatih pernafasannya dan tindakannya itu melengkapi bagian berikutnya dari upacara penyembahannya.
Betapapun primitifnya bentuk pemujaan ini, dibalik itu tampak adanya suatu arti yang besar. Arti mandi di sungai Gangga adalah untuk menjadi suci sebelum seeorang membuat usaha apapun dalam perjalanan menempuh jalan spiritual. Penyucian tubuh dan pikiran, keduanya diperlikan sebelum seseorang mengambil langkah peryamanya menuju Tuhan yang Ideal. Orang tidak boleh mendekati sang dewa, sebelum penyucian itu –penyucian jasmani dan rohani- karena itu satu-satunya cara, maka ketika orang itu menjadi tersucikan, dia akan merasa mudah untuk mencapai kehadiran yang diinginkan. Arti dari bunga, yang dia ambil adalah bahwa Tuhan berkanan dengan persembahan yang lembut, indah dan segar. Lembut berarti kehalusan hati, indah dalam warna adalah kebaikan sifat, kesegaran adalah kebaikan jiwa. Ini adalah persembahan yang sesuai dengan perkenan-Nya. Di berdiri dengan pemikiran bahwa dirinya diserahkan dalam disiplinyang sempurna pada Tuhan yang Maha Berkehendak. Tanganya terlipat mengekspresikan tidak ada perbuatan dari anggota tubuhnya, hanya penyerahan seutuhnya. Artui bersujud adalah penolakan diri, dalam arti positif  yaitu: “Saya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keagungan-Mu.”
Membisikkan kata-kata dan membunyikan lonceng adalah kata yang sama yang dibunyikan didalam hatinya. Sentuhan pada bubuk merah berarti menyentuh esensi hidup; dan ketika dia menyentuh sang dewa dengan bubuk, itu berarti bahwa dari sumber ini dia mendapat kehidupan yang abadi. Ketika dia menyentuh dahinya dengan bubuk itu, berarti ia mendapatkannya untuk dirinya sendiri. Salep berarti kebijaksanaan, dan menyentuh dewa dan kemudian dahinya sendiri, dengan selep itu berarti Kebijaksanaan sejati hanya bisa didapat hanya dari Tuhan, dan menyentuh kepalanya sendiri dengan salep berarti dia telah mendapatkannya. Kemudian membuat tiga lingkaran di sekeliling tempat suci adalah tanda bahwa hidup adalah perjalanan, dan perjalanan itu dilaksanakan untuk mencapai tujuannya, yaitu Tuhan. Brahmana berfikir, “setiap langkah yang aku ambil dalam hidupku akan berada dalam bimbingan-Nya, dalam pencarian Tuhan. ”Dibagian  kedua dari upacara tersebut, ketika dia berdiri di hadapan matahari, dengan itu dia maksudkan bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam cahaya. Dan dengan melatih pernafasan dia menyatukan hubungan komunikasi batinnya, yaitu antara Tuhan dengan dirinya sendiri.

SERULING KRISHNA
Krishna digambarkan dalama simbologi Hindu dengan memakai mahkota burung merak dan sedang memainkan seruling. Krishna adalah kecintaan Ilahiah yang ideal, Dewa Cinta. Dan Sanga Dewa Cinta mengekspresikan dirinya dengan masuk kedalam diri manusia dan mengisi seluruh keberadaannya. Karena itu seruling dimaksudkan sebagai hati manusia, dan hati yang berlubang akan menjadi seruling bagi Dewa Cinta untuk dimainkan. Ketika hatinya tidak kosong, dengan kata lain tidak ada ruang yang tersisa, maka tidak ada tempat untuk cinta. Rumi, penyair besar Persia, menerangkan gagasan itu lebih jelas lagi. Dia menyatakan bahwa penderitaan dan kesedihan yang dialami jiwa sepanjang hidupnya itu, seperti lubang-lubang yang dibuat pada buluh seruling tersebut, dan dengan membuat lubang inilah seseorang memainkan seruling itu. Yang berarti, hati manusia pada awalnya adalah sebuah buluh, daan penderitaan dan kesakitan yang dialami membuatnya menjadi sebuah seruling, yang kemudian dipakai oleh Tuhan sebagai alat untuk menghasilkan musik yang selalu diinginkan untuk dibuat-Nya. Tetapi tiap buluh bukanlah sebuah seruling, maka tiap-tiap hati bukanlah Perangkat-Nya. Begitu buluh tadi diubah menjadi seruling, maka hati manusia bisa diubah menjadi suatu alat dan bisa dipersembahkan kepada Tuhan. Hati manusialah yang menjadi kecapi malaikat; hati manusialah yang menjadi kecapi Orpheus. Dari model hati manusia seperti itulah alat musik pertama kali dibuat, dan di sunia ini tidak ada alat musik yang bisa menghasilkan musik seperti yang dihasilkan oleh hati, menghidupkan hati yang mati menuju keabadian.
Mahkota dari merak menuntun pada penyingkapan rahasia yang lebih jauh lagi, yaitu musik hati yang bisa diekspresikan melalui kepala; dimana pengetahan yang berasal dari kepala dan cinta yang berasal dari hati itu mengekspresikan Pesan keIlahian secara penuh. Bulu merak sepanjang masa dianggap sebagai lambang keindahan dan sebagai tanda pengatahuan. Suatu keindahan karena ia memang terliahat indah, pengetahuan karena bentuknya seperti mata. Dengan pengamatanyang lebih mendalam, manusia mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan tanpa cinta bagaikan orang mati. Maka dengan seruling, mahkota bulu merak membuat lambang tadi menjadi lengkap.

AIR
Dalam naskah kitab kuno, seperti Vendanta perjanjian lama, ruh dilambangkan sebagai air. Seseorang ingin tahu mengapa sesuatu yang ada di bumi, bisa dianggap sebagai ruh. Sifat dasar air adalah memberi kehidupan pada bumi, demikian juga sifat dasar ruh adalah memberi kehidupan pada tubuh. Tanpa air maka bumi akan mati, dmikian juga dengan tubuh bila tanpa ruh akan mati. Air dan bumi keduanya bercampur, demikian juga ruh bercampur dengan materi dan menghidupkannya kemballi. Akan tetapi ruh tadi berada di atas materi, seperti keberadaan air yang mengalir ke dalam perut bumi. Dan ketika air menguap maka ia berada di atas bumi. Tetapi orang mungkin bertanya, “apakah ruh bersembunyi di bawah materi seperti jiwa dalam tubuh?” Jawabannya adalah: “Seperti air yang berada di dalam bumi.” Di tempat manapun di bumi ini pasti ada air, dan hanya beberapa tempat saja yang tiidak ditemukan air. Demikian juga tidak ada ruangan yang tidak ditempati oleh ruh, hanya ketidakadaan materi saja yang mungkin.
Cara simbolis untuk mengekspresikan gagasan yang tinggi tidak datang dari otak; ia adalah hasil dari intuisi. Permulaan intuisi adalah untuk memahami arti simbolis dari berbagai hal yang berbeda, dan langkah selanjutnya adalah untuk mengekspresikan hal-hal tersebut secara simbolis. Dalam dirinya sendiri ada seni keIlahian, dan bukti terbaik akan hal itu ditemukan dalam simbol air, yang begitu pas mengekspresikan arti ruh.

ANGGUR
Anggur dianggap suci, tidak hanya dalam kepercayaan Nasrani, tetapi juga ada dalam agama lain. Dalam agama kuno, Zoroaster, Jami Jamsshyd, mangkuk anggur tempat “Jamsshyd minum banyak” adalah fakta sejarah. Di antara orang Hindu, Shiwa juga menganggap anggur itu suci. Dan dalam Islam, walaupun anggur itu minuman haram di bumi, tetapi di Surga dibolehkan. Hautsi Kautsar, mata air suci di Surga, yang begitu sering diperbincangkan dalam Islam, adalah tempat sumber mata air anggur.
Anggur adalah lambang dari evolusi manusia. Anggur berasal dari proses penghancuran buah anggur, keabadian datang dari peniadaan diri. Mangkuk racun yang dikenal dalam banyak pemujaan mistis juga menyodorkan gagasan tentang anggur – bukan anggur manis, tetapi yang pahit. Ketika diri berubah menjadi sebuah sesuatu yang berbeda dari yang  sebelumnya, itu layaknya jiwa yang terlahir kembali. Ini terlihat dalam buah anggur yang berubah menjadi minuman anggur. Buah itu, yang berubah menjadi minuman anggur, hidup; sebagai buah dia akan musnahpada waktunya. Hanya saja, dengan berubah menjadi minuman anggur, buah itu kehilangan kepribadiannya, tetapi tidak kehidupannya. Diri yang serupa dengan buah anggur tadi hidup sebagai minuman anggur; semakin lama ia hidup maka semakin bauk mutunya. Bagi seorang sufi, karena itu sakramen yang sebenarnya adalah  mengubah kepribadian yang serupa dengan anggur tadi. Yang mempunyai waktu terbatas untuk hidup. Menjadi minuman anggur; sehingga tidak ada dari dirinyayang bisa hilang, tetapi bahkan sebaliknya, bisa semakin kuat ataupun semakin disempurnakan. Ini adalah inti sari dari semua Filsafat dan rahasia aliran mistik.

KISAH ISTRI NABI LUTH
Metode yang diberikan sejak zaman kuno mengenai misteri hidup adalah dengan menyampaikan dalam bentuk legenda. Legenda Istri Nabi Luth. Nabi Luth sendiri merupakan saudara Nabi Ibrahim yang dengan cinta dan bantuan Nabi Ibrahim sehingga dua malaikat diutus pada Nabi Luth, untuk memperingatkan kepadannya bahwa dua kota akan segera dihancurkan dan juga menyarankan padanya agar pergi ke gunung. Semula Nabi Luth tidak ingin meninggalkan kotanya, tetapi pada akhirnya dia setuju juga. Menantu laki-lakinya menolak untuk diajak menemani, tetapi istri dan kedua anak perempuannya bersediadiajak ke gunung. Mereka diberitahu supaya istrinya tidak menoleh ke belakang, dan ketika istrinya melanggar larangan itu, dia berubah menjadi tiang garam. Nabi Luth dan dua anak perempuannya yang tersisa, akhirnya sampai pada tujuannya: sebuah di gunung.
Dua kota yang akan hancur, melambangkan kutub utara dan kutub selatan, merupakn dua kutub di dunia. Karena semua harta benda dunia, semua kepemilikan, kekuatan dan ketenaran yang menjadi milik bumi bisa mengalami kehancuran. Dan itulah yang ajarkan pada Nabi Luth, jiwa manusia, yang menjadi saudara Nabi Ibrahim – jiwa keIlahian yang berasal dari Brahma sang pencipta. Hubungan antara Nabi Luth dengan Nabi Ibrahim menggambarkan hubungan jiwa manusia dengan sang pencipta. Dua malaikat adalah malaikat penerang dan akal. Ketika penerangandatanng kepada manusia, ajaran pertama adalah untuk memperingatkan jiwa akan bencana yang akan menunggu siapa saja yang bisa mengalami kematian dan kehancuran. Pelajaran inilah yang dalam bahasa Sansekerta disebut pelajaran Vairagya –ketika mata manusia terbukauntuk melihat bahwa dia mempunyai keinginan untuk terus memiliki dan menggenggam semua yang dia cintai dan dia sukai., tetapi ternyata semua itu bisa mengalami kehancuran dan kematian.
Ada lima tubuh yang yang dianggap oleh ahli mistis zaman dulu sebagai kendaraan jiwa yang disebut Anandamayakosh: tubuh kesukacitaan, Vignanamayakosh: tubuh kebijaksanaan, Manamayakosh: tubuh pikiran, Pranamayakosh: tubuh eter, Annamayakosh: tubuh bumi.yang terakhir ini adalah penerima makanan. Ia hidup dari makanan duniawi., dan jika ia kelaparan maka ia akan mati. Kerena ia terbuat dari tanah, ia hidup di bumi. Yang lain adalah penerima eter yang disebut Pranamayakosh. Bagian dari manusia tersebut hidup dengan bernafas dan mengambil udara, dan jika ia kekurangan udara maka ia tidak bisa hidup. Dua bagian tubuh ini memebentuk bagian meterial, bagian fisik manusia. Dan dua penerima inilah yang disebut-sebut dalam legenda sebagai dua putra menantu.
Kemudian ada Manamayakosh, yaitu pikiran dan tubuh mental. Tubuh ini mempunyai aksi dan reaksi pada dua sisi. Ia bertindak dan bereaksi pada tubuh duniawi, dan bertindak serta bereaksi pada jiwa. Oleh karena itu ketika Luth meninggalkan kedua kota itu yang melambangkan tataran fisik, perjalanan menuju tujuan Keabadian, istrinya masih bersamanya. Karena memang diperlukan bagi tubuh mental untuk tetap tinggal di belakang ketika berjalan menuju pencerahan dimulai. Ia mampu untuk pergi bersama jiwa menuju Keabadian. Akan tetapi kelekatannya pada bumi dan tataran fisik masih besar, karena itu terbuat dan tersusun dari pahatan-pahatan fisik, dari semua kesan-kesan yang datang dari dunia fisik, dan karena kebutuhannya maka ia ingin menengok untuk melihat apakah diri fisiknya ataupun diri spiritualnya menuju arah yang tepat. Sifat dasar pikiran adalah ragu-ragu baik ketika dia melakukan tindakan yang benar ataupun salah. Keraguan dan kepercayaan adalah musuh. Sementara kepercayaan menuntun kepada tujuannya, keraguan akan menariknya kembali. Ketika pikiran sedemikian tertarik ke belakang,oleh semua kesan-kesan kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bisa menggenggap dunia ataupun berkelana bersama ruh dan akan tertinggal bukan sebagai tanah ataupun air tetapi sebagai garam.
Dua tubuh yang lain yang dekat dengan jiwa, mengikuti jiwa. Sewajarnya mereka akan mengikuti, karena berhubungan erat dengan jiwa, Vignanamayakosh, tubuh kebijaksanaan, dan Anandamayakosh, tubuh kesukacitaan. Jiwa terikat kepada Tujuan Abadi seperti namanya puncak gunung. Dan sebelum mereka mencapai puncak gunung, ada gua, yang disebut Surga – dalam Metafisika: kemampuan, dalam bahasa Sansekerta: Akasha – yang mempunyai kekuatan menahan jiwa untuk pergi menuju puncak dan mempergunakan jiwa untuk tujuan-tujuan tertentu. Jiwa yang terikat pada Tujuan Abadi menjadi tertinggal dan teracuni oleh ekstasi yang diterimanya dari bidang kenikmatan dan bidang kebijaksanaan. Dan karena setiap yang terjadi mempunyai maksudnya sendiri-sendiri, demikian juga kenikmatan ini adalah hasil dari tujuan yang besar, dalam kelahiran sang pesuruh, yang dalam bahasa Sansekrta disebut Bodhisatwa. Sang pesuruh terlahir dari pengalaman jiwa pengetahuan dan kebahagiaan, untuk membawa peningkatan kebaikan pada dunia.
Ada satu pertanyaan yang mungkin muncul, mengapa Manamayakosh harus menjadi ibu dan Anandamayakosh da Vignanamayakosh harus menjadi anak perempuan. Jawabnya adalah mereka terlahir dari pikiran dan jiwa. Seandainya hanya ada jiwa, maka tidak akan ada suka cita ataupun kebijaksanaan. Pikiran dan jiwa, keduanya menghasilkan suka cita dan kebijaksanaan. Oleh karena itu yang terakhir disebut anak perempuan karena pikiran adalah ibunya. Dua bidang yang lebih rendah lagi terwakili putra menantu, karena mereka tidak langsung terlahir dari pikiran dan jiwa; ia adalah substansi terpisah yang diambil oleh pikiran dan jiwa ke dalam hidupnya.
Dengan kisah ini, proses tersebut diajarkan; bagaimana jiwa bisa berkelana dari kefanaan menuju kebaqaan dan pengalaman-pengalaman apa yang mungkin dialami dalam perjalanannya. Tetapi ketika sang Pesuruh tercipta, maka sang Bapa-jiwa-beristirahat dalam kedamaian. Oleh karena itulah sang Pesuruh disebut Putra, dan Jiwa sesungguhnya disebut Bapa.

YAKUB BERGULAT DENGAN MALAIKAT
Pergulatan Yakub adalah pergulatan antara jiwa dengan ego. Jiwa yang tersandarkan melihat sekelilingnya dan bertanya: “siapakah musuhku?” sementara jiwa yang lalai berfikir “ia adalah tentangku, sudaraku, yang menjadi musuhku”, sang jiwa tadi berkata: “diriku sendiri; egoku yang lalai adalah musuhku; dan pertempuran dengan musuh ini yang akan membawa ke titik terang dan mengangkatku dari kesesakan bumi.” Malam artinya secara simbolis sdalah waktu ketika kegelapan tiba karena kelalaian menyebabkan kebingungan; orang merasa sedih, kesepian, tertekan; tidak melihat jalan keluar; terbebani dari segala arah, terbelenggu; tampak tidak ada kebebasan bagi jiwa; karena ini adalah waktu malam. Tetapi ketika jiwa bisa mengalahkan ego, maka ia akan naik di atas belenggu danketerikatan pada dunia ini. Seperti yang dikatakan dalam Injil, pertama-tama Yakub meninggalkan semua miliknya; dia menjauh dari itu semua. Ini berarti dia meninggalkan semua yang dia pernah merasa terikat padanya. Seorang sufi yang melihat fenomena ini dari sudut pandang yang berbeda, lalu berfikir mrninggalkan semua miliknya, dan pergi ke hutan atau ke gunung, itu bukanlah pelepasan yang sebenarnya; pelepasan yang sebenarnya ada di dalam hati manusia. Seseorang bisa dikelilingi keindahan, kenyamanan, kesejahteraan, jabatan, cinta – segala sesuatu – tetapi bisa lepas dari itu semua; tidak menjadi budak mereka; berada di atas mereka.
Yakub meninggalkan semuanya dan sampai pada taraf kesendirian, kesenyapan, dan di sana ia berharap untuk memerangi diri yang terpedaya, ego yang membutakan manusia dari Kebenaran. Dan apa hasilnya? Datanglah fajar, dan orang itu atau malaikat, yang berkelahi dengan Yakub, pergi. Ini berarti bahwa ego ingin pergi meninggalkannya; tidak ada lagi ego, tidak ada lagi Aku; tetapi dengan adanya fajar cahaya baru, inspirasi baru, penyingkapan rahasia yang baru telah datang. Ego yang yakub lihat sebagai musuh terbesar, pada saat fajar merekah dia kenali sebagai Tuhannya sendiri. Sesuatu yang dia perangi sepanjang malam, sekarang ia membungkuk di hadapan-Nya, memohon rahmat-Nya, dia sebut nama-Nya karena dia melihat sesudah itu: “bukan Aku lagi tetapi Engkau.” Dan nama tidak bisa disebutkan, karena itu adalah pengungkapan rahasia Penyatuan antara tuhan dan Manusia, dan pada perwujudan ini nama dan bentuk menghilang.

YESUS BERJALAN DI ATAS AIR
Fenomena tentang Kristus berjalan di atas air, dari sudut pandang mistis menyiratkan suatu Filosofi yang lebih besar dari pada hanya fenomema itu sendiri. Seluruh alam semesta dalam segala bentuknya adalah satu gambaran tunggal dari aktivitas kontan. Dari awal sampai akhir  setiap aspek kehidupan ini menggambarkan gerakan, dan gerakan yang tak henti-hentinya dari alam semsta inilah yang disebut kehidupan. Oleh karena itulah alam semesta dikatakan sebagai lautan getaran-getaran, dan setiap getaran melambangakan satu gelombang. Karenanya, para bijak menyebutnnya dalam bahasa Sansekerta, Bhava Sagara, lautan kehidupan, dan pengikut-pengikut setianya selalu berdo’a untuk dibebaskan, sehingga mereka tidak akan tenggelam di lautan ini, tetapi mereka bisa berenang di dalamnya yang disebut Tarana. Dan Ruh master-lah yang bisa naik di atas gelombang lautan kehidupan yang besar ini, yang pada umumnya jiwa-jiwa hanyut tenggelam. Untuk berada di dalamnya, dan untuk bisa berdiri di atasnya, dan berjalan di atasnya, adalah fenomena tentang Kristus berjalan di atasnya.
Kristus berkata pada seorang nelayan: “Aku akan membantumu menjadi manusia nelayan.” Yang artinya : “Seperti ketika kamu menebarkan jala dan ikan-ikan masuk ke dalamnya, demikian juga dengan spiritualitas kepribadianmu akan menyebar di atmosfir, dan hati manusia yang dahaga akan inta akan tertarik padamu seperti ikan-ikan itu.” Cinti kristu pada domba secara simbolis mengekspresikan bahwa bagi sang master, jiwa itu membuat daya tarik yang lebih besarlagi, yang sederhana dan tidak berbahaya seperti domba. Dan mahkota duri melambangkan toleransi dari kepribadian seperti duri yang banyak terdapat di bumi, terus menerus msnusuk, sadar atauoun tidak sadar, dan inilah yang membuat orang sensitive terganggu dengan kehidupan dunia. Tetapi sang pesuruh yang hatinya mewakiliBapa dan IbukeIllahian tidak bias lain kecuali toleran, dan secara sukarela menerima mahkota tersebut yang diberikan padanya, karena itu memang, tanda KekuasaanNya dalam kerajaan jiwa.
Kristus berkata pada petrus: “Engkau akan menolakku tiga kali sebelum ayam jantan berkokok.” Ini menjelaskan tentang pembawaan sifat manusia. Keercayaan manusia umumnya tergantung pada kepercayaan orang banyak, jika orang banyak menyebut batu krikil sebagai intan, tiap orang akan mulai menganggapnya sebagai intan dan akan mengatakan demikian. Jika orang banyak berpikir bahwa bahwa intan adalah batu krikil, maka tiap orang akan mengikuti kepercayaan orang banyak tersbut. Jiwa sang pesuruh yang dating dari atas (yang dilmbangkan dengan burung merpati), yang tidak dibuat oleh dunia, tapi tak dikenali sampai ayam jantan berkokok dan mata hari terbit. Maka kata-katanya bersinar dan menyebarkan cahaya pada dunia, dan jiwa diberi kehormatan dengan sedikit pengenalan, tetapi dengan sejumlah besar keraguan, bias percaya untuk sementara waktu, terkesan dengan kekuatan dan keanggunan kepribadian sang Master, tetapi juga masih menyangkal seribu kali, meragukan dan menduga-duga, serta masih terkesan oleh pengaruh orang banyak. Bagaimana persoalan yang sebenarnya, peribahasa dalam Bahasa Hindustan menyatakan bahwa: “pada umumnya jiwa mengikuti orang banyak.” Cuma ada sedikit jiwa yang teguh dengan pendirian mereka, dan tetap teguh bahkan jika seluruh dunia menentang pendirian mereka sendiri. Sesungguhnya bagi yang setia ada rahmat untuk mereka.

SIMBOL SALIB
Symbol salib mempunyai banyak pengertian. Dikatakan dalam Injil: pertama adalah kata, kemudian dating cahaya, dan kemudian tercipta dunia. Dan seperti cahaya diekspresikan dalam bentuk salib, demikian juga tiap bentuk memperlihatkan didalamnya tanda-tanda aslinya. Setiap seniman mengetahui nilai dari garis tegak dan garis datar, yang merupakan kerangka dari setiap bentuk. Ini juga membuktikan ajaran Al-Qur’an, yang dialamnya disebut bahwa Tuhan menciptakan dunia dari cahayaNya sendiri. Salib adalah gambar yang tepat untuk setiap bentuk dimana saja.
Secara moral salib berarti derita ataupun siksa. Itu berarti bahwa dalam setiap kegiatan kehidupan, yang bias digambarkan sebagai garis tegak, kemudian datanglah gangguan, yang diwakili oleh garis datar. Ini menunjukkan sifat alamiah kehidupan, yaitu seperti dikatakan, manusia mengusahakan, Tuhan lah yang menentukan. Seseorang bertanya pada Master besar, Ali, apa yang membuatnya percaya Tuhan. Ali berkata; “Aku percaya pada Tuhan karena aku melihat bahwa ketika hanya aku sendiri yang menginginkan, maka keinginan itu tidak terlaksana.” Menurut sudut pandang metafisika, ini menggambarkan keterbatasan hidup.
Symbol salib dalam halnya hubungan dengan kehidupan Kristus tidak hanya menghubungkan penyaliban sang Master, tetapi juga menunjukkan bahwa penyaliban itu harus dihadapi oleh seseorang yang memiliki Kebenaran. Menurut gagasan Filsafat Hindu, bahwa kehidupan didunia ini adalah hanya sebuah ilusi. Dan oleh karena itu setiap peristiwa yang dialami dalam kehidupan dan pengetahuan akan kehidupan ini adalah sebuah ilusi. Kata-kata Sansekerta untuk ilisi ini adalah maya, juga disebut Mithea, yang darinya kata Mitos dating. Ketika jiwa mulai melihat kebenaran, maka bias dikatakan sebagai terlahir kembali, dan bagi jiwa ini semua yang Nampak sebagai kebenaran bagi orang kebanyakn, maka bginya akan Nampak tidk benar, dan apa yang namak sebagai kebenaran jiwa ini , akan menjadi sesuatu yang tidak berarti apa-apa bagi orang kebanyakan,  semua yang Nampak bagi orang banyak itu penting dan berharga dalam hidup, bagi jiwa ini tidak penting dan tidak berharga; dan apa yang nampaknya begitu penting dn berharga bagi jiwa ini, maka bagi orang kebanyakan akan melihatnya sebagai sesuatu yang tidak penting dan tidak berharga.
Oleh karena itu, dia secara alami hanya akan menemukan dirinya sendiri bila hidup dalam keramaian dunia yang sungguh berbeda dri pola keidupannya. Bayangknlah sendiri bila engkau hidup didunia ini dimana tidak ada orang yang menggunakan bahasamu. Dia bias hidup didunia itu, karena dia tahu bahasanya. Dan baginya hidup didunia adalah samatidak menguntungknnya seperti orang dewasa yang hidup didalam dunia anak-anak yang selalu asyik bermain dengan mainannya. Seorang manusia yang teah menyadari kebenaran, bias mengalami semua penderitaan dan siksaan dalam cara yang sama dengan orang lain, kecuali bahwa ia mampu menahannya lebih baik daripada orang lain. Tapi, pada saat yang sama, sementara dalm keramaian yang mana setiap orang saling tabrak dan juga menerinma pukulan,mereka yang  mengetahui kebenaranharus berdiri sendiri daan hmenerima semua perlakuan itu secara sendirian; baginya ini adalah siksaan hebat. Hidup didunia ini adalah tidak mudah bagi setiap orang kaya atau miskan, kuat atau lemah, tetapi bagi yang mengetahui kebenaran akan menghadapi sesuatu yang lebih sulit lagi, dan didalam dirinya itulah ada salib. Oleh karena itu, bagi sang penyampai sepiritual, salib tersebut adalah lambing yang alami untuk menjelaskan keadaan moralnya. Tetapi ada pengertian yang lebih tinggi lagi tentang salib yang dipahami oleh ahli mistik. Pengertian ini adalah yang disebut pengingkaran diri; dan untuk mengajarkan kehalusan moral ini, kerendahan hati dan kesederhanaan diajarkan sebagai ajaran yang pertama. Pengingkaran diri adalah akibat uang disebabkan oleh peniadaan diri. Inilah yang menyebabkab orang berkata: “Bukan aku tetai Engkaulah keagungan itu.”Sebagai contoh, seorang seniman, memandang pada lukisannya, dan berkata; “ini adalah pekerjaanNya, bukan saya.”atau seorang pemusik, yang mendengarkan komposisinya, berkata: “Ini adalah ciptaanNya, bukan aku.” Maka jiwa tersebut dalam satu cara bias disebut disalib, dan melalui penyaliban itu datanglah kebangkitan kembali. Tidak ada keragun sedikitpun ketik manusia telah mendapat banyak penderitaan dalam hidupnya. Dia bangkit pada kesadaran terbesarnya. Tetapi tidakberarti bahwa penderitaan harus menjadi satu-satunya cara. Kesepian pada sisiv manusia untuk menolak bagian kesadarannya dan untuk meniadakan kepribadiannya sendiri, yang membuka selubung yang menyembunyikan Ruh Tuhan dari pandangan manusia.
SIMBOL MERPATI
Burung mewakili musyafir langit, dan juga sekaligus mewakili makhluk yang aslinya dibumi dan aslinya tinggal di angkasa, penjelasan pertama tentang burung mewakili gagasan tentang jiwa yang tempat tingglnya di surga, dan yang berikutnya mewakili penghuni bumi yang bias berjalan-jalan dilingkungan yang lebih tinggi, dan kedua penjelasan in memberikan petunjuk berupa gagasan bahwa manusia spiritual, tinggal di bumi, berasal dari surga; hal itu menerangkan juga bahwa manusia spiritual adalah penghuni surga dan bertempat tinggal di bumi untuk sementara waktu.
Burung merpati digunakan sebagai pembawa pesan, dari satu tempat ketempat lain, dan oleh karena itu lambang burung merpati adalah lambang alami untuk mewakili pesuruh dari atas sana. Kebahagiaan spiritual adalah suatu pengalaman yang jika seekor burung atau binatang mengalaminya, ia tidak akan pernah kembali ke tempat asalnya.tetapi satu penghargaan bagi manusia yang telah menyentuh titik kegembiraan dan kebahagiaan besar tersebut, dia kembalilagi ke dalam dunia yang penuh kesedihan dan kekecewaan dan menyampaikan ajarannya.hal ini juga bisa dilihat pada burung merpati; ketika ia dikirim, ia pergitetapi dengan setianya ia kembali lagi pada Tuhan yang mengirimkannya. Manusia spiritual melaksanakan tugans ini dua kalilipat; ia merengkuh lebih tinggi daripada tataran manusia biasa, menyentuh tataran ke Illahian dan menyampaikan wahyu dari tuhan ke umat manusia. Dengan cara ini bukannya menetap di tataran keIlahian, dia kembali diantara sahabat-sahabatnya manusia, untuk kesjahteraan mereka, itu bukanlah suatu pengorbanan yang keci. Tetapi sekalilagi dia juga melaksanakan tugas dari Tuhan, yang dariNya dia membawa FirmanNya, yang disampaikan pada umat manusia. Dia hidup sebagai makhluk manusia, merasakan cinta, benci, pujian, dan disalahkah; melewati hidupnya didunia yang penuh ikatan, dan kehidupan yang mengikatnya dengan seribu tali dari segala penjuru. Akan tetapi dia tidak lupa akan tempat asalnya, dan dia tetap dengan bersemangat mencari cara untuk tempat yang seharusnya bagi dia. Oleh karena itu dalam kedua perjalanan ini, dari bumikesurga dan dari surga kebumi, gagasan tentang burung merpati terbukti lebih tepat daripada pemikiran lain di dunia ini.

SEPULUH PERAWAN
Ada kisah di Injil tentang sepuluh perawan. Lima perawan yang pandai dan lima lagi yang bodoh. Dikatakan bahwa calon pengantin laki-lakinya mau datang, dan mereka harus mnyalakan lampu-lamu mereka; yang lima tadi sudah siap; membawa minyak, dan menyalakan lampunya. Yang lima lagi menunggu sampai calon suaminya datang, dan ketika mereka sampai, maka mereka pergi kelima gadis pertama. Yang telah menyalakan lampu mereka dan meminta minyak pada mereka, tetapi ditolak. Cerita ini hanya ungkpan simbolis tentang menerima wahyu Tuhan. Yang dimaksud dengan perawan adalah jiwa yang menanti pencerahan, tak berdosa dan peka terjhadap cahaya; dan lima artinya adalah orang banyak. Ada kelompok orang, satu kelompo ialah yang mempersiapkandiri mereka dan siap menerima wahyu Tuhan, yang digambarkan sebagai pengantin yang pandai. Dan lima bodoh adalah kelook dalam umat manusia yang menunggu dan menunggu dsampai wahyu itu datang dan kemudian pergi. Pada setiap zaman selalu ada jiwa seperti ini. Satu jenis disebut dalam kitab-kitab sebagai orang yang beriman, dan yang lain adalah yang diketahui sebagai orang yang tidak beriman.
Disetiap zaman kenabian telah diberitahukan oleh  Nabi pendahulunya sebelum kedatangan Nabi yuang berikutnya. Kadangkala dikatakan: “Aku akan datang”, dan kadang: “Dia akan datang.””aku akan datang” telah dikatakan pada mereka yang mau mengenali Ruh penuntun yang sama dalam setiap kedatangan pembawa kabar gembira; “Dia akan datang” dikatakan pada mereka yang nama dan bentuknya berbeda, dan yang tidak bisa mengenali Ruh yang sama dalam nama dan bentuk yang berbeda. Sebagai contoh, kedatangan Yesus Kristus adalah kedatangan sang Ruh yang diungkapkan dalam cerita perumpamaan ini sebagai engantin laki-laki, dan ternyata hanya sedikit yang mengenalinya dan betapa sedikit yang mendapat pencerahan. Hanya bagi mereka yang lampunya telah siap dinyalakan. Minyak dalan kisah perumpamaan ini adalah cinta, dan cahaya adalah kebijaksanaan. Dan ketika lampu mereka dinyalakan, maka begitu banyakyang datang setelah itu, tetapi rahmat dan kehormatan yang datang bersama dengan keribadian sang master telah hilang. Mereka harus bisa mengambil keuntungan dari cahaya yang datangdari lampu-lampu mereka yang dinyalakan, tetapi kesempatan untuk menyalakan lampu mereka sendiri telah hilang.
Itu sama dengan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini. Setiap momen kehidupan kita adalah kesempatan yang menbawa keberkahan dan rahmat.  Dan dia yang tahu bagaimana agar diuntungkan dari adanya hal tersebut, menerima keuntungan dan rahmatnya. Setiap orang kelihatannya hidup dan terjaga, tetapi hanya sedikit jiwa yang benar-benar hidup dan terjaga.ada kesempatan untuk beruntung dan mendapatkahn rahmat dalam setiap bidang kehidupan seseorang: bidang fisik, bidang mental, dan bidang spiritual. Setiap kesempatan menjadi tidak ternilai harganya. Tetapi seringkali seseorang menyadari kebenaran ketika sudah terlambat. Tidak ada kesempaanyang lebih besar dan lebih baik dibandingkan dengan saat yang bisa memberi pencerahan spiritual, suatu aat ketika orang-orang dapat menerima rahmat Tuhan. Itu adalah saat yang tidak ternilai harganya. Barang siapa yang memahaminyacdan mencoba untuk meraih keuntungan dari hal tersebut, akan dirahmati.

LIDAH-LIDAH API
Arti simbolis dari legenda ini adalah bahwa ada satu periode ketika jiwa pencari yang paling rajin sedang mencari , dan pada saat itu dia belum menemukan obyek yang dicarinya. Pada masa hidupnya Yesus Kristus, keindahan kepribadian dari Masteryang sangat mengagumkan dan kehadirannya membuat jiwa-jiwa pencari menjadi mabuk, dan ajaran yang dicurahkan secara konstan yang harus dia berikan, ternyata begitu banyak murid-muridnyacsehingga kondisi tersebut memuncak melewati apa yang bisa disebut kenikmatan atau kebahagiaan, atau sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.dan semua rahmat yang mereka terima dan alami selama kehadirannya sudah terpenuhi oleh kepribadian sang Master. Dan sat perwujudan itu berhasil mereka dapatkan kedalam hidup mereka , setelah perubahan besar yaitu ketika orang yng diluar (murid) dari sang masteritu menanjak,dan kemampuan untuk mengejawantah menjadi terbuka.
Tetapi setelah lima puluh dari hari penyaliban, ketika mereka telah cukup waktu untuk sembuh dari perasaan yang telah mengambil alih hati mereka, nampaknya perpisahan dari Tuhan terkasih mereka yang telah menyiapkan mereka, pada waktunya, dan membuka pintu hati mereka, memberi kemampuan untuk menerima pencerahan yang selalu mengucur dari Ruh penuntun,  sang Alpha dan omega, yang selalu ada dan akan tetap ada.
Penafsiran simbolis dari lidah api yang bangkit dari benak para murid adalah cahaya dari sabda, cahaya Ruh Kristus dalam bentuk pemikiran yang diungkapkan dalam kata-kata. Ada satutahap dalam kehidupan seseorang saleh ketika lidah api yang tidah hanya menjadi penafsiran misteri tetapi juga sebagai kenyataan, sebagai pengalamannya sendiri. Kepala adalah pusat pengetahuan, dan ketika orang lain terbuka, cahaya yang tadinya terselubung kini menjadi terang, tidak hanya dalam gagasan tetapi juga dalam bentuk.
Dan fenomena yang diperlihatkan pada hari berikutnya, ketika ara Rasul berbicara dalam bahasa yang berbeda, dapat ditafsirkan dengan benar dengan pengertian ini, bahwa setiap jiwa mendengar bahasanya sendiri.  Karena setiap jiwa mempunyai kata-kata sendiri, seperti setiap jiwa mempunyai waktu perubahannya sendiri-sendiri.  Dan oleh sebab itu bahwa seseorang tisakbisa memahami orang lain didunia ini yang bisa memahami dia sepenuhnya, yang berarti bahwa bahasa masing-masing didunia ini tidak bisa dipahami oleh orang lain; dan jika seseorang mengerti sedikit saja, dia akan merasa satu jalan dengannya. Itu adalah cahaya Ruh Kristus yang membawa keberkahan dalam idup sang murid, sehinga mereka mulai merespon setiap jiwa yang mereka temui, dan mereka memahami jiwa seperti cara mereka melihatnya, dan bisa berbicara dengan jiwa yang bahasanya belum mereka ketahui sebelumnya.secara sederhana mereka mendengar setiap jeritan tangis jiwa, dan mereka menjawab setiap penggalian jiwa. Setiap nabi besar maupun Guru dalam pengikutnya memiliki banyak pengikut, tertarik dengan kepribadiannya, dengan kata-katanya, kebaikan dan kasih sayangnya, yang hatinya menjadi seperti seruling untuk dimainkan sang master dalam memainkan musiknya, selalu hanya memilih beberapa saja, seperti duabelas rasul pengikut Kristus.

SHAKKI SADR; MEMBUKA DADA SANG NABI
Ada kisah yang diceritakan dinegara Saudi Arabia bahwa malaikat turun dari surga ke bumi dan membelah dada sang nabi, mereka mengambil sesuatu yang harus dibuang dari sana, dan kemudian dadanya dipulihkan seperti semula. Ini adalah ungkapan simbolis, yang memberi kepada orang sufi suatu kunci rahasia kehidupan manusia. Apa yang menutup pintu hati manisia adalah rasa takut , kebingungan, depresi, rasa dengki, kehilangan semangat, kekecewaan dan kesadaran yang terganggu, dan ketika hal tersebut dibersihkan, maka pintu hati manusia terbuka. Pembelahan dada sesungguhnya adalah pembukaan hati. Sensasi kenikmatan dirasakan ditengh-tengah dada, juga rasa berat yang disebabkan oleh rasa depresi. Olehkarena itu selama dada masih tersumbat dengan sesuatu, maka hati akan tetap tertutup. Ketika dada dibersihkan dari sumbatan itu, maka hatinya menjadi terbuka. Hati yang terbukalah yang mengambil pantulah dari semua kesan yang datang dari luar. Hati yang terbukalah yang bisa menerima Ruh Illahiah. Keterbukaan hatilah, sekalilagi yang dapat memberikan kekuatan dan keindahan untuk mengekspresikan dirinya; dan jika ia tertutup, seorang mabusia bagaimanapun terelajarnya, tidak dapat mengekspresikan ilmunya pada orang lain.
Kisah sikbolis ini juga menerangkan apa yang dibutuhkan dalam hidup ini untuk membuat tanaman ksih dari Illahi agar tumbuh dalam hatinya. Penghilangan unsur itu akan memberi perasaan sedih. Seperti keadaan racun dalam sengat kala jengking, dan seperti racun dalam taring ular, demikian juga ada racun dalam hati manusia, hati ini diciptakan untuk menjadi tempat suci Tuhan. Tetapi tuhan tidakbisa muncul ditempat suciyang mati oleh karena racunnya sendiri; hati itu harus disucikan dulu, dan dibuat murni, supaya tuhan bisa muncul. Jiwa yang harus bersimpati pada dunia ini harus dipersiapkan, sehingga tetesan racun yang selalu menghasilkan kehinaan, kebencian dan perasaan sakit hati terhadap orang lain, terlebih dahulu dihancurkan. Begitu banyak yang berbicara tentang penyucian hati, tetapi angat sedikit yang benar-benar mngetahuinya. Beberapa orang berkata untuk menjadi suci berarti terbebas dari pikiran jahat tetapi tidak ada pikiran jahat. Sebutlah jahat atau setan jika ada pikiran seperti itusebenarnya itu adalah pikiran yang tidak tepat terhadap orang lain. Tidsk ada orang dengan perasaan dan pemahaman akan menyimpan racun dalam dirinya, dan betapa alpanya manusia jika dia menyimpan dan memelihara pikiran buruk pada orang lain dalam hatinya.jika setetes racun bisa menimbulkan kematian pada tubuh kita,sama halnya dengan kematian seribu orang jika hati menyimpah pikiran buruk yang terkecil sekalipun. Dalam kisah ini pembelahan dada adalah pembukaan ego, yang serupa dengan kulit penutup hati. Dan pembuangan unsur tersebut adalah bahwa setiap jenis pemikiran atau perasaan terhadap orang ain didunia ini telah dibuang, dan dadanya yang berarti hati dipenuhi dengan cintakasih, yag merupakan kehidupan sejati Tuhan.

MI’RAJ SANG NABI
Satu kisah yang ada dalam Islam adalah Mi’raj sang nabi, yang merupakan sesuatu inisiasi dalam lingkungan yang lebih tinggi. Banyak yang menerimanya secara harfiyah dan mendiskusikannya, dan sesudahnya pergi dengan pintu sama pada waktu dia masuk. Dari sudut pandang mistiklah orang bisa menemukan misterinya.
Diceritakan sang Nabi dibawa dari Masjid Yerusalim kemesjid Perdamaian (Sidratul Muntaha), yang berarti dari luar msjid perdamaian kedalam mesjid perdamaian. Buraq dibawakan untuk sang nabi untuk kendaraan. Malaikat Jibril menemui sang nabi dalam perjalanan, dan menjadi penunjuk jalan. Konon buraq adalah hewan surga yang mempunyai sayap, bertubuh kuda muka manusia, itu berarti bahwa tubuh berhubungan dengan pikiran. Sayap meambangkan pikiran dan tubuh buraq melambangkan tubuh manusia, kepalanya melambangkan kesemurnaan. Ini juga menggambarkan nafas. Nafas adalah buraq yang menggapai dunia luar dalam waktu sekejap. Jibril dalam kisah ini melambangkan akal.
Dikisahkan bahwa dalam perjlanan , Sang nabi melihat Adam. Adam kelihatan tersenyum disuatu sisi dan berurai air mata disisi lain. Ini memperlihatkan bahwa jiwa manusia, ketika mengembangkan didalam dirinya sentimen kemanusiaan, bergembira atas perkembangan umat manusia dan bersedih atas degenerasi umat manusia.buraq sendiri tidak bisa pergi lebih kjauh lagi pada suatu tempat, yang berarti bahwa nafas mempunya jarak tertentu daam kenyataan mistis, tetapi ada satu tahap ketika nafas ter sebut bisa menemaninya lagi. Ketia mereka sampai didekat tujuannya, malaikat Jibril juga berhentui yang berarti akal tidak bisa melangkah lebih jauh lagi dari batas-batasnya. Maka sampailah sang nabi didekat tirai yang terhampar diantara manusia dn Allah SWT. Dan menyeru nama Tuhan, “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Dan datanglah jawabannya, “benar, benar.” Itu adalah insiasi yang sejak saat itu tercatat berkembangnya wahyu kenabian Muhammad SAW.


BAB XI
DARI TEOLOGI KE SOSIOLOGI

Teologi adalah ilmu atau penalaran kritis (logos) tentang Tuhan (teos), sedangkan sosiologi adalah sebuah penalaran kritis (logos) tentang masyarakat (socius). Meskipun sama-sama sebagai kajian yang bersifat kritis-logis, teologi muncul dari tradisi dan semangat beragama, sehingga di dalamnya terkandung semangat iman dan pembenaran pada wahyu Tuhan. Teologi lalu dibedakan dari filsafat ketuhanan yang memberikan kebebasan bagi nalar dalam membahas persoalan Tuhan tanpa harus terikat dengan wahyu.
Namun demikian, dalam tradisi Islam, sebebas apapun nalar berpikir, tetap ada penghormatan pada wibawa wahyu. Oleh sebab itu, tradisi filsafat dalam Islam masih berdekatan dengan tradisi teologi. Yang membedakan keduanya hanya dari segi metodologi. Filsafat lebih mengandalkan metode burhani (demonstratif), sedangkan teologi lebih bersifat jadali (dialektis). Yang pertama mencari formula kebenaran dengan cara membangun premis dan melakukan analisis secara kritis-radikal setapak demi setapak. Adapun yang kedua berangkat dari berbagai statemen ayat atau wahyu yang kemudian saling diperhadapkan dalam kerangka analisis guna menangkap pesan Tuhan.

A.       Dari Individual ke Sosial
Semua agama, pada awalnya, merupakan pengalaman pribadi para pendiri atau pembawanya. Jika ditelusuri ke belakang, Islam bermula ketika Muhammad meyakini memperoleh pengajaran Tuhan melalui malaikat Jibril, yang berlangsung selama 23 tahun. Orang lain yang mendengarkan cerita pengalamannya terbagi menjadi dua: mereka yang percaya dan mereka yang tidak percaya. Yang pertama disebut orang mu’min (the community of believers), yang kedua disebut orang kafir(the community of disbelievers). Ada juga kelompok ketiga yang disebut ahl al-kitab (the people of the book). Mereka tidak percaya pada pengalaman Muhammad dalam hal menerima wahyu dari Jibril, namun karena memiliki kesamaan, banyak ajaran yang disampaikan Muhammad juga menjadi kepercayaan mereka. Ajaran tentang beriman pada Tuhan Yang Esa, surga-neraka, dan petunjuk moral agar seseorang berbuat baik, misalnya, sama-sama dimiliki oleh masing-masing pihak. Pada waktu itu, posisi kelompok ketiga ini dibedakan dari kelompok orang kafir, dan tidak pula dianggap sebagai orang mukmin. Mereka beriman pada Tuhan, namun mengingkari kerasulan Muhammad. Mereka terdiri dari golongan Yahudi, Nasrani, dan Sabiin.
Ketika pemahaman dan keyakinan pada wahyu tidak lagi dimonopoli oleh Muhammad, melainkan menyebar pada orang lain, muncullah sebuah komunitas baru yang diikat oleh kesamaan iman. Di masa Rasulullah, istilah “iman” lebih popular ketimbang “islam”. Sekarang ini terjadi pembalikan semangat. Kata “iman” sebenarnya lebih inklusif sifatnya dan digunakan oleh berbagai kelompok agama, sehingga tidak terbatas pada mereka yang mengakui kerasulan Muhammad saja. Sedangkan kata “islam” yang dalam Al-Qur’an lebih inklusif-karena sebagian Nabi dan umat terdahulu juga masuk kategori muslim (dengan “m” kecil)- sekarang  berbalik menjadi ekslusif. Sekarang kata tersebut hanya mencakup mereka yang menjadi penganut Muhammad yang lazim disebut umat Islam. Kata “Islam” (dengan huruf besar) juga mengandung konotasi pengelompokan sosial, karena yang dimasukkan kelompok ini tidak selalu memahami dan melaksanakan ajaran Muhammad secara mendalam. Istilah ini berubah menjadi identitas demografis-sosiologis.
Jika dibandingkan sosok dan entitas Muhammad dan komunitas Muslim dalam memahami dan mengapresiasi ajaran Islam, akan terlihat perbedaan yang sangat mendasar. Wahyu Tuhan masuk dan bekerja dalam diri Muhammad secara optimal karena ibarat tanah, kondisinya sudah siap dan subur untuk ditaburi benih wahyu. Ini terlihat dari kepribadian Muhammad yang sejak kecil hingga malam penerimaan wahyu, sudah dikenal sebagai sosok pribadi yang cerdas, berbudi luhur, senang berkontemlasi, dan berbagai keunggulan lain. Masyarakat Arab pun sepakat memberi gelar “al-‘amin”, orang yang terpercaya. Dengan demikian, sebelum mengumumkan pada masyarakat bahwa dirinya memperoleh bimbingan wahyu Tuhan melalui Jibril, Muhammad sudah menonjol sebagai pribadi agung, bagaikan berlian di tengah bebatuan. Demikianlah, pemahaman, apresiasi, dan keyakinan Muhammad terhadap wahyu ajaran Tuhan sangat intens dan mendalam. Barangkali fenomena ini yang dimaksudkan oleh isterinya Aisyah ketika ditanya, bagaimana akhlak Muhammad? Ia menjawab: akhlaknya adalah Al-Qur’an. Lalu, Al-Qur’an sendiri menyebut Muhammad sosok uswah hasanah, model yang baik.
Marilah kita bandingkan dengan intensitas pemahaman dan penghayatan komunitas Islam tentang wahyu Tuhan. Segera kita temukan beberapa perbedaannya. Pertama, pengikut Muhammad tidak menerima pewahyuan secara langsung, sehingga ia lazim disebut sebagai pengikut. Hubungan ‘imam-ma’mum (leader-follower) ini secara sosiologis, pada gilirannya, akan melahirkan ciri khas masyarakat Muslim yang bisa jadi berbeda dari masyarakat demokratik-sekularistik. Kedua, kualitas pemahaman dan keimanan orang pada wahyu Tuhan sudah pasti berada di bawah level Muhammad. Bahkan banyak sahabat yang sebelum memeluk Islam perjalanan hidupnya amburadul, tidak sebersih Muhammad. Secara psikologis, rekaman bawah sadar negatif pasti mempengaruhi pertumbuhan kepribadian mereka, sekalipun telah menyatakan memeluk Islam. Ketiga, emosi dan perilaku kelompok sudah pasti berbeda dari emosi dan perilaku pribadi. Dalam kelompok, ikut hadir emosi dan kepentingan non-wahyu, terutama menyangkut sentimen komunalisme-primordial. Oleh karena itu, tidak jarang loyalitas pada kebenaran wahyu diboncengi dan potensial untuk dibajak oleh loyalitas lain. Keempat, keterikatan orang pada norma kelompok yang berlangsung terus-menerus bisa mengendorkan intensitas penghayatan pada panggilan wahyu. Seseorang bisa berperilaku bukan karena panggilan wahyu, melainkan karena takut pada sanksi sosial.
Ketika firman yang sedianya diterima secara pribadi telah menjadi fenomena sosial, maka simbol dan kekuatan agama sulit mengelak dari jebakan institusi. Institusi memang sangat diperlukan untuk mewadahi dan menyebarkan ajaran Tuhan. Namun, ketika institusi diabsolutkan dan diperlakukan sebagai ideology suci, ia bisa menghalangi esensi dan substansi ajarana wahyu itu sendiri. Oleh karena itu, semua agama senantiasa mempunyai problem dalam mengelola hubungan antara esensi ajaran wahyu dan institusi keagamaan yang dibangun oleh pendukungnya. Institusi ini ada kalanya dipahami bukan sekadar wadah, melainkan sebuah tuntutan doktriner yang penting diwujudkan dalam realitas sosial. Gagasan tentang Negara Islam ataupun pelaksanaan syari’at, misalnya, dipahami oleh sebagian orang sebagai instrumen yang bersifat profane dan sangat relative. Namun demikian, oleh sebagian yang lain, justru disakralkan sebagai kehendak Tuhan yang harus diwujudkan.
Dalam teologi Kristiani, ketika Firman menjelma menjadi darah dan daging Yesus, maka Yesus diyakini memiliki dua kapasitas sekaligus: sacral dan profane sekaligus; Tuhan dan sekaligus manusia. Struktur berpikir seperti itu mirip dengan orang Islam dalam memandang Al-Qur’an, sebuah firman suci yang sudah terbungkus dalam darah dan daging bahasa dan kebudayaan Arab. Tuhan yang absolute berinkarnasi dalam tubuh yang relatif. Dalam istilah tasawuf, Tuhan telah ber-tajalli dan menyatu dengan diri sufi. Ibarat matahari, cahaya dan kehangatannya telah memeluk Tuhan. Zat Tuhan yang Absolut tetap tak terjangkau, namun sifat dan firman-Nya menyatu dengan makhluk-Nya bagaikan cahaya matahari meresapi wajah bumi.
Dalam konteks historis-sosiologis, pertanyaannya adalah apakah objektivasi wahyu ke dalam wilayah sosial merupakan cetak-biru Tuhan yang absolut, ataukah hanya penjelmaan partikular, yang relatif dan eksperimentif? Kalau wahyu Tuhan dipahami sebagai firman yang menyejarah, maka aturan hukum dan tradisi agama tetaplah memberikan ruang bagi manusia untuk menafsirkan dan mengubahnya. Kita bisa mengambil contoh masyarakat Madinah dan berbagai hukum yang diajarkan Al-Qur’an. Apakah berbagai hukum yang selama ini dianggap sakral dan merupakan perintah Tuhan  benar-benar isi dan formalnya juga merupakan kehendak Tuhan? Atau apakah semua itu lebih merupakan gubahan dan terjemahan Nabi Muhammad atas wahyu dalam konteks ruang dan waktu tertentu yang sewaktu-waktu bisa diubah?
Secara filosofis, bisa dikatakan bahwa semua pemahaman kita tentang hokum Tuhan bersifat relatif. Hanya saja secara teologis dan sosiologis, sistem kepercayaan, formula hukum, kaidah moral, dan bentuk-bentuk ritual selalu dipertahankan karena memberikan tali pengikat dan identitas kelompok. Secara vertikal, ia diyakini sebagai sebagai ikatan dan penghubung dengan Tuhan untuk memperoleh jalan keselamatan eskatologis. Sementara secara horisontal, tradisi keagamaan bisa memelihara solidaritas kelompok seagama. Oleh karena itu,  perspektif  sosiologis melihat bahwa orang yang takut berbeda dari paham agama yang telah mapan bukan lantaran takut kemarahan Tuhan. Akan tetapi, bisa jadi ia lebih takut pada sanksi dan kemarahan soaial. Orang yang mencoba memberi tafsiran dan menggugat paham yang mapan akan dikutuk sebagai melawan Tuhan. Identitas kelompok dan institusi keagamaan disejajarkan dengan atau mengatas namakan Tuhan. Orang membela yang  pendirian kelompok agama tertentu akan merasa sebagai tengah membela Tuhan, dan orang yang berbeda dan menyerang mereka akan dipandang sebagai berkonfrontasi dengan Tuhan. Di sinilah konsep awal agama sebagai respons iman seseorang yang sangat pribadi mengenai pengalaman kehadiran Tuhan berkembang menjadi institusi dan komunitas umat beriman yang diikat dengan tradisi dan selalu dijaga dari waktu ke waktu.
 
   
B.       Agama dan Fakta Sosial
Mana lebih dahulu hadir, agama atau realitas sosial? Agama dalam kategori historis-sosiologis tentu merupakan fenomena baru. Kristen baru dua ribu tahun, Islam baru lim belas abad. Masyarakat tentu saja sudah ada jauh lebih dahulu. Dengan demikian, agama tidak pernah hadir dalam ruang kosong. Fakta sosial telah ada sebelum agama datang.
Fakta sosial adalah konstruksi teoretis bahwa dalam kehidupan sosial terdapat prilaku, cara bertindak, dan pola berfikir yang relative mapan dan berulang-ulang, sehingga mencerminkan adanya struktur dan pola interaksi sosial dalam masyarakat. Perilaku sosial yang mapan ini kemudian melahirkan tradisi yang dijaga bersama yang pengaruhnya sangat besar terhadap individu. Bahkan, individu bisa hanyut dan terserap ke dalam masyarakat. Seseorang yang lahir dan berkembang pasti dibentuk oleh fakta sosial, sekalipun perannya sebagai individu juga memiliki andil. Bidan inilah yang kemudian menjadi objek kajian sosiologi. Sosiologi berusaha mencari tahu hukum sebab-akibat dari pikiran dan tindakan manusia yang relatif konsisten, berulng-ulang sebagai anggota kelompok atau masyarakat. Jika psikologi lebih menitikberatkan perilaku perorangan, sosiologi lebih pada perilaku kelompok. Jadi bagi sosiologi, sumber yang menggerakkan pikiran dan tindakan diyakini bukan muncul dari kesadaran individu, melainkan motivasi dan pertimbangan sosial. Analisis tentang fakta sosial dan determinasi kelompok ini sangat penting dikaji agar kita bisa membuat analisis lebih lanjut mengenai seberapa jauh aga,a bisa mempengaruhi perilaku sosial. Sebaliknya, kita juga bisa menyelidiki seberapa jauh fakta sosial itu mempengaruhi perilaku keagamaan.
Berbagai teori klasik dari bidang sosiologi tentu sangat membantu menjelaskan peran agama dalam masyarakat. Namun, memasuki masyarakat global saat ini, diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih baru. Dalam tradisi barat, para sarjana sosial tidak bisa keluar dari pengaruh Auguste Comte (1798-1857), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918) Ketika menjelaskan agama dalam pentas sosial dan sejarah. Teori mereka sangat membantu untuk memahami hubungan antara agama dan elemen-elemen lain dalam masyarakat, namun dalam banyak hal, tidak lagi mencukupi ketika dihadapkan pada situasi yang berkembang saat ini.
Menurut Durkheim, peran utama agama dalam masyarakat tradisional adalah untuk menjaga solidaritas sosial. Sebuah masyarakat bisa lestari karena adanya ikatan emosional dan ikatan moral dari warganya pada seperangkat nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang dijaga bersama, yang mengatasi, dan menguasai alam pikiran dan tindakan anggota kelompok. Sedemikian kuat ikatan itu, sehingga agama diyakini sebagai kekuatan gaib yang disakralkan karena dinggap datang dari Tuhan. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah pengentalan kesadaran kolektif (conscience collective). Untuk menjaga kebutuhan sosial maka diperlukan seorang pemimpin yang dianggap kharismatik, yang memiliki wibawa dan kelebihan di atas rata-rata warga masyarakat. Kharisma ini bisa datang karena kesaktianny, karena keturunan penguasa sebelumnya, dan bisa juga karena bisa menunjukkan mukjizat yang bukti sebagai utusan Tuhan.
Dibanding situasi sosial saat ini, keadaan masyarakat saat kemunculan Musa, Yesus dan Muhammad relative lebih terbelakang. Di masa Rasulullah, kota Makkah dan Madinah masih terpencil dari kota-kota lain yang dianggap lebih maju. Bisa dibayangkan bagaimana pola hidup masyarakat padang pasir pada abad ke-6 dulu. Oleh para teolog, justru keterpencilan ini bisa dijadikan argument bahwa Muhammad benar-benar Nabi dan Al-Qur’an benar-benar wahyu Tuhan. Hal ini karena tidak mungkin seorang nabi muncul dari masyarakat yang belum memiliki budaya baca tulis sebagaimana bangsa Yunani dan Romawi, kecuali ia benar-benar utusan Tuhan, nabi Allah yang “ummi”.
Pada kondisi sosial seperti itu, peran Muhammad dan ajarannya bisa menjadi sosok pengikat yang amat solid. Dengan demikian, telah lahir identitas sosial baru yang melewati batas etnis dan kabilah. Kalau sebelumnya kelompok-kelompok suku di semenanjung Arab bagaikan atom-atom sosial yang terpisah-pisah, Muhammad segera mempersatukan mereka dengan ikatan tawhid dan etika sosial baru sehingga lahirlah kekuatan baru yang berlipat ganda. Kekuatan baru ini terbukti sangat ampuh ketika Muhammad dan rombongan kembali ke Makkah. Orang-orang kafir Makkah yang awalnya memusuhi jadi bertekuk lutut ketakutan dan menyatakan masuk Islam. Sepeninggal Rasulullah, komunitas baru yang diikat oleh keyakinan agama ini tak tertandingi soliditasnya, sehingga kepak sayap pengaruhnya meruntuhkan semua kekuasaan di sekitarnya. Hingga akhir abad ke-13, Dunia Islam menjadi pusat kekuasaan dunia.
Menurut analisis sosiologis, ketika Rasulullah bersama Sahabat masuk kembali ke Makkah dengan kekuatan baru, terjadi pergeseran pusat loyalitas. Mereka yang ingin merasa aman harus bergabung dan menunjukkan kesetiaannya pada Muhammad. Yang tidak percaya pada kenabian Muhammad bisa tetap bertahan, namun terikat oleh kontrak sosial. Fenomena ini berlangsung sepeninggal Nabi sehingga muncul istilah kafir harbi dan kafir dzimmi. Yang pertama adalah orang kafir yang mengambil sikap perlawanan, yang kedua orang kafir yang memilih hidup damai dan bersahabat di bawah kekuasaan Islam.
Demikianlah, ketika agama menjelma menjadi bagian fakta dan realitas sosial, wajah dan artikulasinya menjadi berbeda dari perannya dalam konteks individu. Wahyu Tuhan yang disampaikan sepeninggal Musa, Yesus, dan Muhammad, misalnya, diawetkan dalam sebuah tradisi sosial dengan komunitas yang eksklusif. Emosi keagamaan, sentiment etnis, serta hubungan kekerabatan ikut mewarnai pikiran dan tindakan para pendukungnya. Watak etnis dan karakter tradisi sosial yang telah mapan sangat besar pengaruhnya dalam menafsirkan dan mengartikulasikan pesan-pesan agama. Bahkan, dalam pandangan madzhab strukturalisme, pikiran dan tindakan pribadi akan terserap dalam tradisi sosial. Pertanyaannya, kapan ajaran Islam yang disampaikan Muhammad mempengaruhi dan membentuk bangunan sosial dan sejarah sebuah masyarakat, dan kapan realitas sosial mendominasi dan menjinakkan ajaran Muhammad? Pertanyaan ini semakin relevan ketika diperhadapkan pada kehidupan modern yang ditandai oleh interdependensi dan globalisasi hubungan sosial yang berlangsung lintas agama dan Negara.
Terdapat beberapa cara pandang terhadap peristiwa sosial-keagamaan. Pertama, pandangan politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan oleh persaingan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan. Serangkaian hukum, peraturan, pertempuran, sanksi sosial, dan lain sebagainya, ternyata dimksudkan untuk memperebutkan hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi bagian dari perebutan ini. Kedua, sudut pandang geografis. Madzhab ini ingin menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi fisiknya. Oleh Karena itu, ajaran sebuah agama akan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya: apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir, pertanian, pegunungan, daerah kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah damai atau perang, wilayah subur ataukah miskin? Semua itu dianggap menentukan perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul. Hal yang sama juga terjadi pada paham keagamaan yang muncul di lingkungan padang pasir. Banyak aspeknya yang sulit diterapkan pada lingkungan yang berbeda. Pakaian ihram sewaktu ibadah haji, misalnya, hanya cocok bagi masyarakat padang pasir yang panas, tetapi sulit dilakukan di daerah salju.
Ketiga, cara pandang Marxian yang melihat fenomena agama dari pola aktivitas ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong pada mode pertanian, perdagangan, industry, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi ini akan sangat mempengaruhi cara berfikir dan bertindak seseorang serta institusi sosial yang ada. Perubahan ekonomi dan pembagian kerja ini juga menjadi kajian yang sangat serius dalam pemikiran Durkheim dan sangat membantu untuk menganalisis peran agama dalam sebuah masyarakat. Jika kehidupan sosial masyarakat Madinah di masa Rasulullah hendak diterapkan pada kondisi sosial saat ini, pasti ada banyak hal yang mengalami anomaly.
Keempat, analisi Freudian yang berusaha menjelaskan bahwa masyarakat saat itu sangat dipengaruhi oleh endapan bawah sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan. Nafsu libido ini mempunyai kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan penyaluran. Jika endapan bawah sadar terkendali dan memperoleh penyaluran yang tepat maka masyarakat bisa sangat kreatif dalam membuat loncatan peradaban. Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, sebuah masyarakat bisa sewaktu-waktu bisa saja berbuat nekad, naluri-naluri hewaninya muncul dalam bentuk yang sadis, brutal, tidak segan melakukan pemerkosaan, peperangan, increst, dan semacamnya. Fenomena ini barangkali bisa menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia yang kelihatannya ramah dan religius, namun pada saat tertentu bisa demikian nekad. Semua itu hanya “kelihatannya”, sebuah pemandangan artificial dalam puncak gunung es masyarakat. Dalam endapan bawah sadar kolektifnya, bangsa ini menyimpan akumulasi nafsu hewani yang tertekan akibat penjajahan yang berkepanjangan, baik oleh orang asing maupun pemerintah sendiri.
Kelima, cara pandang hostoriko-filosofis yang mengatakan bahwa sebuah peradapan mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan anak manusia. Ada masa kelahiran, pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau kematian. Dalam tradisi pemikiran Barat, tokohnya yang terkenal adalah friedrich Hegel (1770-1831), Oswald Spengler (1880-1936), Arnold Toynbee. Meskipun memilki beberapa perbedaan, namun mereka sama-sama sepakat bahwa peradapan masyarakat memiliki pola dan logika tertentu yang bisa dipahami. Oleh karena itu, perkembangannya bisa diprediksi kalau saja mampu membaca problem yang dihadapi, lalu mengikuti hukum pertumbuhan sejarahnya. Menurut Toynbee, sejarah bergerak linier, maju ke depan, dan berkembang dengan adanya berbagai tantangan yang menghadang. Peradaban Islam, menurutnya, merupakan pertumbuhan lanjut dari peradaban sebelumnya yang dimotori oleh Muhammad. Namun, memasuki abad ke-13 dan 14, Dunia Islam gagal menjawab tantangan yang ia hadapi, sehingga mengalami kemunduran. Mirip logika Darwinian, semua komunitas agama juga akan terkena seleksi alam. Mereka yang tidak mampu menjawab tantangan sejarah pasti akan terpinggirkan dalam kompetisi kebudayaan.
Keenam, teori teologi-eksistensialisme. Yaitu, sebuah madzab pemikiran yang menyatakan bahwa sejarah dan realitas sosial itu tak lebih dari ekstensi para tokoh-tokoh elitnya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini sangat kuat. Tak akan ada peradaban Yahudi jika tidak ada Musa. Tak ada dunia Kristen kalau Yesus tidak terlahir. Tak ada peradaban Islam tanpa Muhammad. Sekalipun teori elitisme ini sudah klasik, namun ia memperoleh dukungan dari para pemikir modern. Revolusi Amerika sering dianggap tidak bisa dipisahkan dari peran Washington; Revolusi Prancis dari ketokohan Roberpierre; dan Lenin adalah aktor Revolusi Rusia.
Teori ini sangat menarik untuk dikaji dan kemudian diperhadapkan dengan teori strukturalisme dalam konteks masyarakat global. Yang pertama menekankan pada kekuatan tokoh, yang kedua memandang pada kekuatan pribadi akan hilang dalam sebuah jaringan dan struktur sosial yang memiliki entitas otonom. Dalam masyarakat Islam, peran Muhammad demikian sentralnya dalam penghayatan agama. Namun, sebagai institusi dan komunitas, apakah Islam mampu melahirkan kreasi peradaban besar sebagaimana yang tercipta sepanjang abad ke-6 hingga ke-9 ketika saat ini bangsa-bangsa lainlebih kreatif dalam bidang ilmu dan ekonomi?
Ketujuh, pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata rantai menuju dunia lain, mendekati sang pencipta alam semesta. Dunia adalah penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh. Tujuan akhir manusia adalah mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan. Hati-hatilah dengan tipuan kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan manifestasinya: harta, kedudukan, dan kekuasaan. Pandangan ini lebih mendekati wilayah psikologi ketimbang sosiologi. Dalam konteks sosial, posisi pandangan ini marginal. Ia lebih merupakan ekspresi pribadi dan kelompok terbatas akibat kekecewaan terhadap kondisi sosial yang ada.
Pertanyaannya kemudian di masa peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas sosial? Terdapat tiga wilayah di mana agama terlibat. Pertama, masyarakat tradisional; kedua, masyarakat modern; ketiga, masyarakat pasca modern. Secara teoretis, tiga model masyarakat ini bisa dilihat sebagai gerak linier. Namun demikian, sebagai fakta sosial ketiga model masyarakat tadi hadir bersama, saling berbenturan dan tumpang tindih, dalam era masyarakat global.
  

C.        Makna Perilaku Religius
Max Weber sedikit dari sekian sosiolog ternama yang paling menyadari peran agama dalam mengarahkan perilaku individu dan sosial, sehingga peran individu dan kelompok saling berinteraksi dalam membangun masyarakat. Tradisi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Peter Berger (1229). Melihat arus gerak kapitalisme Eropa, Weber bertanya, nilai, keyakinan, dan motivasi apa yang menggerakkan kekuatan sosial, sehingga melahirkan perubahan ekonomi dan politik yang demikian drastis? Dia membangun teorinya berdasarkan tradisi Marxian dan Kantian. Masyarakat, menurutnya, merupakan produk negosiasi dan pergumulan antara kondisi objektif yang memaksa individu untuk mengikuti kaidah dan tekanan sosial yang sangat kuat, dan kehendak individu untuk memilih tindakan secara bebas dan merdeka. Ketegangan antara determinisme eksternal dan kebebasan internal ini merupakan tema pemikirang yang laten, baik dalam teologi, filsafat, sejarah, sains, maupun sosiologi. Benarkah manusia memiliki kebebasab? Kalau ya, seberapa besar kebebasan yang dimiliki manusia di hadapan kekuasaan Tuhan, kondisi sosial yang melingkupinya, dan hukum alam yang begitu perkasa lagi konsisten? Bukankah manusia tak ubahnya seperti sekawanan belalang yang hidup sebentar dan menempel di pepohonan hutan kehidupan di alam semesta?
Sebagaimana Kant, Weber berpandangan bahwa kita tidak mungkin bisa memahami realitas tanpa adanya prakonsepsi yang ada dalam otak kita. Ini mirip hasil kerja foto. Gambar foto bisa muncul karena adanya sintesis antara objek di luar dan hasil rekayasa kamera yang memiliki kecerdasan (artifisial) yang mampu merekonstruksi objek. Di sini Weber ingin menekankan bahwa perilaku sosial memiliki logika yang jelas dan bisa dipahami, sebagaimana ilmu alam memahami dunia fisik. Jika para saintis bisa merancang teknologi setelah memahami watak-watak alam, maka ilmuwan sosial bisa merancang sebuah masyarakat yang diinginkan kalau bisa memahami kaidah-kaidah sosial dan sejarah.
Karena aktivitas manusia selalu didorong oleh motif dan tujuan, maka tindakan manusia terkena hokum moral. Ini berbeda dari aktivitas alam dan hewan yang bergerak secara mekanik dan instingtif. Keduanya tidak dikenai penilaian baik dan buruk, karena tidak disertai kemampuan memilih. Jadi, kata kunci dari tegaknya hukum moral adalah adanya ruang kebebasan untuk memilih (freedom to choose) dan kemampuan merancang tujuan yang hendak diraih (goal seeking behaviour). Di sini, analisis Weber tampak lebih dalam ketimbang konsep Durkheim tentang “collective form” dan “group mind”. Di balik struktur sosial yang memang begitu perkasa, menindas, imperative, dan menyerap individu ke dalam kekuasaannya, juga terdapat kreasi dan kekuatan pikiran besar individu-individu yang memandu proses sosial.
Tujuan dan motivasi yang mengarahkan proses sosial ini oleh Weber disebut “ideal type”. Tipe ideal ini dimaksudkn sebagai sebuah model yang hendak diraih oeh masyarakat yang digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang dominan dalam sebuah komunitas. Sekali kita bisa membaca dengan cermat dan tepat model ideal sebuah masyarakat, maka kita bisa memprediksi perkembangannya, layaknya dalam ilmu alam. Weber telah melangkah dari problem makna (meaning) ke hukum sosial yang bekerja untuk mewujudkannya (operative law).
Uraian singkat di atas barangkali menawarkan banyak hal bisa kita eksplorasi lebih lanjut mengenai pemikiran masyarakat tentang Tuhan, tentang kebajikan, keselamatan, dan amal saleh. Setelah itu kita bisa mengaitkannya dengan proses perubahan sosial dan cita-cita politiknya. Seperti perbandingan antara masyarakat Protestan dan Katolik dalam merespons munculnya kapitalisme awal di Eropa, juga tidak kalah menariknya membandingkan tipe ideal masyarakat Sunni dan Syi’ah, serta implikasi sosial-politik yang dikandungnya.
Ada banyak ragam keyakinan dan pilihan orang dalam mengekspresikan dan mewujudkan rasa keberagamannya. Gereja Protestan di Eropa memiliki doktrin bahwa jalan terbaik untuk meraih keselamatan dan kebajikan beragama adalah dengan bekerja keras, sehingga membantu dan melayani kebutuhan hidup masyarakat. Tuhan mencintai mereka yang bekerja keras, hidup hemat, dan peduli pada nasib sesamanya. Keyakinan inilah yang ikut andil bagi munculnya kapitalisme di Eropa pada akhir abad ke-18 . Bentuk kapitalisme awal ini masih murni, yang kemunculannya didorong panggilan Tuhan untuk memajukan masyarakat. Sementara itu, kalangan gereja Katolik lebih menitikberatkan jalan keselamatan melalui kebaktian dan penyebaran berita Injil. Perbedaan penafsiran dan penekanan terhadap iman ini, pada gilirannya, melahirkan dua gambaran sosial yang berbeda antara masyarakat Protestan Eropa-Amerika yang jauh lebih maju secara ekonomi, disbanding Negara-negara Katolik di belahan bumi lainnya.
Pemahaman dan pendekatan terhadap pengertian iman dan amal kebajikan ternyata tidak seragam, sehingga artikulasi dan eksternalisasi keberagaman seseorang dan masyarakat juga beragam. Dimensi-dimensi utama dari sikap keberagaman antara lain ialah, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan (ultimate dimension). Karena dimensi ini begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang menjadi konsensus mereka. Ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan simbol salib dan semacamnya adalah fenomena yang bisa ditemukan di mana-mana.
Kedua, perilaku keberagaman yang paling dasar selalu bersifat sangat pribadi (private and personal dimension). Apakah kepercayaan seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit diketahui secara pasti oleh orang lain. Mereka yang rajin ke masjid dan memelihara tradisi agama, oleh karena itu, tidak memberikan indikator yang valid tentang ketakwaan seseorang. Dalam analisis kaum strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam. Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agama agar diterima oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok. Pandangan ini tentu saja banyak mengundang kritik.
Ketiga, agama selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen, dan seterusnya. Dimensi dan ekspresi cultural keagamaan memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal di Jepang dan Cina, juga terdapat bedug, tetapi tak ada hubungannya dengan masjid. Masih banyak lagi fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin, pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan lain-lain. Ketiga dimensi di atas, ultimate dimension, personal dimension, dan cultural dimension saling terkait, yang pada gilirannya, menciptakan hubungan dialektis secara psikologis dan sosiologis.
Secara psikologis, keyakinan agama sangat berpengaruh pada pola pikir, emosi, dan tindakan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam kelompok. Bagaimana orang memandang dunia, mencari teman karib, memilih partai politik, dan sekian pilihan penting lainnya dalam hidup, sangat dipengaruhi oleh keyakinan kegamaannya. Jadi, sesungguhnya, tindakan apa pun yang diambil seseorang tidak pernah lepas dari pertimbangan keyakinan. Hanya saja, karena salah satu dimensi dari pandangan, pemahaman, dan keyakinan agama seseorang bersifat personal, maka keberagaman masyarakat pun selalu tampil dalam keberagaman. Keragaman ini semakin nyata ketika kita memasuki masyarakat global. Dalam masyarakat tradisional yang jumlah warganya relatif  kecil dan kulturnya cenderung homogen, maka keragaman tidak begitu kelihatan. Kita tidak perlu mencari contoh jauh-jauh. Kita bisa membayangkan orang tua kita dulu sewaktu hidup di kampung yang terpencil dari kampung yang lain, sementara telpon, televisi, dan transportasi modern belum ada. Pola hidup mereka homogen dan monoton, dan pemahaman dan praktik beragama pun cenderung seragam. Pada tataran pribadi, sesungguhnya tetap ada perbedaan dan penyimpangan, tetapi tidk berani dimunculkan karena takut pada sanksi kelompok. Di lingkungan komunitas NU, misalnya, praktik shalat tarawih dan witir pasti berjumlah minimal 21 rakaat, sedangkan komunitas Muhammadiyah berjumlah 11 rakaat. Akan tetapi, sekarang banyak kalangan NU yang tinggal di perkotaan melaksanakan tarawih dan witir hanya 11 rakaat mengikuti tradisi Muhammadiyah.
Jumlah rakaat shalat tadi merupakan salah satu contoh bahwa pilihan-pilihan individu dan tekanan sosial selalu memunculkan ketegangan dan konflik. Keragaman sebgai produk kebebasan individu tidak bisa dihilangkan, terlebih dengan hadirnya masyarakat global. Keragaman etnis, profesi, dan agama kian menguat, sehingga apa yang disebut Emile Durkheim sebagai mechanic solidarity yang tumbuh dalam masyarakat tradisional menjadi buyar, beralih pada organic solidarity.  Yang terakhir ini muncul akibat pembagian kerja (division of labour) yang semakin beragam akibat modernisasi. Akibatnya, orang bisa lebih dekat dan loyal pada teman seprofesi dan tempat kerjanya, ketimbang teman seagama. Ikatan agama semakin melemah, lalu diganti oleh ikatan yang mendatangkan kalkulasi keuntungan ekonomis. Hubungan lawan dan kawan lalu diukur dengan kepentingan politik dan ekonomi.
Sekalipun ikatan emosi keagamaan melemah, namun ternyata modernisasi dan globalisasi tidak mampu menggusur bentuk solidaritas keagamaan sebagai sebuah kekuatan sosial. Dalil-dalil modernisasi, hak-hak asasi manusia, dan demokrasi liberal yang diagung-agungkan dan disakralkan oleh Barat dengan Amerika Serikat sebagai juru utama, telah mengundang perlawanan serius dari Negara-negara Arab dan Asia pada umumnya. Hal ini karena Amerika sendiri dinilai tidak konsisten dalam melaksanakannya. Bahkan apa yang disebut demokrasi, pada akhirnya, jatuh di bawah cengkeraman kapitalisme global yang merupakan imperialisme baru.
Kalangan ilmuwan sosial mulai menggugat secara kritis mitos-mitos demokrasi dan globalisasi karena situasi dunia ternyata semakin gaduh. Statemen bahwa perang dingin telah usai hanyalah retorika palsu, karena agresivitas Amerika Serikat semakin menjadi-jadi dalam berbagai cara dan bentuknya. Akibatnya, sentimen agama dan etnis menguat kembali sebagai benteng kebudayaan dan ideology baru terhadap Gusuran globalisme yang menindas. Agama yang pernah diramalkan akan habis dan menjadi uruusan pribadi oleh desakan modernisasi dan sains modern, kini kembali tampil sebagai kekuatan sosial yang menyatukan mereka yang merasa tertindas dan didzalimi. Terjadi semacam gerak pendulum, dari pribadi ke sosial, lalu menjurus ke pribadi, dan kini kembali lagi sebagai gerakan sosial namun masing-masing dengan karakter yang berbeda-beda.


BAB XII
I
“APAKAH AGAMA TERTENTU HAL YANG PENTING ATAUKAH
MENGHIDUPKANNYA YANG PENTING”

BISA SAJA SESEORANG MENJADI PENGIKUT SATU agama erbaik di dunia ini. Dia tidak menghidupkannya, tetapi menjdi pengikutnya. Dia mengaku sebagai Muslim, Nasrani, ataupun Yahudi, dan meyakini itu adalah agama  terbaik, tetapi pada saat yang sama dia tidak peduli untuk menghidupkannya, dan cukup hanya menjadi pengikutnya, lalu bangga dengan menjadi pengikut suatu agama tertentu, yang merupakan agama yang diterima masyarakat. Banyak orang dari berbagai macam agama  telah menjadi seperti demikian, mematuhi antusiasme dan dipaksa oleh misi mereka dalam hidup ini. Karena mereka meyakini kemudahan yang akan didapat dengan menjadi pemeluk agama tersebut. Meraka yakin bahwa mereka akan diselamatkan pada Hari Pengadilan, sementara orang lain dari agama yang berbeda, dengan semua perbuatan baiknya, tidak akan diselamatkan, karena mereka tidak menjadi pemeluk agama tersebut. Ini adalah gagasan buatan manusia, bukan pemikiran Tuhan. Tuhan buka hanya  bapa dari satu sekte saja; Tuhan adalah bapa dari seluruh dunia, dan semua berhak dipanggil anak-anak-Nya, baik ataupun buruk. Dan sesungguhnya sikap manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang bisa membawanya lebih dekat pada Tuhan yang menjadi ideal setiap jiwa. Dan jika sikap ini tidak berkembang, maka apapun  agamanya, berarti dia telah gagal menghidupkannya. Oleh karena itu, apa yang penting dalam hidup adalah terus mencoba menghidupkan agama yang dianutnya, atau yan g dia percayai, atau yang dia imani sebagai agamanya.
Tetapi setiap orang harus mengetahui bahwa agama mempunyai tubuh dan jiwa. Apapun tubuh agama yang anda sentuh, anda harus menyentuh jiwanya; tetapi jika anda menyentuh jiwanya, anda telah menyentuh seluruh tubuh agamanya (bagaikan organ-organ tubuh). Semua organ tersebut membentuk satu tubuh, yaitu tubuh agama, yang menjadi agama Alpha dan Omega, dari dulu sekarang dan akan datang. Oleh karena itu perdebatan “ Aku benar dan Anda salah” dalam jalan agama tidaklah diperlukan. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam hati seorang manusia.. dari luar dia bisa tampak sebagai Yahudi, Nasrani, Muslim atau Budha, namun kita bukanlah hakim untuk agamanya, karena setiap jiwa mempunyai agama  khusus untuk dirinya sendiri, dan tidak ada orang lain yang mempunyai hak untuk menilai agamanya. Munkin ada orang dengan pakaian yang sangat sederhana, tanpa kesan sebagai orang yang beriman, atau sebagai orang saleh atau koot sekalipun, tetapi dia  mempunyai agama tersembunyi di dalam hatinya yang tidak setiap orang bisa memahaminya. Mungkin ada orang yang terlalu cepat berubah kelakuanya yang tampak dalam pandangan orang lain, bahkan mungkin kelihatan bertolak belakang dengan cara pandang mereka terhadap segala sesuatu, dan mereka mungkin menuduhkannya matrealis atau tidak beriman, atau sebagi orang yang jauh dari Tuhan dan kebenaran, tetapi kita tetap saja kita tidak tahu karena kadang-kadangpenampilan hanyalah kamuflase; dibalik itu semua mungkin terdapat penyerahan diri yang terdalam atau ideal tertinggi yang tersembunyi. Sebenarnya yang kita thu sangat sedikit (kecil ) sekali.
Karena itu bagi seorang sufi, hal terbaik adalah menghormati kepercayaan seseorang, apapun kepercayaannya itu, ideal-nya, termasuk caranya melihat kehidupan, bahkan jika itu cukup berbeda dari cara pandang kita sendiri. Sangat toleran inilah, yang kalau dikembangkan, akan membawa persaudaraan yang merupakan inti dari agama dan harapan masa sekarang.
Pemikiran bahwa anda berbeda dan saya berbeda; karena kepercayaan anda berbeda dengan kepercayaan saya, itu hal yang tidak menyatukan, itu semua hanya akan memecah umat manusia. Mereka itulah yang dengan dalih kesetiaan terhadap agama, mereka menyakiti perasaan orang lain, dan memecah belah umat manusia, yang sumbernya dan tujuannya sama, itu merugikan agama, betapapun besarnya kesetiaan mereka. Ajaran agama apapun, pada saat kapanpun, datang ke dunia ini, tidak hanya untuk mengangkat derajat beberapa orang yang mungkin menerima kesetiaanya. Sebagaimana hujan tidak jatuh di negeri tertentu saja, pun matahari tidak bersinar di negeri tertentu saja. Semua yang berasal dari Tuhan adalah untuk seluruh jiwa. Sesungguhnya rahmat adalah untuk semua jiwa, karena setiap jiwa, apapun kepercayaan atau keimanannya, adalah milik Tuhan.

II
AGAMA HATI
                                JIKA SESEORANG BERTANYA,” APAKAH SUFISME itu? Apakah agama itu?” anda bisa menjawab,” Sufisme adalah agama hati, agama yang di dalamnya ada satu hal yang paling penting, yaitu mencari Tuhan di dalam hati umat manusia”.
Ada tiga cara mencari Tuhan dalam hati manusia.  Yang pertama adalah untuk mengenali sifat ketuhanan pada setiap orang dan karenanya berhati-hati dengan setiap orang yang berhubungan dengan kita, dengan pemikiran kita, perkataan kita, dan tindakan kita. Kepribadian manusia sangatlah lembut. Semakin hidup hati manusia, maka ia semakin sensitife. Tapi yang menyebabkan kepekaan adalah unsur cinta di dalam hati, dan cinta adalah Tuhan. Orang yang hatinya tidak sensitive, berarti tanpa perasaan; hatinya tidak hidup; hatinya mati. Pada orang yang seperti itu, ruh ketuhanan terkubur dalam hatinya. Seseorang yang selalu mempertimbangkan perasaanya sendiri, akan sedemikian terserap dengan dirinya sendiri sehingga ia tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain. Seluruh perhatianya tertuju pada perasaanya sendiri. Dia mengasihani dirinya sendiri: dia khawatir dengan penderitaanya sendiri, dan tidak pernah membuka rasa simpati pada orang lain. Memperhatikan perasaan orang lain yang berhubungan dengannya merupakan latihan dasar moral pertama dari Sufisme.
Car  berikutnya adalah dengan memikirkan orang yang pada kesempatan itu idak berada dihadapan kita. Orang merasakan  perasaan orang lain yang datang, tetapi sering kali mengabaikan perasaan orang lain yag terlihat. Orang berbicara denga baik pada orang ketika saling berhadapan, tetapi jika orang berbicara dengan baik tentang orang itu ketika dia tidak ada, itu lebih baik lagi. Orang bersimpati dengan kesusaha orang lain yang ada di hadapannya pada saat itu, tetapi akan lebih baik lagi untuk bersimpati pada orang lain yang jauh darinya. Dan cara ketiga untuk mewujudkan prinsip-prinsip sufi adalah dengan mengenali dalam perasaan orang itu sendiri sebagai perasaan Tuhan; dengan menyadari bahwa setiap gerak hati berupa cinta yang timbul dalam hati seseorang sebagai petunjuk dari Tuhan; menyadari bahwa cinta adalah sepercik kilatan ketuhanan dalam hatinya, yang meniupkan percikan itu sampai menyala kemudian muncul seagai penerang jalankehidupan seseorang.
Symbol gerakan sufi adalah hati dengan dua sayap, merupakan perlambang dari ideal (cita-cita) ini. Hati meliputi kedua bagian: bumi dan surga. Hati adalah penerima (di bumi) akan ruh ketuhanan, dan ketika ia telah mendapatkan ruh ketuhanan, ia akan membumbung menuju surga; sedangkan sayap menggambarkan kebangkitannya. Bulan sabit di dalam hati melambangkan kepekaan. Bulan sabit adalah hati yang mau merespon terhadap ruh Tuhan, itulah awal kebangkitan. Bulan sabit melambangkan kepekaa karena ia berkembang semakin penuh seperti bulan berbentuk semakin bulat dengan merespon lebih banyak dan lebih banyak lagi kepada matahari sewaktu ia berkembang. Cahaya yang dilihat orang pada bulan sabit adalah cahaya matahari. Selagi ia mendapat lebih banyak cahaya dengan respon yang bertambah juga, maka ia juga menjadi semakin penuh dengan cahaya matahari. Bintang dalam hati bulan sabit tersebut melambangkan percikan ketuhanan yang terpantulkan dalam hati manusia sebagai cinta, dan yang membantu bulan sabit menuju purnamanya.
Ajaran sufi adalh ajaran untuk masa sekarang. Ia tidak membawa teori ataupun doktrin untuk menambah dokrin-doktrin yang sudah ada, yang membingungkan pikiran manusia. Apa yang dunia perlukan sekarang ini adalah ajaran cinta, keharmonisan, dan keindahan, yang ketidakadaan akan hal ini merupaka tragedy hidup ini. Ajaran sufi tidak memberi aturan baru; ajaran itu membangkitkan semangat persaudaraan dalam umat manusia, dengan toleransi dan sikap pemaaf dari masing-masing agama terhadap kesalahan pihak lain. Ia mengajarkan untuk selalu berpikir dan menimbang nimbang, untuk menciptakan, dan memelihara harmoni dalam hidup; ia mengajarkan pelayanan dan manfaat, yang dengan hal itu saja bisa membuat hidup di dunia ini bermanfaat, yang di dalamnya terletak kepuasan bagi tiap-tiap jiwa.

III
KEBUTUHAN DUNIA SEKARANG
Jika orang sungguh-sungguh mengamati kondisi umat manusia saat ini, tidak seorangpun yang berperasaan akan menolak kenyataan bahwa dunia saat ini memerlukan agama tertentu. Mengapa saya berkata agama tertentu dan bukan suatu agama, karena ada banyak agama saat ini yang disebut suatu agama, tetapi yang kita perlukan saat ini adalah agama tertentu. Dan sekarang datang pertanyaan, seharusnya seperti apa agama itu- haruskah ia berupa agama baru? Jika ia suatu agama baru, ia tidak dapat disebut agama tertentu; dan ia akan serupa dengan agama lainnya. Saya sebut agama tertentu sebagai agama, dengan demikian orang dapat melihatnya dengan berdiri di atas sekte-sekte dan perbedaan yang mengkotak-kotakkan manusia; dan dengan memahami agama tertentu kita akan memahami semua agama yang bisa disebut suatu agama.
Saya tidak mengatakan bahwa semua agama yang ada ini bukan agama; itu semua hanyalah nada. Tetapi ada musiknya, dan music itu adalah agama tertentu tersebut. Setiap agama membunyikan satu nada, satu ada yang menjawab tunutan umat manusia dalam satu zaman tertentu. Tetapi pada saat yang sama, sumber dari setiap nada adalah music yang sama yang mengejawentahkan ketika nada-nada tersebut dirangkaikan bersama-sama. Anda bisa bertanya, mengapa, pada setiap zaman, semua musiknya tidak di berikan; mengapa hanya satu nada tunggal? Jawabannya adalah bahwa alat mainan bayi diberikan secara cukup pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupan seorang bayi, sedangkan alat mainan biola diberikan pada waktu lain seiring bertambahnya usia. Di sepanjang zaman; Chaldea, Arab, Roma, Yunani, perbedaan mengenai cita-cita (idealitas) pada masing-masing agama itu sudah ada. Bagi beberapa orang, musik diajarkan,bagi banyak orang, itu hanya sebuah nada. Hal ini menunjuakkan bahwa musik ini selalu ada, hanya pada pada manusia pada umumnya tidak siap untuk merengkuhnya, sehingga hanya diberika satu nada. Tetapi konsekuensinya adalah bahwa orang yang diberi nada C, dan orang lain yang diberi nada G berselisih; masing-masing berkata, “Nada yang diberikan padaku adalah nada yang tepat”; dan yang lain berkat, “G yang benar,” yang lainnya pun berkata, “C yang benar.” Semua adalah nada ynag benar, dan ketika mereka bercampur, maka terjadilah musik. Ini memperlihakan bahwa ada senyawa luar dari agama yang merupakan bentuk, dan inti sarinya yang berupa kebijaksanaan. Ketika kebijaksanaan telah memberi rahmat kepada jiwa, berarti jiwa telah mendengar musik ketuhanan. Perkataan Kristus, “Aku telah Alpha dan Omega” – apa maksud dari perkataan ini? Apakah itu hanya ketika ia datang sebagai yesus? Tidak; musik tersebut menjadi milik Alpha dan Omega, yang pertama dan yang terakhir. Mereka yang mempersiapkan hatinya untuk mendengar musik tersebut, yang meningkatkan kondisi jiwa dengan cukup tinggi, mereka mendengar musik ketuhanan ini. Tetapi mereka yang bermain-main dengan mainannya (nada mereka sendiri), mereka berselisih satu sama lain. Mereka akan menolak biola; mereka tidak siap untuk itu; mereka tidak akan pernah tahu bagaimana menggunakannya.
Saat ini dunia mengalami keterpurukan akan agama dibanding masa sebelumnya. Alasannya adalah bahwa mereka yang masih awam, terikat pada kepercayaan yang dianut nenek moyang mereka, memegang teguh kepercayaan itu sebagai penghargaan, menganggap agama diperlukan dalam hidup ini; tetai banyak mereka, dengan kecerdasan dan alasan serta pemahaman akan hidup, berontak terhadap agama, seperti anak-anak ketika beranjak besar, membuang mainannya; dia tidak lagi tertarik dengan mainan itu demikian juga keadaan saat ini, agama agama tetap ada di tangan mereka yang menjaganya dalam bentuk luar sebagai salah satu penyerahan diri dan kesetian pada kepercayaan nenek moyang mereka; dan merek atidak boleh dibilang, tumbuh dalam pikiran dan semangat, dan menginginkan sesuatu yang lebih baik, mereka tidak menemukan apa-apa. Jiwa mereka dahaga akan musik, dan ketika mereka minta musik tersebut, mereka hanya diberi mainan, mereka membuang mainan tersebut dan berkata bahwa mereka tidak peduli lagi dengan musik. Tetapi tetap saja masih ada kerinduan hati pada musik, msik jiwaa, dan tanpa musik tersebut, hidup mereka menjadi kosong. Betapa sedikit yang mengenali kenyataan ini, dan lebih sedikit lagi yang akan mengakuinya. Keadan psikologis umat manusia telah menjadi sehingga seseorang dengan kecerdasan pun menolak musik. Dia tidak menginginkan musik; dia ingin sesuatu, tetapi dia disebut dengan mana lain. Selama sepuluh tahun saya berkunjung kedunia barat, saya berhubungan dengan paara cendikia, pemikir, ilmuwan,; pada diri mereka saya melihat ada kerinduan terbesar terhadap semangat religius tersebut; mereka merindukan setiap saat dalam hidupnya terhadap hal itu, karena mereka telah merasakan dengan pendidikan dan pengetahuan mereka, ada ruang kosong dalam diri mereka dn mereka ingin mengtasinya. Tetapi, pada saat yang sama, jika anda berbincang tentang agama; mereka berkata,”Tidak, jangan, bicara yang lain saja; kami tidak mau agama.” Ini berarti bahwa mereka hanya tahu bagian alat mainan dari musik (dengan kata lain: agama) dan tidak tahu tentang bagian biola tersebut. Mereka tidak berpikir bahwa keberadaan sesuatu bisa berbeda dari mainan anak-anak tetapi tetap masih ada kebingunan dalam diri mereka, ada kebutuhan akan spiritualitas, yang tidak terjawab bahkan dengan segala uaya ilmiah mereka.
Karen itu, sekarang, apa yang diperlukan di dubia pada saat ini adalah rekonsiliasi antara orang-orang beragama (religius) dengan orang-orang yang menjauh dari agama. Tetapi apa yang bisa kita lakukan ketika kita melihat dalam agama Nasrani pun ada banyak sekte yang saling bertentangan; pun agam Islam, budha, Yahudi, dan masih banyak lagi masing-masing mementingkan diri mereka sendiri dan berpikir bahwa yang lain tidak layak untuk dipikirkan. Sekarang bagi saya agama-agama ini seperti organ tubuh dipotong-potong dan menjadikannya tercerai berai. Oleh karena itu bagi saya secara pribadi, hal tersebut tampak seolah-olahsatu tangan dari satu orang yang sama dipotong dan melawan tangan satunya lagi. Kedua tangan itu milik satu orang yang sama, dan ketika organ orang ini lengkap, ketika seluruh bagian dikumpulkan bersama, maka jadilah agama tertentu (the religion) tersebut.
Lantas apa usaha Gerakan Sufi? Untuk membuat Agama baru? Tidak; tetapi untuk secara bersama-sama mengumpulkan organ-organ tubuh yang berbeda tersebut dalam satu tubuh, yang berarti menyatukan dan bukan mencerai-beraikan. Anda mungkin bertanya apa metode kami. Bagaimana kami bekerja untuk mengusahakan rekonsulasi? Ialah dengan menyadari diri kita sendiri bahwa intisari (esensi) dari semua agama adalah satu, dan dan itu adalah kebijaksanaan, dan menganggap bahwa kebijaksanaan sebagai agama kita, apapun bentuk kepercayaan kita. Gerakan Sufi mempunyai pengikut yang anggotanya menjadi pemeluk berbagai kepercayaan. Apakah anda berfikir bahwa mereka keluar dari agama mereka? Tidak. Sebaliknya, mereka lebih kuat dari kepercayaannya dengan memahami kepercayaan orang lain. Dari sudut pandang yang sempit, kesalahan bisa ditemukan karena mereka tidak membenci, tidak mempercayai dan mengritik agama orang lain. Mereka menghormati kitab injil yang dipegang teguh oleh jutaan pengikutnya sebagai kitab suci, walaupun kitab injil tidak menjadi kitab agama mereka. Mereka ingin mempelajari dan menghargai kitab-kitab agama lain, dan menemukan bahwa kebijaksanaan datang dari satu sumber – kebijaksanaan timur dan kebijaksanaan barat. Gerakan Sufi karena itu bukanlah sekte; bisa disebut apa saja tapi bukan sekte. Dan jika menjadi sekte, akan bertentangan dengan gagasan pada awal mula didirikannya, karena gagasan utamanya adalah untuk menghilangkan pertentangan dan perbedaan yang menyebabkan pengelompokan pada umat manusia. Dan cita-cita ini terwujud dengan perwujudan dari satu sumber dari seluruh umat manusia, yang juga sebagai tujuan, yang kita sebut sebagai Tuhan.




[1] Henricus Denzinger (ed. Adolfus schonmetzer), Enchiridion symbotorum, Editio XXXIV (Freiburg: Verlag herder KG, 1965), 714, (hal. 342)
[2] Denzinger, op.cit, (1295,1379)
[3] Wilfred Cantwell Smith, “is the Qur’an tehe word of God?”, dalam Questions of Religious Treuth(New york: Charles Schribner’s sona; and London: V. Gollanez Ltd, 1967)
[4] Paul schwarzenau, kurankunde Fur Christen (Stuttgart: Kreuz-Verlag, 1982), hal. 124
[5] Adolf Schlatter, Die Geschichte der ersten Christenheit (Stuttgart: Carwer Verlag, 1983, ediai pertama Aufl. Gutersloh, 1926), hal. 376-77 (terj.)
[6] Adolf Schlatter, “DieEntwicklung des judischen christentums Zum Islam, Evangelisches missionsmagazin, N.S.LXII (1918), 251-64.
[7] Hans-joachim, theologie and geschicgte des jundenchristentums (Tubingen: Mohr, 1949), hal. 342
[8] Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121.
[9] Fushush, 1:225-226.
[10] Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut: Daral-Fikr, t.th.), 4:446.
[11] H. Diels W. Kram, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. Kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1989), h. 40.
[12] Fushush,1:226
[13]Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat, 1:314; 2:311; idem, Fushush, 1:184.
[14] Raffaele Pettazzoni, "The Supreme Being: Phenomenological Structure and Historical Development," dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The History of Religion: Essays in Methodology (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1959, Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Leppenas,1982), h. 36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta & Jakarta: Gunung Mulia & Kanisius,1983), h. 43-45.
[15]  Fushush,1:113
[16] Fushush, 1:121.
[17] Futuhat, 2:30.
[18] Futuhat, 2:69.
[19] Leo Schaya, "Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf Ibish and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World Religions (Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165
[20] Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to Believe (London: Vallentine, Mitchell, 1965), h.14.
[21]  Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield, Illinois: Templegate,1990), h. 163-164.
[22] Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
[23]Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston, The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire, England: Anthony Clarke, 1978), h. viii.
[24] Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford: Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse, The Silence of God: Meditations on Prayer (New York: Macmillan, 1985), h. 9.
[25] David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press, 1986).
[26]  Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann, ed., Naming God (New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.
[27]  Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse, The Silence of God, h. 9.
[28] Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik" ("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang membicarakan "teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif".
[29] W. Johnston, op.cit., h.1.
[30] The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann (London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11.
[31]  W. Johnston, op.cit, h.17.
[32]  The Cloud of Unknowing, 26;3.
[33]   W. Johnston, op.cit, h. 33-34.
[34] Leo Schaya, op.cit, h.166.
[35]  Ibid.
[36]   Futuhat, 2:552.
[37] Futuhat, 2:619; 3:132.
[38]  Pokok bahasan dari bab ini saya harap bisa membenarkan penghapusan apa yang disebut literatur tambahan-meskipun bisa berguna-dan hanya membatasi diri dengan kutipan-kutipan sekedar untuk menunjuk contoh-contoh. Kebanyakan kutipan itu diambil buku-buku penulis El Silencio del dios, (Madrid: Guadiana, 1970), dan Humanism y  Cruz, (Madrid: Rialp, 1963).
[39] Bdk. R. Pannikar, “Have ‘Religion’ the Monopoly on Religion?”, Journal of Ecumenical Studies, XI: 3, (Summer, 1974), hlm.515-517.

[40] Yakni ajaran tentang bukan diri (nonself) atau ketiadaan mutlak substansi (ultimate unsubstantiality) dari adaan. Bdk. Misalnya, Samyutta-nikaya III,66; Digha-Nikaya II, I, I, (atau 251); II, 2, 1; III, 5, 6,; dll.
[41] Empat kenyataan mulia aryasaccani (Sans. aryasatyani), yakni kenyataan universal dari kedukaan, hasrat yang bermacam-macam sebagai sebab dari kedukaan itu, penghapusan segala hasrat sebagai penghapusan kedukaan dan kedelapan jalan melepaskan diri dari kedukaan: pandangan yang benar, maksud yang benar, pembicaraan yang benar, tingkah laku yang benar, kehidupan yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan konsentrasi  yang benar. Bdk. Samyutta-nikaya V, 420 dst.
[42] Yakni segala sesuatu adalah duka. Bdk. Dhammapada XX, 6 (nr. 278). Penderitaan, Ketidakenakan, kegelisahan, dsb adalah beberapa versi dari duhkham (dari akar kata dus, memburuk).
[43] Bdk. Mahaparinibbana-sutta VI, 10; III, 66; dll. Bdk. Sambil lalu, Flp 2:12 ”kerjakan keselamatanmu dengan tanpa takut dan gentar”.
[44] Kej 1: 1 dst; 1:31; dll.
[45] Bdk. Luk 2: 11; Kis 13: 23, dll.
[46] Bdk. Yoh 1:14; dll.
[47] Bdk. Bil 6:5
[48] Bdk. Mat 22:37-40
[49] Tanha dalam bahasa Pali berpandanan dengan trsna dalam bahasa Sansekerta, artinya haus. Disamping teks yang sudah dikiutip, bdk. Anguttara-nikaya III, 416; IV,400; Samyutta-nikaya I, I, Majjhima-nikaya I, 6; II, 256, Itivuttaka 30; 50;58;105, dll.
[50] Istilah dalam perjanjian baru adalah epithymija, yang diterjemahkan dalam teologi Latin menjadi concupiscentia. Bdk.1 Yoh 2: 16-17; 2 Ptr 2:18; Gal 5: 16; Rom 6:12; 2 Tim 3: 6; dll.
[51] Bdk . Majjhima-nikaya III,6:’Tathagata membatasi dirinya hanya memperlihatkan jalan’, dll (Bdk. Juga Majjhima-nikaya I, 83)
[52] Bdk. yoh 10: 9; 14: 6; dll.
[53] Bdk. Milindapanha 326; dll.d        
[54] Bdk. Yoh 16:8 dst; 17: 9 dst; dll
[55] Bdk. Udana V,5; “Wahai para biksu, sebagaimana lautan hanya mempunyai satu rasa, rasa asin, demikian juga, disiplin ajaran hanya mempunyai satu rasa, rasa kebebasan. Bahwa disiplin ajaran hanya memopunyai satu rasa, wahai para biksu, rasa kebebasan, hal ini merupakan hal ajaib dan luar biasa yang kekenam fari disiplin ajaran. “ Bdk. Metafor yang sama dalam CU VI, 13 untuk ajaran yang berbeda namun ada kaitannya. Bdk. Juga Yoh 8: 36; Rom 8:21;  dll. Dari pihak Kristen.
[56] Kata itu sendiri tidak khusus Buddhis, sebagaimana tampak dalam BG II,72, VI,15; MB XIV, 543; dll; dan dikuatkan oleh pembicaraan-pembicaraan tentang makna-makna non Buddhis dari istilah itu dalam Digha-nikaya I, 3;19; dst.
[57] Kata tersebut dari pihak Yunani yang menerjemahkan kata Ibrani yeshuah, yesha dan teshuah, dari lain pihak Kristen yang menerjemahkan kata yang sama dari bahasa kuno klasik ; sering ambivalen, yakni dipakai untuk dewa-dewa/yang ilahi dan manusia.
[58] Bdk. Samyutta-nikaya II, 68.
[59]Yakni ‘unsur-unsur dari dunia ini’, ‘dari kemakhlukan semata’ orang berani untuk menerjemahkan. Bdk.ibid. I, 136.
[60]Bdk.ibid. I, 210.
[61] Bdk.ibid. I, 39
[62] Bdk. etimologi dari nirvana; dari kata kerja intransifif nirva, padam, habis. Akar kata va arinya meniup, vata artinya angin (bdk. Spirtus, pneuma). Nirvana adalah padamnya semua materi yang dapat terbakar (mati, fana; sementara).
[63] Bdk. Kathaavatthu XIX, 6.
[64] Bdk. Itivuttak II, 6 (atau 43); Udana VIII, 3.
[65] Bdk. Udana VIII, 1.
[66] Bdk. Nagarjuna, Mulamadhyamikakakarika XXV, 1 dst.
[67] Bdk. Candrakirti, Prasannapada XXIV, passim
[68] Bdk. seluruh bab III atau sunnatavagga dari Majjhima-nikaya.
[69] Bdk. perumpamaan terkenal tentang orang yang terluka oleh panah, lalu mati sesudah menghabiskan waktunya untuk bertanya-tanya mengenai hal-hal kecil yang tak penting, seperti siapa yang memanahnya dan mengapa, dalam Majjhima-nikaya I, 426 dst.; Anguttara-nikaya IV, 67 dst.
[70] Bdk. Majjihima-nikaya III, 254, di mana konsentrasi disebut kekosongan, tanpa tanda-tanda dan tanpa tujuan.
[71] Udana VIII, 3. Bdk. juga Candrakirti, Prasannapada XXV, 3 (ed. La Vallee Poussin; terj.R. H. Robinson, hlm.521): ‘Nirvana dirumuskan sebagai yang tak dilepas, tak tercapai, tak termusnahkan, bukan kekal, tak terpadamkan, tak terbangkitkan.
[72] Hal ini dapat diangap sebagai inti pokok dari pandangan Nagarjuna.
[73] Bdk. Konsep penting asamkrta, yang tak tersusun. Pengertian akata(akrta) yang tak tergarap, tak terbuat, tak tercipta berada dalam posisi berlawanan dengan samskrta, yang tersusun, dalam tradisi india. Bdk. Dhammapada VII, 8 (97).
[74] Bdk. Flp 1: 28
[75] Bdk.. 2Kor 7:10
[76] Bdk. 1Tes 5:9;dll.
[77] Bdk. Ibr 2:10.
[78] Bdk. Ibr 5:9
[79] Bdk. 1Ptr 1:9-10
[80] Bdk. Yoh 4:22.
[81] Bdk. Kis 16:17.
[82] Bdk. Kis 13:26; dll.
[83] Bdk. Luk 1:77.
[84] Bdk. Luk 2:11 dan nama yesus (yoshua)sesungguhnya berarti keselamatan.
[85] Bdk. Mat 1:21; kis. 5:31.
[86] Bdk. Kis 4:12.
[87] Akar kata su (suid) artinya ‘bengkak’ dan istilah sunya (kosong atau hampa) sudah ada dalam kesustraan pra-budhis dan non-Budhis yang kuno. Bdk. AV XIV, 2,19; SB II, 3,1,9; TB II, 1,2,12; dan banyak dari kitab Upanishad. Susunan kata yang menarik adalah sunyagara, artinya yang ditinggalkan, rumah kosong (Jabu VI), yakni rumah di mana para samnyasi atau petapa hindu di duga hidup(bisa juga suatu tempat tinggal bagi tuhan, kuil:devagrha). Bdk. Juga Maitu VI, 10.
[88] Tak perlu ditekankan bahwa pleroma-yakni apa yang mengisi(penuh)-berasal dari pra-kristen dan memeperoleh artinya yang penuh dalam kesusatraan Yunani.
[89] Bdk. Awal dari buku Nagarjuna, Mulamadhyamikakarika I,1: ‘tidak dari mereka, tidak juga dari sesuatu yang lain, atau dari sesuatu sebab, bahwa sesuatu yang ada muncul.’
[90] Bdk. Ungkapan suabhavasunyata(kekosongan dari dalam dirinya sendiri) sebagai suatu cara dari kekosingan yang dilukiskan dalam pancavimsarisahasriska sebagia inti dasar dari prajnaparamita, 1 (yang disebut Jantung-sutra). Bdk. Juga dharmasunyata dari buku Santideva, Siksasa muccaya XIV, 242 dan Sunyabhutah (hampa dari adanya) dalam Maitu VI, 23.
[91] Perumpamaan tentang panta seberang lazim dalam kesusatraan Buddhis. Bdk. Anguttara-nikaya II, 13; IV, 160; Itavuttaka 69; Samyutta-nikaya IV, 175; Prajnaparamita IX; dll.
[92] Bdk. Nagarjuna, Mulamadhyamikakarika XXV, 19.
[93] Andai kata ada perbedaan antara kedaunya, maka akan ada samsara dan nirvana dari sesuatu yang hal yang ketiga. Masing-masing darinya saling berlawanan.
[94] Bdk. Lalitavistara XIII, 175 dst. Majjhima-nikaya 1, 297, menekankan bahwa itu kosong (bahasa Pali: sunna) dari jati diri dan dari apa yang menjadi bagian jati diri (atta dan attaniya). Bdk. Juga Samyutta-nikaya IV, 54 dan 296; dll.
[95] Bdk. Samyutta-nikaya III, 189.
[96] Bdk. Ef 4:13; dll.
[97] Tuhan mengutus putra-Nya pada kepenuhan waktu(chronos) (Gal 4:4), tetapi dalam kepenuhan waktu-waktu itu(kairos) ia akan mengumpulkan segala sesuatu dalam Kristus (Ef 1:10).
[98] Bdk. Ef 1: 23.
[99] Bdk. Yoh 1:16.
[100] Bdk. Kol. 2:9.
[101] Bdk. Ef 3:19.
[102] Bdk. Kis 3:21.
[103] Bdk. 1 Kor 15:28.
[104] Bdk. Mat. 5:48.
[105] Bdk. Yoh 15:1 dst.
[106] Bdk. Yoh 6:56-57;17:23; dll.
[107] Bdk. Kej 3:5.
[108] Bdk. Yoh 1:12(dan dengan kualifikasi 10:34-35); dll.
[109] Bdk. Yoh 14:17;15:26; dll.
[110] Bdk. Clemens dari aleksandria, Propterpticus 1,9(disini dengan menggunakan theopoiein yang pada umumnya menunjuk pada pembuatan berhala); Greogorius dari Nazianza, Oratio theologica III, 19 (P.G., 36,100); Athanasius: ……..; Ipse siquidem homo factus est, ut nos dii efficeremur’, (sebab ia telah menjadi manusia supaya kita menjadi tuhan), De Incarnatine Verbi 54 (P.G., 25,192); Oratio 4 contra arrianos VI (P.G., 26, 476); Agustinus, Sermo 128(P.L.,39,1997); sermo de vativitate 3 dan 11 (P.L., 38,39 dan 1016); ‘Propet te factus est temporalis, ut tu fias aeternus’, kata agustinus dalam gayanya yang tinggi, Epist. Lo. II, 10 (P.L., 35, 1994); ‘Quod est Christus, erimus Christiani’, Ciprianus mengulangnya dalam  De idolorum vanitute XV (P.L., 4, 582); dll.
[111] Bdk. Why 21:1.
[112] Bdk. 1 Kor 15:12 dst.
[113] Bdk. Yoh 3:3 dst.
[114] Bdk. Mat 4:17, dll.
[115] Bdk. Mat 3:2, dll.
[116] Bdk. Sntideva, Bodhcaryavatara IX, 49.
[117] Bdk. Candrakirti, Prasannapada XVI, 8 (ed. La Valee Poussin, hlm. 293).
[118] Prajna, sunyata, pratityasamupada, nirvana.
[119] Udana 1, 10.
[120] Bdk. Perkataan pascal yang terkenal, Pensee,358: ‘L’homme n’ est ni ange bete, et le malheur veuet que qui veuet faere I’ange fait la bete.’
[121] Bdk. Kalimat yang sering dikutip. ‘Agnosce, O Christiane, dignitatem tuam, et divanae consors factus naturae, noli in veteram vilitatem degeneri conversatione redire. Memento cuius capitis et cuius corpissis membrum’, Leo I, sermo 21,3(P.L.54, 192-193).
[122] Bdk. Kata Agustinus yang terkenal, ‘irrequietum est cor nostrum donec requiescat in te’. Confess, 1,1,1.   
[123] Bdk. Maximus Confessor, Ambigua, ‘Tuhan telah memasukkan dalam hati manusia kerinduan kepada-Nya’ (P.G. 91,1312); atau dengan menerima gagasan bahwa ephithymia (kecerdikan) dapat menjadi hasrat yang menyala kepada-Nya, Quaest. Ad Thal.(P.G.,90, 269). Bdk. Komentar kristen terhadap Yoh. 6, 44, ‘Nemo te quarere valet nisi qui prius invenerit’, Bernard dari Clairvaux, De diligendoo Deo VII, 22(P.L.182,987); juga ‘Consule toi, tu ne me chercherais pas, si tu ne m’ avais pas trouve’. Pascal, Pansees, 553.
[124] Bdk. 2 Ptr 1:4; dll.
[125] Bdk. Rom 8:29; dll.
[126] Bdk. Lbr 2:1; dll.
[127] Bdk. Gal 4:5; dll.
[128] Bdk. 1 Yoh 2:29; dll.
[129] Bdk. Yoh 3:5; dll.
[130] ----------------------------------------------, Protagoras, Frag. I.
[131] Bdk. Plato, Cratylus, 386a; Theatetus, 152a.
[132] Bdk. Plato, Laws IV (716 c).
[133] Bdk. Aristoteles, Nicomachean Ethics X, 7 (1177 b 31).
[134] Secara harfiah: ----------------------- -‘etos dari manusia adalah daimon-nya Heraklitus, Frag. 119.
[135] Bdk. Kej. I : 26-27.
[136] Hal ini boleh dikata menjadi pembenaran teologis bagi semua Humanisme yang bertolak dari Kitab Suci.
[137] Bdk. Yoh 1: 14.
[138] Bdk. Yoh 19: 5.
[139] Bdk. avyakrtavastuni yang termasyhur, atau hal-hal yang tak terperikan, yang ditolak oleh Buddha untuk menjawabnya. Bdk. vacchagotta samyuttam (Samyuta-nikaya III, 33), avyakata samyuttam (Samyutta-nikaya IV,44), culamalunkya sutta (Majjhima-nikaya 63), aggivacchagotta sutta (Majjhima-nikaya 72), dll
[140] Bdk. misalnya, penolakan Buddha untuk menguraikan sifat-sifat dasar karma karena satu-satunya hal yang berarti hanyalah melepaskan diri daripadanya. Bdk. Anguttara-nikaya II, 80; Digha-nikaya III 138; Samyutta-nikaya III, 103.
[141] Bahwa Buddha tidak mempunyai teori-teori (Majjhima-nikaya) merupaka gagasan konstan dalam Madhayamika menjadi pesan sentral Buddhisme.
[142] RV X, 90, 2.
[143] Bdk. SU II, 8 dst.; dan yang lain.
[144] Acuan kepada dunia Cina ini diamksud untuk menandakan bahwa pembicaraan yang lengkap dan sahih tentang humanisasi tidak dapat terjadi dewasa ini tanpa memasukkan apa yang barangkali paling manusiawi dari semua kebudayaan, yang idealnya adalah manusia sempurna. Bdk. suatu contoh, yang bisa dianggap sebagai mewakili lebih dari satu tradisi: ‘Karena itu manusia sempurna menjadikan roh dan pikirannya menembus keterbatasan dan tak terhalangi oleh batas-batas, menggunakan sepenuhnya penglihatan mata dan pendengaran telingadan tidak dapat dibiaskan bersama dengan suara dan bentuk-bentuk – karena dia mengidentikan diri dengan kekosongan yang merupakan jati diri dari berbagai hal itu. Maka hal-hal itu tidak dapat mengahalangi intelegensi spiritualnya.’ Seng-Chao,Emptiness of the Non-Absolute, (Chao-lun III; tr. R.H. Robinson)
[145] Tidak ada gunanya diberikan di sini suatu bibliografi yang akan mencakup lebih banyak halaman daripada seluruh bab kita.
[146] Bdk. spendida vitia Agustinus yang termasyhur untuk keutamaan-keutamaan mereka yang tidak dilahirkan kembali ke dalam pembaptisan. Dan lagi ‘Bene currunt; sed ini via non corrunt. Quanto plus currunt, plus errant; quia a via recedunt’, Sermo 141c, 4, nr.4 (p.l.38, 777). Atau lagi, ‘maius opus est ut ex impio iustus fiat, quam creare caelum et terram’, In Ioh tr.72, nr.3 (P.L.35, 1823), dikomentari oleh Thomas, ‘Bonum gratiae uniusmaius est quam bonuin naturae totius universi’, (sum. Theol. I-II, q. 113, a. 9, c. et ad 2), dan lagi dikembangkan dengan caranya sendiri oleh Meister Eckhrat dalam Ser. Lat. II,2 (Lateinische Werke IV, 16, n.10); dan yang lain.
[147] Bdk. petunjuk etimologis: Saeculum pasti bukan kosmos, tetapi lebih dimaksudkan aeon, jangka hidup (Bdk. bahasa Sansekert ayu), yaitu aspek temporal dari dunia.
[148]Kita mengatakan sepihak karena tidak dapat disangkal bahwa jawaban-jawaban tradisional tidak memperhitungkan seluruh horizon manusia; dalam zaman kita yang kairologis ini, hal seperti itu merupakan suatu kepentingan.
[149] Tak ayal lagi, kita hanya dapat menunjukkan secara umum betapa riset yang mendasar mengenai problem ini dapat dimulai.
[150] Dalam kenyataan, karuna dan sunyata adalah dua pilar Buddhisme Mahyan, dan banyak teks menghubungkan kedua hal itu.
[151] Bdk. ucapan ‘tu aueta eras interior intimo meo at superior summo meo’ yang termasyhur dari Agustinus (Confessiones, III, 6, 11). Bdk. juga Alvin, Institusiones christiane religionis III, &: ‘Quod sinostri non sumus, sed Domini … ergo ne vel ratio nostra, vel voluntas in consiliis nostris fastisque dominetur (…) Nostri non sumus: ergo quoad licet obliviscamurnosmetipsos ac nostra omnia. Rursum, Dei sumus: iili ergo vivamus et moriamur’, (Opere Calvini, ed. Brunsvigae, 1864, vol.2, col. 505-506); belum lagi disebutkan ucapan-ucapan kaum mistici.
[152] Bdk. Kis 17: 28.
[153] Bdk. Yoh 17: 22-26; dll.
[154] Bdk. 2 Kor 5: 17; Gal 6: 15; Ef 4: 24; Kol 3: 10; dll.
[155] Cukup menarik bahwa intuisi Buddhis tentang nairatmyavada dalam suatu cara yang sangat mengejutkan cocok denagn doktrin Kristen tentang perichoreris (circumincessio).
[156] Bdk. Thomas, Sum. Theol , I, q. 1, a.8 ad 2; I, q.2, a. 2 ad 1; di sini Aquinas tidak menggunakan kata –kata harfiah dari prinsip yang belakangan menjadi terkenal ini.
[157] Setiap Humanisme berakhir dengan afimasi manusia yang mengatasi ‘manusia’ yang mengafirmasikan hal itu.
[158]  Bdk. R. Pannikar, “Some Notes on Syncretism and Eclecticism related to the Growth of Human Consciousness”, dalam Religion Syncretism in Antiquity, Essays in Conversation with Geo Widengren, yang disunting oleh Birger A. Pearson, Missoula, Montana (Scholars Press), 1975, hlm. 47-60.
[159] Tema yang berulang-ulang dari ajaran Buddha adalah bahwa mereka tidak mempunyai autoritas atas diri mereka sendiri, selain sejauh si pendengar mengalami mereka sebagai pembawa pesan yang nyata tentang pembebasan. Bdk. Tradisi Buddhis: ‘Mereka yang membayangkan Buddha sebagai yang melampaui angan-angan dan yang tak terhancurkan, semua dibunuh oleh angan-angan dan tidak melihat Tathagata’ (Candrakirti, Prasannapada XXII, 15, [ed. La Valee Poussin, tr. R.H. Robinson, hlm. 448]).
[160] Ini berlanjut dengan ucapan yang ekstrem: ‘Bunuhlah Buddha jika kamu kebetulan bertemu dia’, Taisho Tripitaka 47, 500b (apud K. ch’en, Buddhisme di Cina, (Princeton: Princeton University press, 1964), hlm. 358)
[161]Bdk. Mrk 2: 27.
[162] Bdk. Rom 8:21; dan yang lain.
[163] Bdk. Yoh 8:32.
[164] Bdk. Sermo I dari VII Sermones ad mortous C. G. Jung yang dicetak secara pribadi tahun 1916 dan diterbitkan sebagai Apendiks pada autobiografinya: Erinnerungen, Traume, Gedanken, yang disunting oleh A. Jaffe, (Olten-Freiburg: Walter, 1972), hlm. 389 dst. Sebuah kutipan: “Das Nichts order die Fulle nennen wir das Pleroma (di mana penyimpangan terminlogis Krtisten-Yunani tampak). Dort drin hort denken und sein auf, den “das ewige und unendliche hat keine eigenschaften”[sic]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar