BAB I
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
DIMENSI INTERNAL DAN EKSTERNALNYA
DI INDONESIA
Abdurrahman Wahid
Hubungan antar agama di Indonesia
selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah berkembang dalam berbagai
dimensinya, yang secara kualilatif telah merubah, dan pada saat yang sama
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran keagamaan dikalangan umat beragama itu
sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum
muslimin atau umat islam, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini.
Tulisan ini di maksudkan untuk menelusuri beberapa sisi yang dapat di lihat
pada dimensi teologis dan dimensi
politis dari hubungan kaum muslimin yang
“mewakili islam” dan umat beragama lain. Pada di akhir tulisan akan
dikemukakan beberapa aspek yang dapat di proyeksikan pada perubahan yang
terjadi dalam pola hubungan antar umat beragama yang ada pada saat ini.
Sebagaimana telah diketahui dari
sejarah dari bangsa kita, Islam datang dikawasan ini dalam bentuk dan corak
yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang kemari dalam bentuk
utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi. Utusan politik dari
sumber-sumber Islam di negeri lain dapat dilihat, umpamanya, pada heterogenitas
gelar penguasa muslim di negeri ini. Kerajaan ternate dengan raja pertama Mubarok
Syah jelas merupakan “utusan” dari penguasa-penguasa bergelar sama yang datang
dari Asia Tengah, Persia dan kawasan Afganistan. Gelar Almalikus Shaleh, yang
disandang raja-raja muslim di aceh menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari
lingkungan penguasa dinasti Ayyubid (Ayyubiyin, dengan tokoh utama Salahudin
Al- Ayyubi atau Saladin The Saracen). Dari wilayah Turko, Syiria sekarang ini.
Gelar sultan menunjukkan hubungan dengan para sultan di India, kalau tidak
langsung dari jantung kerajaan Abbasyiah di Baghdad, Irak.
Nama dari kata-kata seperti Pasai,
Jayakarta (fathan mubina), Bonang dan Demak menunjukkan asal usul geografis
yang sangat beragam dari pusat pemerintahan Islam di seluruh pemerintahan Cina,
Asia Selatan, Asia Barat dan Afrika Utara. Tidaklah mengherankan jika nama-nama
yang umum dipakai disini merujuk pada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat
pemerintah Islam atau sumber gerakan-gerakan besar dalam islam. Nama-nama
seperti Dimyati, Hamdani dan Sayuti menunjukkan pada kota-kota seperti Damiyetta
di Mesir, Hamdan di Iran, dan Aisut di Mesir. Nama Asmoro Kendi sangat populer
di Jawa Timur, merujuk pada Syah Ibrohim pada Syah Samarkan di Asia Tengah,
yang menyebarkan agama Islam di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa tokoh legenda Ki Ageng Selo, yang terkenal
penyambar petir, tidak lain adalah tokoh politik yang berasal usul Tabarqah
(Toburk) dalam bahasa barat di Libya. Nama daerah kota Tabarqah ini di ambil
dari istilah barq dalam bahasa arab, yang berarti petir.
Demikian juga peristilahan politik yang
masuk kemari dari khazanah Islam yang berasal usul heterogen, menunjukkan
pluralitas yang tinggi. Gelar seperti wazir, modin (singkatan imamuddin),
Sultan, Syahbandar dan sebagainya, menunjukkan ragam jabatan yang berasal dari
dinasti kerajaan Islam. Tidak lupa pula, hukum-hukum agama Islam (fiqih)
menunjukkan keragaman asal usul politik Islam di Timur Tengah, Asia Tengah dan
Asia Selatan. Pejabat pelaksana agama Islam dengan gelarnya yang beraneka ragam,
mulia dari kadi (qadi) hakim dan penghulu menunjukkan pluralitas asal usul
politis Islam.
* * * * *
Para pedagang muslim berdatangan kemari
sejak sekitar 9 abad yang lalu. Batu nisan Fatimah binti Maimun di desa leran,
Gresik, menunjukkan telah ada komunitas muslim di daerah pelabuhan pantai utara
Jawa Timur bahkan sebelum Raja pahit berdiri. Pasai, Peuruelak dan Samudra di
wilayah Aceh merupakan komunitas kaum muslimin yang pertama kali di laporkan
oleh para pelapor Barat dan Cina pada abad ke 13 Masehi. Kantor dagang dan
kedutaan Banten di wilayah kerajaan Inggris telah ada semenjak abad ke 11
masehi. Kesibukan luar biasa dalam pelayaran niaga antara kawasan Timur Tengah
dan nusantara, sebagaiman di laporkan Laszbo dan Al-Sairafi dari abad ke 10 Masehi,
menunjukkan variasi sangat tinggi dalam proses integrasi kaum pedagang muslim
asing ke dalam masyrakat pribumi di kepulauan nusantara.
Di kerajaan Malaka dan Goa, pedagang
muslim asing itu memasuki istana raja-raja melalui perkawinan, sedangkan hal
itu tidak di lakukan di keraton Mataram di Jawa. Demikian pula di kawasan Aceh
dan Sumatra Utara, kaum pedagang pribumi dan kaum pedagang muslim berintregasi
melalui perkawinan, menciptakan lapisan orang kaya yang memiliki kekuatan
politik sangat besar dan sanggup mengimbangi kekuatan politik kaum bangsawan di
istana-istana. Gilda- gilda para pengrajin di berbagai kota juga menunjukkan
hiterogenitas asal usul niaga kaum muslmin di negeri ini, dari kerajinan tenun,
arsitektur, ukiran, kerajinan logam, keramik dan penyamakan kulit hingga
pengolahan makanan.
Alat pengukur kuantitas barang dan
pembukuan transaksi finansial di berbagai daerah di masa lampau menunjukkan
ketinggian variasi praktek-praktek niaga kaum pedagang muslim negeri ini.
* * * * *
Mistisisisme Islam (tasawwuf) juga
menunjukkan heterogenitas sangat tinggi dalam asal usul geografis Islam yang
sampai ke negeri ini dalam kurun waktu berbeda-beda dan melalui “titik-titik
pendaratan” yang berlainan, gerakan tasawwuf berbentuk tarekat maupun non
tarekat berkembang di Indonesia. Tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyah,
Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Sattariyyah dan Rifa’iyyah berdatangan kemari
dari “titik pemberangkatan” yang berbeda dalam kurun waktu yang berlainan,
seperti Naqsyabandiyyah yang masuk ke Jawa Barat dan Jawa Tengah melalui
pamijahan di pantai wilayah Tasikmalaya, yang berbeda dari tarekat Qadiriyah,
Naqsyabandiyah yang kini terbesar di Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui
kerajaan Banten dan arus jamaah haji yang pulang dari tanah suci dalam abad ke
19 Masehi.
Kepercayaan kepada Wali Sembilan (wali
songo) di Jawa Tengah dan Jawa Timur menyembunyikan dalam dirinya heterogenitas
aliran tasawuf yang mereka ikuti. Jelas sekali sangat besar pertentangan antara
sikap tasawuf Sunan Kalijaga, yang demikian toleran dan mampu menyerap
praktek-praktek mistis dari era Hindu Budha di pesisir utara pantai Jawa.
Kecenderungan ini pun masih tampak pada zaman ini, kalau dilihat “import
praktek-praktek tasawuf” seperti Darul Arqam dan Jamaah Tabligh/ Jaulah yang
masing-masing dari semenanjung Malaysia dan anak Benua India.
Heterogenitas asal usul Islam di
ndonesia itu, menunjukkan pula variasi yang sangat tinggi dalam hubungan antar
agama yang di bawa oleh kaum muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik
kehidupan beragama dalam Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang
kemudian meletus dalam Perang Padri di Sumatera Barat pada paroh pertama abad
yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar umat
beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima” kekramatan”
bertemunya hari penting Arab Jum’at dan hari penting Jawa Kliwon atau Legi,
dengan melakukan ibadah ekstra pada hari tersebut. Ironisnya, mereka juga
menyebut hari Ahad Arab dengan sebutan hari Minggu, yang berasal dari domingo,
yang berarti Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian di ikuti
orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja. Penyerapan “nama Kristen” menjadi
hari Islam tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik
kerukunan hidup antar umat beragama, yang menyejukkan hati dan menentramkan
jiwa.
Praktek-praktek mistis dari budaya pra
Islam, yang menjadi pola umum kehidupan
keraton Jawa, dengan sekedar memberikan penghargaan formal dalam takaran minim
kepada ajaran Islam, seperti perayaan sekaten, di terima sebagai kewajaran oleh
mayoritas masyarakat muslim Jawa hingga hari ini. Demikian juga di
daerah-daerah lain di Indonesia. Praktek perdukunan masyarakat banjar di
Kalimantan Selatan, penghormatan karuhun di masyarakat Sunda dan
praktek-praktek lain di seluruh wilayah nusantara, menunjukkan besarnya muatan
“budaya lokal” dalam kehidupan dalam beragam Islam di kepulauan nusantara
hingga saat ini. Walaupun hidup kesantrian dan hidup kejawen di Jawa dapat di
telusuru perbedaannya oleh Clifford Geertz namun identifikasi diri yang saling
berbeda antara keduanya dapat di jembatani oleh universalitas manifestasi
budaya Jawa dalam bentuk kesenian daerah (seperti wayang) dan tradisi
kekerabatan orang Jawa.
Dengan ungkapan lain, antara tarikan
integratif dan dorongan konflik dapat di cari keseimbangan elastis, yang
memiliki kepentingan berbagai unsur dan sektor masyarakat itu. Kepercayaan diri
yang besar yang timbul dari keseimbangan kekuatan serta kondisi elastis itu,
ternyata memiliki momentum cukup besar untuk memunculkan sikap tenggang rasa di
negeri kita pada masa lampau itu cukup mengesankan bagi para pengamat dan
sejarawan. Kalaupun tidak bisa berbaur secara integratif dalam ukuran penuh,
paling tidak umat berbagai agama di negeri ini mampu hidup berdampingan pada
umumnya secara damai. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat
ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang
memerlukan pengamatan dan pemahaman mendalam dari kita.
* * * * *
Tantangan-tantangan modernisasi, yang
di lancarkan dunia Barat terhadap semua bangsa yang ada di dunia, telah
menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam cara kaum muslimin memandang kaitan
antara Islam dan kehidupan mereka sendiri. Islam, yang selama berabad-abad
telah mengembangkan berbagai corak hubungan dengan faktor-faktor lain dalam
kehidupan, di paksa memeriksa dan merumuskan kembali orientasi kehidupan yang
di milikinya selama ini. Dengan sendirinya, pemeriksaan ulang dan perumusan
kembali orientasi itu juga mempengaruhi dan sekaligus di pengaruhi oleh
hubungan kehidupan yang lain itu. Islam yang pada mulanya bertumpukan pada tiga
pilar kehidupan berupa hukum agama, kesusilaan (akhlaq) dan aqidah (teologia),
di paksa oleh perkembangan zaman untuk mempertanyakan kembali keabsahan
pilar-pilar itu sendiri.
Sebuah idiom baru masuk ke dalam
pemikiran kaum muslimin, yaitu ideologi politik yang dengan sadar menyatukan
ketiga pilar itu dalam sebuah entitas eksklusif yang membedakannya dari “pola
longgar” yang di gunakan selama ini. Walaupun sama-sama beragama Islam, mereka
yang tidak mengikuti identitas total keislaman itu di anggap sebagai orang
luar, dan sebagai “mereka” yang berada di luar lingkungan “kita” . Kulminasi
dari penonjolan identitas total keislaman itu, yang oleh Geertz dinamakan
kesantrian, tampak pada penolakan ideologi pancasila oleh gerakan-gerakan
keagamaan Islam di tahun-tahun 1950-an, sebuah kemacetan yang akhirnya dapat
diatasi dengan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali pada undang-undang dasar
1945. Dalam wajah politik formalnya, sikap ini telah di gusur dari lahan
percaturan melalui penyerdahanaan partai-partai politik di tahun 1973 dan
kemudian penetapan sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi politik dan
organisasi kemasyarakatan.
Tapi gagasan bahwa Islam adalah
totalitas yang di bedakan secara formal dari golongan-golongan lain dalam
kehidupan bangsa, masih memiliki gaya tariknya sendiri. Bersamaan dengan
tampilnya kebutuhan semacam itu, tampil kebutuhan untuk “membuktikan” keunggulan
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (life sistem). Di negeri-negeri muslim
lain pemunculan identitas itu ada yang berujung pada berbagai macam ekspremin
“pengislaman kehidupan” melalui pemberlakuan syari’at sebagai hukum negara,
penerapan “ekonomi Islam” dengan segala perangkat institusional-nya (Bank
Islam, Asuransi dan sebagainya), dan Islamisasi di segenap bidang kehidupan. Di
beberapa negara, proses pengislaman kehidupan itu akhirnya berbuah pada
berdirinya sejumlah negara Islam, seperti Iran, Sudan, Libya dan Pakistan. Di
samping itu, proses pengislaman itu semakin memperkokoh tradisionalisme Islam
di sementara kawasan, seperti Saudi Arabia, Afganistan, Malaisya dan Maroko.
Lawan besar bagi perkembangan seperti
itu adalah faham kebangsaan yang bertumpu pada pluralisme. Pluralitas
faktor-faktor kehidupan itu terutama berbentuk penyamaan hak-hak dan status
antara golongan mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan bangsa.
Masyarakat yang mengalami proses pluralisasi tentu saja menolak pemberlakuan
syari’ah sebagai sistem perundang-undangan nasional, menekan diri pada
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan memiliki obyektifitas
sangat tinggi dalam perlakuannya terhadap semua warga negara, tanpa melihat
asal usul keagamaan atau etnis mereka.
Perbenturan antara pola eksklusif, yang
ingin menonjolkan islam sebagai faktor utama kehidupan di suatu pihak dan
dipihak lain sikap inklusif, yang berusaha menekankan universalisme kehidupan
masyarakat, berjalan secara berkepanjangan, dan belum berakhir hingga saat ini.
Perbenturan itu dipengaruhi pada satu sisi oleh kerasnya perbenturan pandangan
keislaman yang ekslusif dan inklusif itu, seperti tercermin dalam pelontaran
isu kristenisasi di indonesia oleh para intelektual muslim yang berorientasi
eksklusif yang tergabung dalam ICMI (ikatan cendikiawan muslim se indonesia).
Sikap inklusif untuk memberlakukan obyektivitas persamaan status warga negara
dalam kehidupan bermasyarakat itu di nilai oleh para cendikiawan berpandangan ekslusif
itu sebagai kelemahan dan ketidak mampuan menghadapi tantangan yang ditujukan
kepada jantung kehidupan islam sendiri. Dengan sendirinya perdebapatan seru
mengenai isu-isu itu lalu sangat mempengaruhi hubungan antar umat beragama yang
berkembang. Apa yang seharusnya menjadi masalah internal kaum muslimin akhirnya
berkembang menjadi isu tersendiri dalam hubungan antar agama. Sebaliknya,
kegigihan para cendekiawan muslim yang berpandangan inklusif untuk
mempertahankan universalitas nilai-nilai kehidupan bangsa, menimbulkan sikap
semakim eksklusif dan tuduan yang semakin menjadi-jadi (seperti antek zionisme,
alat kristenisasi, anggota kaum falanggists dan agen “barat”) dari pihak mereka
yang berpandangan ekslusif. Eskalasi proses internal dalam tubuh umat islam itu
tentu saja memaksa umat-umat beragama lain untuk merumuskan hubungan antar
agama mereka dan islam.
Jika pada kemelut keadaan seperti itu
ditambahkan faktor politik, seperti dukungan salah satu pusat kekuasaan (power
center) kepada gerakan slam ekslusif, “mengoreksi” ketimpangan kaum minoritas
suatu agama, yang dianggap secara komparatif memiliki kekuatan bernilai lebih
terhadap seluruh kekuatan kaum muslimin, dapat dibayangkan betapa tinggi
intensitas hubungan internal dalam tubuh islam sendiri, dalam arti meluasnya
salah pengertian antara mereka. Bahwa Dr. Nurkholis Majid dianggap munafik dan
murtad oleh sementara pihak yang berpandangan ekslusif, karena pernyataannya
antara kedudukan agama kristen sama dengan agama islam, merupakan petunjuk betapa
tinggi intensitas perbenturan tersebut. Dalam pernyataan itu, ia melupakan arti
masalah-masalah teologi yang membedakan islam dari agama-agama lain. Sedangkan
lawan bicaranya melupakan bahwa dalam sebuah negara kebangsaan, seperti
republik indonesia, bagaimanapun juga di jamin persamaan status dan perlakuan
secara konstitusional bagi semua warga negara, tanpa memandang asal usul agama
dan etnis mereka. Peliknya masalah dapat di perkirakan dari keputusan hukum
gantung sampai mati yang di jatuhkan pemerintah sudan atas diri seorang muslim
yang bernama Dr. Mahmud muhammad thoha lebih dari sepuluh tahun yang lalu,
karena ia membela hak orang islam untuk berpindah agama. Hak berpindah agama
ini, dalam peristilahan islam di namakan murtad(apostasi), memang di ancam
hukuman mati oleh hukum agama islam(fikih) dan juga syari’ah sebagai sistem
hukum islam.
Mau tidak mau, masalah-masalah semacam
ini selalu mumcul dalam proses pengembangan hubungan antar umat beragama yang
sehat di masa depan. Deklarasi universal hak-hak asasi manusia yang telah di
rativikasi oleh pemerintahan kita, secara eksplisit mengakui universalitas hak
berpindah agama. Sedangkan hukum islam menolak hal itu secara kategoris. Para
pezina(adulterers) dalampandangan barat tidak di anggap melakukan tindak
kriminal, sementara hal itu di anggap demikian oleh kalangan “islam ekslusif”
itu. Seribu masalah lain masih akan muncul, yang keselurahannya merupakan
dimensi internal dan eksternal dari proses dialog antara agama, dengan kedua
dimensi itu yang lebih memenangkan percaturan akan sangat menentukan corak
hubungan antar agama kita di kemudian hari…
BAB II
SEBUAH MODEL DIALOG KRISTEN ISLAM
Hans Kung
University of tubingen, tubingen, jerman barat
Sajian khusus nomor perdana jurnal ini menurunkan dua artikel,
artikel pertama ditulis oleh Hans Kung
berjudul “christianity and world religions: The dialogue with
islam as one model.” Artikel kedua ditulis oleh seyyed hossein nars berjudul
“response to hans kung’s paper on christian-muslim dialogue. Mulanya kedua
tulisan tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard Divinity
School’s Jerome Hall Dialogue Series, yang diadakan pada tanggal 16 oktober
1984, yang kemudiat dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII,No, 2
(April 1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan oleh Nanang
Tahqiq, (Red.)
Setelah penelitian sulit
bertahun-tahun, panel world christisn encyclopaedia (oxford,1982) menghitung
bahwa pemeluk Buddha di dunia berjumlah
274 juta, yang hanya sedikit bermukim di India. Pemeluk Hindu berjumlah lebih
dari dua kali lipat, yaitu 583 juta. Tujuh ratus dua puluh tiga juta Muslim
merupakan kelompok terbesar kedua setelah kristen yang berjumlah 1400 juta. Ini
merupakan betapa besar dan pentingnya agama Islam, yang berbeda dari
agama-agama mistis asal India, harus dilihat sebagai agama profetik bersama
Yahudi dan Kristen.
Islam kini berkembang menjadi lebih
dekat kepada kita ketimbang sebelumnya, dalam pengertian yang lebih luas
ketimbang pengertian murni geografi dan mobolitas. Terdapat penambahan jumlah
orang-orang muslim yang berada disekitar kita secara besar-besaran, yang kita
bawa ke negara-negara kita karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Kita
menginginkan tenaga kerja dan akhirnya kita pun dipertemukan dengan orang-orang
yang seperti kita, yakni orang-orang yang secara tajam mendefinisikan keimanan
mereka seperti kita dan kehadiran mereka menjadi tantangan bagi suatu
lingkungan kristen yang tertutup.
Saya tidak akan membicarakan sejarah
abad-abad silam yang telah dihiasi konflik dan pengetahuan mengenai Kristen dan
Islam, juga tak akan membahas secara mendalam sebuah tema tunggal seperti Islam
dan sikap kembali, atau sekularitas dalam Islam. Begitu pun saya tidak mau
mengangkat kebiasaan teeror orang-orang Muslim fanatik di Iran, yang telah
meremukkan rasa simpati terhadap Islam yang barangkali masih dimiliki oleh
banyak orang diantara kita. Dalam situasi sekarang, persisnya yang saya rasakan
penting sebagai seorang teolog untuk memilih masalah-masalah teologis yang
sukar dan mengajukan sebuah pertanyaan, yakni pertanyaan lewat contoh ketimbang
menyeluruh: Bagaimana umat Kristen hari ini menanggapi klaim-klaim keimanan
Muslim? Dengan kata lain, saya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan
menolong kita untuk secara penuh menguji pendirian ekumenis (bersifat mewakili umat
Kristen sedunia) kita yang berubah terhadap agama-agama lain yang secara umum,
dengan pandangan lebih luas dan terbuka; pertanyaan-pertanyaan yang mungkin
membantu kita membaca kembali sejarah pemikiran teologi dan keimanan seperti
yang diungkapkan dalam Islam.
Tak perduli dari pandangan teologis
apapun kita memandang klaim-klaim Islam, satu hal yang tampak pasti di mata
saya: terlepas dari khomeini, tak akan ada lagi upaya untuk kembali ke
kebiadaban Islam abad-abad silam, atau kebal dari citra buruk. Oleh karenanya
sebagaimana dalam agama-agama yang lain, Islam kini tidak dapat lagi
disepelekan oleh teologi Kristen, melainkan sudah harus dipertimbangkan baik
secara politis maupun teologis sebagai sebuah realitas satu dunia, dimana kita
hidup serta mewujudkan upaya-upaya teologis kita.
Orang-orang Kristen masih menganggap
Islam, untuk sebagian besar sebagai etintas yang kaku, sebagai sistem agama
yang tertutup ketimbang agama hidup yang secara ajek berubah selama
berabad-abad yang mengembangkan keanekaragaman inti yang besar dan dianut oleh
sekelompok orang dengan spektrum yang luas dari sikap-sikap dan
perasaan-perasaan. Akhir-akhir ini tentunya telah harus ada upaya
berangsur-angsur untuk memahami dari dalam mengapa orang Islam melihat Tuhan
dan Dunia, pengabdian kepada Tuhan dan kepada masyarakat, politik, hukum, dan
seni dengan pandangan berbeda. Mengapa ia mengalami hal-hal itu semua dengan
perasaan-perasaan yang yang berbeda dengan perasaan-perasaan orang-orang
Kristen. Dengan mencamkan persia dewasa ini di benak, kita pertama-tama harus
menangkap fakta bahwa malah sekarang agama Islam bukan sekadar”cabang lain”
dalam kehidupan seorang muslim, “cabang” yang telah mensekulerkan masyarakat
sebagaimana yang terjadi di dalam “faktor keagaman” atau “sektor keagaman”
bersama-sama dengan “faktor-faktor kultural” atau “sektor-sektor kultural” yang
lain. Kehidupan dan agama, agama dan budaya adalah saling terjalin secara
dinamis. Islam berusaha menampilkan diri sebagai pandangan hidup yang serba
mencakup, perspektif menyeluruh yang tentang kehidupan, dan cara yang
menentukan seluruh kehidupan dan jalan menuju kehidupan kekal ditengah-tengah
moralitas sebuah jalan keselamatan. Keselamatan? Apa yang didapat dikatakan seorang
teolog Kristen untuk Klaim ini?
Islam –sebuah jalan keselamatan ?
Saya mengajukan pertanyaan ini dengan
mempertimbangkan setidaknya sikap mendua dari world council of churches (dewan
gereja-gereja sedunia). yang desebabkan konflik pandangan diantara anggota-angota
gereja sendiri, memilih bahkan hingga akhir 1977-1979, di guidelines for
dialogue with people of differen religion and ideologies (petunjuk-petunjuk
untuk dialog dengan umat yang berbeda agama dan ideologi) untuk tidak menjawab
pertanyaan apakah ada keselamatan diluar gereja-gereja kristen, sebuah
pertanyaan yang tidak diragukan lagi sangat penting akhir-akhir ini.
Posisi Katolik tradisional, seperti dipersiapkan di abad-abad
awal gereja kristen oleh Origen, Cyprianus dan Augustinus, terkenal secara
umum: Extra ecclesiam nulla salus!(tidak ada keselamatan di luar gerreja) maka
untuk masa depan juga Extra ecclesiam nullus propheta! (tak ada nabi diluar
gereja). Consiliflorensa pada 1442 mendefinisikan hal ini dengan sangat jelas.
Gereja suci roma…. Tegas-tegas meyakini, beraksi dan menyatakan bahwa tak
seorangpun di luar gereja katolik, baik orang kafir, atau yahudi atau orang
yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari gereja, akan ikut
bersama-sama dalam kehidupan yang kekal, tetapi akan binasa di dalam api kekal
yang di sediakan untuk setan dan antek-anteknya, jika orang tersebut tidak
bergabung dengannya (gereja katolik) sebelum mati.[1]
Bukan hal tersebut, sekurang-kurangnya
bagi orang-orang katolik, tidak mengukuhkan klaim islam? Dan tampaknya halini
telah berjalan selama lebih dari 1200 tahun.
Adalah benar bahwa suatu teologi
katolik dekade-dekade belakangan ini telah mencoba untuk memperoleh pemahaman
baru terhadap dokma tambahan yang tidak kompromistis tadi. Untuk sebagian besar
hal itu berarti memgubah interpretasi yang selama ini dipegang teguh, malahpun
menghasilkan suatu yang bertolak belakang. Walau begitu dokma tersebut, karena
kekebalannya dari kesalahan, tetap tak mungkin dikoreksi. Akan tetapi pada abad
ke-17, Roma telah didesak oleh kaum jamsenis extrim guna membuang
pernyataan Extra ecclesiam nulla
gratia (tak ada rahmat di luar gereja).[2] Jika
akhirnya ada rahmat chris, karisma yang bisa didapat di luar gereja tidaklah
bisa disana juga ada kenabian, secara jelas salah satu charismata atau
(anugerah spiritual) diluar gereja.
sekarang ini, betapapun juga, posisi
katolik tradisional tidak l;agi menjadi posisi katolik resmi. Sejak awal tahun
1952 jemaat roma secara bertolak belakang mengucilkan pendeta mahasiswa
Harvard, P.L. Feeney, yang menurut para bapak gereja dan konsili florensa,
mempertahankan bahwa semua orangb di luar gereja adalah terkutuk. Sementara
konsili vatikan kedua menyatakan secara gamblang dalam undangan-undangan yang
berkaitan dengan gereja bahwa:
mereka yang bukan karena kesalahan mereka
sendiri, tidak mengetahui injil kristus atau gerejanya, namun mereka mencari
tuhan dengan hati yang jujur dan digerak oleh rahmat, berusaha dalam
tindakan-tindakan mereka melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana mereka mengetahui
hal itu melalui bisikan kesadaran mereka sendiri-maka merekapun akan memperoleh
keselamatan yang kekal.(Art 16).
Maksud sebenarnya dari pernyataan
diatas ditunjuukkan kepada mereka yang, lantaran latar belakang mereka sendiri,
memiliki kesamaan keyakinan dengan orang-orang yahudi dan orang-orang kristen
dalam keesaan tuhan dan dalam melaksanakan kehendak-Nya: orang-orang muslim. “
tetapi rencana keselamatan juga brelaku bagi mereka yang mengakui pencipta,
yang utama dalam hal ini disini adalah orang-orang muslim: orang-orang yang
bersiteguh mengikuti keimana Ibrahim, dan bersama-sama kita mereka menghormati
Tuhan Yang Esa, Yuhan yang pengasih, hakim manusia dihari akhir” (Art 16). Oleh
sebab itu menurut vatikan kedua, bahkan orang-orang muslim tidak perlu “binasa
dalam api kekal yang dipersiapkan untuk setan dan antek-anteknya;” merekapun
bisa “memperoleh keselamatan yang
kekal.” Tapi barangkali jalan yang secara historis pengecualian atau
jalan “luar biasa.”
Theologi katolik kontemporer ternyata
membedakan antara jalan keselamatan yang “biasa” (yaitu jalan kristen) dan yang
“luar biasa” ( yakni jalan non kristen). Bukankah ini berarti, sebagai sesuatu
yang mungkin, bahwa sangatlah mungkin membedakan antara nabi-nabi yang “biasa”
( nabi-nabi kristen) dari nabi-nabi yang “luar biasa.” Selama berabad-abad
Muhammad dianggap sebagai nabu gadungan, nabi palsu, dukun, tukang sihir,
pemalsu, dan yang agak mendingan, penyair Arab. Tidakkah seharusnya kita
berpikir sebaliknya, bahwa ia adalah seorang nabi asli, bahkan seorang nabi
yang sebenarnya? Tetapi kemudia apakan Muhammad benar-benar seorang nabi asli,
sungguh-sungguh seorang nabi yang sebenarnya?
Saya dapat menerangkan sejarah yang
umum dikenal tentang Muhammad, yang sangat berbeda dengan sejarah Yesus: Muhammad
ini putra seorang saudagar yang diminta seorang janda kaya untuk menikahi janda
tersebut, dan muhammad bertemu janda itu saat bekerja; Nabi Arab ini
menyampaikan pesan Tuhan Yang Esa serta keadilan-Nya, yang berbeda dengan
kenyataan politeistik saat itu di Makkah, kemudian ia hijrah kemadinah, sekitar
350 kilometer, tetapi ia berhali disegala hal yang ia lakukan; dialah yang
menaklukkan Makkah dan mempersatukan jazirah Arab dibawah kekuasaannya-sehingga
ia adalah nabi sekaligus politisi, panglima perang sekaligus negarawan. Dari
sudut pandang teologi kristen, hanya sat pertanyaan yang relevan: apakah ia
benar-benar seorang Nabi?
Muhammad - seorang Nabi?
Tentu saja banyak agama tak mempunyai
nabi-nabi dalam pengertian yang paling ketat. Orang-orang Hindu memiliki
guru-guru dan sadhu-sadhu, orang Cina memiliki orang-orang bijak
(Inggris:sages), orang-orang Budha mempunyai guru-guru (ingris:masters), tetapi
tak satupun dari penganut agama-agama tersebut, seperti orang-orang Yahudi,
orang-orang kristen, dan orang-orang muslim mempunyai nabi-nabi. Tak dapat
diragukan bahwa bila seseorang didalam seluruh sejarah keagamaan disebut sang
nabi, karena ia memang mengatakan dirinya sebagai nabi, begitu juga yang
terjadi pada Muhammad. Dan apakah Muhammad memang begitu? Malah orang kristen
yang beriman, jika ia berkesempatan menyelidiki
keadaan tersebut, tidak dapat untuk tidak menyetujui bahwa:
·
Seperti nabi-nabi
israel, Muhammad tidak bekerja melalui kekuatan sebuah jabatan yang diberikan
kepadanya oleh masyarakat (atau para penguasanya), melainkan melalui hubungan
pribadi yang khusus dengan Tuhan.
·
Seperti nabi-nabi
Israel, Muhammad adalah seseorang yang mempunyai keinginan kuat, yang merasakan
dirinya dipenuhi oleh seruan ketuhanan yang sepenuhnya ditunjukkan, secara
eksklusif ditentukan untuk sebuah tugas.
·
Seperti nabi-nabi
Israel, Muhammad berbicara tentang jantung krisis agama dan sosial, dan denga
kesalehan yang penuh gairah serta seruan revolusioner ia menentang kelompok
penguasa kaya dan tradisi yang dipegang teguh.
·
Seperti nabi-nabi
Israel, Muhammad yang senantiasa menyebut diri sebagai pengingat, berusaha
manunjukkan diri sebagai sebagai bukan apa-apa selain juru bisara Tuhan dan
tidak mengatakan apa-apa selain kata-kata Tuhan.
·
Seperti nabi-nabi
Israel, Muhammad tak letih-letih menyatakan Tuhan Yang Esa yang tidak
mentoleransi tuhan-tuhan selain diri-Nya, pencipta yang baik, Hakim dan
Penyayang.
·
Seperti nabi-nabi
Israel, Muhammad juga menghajatkan sebagai responsi pada Tuhan yang Satu ini,
kepatuhan, penyerahan diri, ketaatan tanpa syarat, yang merupakan arti literal
dari kata Islam: segala sesuatu yang meliiputi syukur kepada Tuhan dan
kemurahan hati kepada orang-orang lain.
·
Seperti nabi-nabi
Israel, Muhammad menggabungkan monoteisme dengan humanisme, percaya kepada satu
Tuhan dan pengendalian-Nya dengan seruan kepada keadilan sosial: maka
pengadilan dipadukan dengan keselamatan, dan ancaman bagi yang tidak adil, yang
akan masuk neraka, dengan janji-janji bagi orang-orang yang adil, yang
diletakkan disurga-Nya.
Siapapun yang membaca Bibel-sekurangnya
perjanjian lama-dan al-Qur’an secara bersamaan akan digiring untuk merenungkan
tentang apakah ketiga agama wahyu dari asal semitik- Yahudi, Kristen, dan Islam
dan khususnya Perjanjian Lama dan al-Qur’an-memiliki dasae yang sama. Bukankah
Tuhan yang stu dan tuhan yang itu-itu juga yang berbicara secara gamblang
didalam kedua kitab tersebut? Tidakkah selaras antara “maka tuhanpun berkata”
dalam Perjanjian lama dengan “Berfirman” dalam al-Qur’an dan antara pernyataan
Perjanjian Lama “pergi dan nyatakan” dengan pernyataan dalam al-Qur’an
“bangunlah dan peringatkan” bahkan kenyataan membuktikan jutaan orang kristen
yang berbicara bahasa Arab tidak memiliki kata lain untuk Tuhan selain “Allah”
Karena itu apakah mungkin prasangka
yang murni dogmatikmengakui Amos dan Hosea, Isaiah dan Jeremiah sebagai
nabi-nabi, tetapi tidak mengakui Muhammad? Apapun yang dituduhkan seseorang
terhadap Muhammaddari sudut pandang moralitas Kristen Barat (kekerasan dengan
senjata, poligami, gaya hidup penuh nafsu), tidak dapat diperselisihkan:
·
Bahwa sekarang bahkan
terdapat 800juta orang didaerah yang membentang antara moroko dibarat dan
banglades ditimur, dari hamparan padang rumput Asia tengah diutara hingga dunia
kepulauan Indonesia diselatan, yang derekatkan oleh kekuatan luar biasa dari
sebuah keimanan yang tidak seperti keimanan lain, membentuk orang-orang yang
mengakuinya kedalam sebuah tipe yang universal;
·
Bahwa mereka itu
diikat oleh sebuah pengakuan keimanan yang sederhana (tak ada Tuhan delain
Tuhan, dan Muhammad adalah utusan-Nya), diikat oleh lima kewjiban dasar
(pengakuan keimanan, shalat, zakat untuk orang miskin, puasa satu bulan, dan
haji); dan diikat oeleh penyerahan total pada kehendak Tuhan, yang
keputusan-Nya tidak berubah, bahkan bila menderitakanpun harus diterima;
·
Bahwa pada mereka itu
terdapat rasa persaamaan fundamental manusia dihadapan Tuhan dan rasa
persaudaraan internasional yang secara dasariah mampu mengatasi persoalan ras
(orang-orang Arab dan orang-orang non Arab) dan perbedaan Kasta-kasta di India.
·
Bahwa masyarakat Arab
di abad ke-7 mendengar dan mengikuti seruan Muhammad;
·
Bahwa dalam
perbandingandengan politeisme yang sangat duniawi dari agama-agama kesukan Arab
lama, agama masyarakat dinaikkan ketingkat yang sepenuhnya baru, tingkat suatu
agama tinggi yang monoteistik;
·
Bahwa orang-orang
Muslim menerima dari Muhammad-atau secara lebih baik Dari al-qur’an-inspirasi,
keberanian dan kekuatan yang tiada habis-habisnya untuk permulaan agama baru: sebuah
permulaan menuju kebenaran lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah
terobosan kebangkitan Kembali serta pembaharuan agama tradisional. Islam adalah
pengilham besar bagi kehidupan.
Sesungguhnya
Muhammad dulu dan kini adalah untuk masyarakat dunia semua dan bahkan lebih
jauh adalah sang pembaharu agama, pembentuk hukum dan pemimpin: sang Nabi, per
se. secara dasariah Muhammad yang tidak pernah menginginkan menjadi apapun
selain manusia biasa, bagi orang-orang yang mengikutinya (imitatio
Muhammetis)lebih dari sekedar seorang Nabi semata, contoh dalam gaya hidup
yang diajarkan Islam. Dan jika gereja Katolik, menurut deklarasi yang
berhubungan dengan agama-agama non-Kristen versi Vatikan Kedua (1964) (saya
harap anda mengizinkan saya untuk tidak hanya menggunakan kutipan-kutipan
ritual), memandang “orang-orang Muslim dengan penuh hormat, menyembah hanya
pada satu Tuhan yang telah berbicara kepada manusia”, maka gereja-gereja
tersebut, hemat saya, harus juga menghormati-terlepas darirasa malu, seseorang
yang namanya tidak tercantum dalam
deklarasi tadi, yang justru orang itulah yang membawa orang orang Muslim
menyembah Tuhan yang Satu ini, maka sekali lagi, justru lewat dia, Muhammad
sang Nabi Tuhan ini “telah berbicara kepada manusia” tetapi bukankah pengakuan
seperti itu mempunyai konsekuansi-konsekuensi suram dan menggelisahkan ,
khususnya kerena pesan yang diproklamirkan oleh Muhammad dan terterea dalam
al-Qur’an?
Al-Qur’an - firman Tuhan?
Al-Qur’an
lebih dari sekedartradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah firman
yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan
sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui keberadaannya
yang direkam lewat tulisan, Al-Qur’an memelihara suatu kekohohan yang luar
biasa, kendati ada perubahan dan keanegaragaman sejarah islam dari abad ke
abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya
tertulis. Meskipun ada penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda,
meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam, syari’ah,
Al-Qur’an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator), sesuatu
seperti “benang hijau” Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan
lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam historis maupun
Islam normatif, tidak dapat , mengelak untuk kembali pada asalnya, yaitu
Al-Qur’an abad ke-7.
Meskipun
Al-Qur’an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu) perkembangan
Islam, Ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam. Ia
memasuki seluruh syari’ah, mencetak sistem legal (hukum) dan mistisisme, seni,
dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi, tapi Al-Qur’an tetap
utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam islam di antara
variabel-variabel lain yang terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan kewajiban
moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, disamping ajaran-ajaran
abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggungjawab manusia terhadap
Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu Al-Qur’an adalah
kitab suci Islam yang sebagaimana dipahami dari bentuk tulisannya, bukan firman
manusia, melainkan firman Tuhan ditulis dalam sebuah kitab. Pertanyaan kita,
betapapun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?
Selama
berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim
maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan
siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan
perpecahan-perpecahan polotik yang tajam di antara bangsa-bangsa di dunia, dari
abad-abad pertama penaklukan Islam hingga perang salib dan perebutan
Konstatinopel, hingga pengepungan vienna dan revolusi persia di bawah komando
khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika barat
sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa Al-Qur’an adalah firman Tuhan dan
mengorientasikan hidupserta mati mereka sesuai dengan al-Qur’an, Orang-orang
Kristen seluruh dunia mengatakan “Tidak”. Malah bukan saja orang-orang Kristen,
melainkan juga kemudian juga para sarjana barat yang sekular, yang menganggap
pasti bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada
tahun 1962, seorang sarjana barat berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith,
manjadi orang yang pertama yang mengajukan pernyataan tersebut diatas secara
tajam, yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk
pernyatan itu sendiri.[3] Kita
tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua kemungkinan
yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang
cerdas, kritis, dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan lagi dan
telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra keyakinan dogmatis). Pada
masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman
(kata orang-orang muslim kepada orang-orang kristen yang menolak al-Qur’an
sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang kristen kepada
orang-orang muslim yang membenarkan al-Qur’an sebagai firman Tuhan)
Lalu,
tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada,
willard oxtoby, dalam meyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa” you
get out what you put in” (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)? Dengan
kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap al-Qur’an sebagai
perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang
keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur’an, dan juga
sebaliknya.
Tetapi
dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa
panjang hal tersebut tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi penambahan
jumlah dari orang-orang kristen dan bahkan mungkin orang-orang muslim yang
kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai keimanan serta posisi orangg
lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri sendiri? Saya
akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan dengan kedua posisi diatas:
a. Penyangsian kritis diri terhadap pemahaman kristen tentang
wahyu; bersamaan dengan semua pernyataan negatif mengenai
cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non kristen berikut seliruh
seruan untuk bertaubat, tidakkah juga kita dapatkan banyak pernyataan positif
yang yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh
manusia? Sungguh menurut perjanjian lama dan baru, orang-orang non kristen juga
bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya
sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan
memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan
bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang
telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan penciptaan, dan semua
ini pun melibatkan rahmat tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah kita
meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu juga, dalam kaitan dengan
agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus, karisma khusus? Dan dengan
memperhatikan semua yang telah yang telah kita katakan, tidakkah hal itu semua
bisa memperhatikan semua bisa terjadi terhadap Muhammad, sang Nabi? Extra
ecclesiam gratia-ada juga rahmat di luar gereja. Kalaukah memang begitu,
jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang Nabi, maka agar konsisten kita pun
harus mengakui bahwa bagi orang-orang muslim segala sesuatu tergantung pada
pesan muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan Firmannya sendiri, tetapi
firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan firman Tuhan dan dengan
Wahyu?
b. Penyangsian kritis terhadap penafsiran Isalm tentang
al-Qur’an: apakah wahyu yang sudah diduga turun secara langsung dari
langit, diinspirasikan tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan?
Perlu diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim yang meyakini hal ini,
melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam hubungan dengan Bibel.
Disini kita telah sampai pada persoalan yang penting sekali.
Bagaimanapun
sesorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal Al-Qur’an, saat ini
adalah penting bahwa al-Qur’an sebagi firman Tuhan dipandang pada waktu yang
sama sebagai perkataan Nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama
oleh refleksi ilmiah Muslim semisal karya seorang pakistan, Fazlur Rohman). Jadi
al-Qur’an menyodorkan problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita
dihadapkan pada pernyataan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apalagi
kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel(untuk kepentingan keimanan
Biblikal kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis
terhadap al-Qur’an, dan hal itu untuk keimanan muslim yang cocok bagi masa
modern? ketimbang menafsirkan al-Qur’an sebagai sebuah kumpulan pribahasa yang
tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah
mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada) dengan sangat merendahkan diri harus
direproduksi dan secara harfiyah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai
aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur’an sebagai kesaksian kenabian
yang tinggi terhadap Tuhan yang satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah,
Pencipta dan penyempurna,dan terhadap pengadilan serta janji-Nya.
Bagaimanapun
juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan
hermeneuutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan
isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis, akan saya
kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian antara Isalam dan
Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang yahudi juga
termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi konsili
Vatikan kedua tentang agama-agama non Kristen.
Apa Unsur-unsur sama yang utama?
Hal-hal
yang sama di antara orang-orang Muslim, Orang-orang yahudi dapat diringkas
dalam empat aspek:
a. Hal sama yang dasar di antara orang-orang Muslim,
orang-orang yahudi dan orang-orang Kristen terletak pada keimanan kepada satu
dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala
sesuatu. Beriman kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang
ditegakkan sejak “Adam”. Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di
muka Tuhan didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apapun yang mungkin
dikatakan menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk
mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya tuhan, tetapi untuk
memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti dalam menghadapi politeisme kafir,
yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini
menghadapkan banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat
Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama
panteon jauh sebelum Isalm.
b. orang-orang kristen orang-orang yahudi dan orang-orang
Muslim menyimpan kesamaan pandangan
dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan, sebagaimana
diyakini orang-orang yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam, dasar dari
segala segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai pencipta dunia dan manusia
dalam sejarah, tuhan yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para nabi dan mewahyukan diri-Nya
pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak
terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden, tetapi pada saat yang
sama juga imanen, lebih daripada “urat nadi”, begitu kata perumpamaan plastik
al-Qur’an, yang kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisime Islam.
c. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang
Muslim adalah satu pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang-meskipun Ia
gaib, mengatur dan menguasai segala sesuatu-adalah partner yang dapat didekati.
Dia dapat disapa saat sholat dan meditasi, dipuji dalam senangdan rasa syukur,
tempat mengadu dalam keadaan perludan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang
“berkesimpuh di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum”, “berdoa dan berkurban”,
“bermusik dan berjoget”, mengutip kata-kat berorientasi masa depan Martin
Heidegger.
d. Akhirnya, orang-orang yahudi, orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan
ramah, tuhan yang menjaga manusia. Dalam al-Qur’an sebagaiman dalam Bibel,
manusia dipandang sebagai “hamba Tuhan”, yang tidak mengekspresikan perbudakan
manusia di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang
elementer dalam meresponi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rohman, “yang maha
pengasih”, secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (hebrew,Yahudi)
rahamim. Yang, bersama denagn hen dan hesed. Menjelaskan bidang simantik bagi
kata charis dalam perjanjian baru, dan kata Inggris grace (glade dalam bahasa
Jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur’an,
Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga, namun
menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur’an, Tuhan adalah Tuhan yang
pengasih dan pemurah.
Bersama-sama
di dunia ini, Yahudi, Kristen, dan Islam denagn demikian mencerminkan kepada
satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan monoteistik yang besar. Secara
politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap sepele; harus
dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan
peran dalam perjanjian Camp David, tentunya
iapun penting untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur tengah. Maka
jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati
persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoaaalan-persoalan yesus
dari nazareth, Kristus orang-orang Kristen.
Apakah penggambaran al-Qur’an tentang Yesus
tepat?
Sangat
masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal Al-Qur’an membicarakan Yesus dari
Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika sesorang
memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara
Kristen dan Islam. Bagaiman kita bisa menilai bagiabagian ini secara teologis?
Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap “teks-teks al-Qur’an yang relevan
dengan Kristen”, yang diterjemah-ulang dan dijelaskan secara rinci oleh Claus
Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus, menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan
dengan yesus da dalam al-Qur’an terintegrasi (terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren
secara utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur’an. Dari tradisi apa pun
kesaksian tentang yesus ini berasal- dan kita akan menjelaskan lebih dekat
lagi-seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalamn profetik hebat
muhammad dengan Tuhan yang maha Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak
mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus: seruan Yesus adalah juga
seruan Muhammad. Persoalan Virgin Birth (kelahiran Yesus dari seorang
perawan) dan mu’jizat-mu’jizat diakui al-Qur’an tanpa iri hati, dengan satu
pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi Tuhan, dan tidak mungkin
diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang maha Esa sebagai seorang (tuhan) yang
kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu yang paling dibenci.
Posisi
Yesus dalam al-Qur’an tidak ambisius (tidak meragukan). Diolog oleh karenanya
tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini
yang lebih menafsirkan Al-Qur’an ketimbang apa yang dikandungnya, yang
mengklaim bahwa dalam al-Qur’an Yesus
adalah fieman Tuhan. Tetapi bukan firman Tuhan dalam pengertian pada prolog
Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang pra-eksisten menjadi daging.
Adapun mengenai Virgin Birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan)
dalam al-Qur’an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan justru karena
ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur’an Yesus adalah seorang nabi,
seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Musa- tetapi tentu saja
tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis nseperti diterangkan dalam
perjanjian baru, Yohanes (Yahya) sang pembaptis adalah pendahulu (pratanda)
Yesus, begitupuun dalam al-Qur’an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak
diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad. Menurut al-Qur’an Yesus
diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin
Birth tersebut), tak seperti Muhammad.Yesus adalah, oleh karena itu,
ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena
alasan ini, orang-orang kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat
“orang-orang Kristen anonim”dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaiman
beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim tentang diri
mereka sendiri, sekali-kali berusaha melakukan itu. pada gilirannya hal ini
akan dengan segara memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus
menciptakan “seorang Muslim anonim” dari Kristus. Apalagi kita yang mewakili
Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad berdasarkan sumber-sumber
Isalm, khususnya al-Qur’an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam
untuk memulai kembali penilaian Yesus dari Nazareth berdasarkan sumber-sumber
sejarah yang ada, berdasarka pada Injil-injil itu sendiri- sebagaimana yang
telah dilakukan banyak orang dalam yahudi. Potret yesus dalam al-Qur’an terlalu
berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian besar kekurangan dalam isi,
terlepas dari monoteisme, seruan untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang
mu’jizat-mu’jizat. Pokoknya ini berbeda sekali dengan potret Yesus dalam
sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum, seperti direkam al-Qur’an, tetapi
cenderung menentang seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas
untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun
dalam al-Qur’an gagal mengakui hal ini. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan
substansial muncul antara Yesus dan muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal
ini. Walau begitu, hambatan teologis pertama terhadap sebuah pemahaman tidaklah
untuk ditemukan disini.
Apakah perbedaan teologis utama?
Perbedaan utama yesus sediri adalah mengatasi
legalisme dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan
mengingat kedatangan kerajaan (Tuhan). Bagi gereja kristen, perhatian utama
secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar kepada pribadi yesus dan
hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara kristen dan islam kemudian tetap
sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang keberatan kristen
terhadap islam terletak pada bantahan islam terhadap dua doktrin utama kristen
yang saling berkelindan: trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, alQur’an berbicara
kepada orang-orang kristen sebagai berikut:
Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas-batas
agamamu. janganlah katakan apa-apa
tentang Allah kecuali yang benar, Al Masih, Yesus putera Maria, tidak lebih
dari Rasul Allah dan firman-Nya yang Dia sampaikan kepada Maria: roh dari-Nya.
Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah katakan:
(tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu) Sesungguhnya Allah Tuhan
yang Maha Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, (QS: an-nisa’ /4:171)
Apakah
kenyataannya kita disini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki
faktor-faktor yang sama dalam memahami tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet
dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran didalam pernyataan
apologis-apologis kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog muslim
selalu keliru menafsirkan doktrin kristen tentang trinitas (tiga dalam satu)
sebagai triteisme (tiga Tuhan). (al-Qur’an memang memuat tradisi yang keliru,
boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisana yang diragukan
pengarangnya) tertentu, bahwa trinitas terdiri dari Tuhan bapak Maria Ibu Tuhan
dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang muslim semata-mata tidak dapat memahami apa
yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa kalau ada satu
ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi
dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan melapaskan keimanan pada satu
Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh Musa Yesus dan akhirnya
Muhammad. Mengapa adapula perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam tuhan?
Jelas
bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin kristen tentang
trinitas tidak memuaskan orang muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syiria,
Yunani, dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang
muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaiman mungkin satu dan
satu-satu-Nya Tuhan, tanya orang muslim, menjadi suatu percampuran
hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi, dan relasi-relasi?
Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang
tidak digabung dengan cara begini atau begitu?
Menurut
al-Qur’an, “orang-orang tidak beriman adalah mereka yang, mengatakan, Allah adalah
satu dari tiga ( atau berfaset-tiga dalam trinitas )” pandangan ini, mentah-mentah tidak diterima Muhammad,
bulat-bulat ditolak dengan pernyataan, “ tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Maha
Esa” (QS:al-Maidah / 5:73)
Bagaimana kita menilai
perbedaan-perbedaan utama?
Yang
berlaku bagi doktrin trinitas berlaku pula bagi kristolog. Jika orang-orang
kristen dan orang-orang Muslim saat ini ingin mencapai pemahaman lebih baik,
mereka harus kembali kepada asal-usul dengan mengambil sebuah sudut pandang
kritis terhadap seluruh perkembangan kemudian. Pada titik asal-usul, kita yakin
orang-orang yahudi, orang-orang kristen dan orang-orang muslim satu sama lain
lebih dekat.
Penelitian
ilmiah terhadap perjanjian baru mengakui betapa besar kesenjangan antara
pernyataan-pernyataan orisinal yang menyangkut bapak, anak dan roh dan doktrin
gerejawi tentang trinitas yang didokmatisasi kemudian, juga betapa
konsepsi-konsepsi kristologis perjanjian baru berbeda satu sama lain.
Sementara
misalnya kemudian injil Yohanes yang terpengeruhi secara hellenistik mengutip Yesus
ketika berbicara kemuliaan bahwa ia telah bersama Tuhan sebelum dunia mulai
(17:5), yang oleh para penafsir konservatif tidak dianggap sebagai kata-kata
historis Yesus, injil (-injil) pertama tidak mengetahui apa-apa tentang seluruh
virgin birth. Dan sementara dengan cerita bersemangat injil Yohanes
menggambarkan yesus hampir secara berlebihan sebagai ”seperti Tuhan”, ketika ia
mengembara di bumi, injil-injil sinoktik masih menampilkan yesus sebagai anak
manusia sepenuhnya yang melaluinya Tuhan bertindak. Para penafsir menunjukkan
khususnya kepada monolog-monolog kisah para Rasul yang di dalamnya lukas
menggunakan bahan dari suatu tradisi lama yang menempatkan Yesus secara total
lebih rendah dari Tuhan. Jelas Yesus dibicarakan sebagai hamba Tuhan, Al-Masih,
kristus Tuhan, pilihan Tuhan: Tuhan bertindak melaluinya, Tuhan bersamanya; dia
dibunuh sesuai rencana Tuhan, tetapi Tuhan mengangkatnya dari antara orang mati
dan membuatnya menjadi Tuhan dan Kristus, menunjukkannya sebagai anak Tuhan.
Tidakkah seluruh pernyataan lukas ini, yang diwarnai perspektif ”pungutan”,
masih punya tempat di dalam kerangka keimanan Yahudi dan Islam yang keras
kepada satu Tuhan? Sampai sekarang, ini adalah keimanan orang-orang kristen,
orang-orang kristen (yang) Yahudi.
Sungguh
memalukan tiada terkira bahwa, menyusul penghancuran Yerussalem di bawah kaisar
Hadrianus pada tahun 132 dan mengungsinya orang-orang kristen yahudi ke timur,
gereja yang berkembang hampir secara sempurna tercabut dari tanah yahudi.
Gereja yang awalnya dipadati orang-orang yahudi menjadi gereja orang-orang
yahudi dan gentiles (orang-orang non yahudi), dan ia kemudian menjadi gereja
gentiles (hellenistik). orang-orang kristen yahudi yang tidak turut serta dalam
pengembangan gereja hellenistik denagn kristologinya yang semakin eksesif
ditolak sebagi pembuat bit’ah, seperti kasus orang-orang ebioni, yang menerima
kelahiran yesus dari perawan suci menurut sejarahwan gereja Eusebius tetapi
menolak gagasan tentang pra-eksistensinya- sebagaiman ditolak oleh al-Qur’an.
Penelitian
kami ini sekali lagi tidak dimaksudkan mencoba menelusuri jejak Islam kembali
kepada Yahudi atau kristen. Sebagai gantinya, kami berusaha keras melihat Islam
secara sungguh-sungguh sebagai bentuk tantangan yang diperbarui bagi
orang-orang kristen, karena sejak masa Yohanes (Yahya) dari Damaskus, yang
menyangkal Islam sebagai suatu “bit’ah kristen”, karena Islam mengingatkan
orang-orang kristen pada masa lampau kristen yahudi mereka sendiri. Disini
nampaknya kita mempunyai contoh penting interdependensi dan interaksi antara
gerakan-gerakan agama yang berbeda dalam persoalan kemanusiaan, sebagaimana
ditekankan khususnya oleh W.C. Smith. Dalam bukunya korankunde firr chriten,
Paul schwarzenau adalah benar ketika mengatakan bahwa ”adalah unsur yahudi
dalam pesan kristen yang secara pasti memperlihatkan Al-Qur’an beruntung.
orang-orang kristen yahudi yang ingkar [terhadap unsur yahudi tadi-peni] sekali
lagi tampil kemuka”.[4]
Schwarzenau menggunakan analisis cerdas ahli tafsir besar protestan, Adolt
Schlatter, yang menganalisis di awal 1926 hubungan-hubungan antara kristen
gentile, kristen yahudi, dan Islam dalam
buku Die geschichte der ersten christenheit:
Gereja yahudi, bagaimanpun juga, mati hanya di Palestina
bagian barat. Yordania. Komunitas-komunitas kristen dalam praktek yahudi pada
sisi lain, berlanjut ada di daerah-daerah bagian-bagian timur, Decapolis, di
Batania, di antara orang-orang Nabatia, di tepi gurun Syiria dan ke Arabia,
mereka benar-benar terputus sama sekali dari sisa umat kristen dan tanpa
persahabatan dengan sisa [umat kristen tersebut]. Bagi orang kristen, orang
yahudi semata-mata musuh, dan akhirnya pandangan yunani pun yang melihat
sebelah mata kepada pembunuhan oleh jendral-jendral Troya dan Hadrianus dan
kepada takdir orang-orang yahudi jahat dan merendahkan-mencapai gereja.
Bahkan orang-orang terkemuka kristen seperti origen dan Eusebius dengan sangat
mencengangkan tidak perduli pada kehancuran yerussalem dan gereja disana.
Demikian pula informasi yang mereka tinggalkan untuk kita mengenai gereja
yahudi dalam keberadaannya yang kemudian hanya sedikit mereka, orang-orang
kristen yahudi [sic] adalah pembawa bit’ah lantaran tidak tunduk pada hukum
yang berlaku bagi umat kristen yang lain dan karena itu mereka pun terceraikan
dari umat kristen yang lain itu. tak satu pun dari pemimpin gereja kekaisaran
mengira bahwa umat kristen yang mereka anggap rendah itu suatu saat akan
menyaksikan betapa kehadirannya akan mengguncangkan dunia dan membelah-belah
wilayah gereja yang telah mereka bangun. Saat itu pun tiba, yaitu ketika
Muhammad mengambil alih kekayaan yang dikembangkan oleh orang-orang kristern
yahudi, kesadaran mereka terhadap Tuhan, eskatologi mereka dengan pernyataan tentang
Hari pengadilan, adat dan legenda-legenda mereka, dan ketika muhammad memulai
kerasulan baru sebagai orang yang dikirim Tuhan.[5]
Lalu,
apakah Muhammad, kata Schlatter, adalah seorang “ Rasul judaeo-Kristen” berbaju
Arab? Ini merupakan bagian pandangan mencengangkan yang oleh schlatter secara
kebetulan diperkuat lebih mendalam diawal 1918 lewat sebuah esei berjudul “Die Ent Wickiung Des Judis
Chen Christentums Zum Islam”.[6] Bagaimanapun,
bahkan empat puluh tahun sebelum Schlatter, Adolf Von Harnack telah
memperhatikan efek terluas dari kristen yahudi terhadap Islam, atau secara
lebih tepat Kristen Yahudi Gnostik, dan khususnya orang-orang Elkesi, terlepas
dari keinginan mereka, yang mempertahankan monoteisme keras dan menolak ajaran
gerejawi tentang hipostasis dan anak Tuhan. Ini terdokumentasi di dalam sejarah
dognatika Harnack.
Mengingat
keadaan penelitian sekarang ini, segala ketergantungan langsung Islam apa saja
yang dibuktikan lewat bahan-bahan asal akan terus menjadi perdebatan, tetapi
analogi-analoginya senantiasa mengagumkan. Muhammad menolak kritologi anak
Tuhan (monofisitik) yang sangat ortodoks, tapi menerima Yesus sebagai Rasul
yang besar, sebagai al-masih yang membawa Injil. Sarjana Yahudi Hans-Joachim
schoeps dengan benar mengatakan dalam theologie und Geschichte des
jundenchristentums (Tubingen, 1949) bahwa:
Walaupun tidak mungkin membuktikan hubungan yang pasti
sekali, tentu saja ada hal yang tidak dapat diragukan tentang ketergantungan
langsung Muhammad pada kristen Yahudi sektarian. Denga demikian fatwa bahwa
Kristen Yahudi telah lenyap dari gereja tetapi terpelihara didalam Islam dan
berlanjut bahkan hingga saat ini didalam beberapa gerakan hati Islam yang utama,
merupakan sebuah paradok yang luar biasa besar dalam sejarah dunia.[7]
Cukup
mengherankan, bagian-bagian pandangan historis ini hampir tidak diketahui dalam
teologi Kristen sampai sekarang, apalagi diterima dengan sungguh-sungguh.
Banyak yang perlu diteliti dalam hal ini, seperti sejarah sepupu Muhammad
(sepupu Khadijah), waraqah, yang sebagai seorang kristen (yang hampir tidak
kena pengaruh Yunani) menarik perhatian Muhammad mula-mula kepada hubungan
antara pengalaman-pengalaman wahyu Muhammad dan pengalaman-pengalaman wahyu
Musa. Dengan kemungkinan seperti itu, siapa yang bisa mengabaikan kenyataan
bahwa disini terdapat kemungkinan-kemungkian tak terbayangkan bagi dialog segi
tiga yang sama penting “trialog” antara orang-orang Yahudi, orang-orang
Kristen, dan orang-orang Muslim? Apapun keputusan menyangkut persoalan
ketergantungan genetik, dalam interpretasi Muhammad tentang Yesus,
tradisi-tradisi Kristen Yahudi yang dihapuskan, disingkirkan dan dilupakan di dalam
gereja hellenistik muncul kembali dalam sejarah; dan Kristen Yahudi ini untuk
sebagiannya telah mempertahankan perhatian Yahudi yang utama terhadap Kristen
awal.
Harus
dilupakan bahwa dalam perjuangannya untuk tetap bertahan menolak politeisme Arab
kuno, yang meyakini Allah mempunyai anak-anak lelaki dan perempuan yang
semuanya dapat dibayangkan, Muhammad tidak mempunyai pilihan selain menolak
istilah “anak Tuhan”. Pada saat yang sama, betapapun juga, Muhammad mengambil
cerita Yesus sebagaimana yang beredar saat itu di Arab dan memberinya arti dari
pikirannya sendiri. Apa yang terjadi begitu sering di dalam bibel sekarang
terjadi juga di dalam al-Qur;an :suatu tradisi tua tidak semata-mata
diteruskan, tetapi ditafsirkan agar relevan dengan sudut pandang pengalaman
kontemporer. Ini pula yang terjadi dengan perjanjian baru. Persis seperti
orang-orang Kristen telah menggunakan banyak uangkapan (“kenabian-kenabian”)
perjanjian lama untuk merujuk pada Yesus, walaupun ungkapan-ungkapan tersebut
dimaksudkan untuk arti yang berbeda. Maka Muhammad pun menggunakan banyak hal
yang telah ia dengar tentang Yesus untuk merujuk pada dirinya sendiri. Bagi
Muhammad, kebesaran Yesus disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam dan melalui
diri Yesus sebagai hamba Tuhan, Tuhan sendiri telah berkarya. Dengan demikian,
“kristologi” Muhammad tidak terlalu jauh bergeser dari kristologi gereja
Kristen Yahudi. Apa konsekuensi-konsekuensi dari semua penemuan-penemuan ini?
Apa yang harus kita katakan?
Kita
dihadapkan pada suatu problema momen yang luar biasa, konsekuensi-konsekuensi yang
belum nampak. Melihat bahwa penemuan-penemuan tafsir dan sejarah yang kami
urai diatas adalah akurat dan dapat
dijelaskan lebih jauh lagi, maka penemuan-penemuan tersebut merupakan tantangan
bagi kedua belah pihak untuk menghentikan berpikir perihal alternatif-alternatif,
Yesus atau Muhammad. Sebaliknya kedua belah pihak harus berpikir mengenai ……..
yesus dan Muhammad, terlepas dari semua keterbatasan dan perbadaan. Muhammad
bertindak sebagai saksi Yesus, bukan bagi seorang Yesus, Sebagaimana yang dapat
dipandang oleh orang-orang Kristen non- Yahudi Hellenistik, tapi bagi Seorang
Yesus sebagaimana dipandang oleh murid-murid pertamanya, yang adalah
orang-orang Yahudi seperti Yesus itu sendiri. Untuk menghindari kesalah pahaman
sejak permulaan dalam mendekati masalah ini, yang sangat sulit bagi orang-orang
Muslim dan orang-orang Kristen, kita harus memperhatikan hal berikut. Sebagai
seorang Kristen non-Yahudi Eropa, saya dapat sepenuhnya memahami perkembangan
Hellenistik dari kristologi dan dapat menerima kebenaran konsili-konsili
kristologis besar dari Nicaea hingga…….: dipandang dari sudut Perjanjian Baru,
maksud-maksud dan isi konsili-konsili tersebut tentu saja bisa diperkokoh. Saya
tidak percaya bahwa seorang Kristen hari ini dapat atau harus secara naif
memulai lagi semuanya dan menjadi seorang kristen Yahudi, katakanlah
begitu, tetapi dalam konteks Ecumenis (dalam
hubungan dengan orang Muslim dan orang-orang Yahudi), saya dibayangi sebuah
pertanyaan : bagaimana saya dapat membuat seorang Muslim (atau seorang Yahudi)
memahami kenapa orang-orang Kristen mempercayai Yesus sebagai Kristus, firman
dan wahyu Tuhan? Yang menjadi tabiat saya kini, saya mempunyai hak penuh
menarik perhatian kepada pilihan Krristologis yang orisinal dan sepenuhnya sah
yang, walaupun ditepikan dan disembunyikan, dimulai di dalam komunitas Gereja
Kristen Yahudi paling tertua dan diteruskan selama berabad-abad oleh komunitas-komunitas
gereja Kristen Yahudi yang terpencar-pencar dari timur Yordania hingga Arabia,
dan dengan demikian pada akhirnya beralih kepada Muhammad. Saya juga masih
bertanya-tanya apakah mungkin terdapat kategori yang sudah ada yang dengan
lebih mudah yang memungkinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Muslim
mengerti Yesus ini sebagai wahyu Tuhan dari pada sebagai ajaran Hellenistik
tentang dua tabiat, yang Ilahi dan yang manusiawi dalam pribadi Ilahi yang
satu. Lalu, bagaimana seorang Muslim, mungkin dengan melihat dari suatu
persepektif ecumenis seperti itu, mencoba melihat Yesus ini, dan demikian juga
bagaimana juga seorang Kristen mungkin melihat Muhammad.
a. Dengan cara apa orang-orang muslim dapat memandang Yesus?
Saya akan meringkas pikiran-pikiran saya disini secara sangat singkat:
Orang-orang
Muslim melihat Yesus sebagai Nabi besar dan utusan Tuhan Yang Esa, sosok yang secara khusus diangkat
untuk menjadi “Hamba Tuhan” oleh Tuhan sendiri, sejak dari kelahirannya hingga
pemuliaanya kehadirat Tuhan-orang yang, bersama dengan pesan yang ia sampaikan
adalah penting selama-lamanya bagi Muhammad. Tentu saja bagi orang-orang
Muslim, Muhammad dan al-qur’an yang diterimanya akan tetap menjadi, seperti
sebelumnya, petunjuk yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, kehidupan
dan kematian. Betapapun juga, jika didalam al-Qur’an Yesus diistilahkan sebagai
“firman” Tuhan dan pembawa “Injil”.
Bukankan orang-orang Muslim harus mencoba memperoleh suatu pemahaman lebih luas
tentang Injil ini dan menerimanya secara sungguh-sungguh? Hukum Islam, yang
kerap dicirikan oleh penindasan dari perspektif
pesan dan tingkah laku Yesus, dapat dilihat dalam suatu pengetahuan yang
lebih relatif (berkaitan), demi Tuhan dan kemanusiaan. Dan manusia, meski tidak
terbebas dari hukum itu sendiri, akan terbebas dari legalisme – sama halnya
dengan kasus orang-orang Kristen Yahudi.
Dengan
cara ini, akan diperoleh suatu pemahaman baru dan lebih mendalam tentang Tuhan
yang mencintai dan menderita bersama rakyat, yang mempertimbangkan kehidupan
Yesus, kematiannya-yang tidak bisa ditolak-dan kehidupan barunya. Maka kematian
Yesus atas nama Tuhan ini dapat memberikan makna penderitaan dan kegagalan, dan
tidak mempunyai arti apa-apa bila dipahami dipermukaan saja.
b. Dengan cara apa orang-orang Kristen dapat memandang
Muhammad? Banyak orang Kristen dengan jelas memandangnya sebagai Nabi yang
penting bagi banyak bangsa di bumi seseorang yang telah diberkahi dengan
kesuksesan yang luar biasa seumur hidupnya.
Tentu
saja bagi orang-orang Kristen, Yesus Kristus dan berita baik yang ia sampaikan merupakan ukuran yang menetukan
bagi keimanan dan tingkah laku, hidup dan mati, firman Tuhan yang definitif
(ibrani 1:1ff). oleh sebab itu , Kristus adalah dan tetap merupakan faktor
pengatur yang menentuka bagi orang-orang Kristen, demi Tuhan dan kemanusiaan.
Bagaimanapun juga, tidakkah orang-orang Kristen, harus sesuai dengan ajaran
perjanjian baru bahwa mereka masih mengakuai kehadiran Nabi-nabi bahkan setelah
kristus, menerima Muhammad ini, yang mengambil tradisi Kristen Yahudi, dan
nasehat-nasehatnya dengan lebih sungguh-sungguh? Hal ini tak lain agar :
·
Tuhan yang tak
terbandingkan dan yang Esa ditempatkan sepenuhnya dipusat keimanan;
·
Persekutuan
Tuhan-Tuhan lain adalah mustahil;
·
Iman dan hidup,
ortodoksi dan ortopraksis bersama-sama bahkan menjadi bagian politik.
Oleh
karenanya Muhammad akan berulang-ulang memberikan koreksi profetik kepada
orang-orang Kristen atas nama Tuhan Yang Esa dan sama : “aku tidak lain
hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan” (QS:46:9)
Saya
bertanya-tanya kepada diri sendiri: jika seorang muslim atau Yahudi dapat
diharapkan mengakui konsili-konsili Hellenis dari Nicea hingga Khalcedan, apa
yang kan dilakukan oleh Yesus dari Nazareth, orang Yahudi? Pertanyaan ini
penting tidak hanya terbatas untuk seorang Kristen Arab saja, malainkan juga
bagi seorang Kristen Afrika, India, Indonesia, China, atau Jepang.
Akhirnya
– dan akan saya tutup disini – islam dan kristen terlibat dalam keputusan
keimanan yang harus diciptakan secara rasional dan bertanggung jawab baik bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain. Sebagai seorang kristen saya bisa yakin
bahwa, sejauh saya telah memilih Yesus ini sebagai Kristus untuk hidup dan mati
saya, saya juga telah memilih pengikutnya, yaitu Muhammad, lantaran Muhammad
juga berseru kepada Tuhan yang sama dan Satu, dan Kepada Yesus.
Didalam
buku pedoman anjuran-anjuran bermanfaat yang dipesan oleh gereja protestan di
Jerman yang berjudul christen and Muslime im Gespruch(diterbitkan oleh
J.Micksch dan M. mildenberger, 1982), perhatian diminta dengan adil, paling
tidak secara singkat, untuk hubungan yang mungkin antara Islam dan Kristen
Yahudi:
Hal yang paling penting ialah bahwa orang-orang kristen dan
orang-orang Muslim tinggal didunia yang yang sama dan harus membuktikan
keimanan mereka. mereka tidak selalu bereaksi dengan cara yang sama terhadap
seluruh tantangan dunia ini. Walaupun begitu, terlepas dari semua perbedaan,
orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim diwajibkan oleh keimanan mereka
hidup dengan tanggung jawab di hadapan Tuhan dan melayani masyarakat manusia.
Dengan penuh penghormatan satu sama lain, mereka tidak boleh gagal untuk saling
memberikan bukti keimanan mereka satu sama lain (edisi Jerman hal. 12ff)
BAB III
Tuhan Yang Diciptakan Dan Tuhan Yang Sebenarnya
oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
M.H.
Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan
saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya
memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang
Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak
jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan
pembahasan tentang Tuhan. Siddharta Gautama tidak memberikan penjelasan dan
doktrin tentang Tuhan. Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan
telah "memiskinkan" Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan.
Buddisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.
Pegawai
yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim).
tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan
besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman
dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan
"begitu". Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20
sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang,
Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar,
Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti
bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan.
Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa
manusia yang terbatas.
Pegawai
itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang
sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan.
Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang
sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan
adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak
dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan
"begini" dan "begitu".
Mendengar
kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu
saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan
skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen,
Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh
menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap "pukulan
keras" itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi
mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan
yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka
pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia
dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan
manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan,
dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan
dengan-Nya?
Ibn
al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang
yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya
kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang
benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa
Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan
Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi
menyebut Tuhan yang dipercayai manusia
"Tuhan
kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai"
(al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi
al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan
yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan
yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).
Kata
i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan
"kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut,
membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan,
menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan,
memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan,
mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata
i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti
menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad,
"kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat dengan
kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar.
Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan
(binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud
Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek
manusiawi.
Kepercayaan
seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas
pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada
"kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu
hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad
al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada
sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah),
yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan
menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk
mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau
"dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang
dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah
identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan
yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.
Tuhan
memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia memberi
segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab
antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya;
jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata
tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan
yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh
kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia
dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.[8]
"Tuhan
kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide,
atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya.
Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada
diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai
dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu
adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep,
ide, atau gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan
kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah"
Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan
persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui
diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn
al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya"
(Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits
qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana
'inda zhann 'abdi bi).[9]
Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan
manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat
diketahui.
Menarik
untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini,
yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku"
(Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan
menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang
kita bersangka buruk tentang Dia.[10]
Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha
Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh
bersangka bahwa Tuhan adalah "pengawas yang selalu mencari
kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak", atau
"tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita
untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w.
berkata: "Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan
buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya
berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik
Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan
yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik
Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap
antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia
Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya
sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia,
tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan
menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan
mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri.
Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang
Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.[11]
Sebagaimana
dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia.
Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi
berkata:
Tuhan
kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya.
Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada
dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain.
Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat
demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah
bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang
lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd,
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan
memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan
mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.[12]
Teori
Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada
sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada
hari kiamat.[13]
Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya
kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak
oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang
yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa
sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah
satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan
Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak
menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka
bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan
kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh
ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan"
orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah
berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh
siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama').
Yang dimaksud dengan "siapayang di langit" dalam hadits ini adalah
Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan
dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky
God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit]
("the Heavenly God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi"
("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian,
keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan.
Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain
di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan
dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih
tepatnya, disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam
kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan
Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan
dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan
yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai "Tuhan
Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang
menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan
Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana
dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person,"
seorang "pribadi". Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan
agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah
"personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan
"impersonal", bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia
bukan "Itu" ("It").
Pengaruh
kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap
"Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam
kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang
berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan
dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang
berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi
adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak
mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang
rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah
Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.[14]
Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan
sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi
sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung
kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan
dari langit, sering disebut "agama-agama samawi", "agama-agama
langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di
langit", maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti "turun dari
langit", "naik ke langit", dan "berada di langit", lazim
digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman
spritual.
Sekali
lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan,
bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak
pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan
bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah
bertuhan kepada simbol-simbol.
Di
mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan
lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya
sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu,
bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam
bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari
Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda
itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten,
tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang
berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang
yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn
al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka
berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu
kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain
yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang
banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu
yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar
untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana
pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan
arah tertentu mana pun.[15]
Pengetahuan
yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan
yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah
pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena
itu, "para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan
dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan,
bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu
dan sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu
Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap
bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."[16]
Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan
tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn
al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God"
(al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God"
(al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak Diketahui", "the
Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah
(tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam,
transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q.,
s. al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia
mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang
tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat
Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat
dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah "yang paling tidak
tentu dari semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari
semua yang tidak diketahui" (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya
suatu misteri, yang oleh Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut"
(al-ghayb al-muthlaq) atau "Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb
al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa
Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh
siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan
Tuhan. Beliau bersabda: "Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan
berpikir tentang Dzat Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan
orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn
al-'Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Allah memperingatkan kamu
tentang diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi menegaskan
sebagai berikut:
Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum
dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara
rasional maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang berpikir tentang Zat
Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah memperingatkan kamu
tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu "Jangan kamu
berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada
hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.[17]
Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena
Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada
nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan
pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu
[untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak
ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.[18]
Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan
berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan
al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia
memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan
bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian
Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia,
adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa
berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang
menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk
menghadapi Fir'awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu.
Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa
diri-Nya, Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan
yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku"
("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I will
be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang
Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang esa itu
menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, "Wujud ('Being') yang esa
dan universal," sebagai "Wujud yang adalah Wujud" ("Being
that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi.
Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan
Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya,
dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah disebut Ain,
"Ketiadaan" ilahi (the divine "Nothingness").[19]
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan
ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka
berbicara tentang Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia
Yang adalah Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan
bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula
sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan
demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.[20]
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa
diri-Nya tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan
oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau
karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa
diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia
pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan
kemuliaanNya, Dia berfirman:
"Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena
tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan
berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas
batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk
batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat.
Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi
wajah-Ku tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak
begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes
mengatakan: "Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes
1:18). Surat Paulus kepada Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam
dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan
memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1 Timotius 6:16).
Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode
Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan
Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah
dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman
(incomprhensibility) Tuhan.[21]
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang
Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan
Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan
oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita
ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang
diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita
ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi
dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah
wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya
pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang
disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat
--ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia.
Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar
--ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia.
Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu
adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau
mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa
engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri
anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau
dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena Upanisad).
Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan
selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad
mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini,
bukan ini", "bukan ini, bukan itu" ("neti, neti").
Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna").
Karena itu, Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada
tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya
dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat
dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat
disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1).
Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan:
Tao Yang Agung tidak
dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi
Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan Hati Yang
Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan Hati Yang
Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian Yang Agung
bukanlah menyerang;
Jika Tao dijelaskan,
itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze,
Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat
diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah
Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang
Absolut itu oleh Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala
misteri" ("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut
"Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau
"Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being"
("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau
"Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana,
tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud'
sebagaimana biasanya dipahami".[22]
Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi
disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling
Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam
tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".
C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang
selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan.
Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak
diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan
manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang
transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia?
Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma
berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai
persoalan "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan"
("saying what cannot really be said").[23]
Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal
lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking
of the unspeakable"),[24]
"mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the
Unknowable God"),180[25] "menamai
yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak dapat
dinamakan" ("naming the unnamable"),[26]
"mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the
inexpressible"),[27]
"memikirkan yang tidak dapat dipikirkan" ("thinking of the
unthinkable"), "memahami yang tidak dapat dipahami"
("comprehending the incomprehensible"), "membayangkan yang tidak
dapat dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan
"melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing the
indescribable").
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini
adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik"
("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the
theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman transenden
tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak
mengetahui" ("knowing by unknowing") dan suatu "melihat
yang bukan melihat" ("seeing that is not seeing").[28]
Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis
anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi
apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik
diketahui dengan penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang
apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" ("we can
know much more about what God is not than about what He is").[29]
Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal
"mengetahui" dan "tidak mengetahui." Menjelang bagian akhir
karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip
kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis
berkata, 'Mengetahui yang paling saleh [paling tinggi] akan Tuhan adalah
[mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'" ("And therefore
St. Denis said 'The most godly knowing of God is that which is known by
unknowing'").[30]
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar
yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui
Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui;
kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".[31]
Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak
dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan
dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta.
"Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi
tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi
dengan pikiran tidak".[32]
Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya
dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya
"getaran buta dari cinta" ("the blind stirring of love")
yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan"
("The Cloud of Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu
pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh
Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang
rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi.
Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara
afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya
karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan
mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang
diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal.
Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari
Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak
juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi.
Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan
penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai
Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan
disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek
itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam
hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan
cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan
Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri
yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya
dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu
"keheningan mistik" ("mystic silence") yang membawanya
kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia
pada diri-Nya".[33]
Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung
dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau
"ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang
hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima
pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah
dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep, di luar
pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar "kegelapan ilahi".
Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi,
imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu
yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari
memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan
"mengetahui dengan tidak mengetahui".
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme
apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan,
misalnya, pada Maximus Sang "Confessor", Yohanes Scotus Erigena,
Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan
teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang
bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh
manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang
dalam sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat
Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu;
"ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan
awan Tuhan".[34]
Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan
semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak
terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang
tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut
bittul ha-yesy, "kemusnahan eksistensi" dalam Ain,
"Ketiadaan" ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan
"kontemplasi tentang Ketiadaan"[35]
Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi
diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang
harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi
tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam
Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar
mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar
pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui.
Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya
di seberang pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar
tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak
mengetahui-Nya."
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana
Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan
"peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan
tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia
berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia
mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena "pengetahuan kita tentang
Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui
batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah
salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".[36]
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn
al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi"
["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz
'an dark al-idrak idrak).[37]
Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan
segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui
bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar
mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia
mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang
bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat
mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan"
(Q., s: al-An'am/6:103)?
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia
tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan
yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak
mengetahui" atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan
pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa
manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi
adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk
menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The
Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat
dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan
pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai
dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin
mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan
mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus
mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah:
'Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya
Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku menunjukkan cinta-Ku kepada
beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi
hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu
menuruti perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku
menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya" (Yohanes
15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan
terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan
sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang
di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada
kesempatan lain beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara
kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri".
Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu
seperti mencintai dirimu sendiri." (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu
cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau
Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan
protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf
yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan
sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang
yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik
menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam
bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan
tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang
dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak
cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang
lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun
sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan
akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah "hamba nalar"
('abd nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).
Wa 'l-Lah-u a'lam-u
bi 'l-shawab.
BAB IV
Pendahuluan: Retorika Dialog
“….dan berpisahlah tiga orang bijaksana
itu satu sama lain penuh cinta dan dengan cara yang sangat menyenangkan: mereka
saling meminta maaf satu sama lain andaikata telah mengucapkan kata-kata yang
kurang berkenan mengenai agama sahabatnya itu; dan mereka saling memberi maaf
satu sama lain. Ketika mereka mau berpisah, salah satu orang diantaranya
berkata: suatu manfaat mesti kita dapatkan dari pertualangan yang telah terjadi
pada kita dihutan itu. Tidakkah baik kalau kita, mengikuti contoh lima pohon
dan sepuluh kondisi sebagaimana ditampakkan oleh bunga mereka, membicarakan
setiap datangnya hari baru petunjuk-petunjuk yang diberikan kepada kita
oleh sang sang kebijaksanaan? Pembicaraan kiita harus dilanjutkan sejauh
perlu, sampai kita mencapai satu iman dan satu agama, sehingga kita mempunyai
satu bentuk cara menghargai satu sama lain dan melayani satu sama lain. Itulah
jalan tercepaat untuk sampai kepada kesepakatan timbal balik. Sebab peperangan,
kerja paksa dan kecurigaan akan mengakibatkan luka dan malu, merintangi orang
dalam usahanya mencapai persetujuan dalam satu kepercayaan.”
Bab-bab berikut ini tidak bermaksud
menguraikan sesuatu teori perjumpaan agama, melainkan merupakan bagian dari
perjumpaan itu sendiri. Atas dasar praktis inilah saya ingin mengusulkan sikap-sikap
dan model-model berikut sebagai retorika yang cocok dalam pertemuan
tradisi-tradisi agama.
Sementara ini tak ada maksud saya menguraikan
nilai dari sikap-sikap itu atau manfaat-manfaat dari model-model
itu, sebab untuk itu perlu mempelajari fungsi dan sifat dasar metafora dan juga
mengembangkan suatu teori yentang perjumpaan agama. Saya hanya melukiskan
beberapa sikap dan model, walaupun saya mungkin mengkhianati simpati saya
dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan kritis. Dialog membutuhkan suatu
retorika yang memadai-dalam arti kata yang klasik.
1. Tiga Macam Sikap
a. Eklusivisme
Seorang anggota dari suatu agama yang
menjalankan kepercayaannya pastilah menganggap agamanya sebagai benar. Tuntutan
kebenaran yang diperlukan mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan
eklusivitas. Artinya, kalau suatu pernyataan
dinyatakan benar, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bias benar.
Dan jika suatu tradisi manusia mempunyai suatu anggapan telah menyumbangkan
suatu konteks universal untuk kebenaran, apa saja yang bertentangan terhadap kebenaran universal tersebut harus
dinyatakan salah.
Sebagai contoh, jika islam mewujudkan
agama yang benar, kebenaran yang non-islam tidak dapat digolongkan dalam bidang
agama. Tentu saja, suatu tradisi agama yang sudah berjalan lama akan
mengembangkan kekhususan-kekhususan yang penting supaya tidak tampak terlalu
bodoh. Dinyatakan, misalnya, bahwa ada tingkat-tingkat kebenaran dan sesuatu
kebenaran agama. Jika sungguh benar, dengan sendirinya adalah kebenaran muslim.
Walaupun orang yang menganutnya mungkin tidak menyadari hal itu. Lebih jauh hal
itu akan membedakan tatanan objektif kebenaran dari tatanan subjektif, sehingga
seseorang dapat memeluk iman yang baik sekalipun berada dalam kesalahan
objektif, sesuatu kesalahan yang tidak dapat ditimpakan begitu saja pada orang
itu dsb.
Sikap ini mengandung unsur kepahlawanan
tertentu. Anda menyucikan hidup anda dan membaktikan seluruh eksistensi anda
untuk sesuatu yang sungguh pantas disebut sebagai perkara manusia, untuk
sesuatu yang menyatakan diri bukan sekedar kebenaran parsial dan tidak
sempurna, melainkan suatu kebenaran universal bahkan absolut. Suatu Allah atau
Nilai yang mutlak, tentu saja, harus menjadi jaminan terakhir untuk sikap yang
semacam itu, sehingga anda bukannya mengikuti karena kecerdikan pribadi
atau karena anda telah mengangkat begitu
saja sudut pandangan Anda ketaraf nilai absolut. Kepentingan Allah lah yang
anda bela ketika menyatakan agama anda sebagai agama yang mutlak. Hal ini tidak
berarti langsung mengutuk kepercayaan-kepercayaan semua orang lain yang tidak
menerima rahmat panggilan sebagai anda miliki. Anda boleh menganggap panggilan
itu sebagai beban dan kwajiban (untuk memikul tanggung jawab yang dialami orang
lain bagi seluruh dunia) lebih dari pada sebagai suatu keistimewaan dan suatu
karunia. Siapakah kita ini sehingga berani menaruh ketentuan-ketentuan pada
Yang Maha Kuasa?.
Pada sisi yang lain, sikap ini
menimbulkan kesukaran-kesukarannya. Pertama, sikap ini membawa besertanya
bahaya yang nyata akan intolereansi, kesombongan, dan penghinaan bagi yang
lain. “kami menjadi anggota
kelompak kebenaran”. Lebih lanjut sikap ini mengandung kelemahan
intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni
dan sikap yang tidak kritis dari kenaifan epistemologis. Kebenaran mempunyai
banyak segi; bahkan jika anda menganggap bahwa Allah berbicara dengan suatu
bahasa eksklusif, segala sesuatu tetap bergantung pada pemahaman anda akan hal
itu sehingga anda tidak pernah sungguh mengetahui apakah interpretasi anda
adalah satu-satunya yang benar. Dengan
menunjuk pada instansi diluar manusiawi
dalam diskusi antara dua kepercayaan agama tidak akan memecahkan suatu persoalan
pun, sebabnya yang terjadi biasanya Allah pun “berbicara” kepada yang lain, dan
kedua lawan bicara yang mengandalkan autoritas Allah akan selalu membutuhkan
pengantaran manusia, sehingga autoritas Allah pada akhirnya tergantung pada
interpretasi (tentang pewahyuan ilahi) dari manusia.
Pada kenyataannya, walaupun de facto
sekarang ada banyak sisa-sisa sikap eksklusivistik, namun de jure hampir tak
mungkin dipertahankan. Menggunakan skandalon Kristen untuk membela
kristianitas, misalnya, bisa diartikan sebagai penyangkalan atas apa yang
dinyatakan sendiri batu sandungan itu. Sebab mengutuk yang lain dan membenarkan
diri sendiri sehingga menggunakan skandal (batu sandungan) perwahyuan Allah
sebagai alasan dasar untuk mempertahankan sikapnya sendiri justru bisa menjadi
puncak kemunafikan; perwahyuan ilahi berhenti menjadi skandal bagi anda –
karena anda tampaknya menerimanya tanpa skandal- dan anda mengenakan sandungan
itu pada orang-orang lain.
b. Inklusivisme
Dalam konteks dunia sekarang, orang
hamper tidak dapat gagal untuk menemukan nilai-nilai yang positif dan benar
bahkan menyangkut tatanan yang paling tinggi-harus diluar tradisi orang itu
sendiri. Agama-agama tradisional harus menghadapi tantangan ini. Isolasi yang
ketat tidak mungkin lagi. Maka kondisi yang paling masuk akal untuk membela
kebenaran tradisi orang itu sendiri adalah dengan menyatakan pada saat yang sama bahwa hal itu meliputi
semua saja yang ada yang berkaitan dengan kebenaran pada tahap-tahap yang berbeda dimana pun. Sikap inklusivistik
akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara demikian
sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Pada saat
berhadapan dengan suatu kontradiksi yang
nyata, misalnya, suatu pembedaan yang perlu pun dapat dibuat antara
tataran-tataran berbeda sehingga dimungkinkan untuk mengatasi kontradiksi itu.
Hal ini akan lebih membawa kearah universalisme dari cirri eksistensial atau
formal dari pada isi esensialnya. Suatu kebenaran doctrinal hampir tidak dapat
diterima sebagai yang universil jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya
yang spesifik, karena pencerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu forma
mentis yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran
yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Suatu pola paying atau struktur formal dapat dapat mudah
mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
Sebagai contoh, jika Vedanta sungguh
akhir dan puncak dari semua veda, padahal
vedayang lain ini mewakili semua type pewahyuan pokok, hal itu tampaknya
berarti bahwa semua penegasan manusia yang sejati mempunyai tempatnya dan skema
veda itu karena penegasan-penegasan itu memperlihatkan tingkat-tingkat yang
berbeda dalam perkembangan kesadaran manusia dan mempunyai nilai dalam konteks
particular dimana dmereka dinyatakan. Tidak ada yang ditolak dan semuanya cocok
pada tempat yang selayaknya.
Sikap demikian ini memuat kualitas
keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri
dan tanpa perlu mengutuk yang lain. Anda bahkan dapat masuk kedalam persekutuan
erat dengan semua jalan kehidupan lainnya dan, jika anda mempunyai pengalaman
inklusivitas yang nyata, anda boleh jadi berdamai tidakhanya dengan diri anda
sendiri, tapi dengan jalan manusia lainnya maupun dengan jalan ilahi. Ibadah
anda dapat menjadi konkret dan pandangan anda dapat menjadi universal.
Pada sisi lain, sikap ini juga membawa
beberapa kesulitan. Pertama, ia juga menimbulkan bahaya kesombongan, karena
hanya andalah yang mempunyai previlese atas penglihatan yang mencakup semua dan
sikap toleran; andalah yang menentukan bagi yang lain tempat yang harus mereka
ambil dalam alam semesta. Anda toleran menurut anda sendiri, tetapi tidak dalam
pandangan mereka yang menggugat hak anda untuk berada dipuncak. Lebih jauh ada
kesulitan-kesulitan intrinsik dari konsepsi kebenaran yang hampir-hampir tidak
logis dan suatu kontradiksi yang melekat didalam sikap itu, ketika sikap itu
diuraikan dalam teori dan praksis.
Jika sikap ini menerima ekspresi
‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengkuh system-sistem
pemikiran yang berlainan pun, ia terpaksa membuat kebanaran bersifat relative
murni. Kebenaran dalam arti ini tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang
independen, karena berlainan bagi orang atheis dan orang teis. Jadi kebenaran
juga merupakan suatu hal yang berlainan bagi anda sendiri, kecuali anda
meloncat keluar dari model karena andalah yang mempunyai petunjuk, andalah yang
menemukan tempat untuk semua pandangan dunia yang berbeda-beda. Tetapi kemudian
kepercayaan anda, konsepsi, ideologi, intuisi atau nama apapun yang kita pakai,
menjadi supersistem pada saat anda menyusunnya; anda sepertinya memahami
pandangan yang lebih rendah dan meletakkannya pada tempat yang sesuai. Anda
tidak dapat menghindari untuk menyatakan diri anda sendiri sebagai pemilik
pengetahuan yang lebih tinggi bahkan jika anda menyangkal bahwa keyakinan anda
adalah sesuatu pandangan yang lain. Selanjutnya, jika anda berkata bahwa posisi
anda hanyalah hasil yang tak terperikan dari pandangan mistik, pada saat anda
menjalankannya tidak ada sesuatupun yang mencegah yang lain untuk mendapatkan
dan merumuskan dugaan implisit dari sikap itu. Akhirnya, anda menyatakan
sebagai pemilik kebenaran yang lebih penuh dibandingkan dari semua orang lain
yang hanya mempunyai kebenaran-kebenaran parsial dan relatif.
Pada kenyataannya, walaupun masih
banyak tendensi dalam beberapa tradisi agama yang menganggap diri mereka
sendiri sama sekali inklusif, dewasa ini hanya
ada sangat sedikit rumusan teoretis dan filosofis dari sikap yang
semata-mata inklusif itu. Kenyataan pluralisme dewasa ini begitu kuatnya,
sehingga tidak mungkin diabaikan begitu saja.
c. Paralelisme
Jika agama anda
tampaknya jauh dari sempurna, namun bagi anda tetap merupakan suatu simbol dari
jalan yang benar dan keyakinan yang sama rupanya berlaku bagi yang lain pula;
jika anda tidak dapat menolak klaim agama yang lain tetapi juga tidak mungkin
memasukkannya secara utuh kedalam tradisi anda, maka alternatif yang masuk akal
adalah untuk menganggap bahwa semua kepercayaan berbeda-beda yang mesti
berliku-liku dan bersimpangan, sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu
pada akhirnya, pada eschaton, pada akhir peziarahan manusia. Maka agama akan
merupakan jalan-jalan yang sejajar dan kewajiban kita yang paling mendesak
seharusnya adalah untuk tidak mencampuri yang lain, tidak untuk menobatkan
mereka atau bahkan untuk meminjam dari mereka, melainkan untuk memperdalam
tradisi kita sendiri-sendiri sehingga kita bisa bertemu pada akhir waktu, dan
dalam lubuk kedalam tradisi kita sendiri. Jadilah seorang kristen yang lebih
baik, seorang marxis yang lebih baik, seorang hindhu yang lebih baik, dan anda
akan menemukan kekayaan yang tidak terduga dan juga titik-titik hubungan dengan
jalan-jalan orang lain.
Sikap ini memberikan keuntungan yang
sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang lain serta tidak mengadili
mereka. Sikap ini menghindari sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang
membuat suatu agama mengikuti selera pribadi kita; sikap ini menjaga
batas-batas tetap jelas dan merintis pembaharuan yang ajeg pada jalan-jalan
orang itu sendiri.
Pada sisi lain, sikap ini juga tidak
lepas dari kesulitan-kesulitan. Yang pertama, sikap ini nampaknya berlawanan
dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan dan manusia yang
berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh dan fertilisasi.
Selanjutnya, sikap ini dengan tergesa-gesa juga menganggap seolah setiap
tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya sendiri semua unsur untuk
pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut; singkatnya, sikap ini mengandaikan
kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya menyangkal adanya kebutuhan
atau kesenangan untuk saling belajar, ataupun kebutuhan untuk berjalan diluar
tembok-tembok sesuatu tradisi manusia seolah-olah dalam diri mereka
masing-masing seluruh pengalaman manusia sudah dikristalkan atau dipadatkan.
Sikap ini merayu kepada setiap dari kita untuk mendengarkan bahwa kiti memiliki
in nuce (dalam bentuk mini) semua yang kita butuhkan untuk kepenuhan manusia
dan kematangan agama, tetapi sikap ini memecah keluarga manusia kedalam
bagian-bagian yang rapat terpisah, membuat setiap bentuk pertobatan apapun
menjadi sungguh-sungguh suatu pengkhianatan terhadap adanya orang itu adanya orang
itu sendiri. Sikap ini mengizinkan pertumbuhan, tetapi tidak mengizinkan
mutasi. Tetapi kendati pun kita mengalir sejajar satu terhadap yang lain,
bukankah disamping itu juga sangams, prayags, anak-anak sungai, luberan,
dam-dam alamiah dan buatan, dan di atas semuanya itu, bukankah air yang satu
dan sama dalam urat nadi manusia itu mengalir ‘menuju surga’? paralelisme
belaka menilapkan banyak masalah nyata.
Sekalipun demikian, sikap ini, pada
sisi yang lain, menjajikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja
awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran;
pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya dan kesabaran karena
sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita. Namun ketika
menghadapi problem-problem yang konkret karena adanya campur tangan, saling
pengaruh dan bahkan dialog, orang tidak hanya dapat menunggu sampai kalpa
(abad) ini berakhir atau eschaton (masa akhir) muncul. Setiap persimpangan
adalah bahaya, tetapi tidak ada kehidupan baru tanpa maithuna.
Saya telah menguraikan tiga sikap di
atas sebagai suatu contoh postur dasar; namun kalau sikap itu mulai digiatkan,
tentu saja, akan menjadi jauh lebih rumit. Kalau suatu perjumpaan sungguh
terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupundalam suatu dialog yang disadari,
maka orang membutuhkan sejumlah metafora-dasar untuk mengutarakan
masalah-masalah yang berbeda. Dalam hal inilah beberapa model sungguh bisa
berguna. Saya akan mencoba menguraikan ketiganya dengan singkat.
2. Tiga Macam Model
a. Model Fisika: Pelangi
Tradisi keagamaan yang berbeda-beda
pada umat manusia adalah seperti warna yang hampir tak terbatas jumlahnya, yang
kelihatan tatkala cahaya putih jatuh di atas prisma pengalaman manusia: cahaya
putih ini menyebar kedalam tradisi, ajaran dan agama yang tak terhitung
jumlahnya. Hijau bukanlah kuning, Hinduisme bukanlah Buddhisme, namun pada
perbatasannya orang tidak tahu, kecuali dibuat suatu dalil sebelumnya, dimana
kuning berakhir dan hijau mulai. Meski demikian lewat satu warna partikular,
yakni agama, orang dapat mencapai sumber dari cahaya putih. Setiap pengikut
suatu tradisi, diberi kemungkinan mencapai tujuannya, kepenuhan dan
keselamatan, asalkan ada cahaya terang dan bukan kegelapan semata-mata. Jika
dua warna bercampur, mungkin akan menghasilkan warna yang lain. Demikian juga
dengan tradisi agama. Pertemuan dua tradisi akan menghasilkan tradisi yang
baru. Sebenarnyta kebanyakan agama yang sekarang inii kita kenal adalah hasi
perasapan timbal balik (arya-dravidia, Yahudi-Yunani, Hindia Islam, dll.) lebih
jauh, hanya dari sudut pandang yang disepakata bersama kita bisa menilai agama
satu dengan yang lainnya. Tentang masalah sosial, misalnya, suatu tradisi
mungkin lebih subur dari tradisi yang lainnya, tetapi yang lain itu mungkin lebih
kuat dalam menjamin kebahagiaan personal. Kita dapat memulai pelangi dengan
infra merah, atau denganultra violet, atau memilih misalnya lima ribu angstrom
sebagai pusatnya, dst. Lagi pula dalam wilayah hijau segala sesuatu akan tampak
dibawah warna khusus itu. objek yang sama, diwilayah merah akan berwarna
kemerah-merahan. Model ini mengingatkan kita bahwa konteks adalah sangat
penting dalam memperbandingkan “kebenaran agama”. Namun ini belumlah segalanya.
Sebagaimana halnya warna badan merupakan satu-satunya warna yang umumnya tidak
di serap oleh badan itu, demikian model ini pun mengingatkan kita bahwa suatu
agama dengan cara yang sama menyerap semua warna yang lain dan menyembunyikan
dalam dirinya. Karenanya, warna luar itu sebenarnya hanyalah penampakannya,
pesannya pada dunia luar, tetapi bukan seluruh hakikatnya. Kita sampai pada
seluruh kenyataannya ketika kita berusaha untuk memahami suatu agama dari
dalam. Badan itu sebenarnya telah menerima seluruh curahan cahaya putih, tetapi
menyimpan bagi dirinya semua warna yang lain. Maka tidaklah benar menilai suatu
agama hanya dari warna luarnya. Kiasan ini masih dapat diperluas lebih jauh.
Sesuatu agama barangkali hanya menerima sedikit curahan cahaya, sementara agama
yang lain merangkum aspek yang lebih luas dari spectrum. Waktu dan ruang
mungkin (seperti prinsip Doppler-Fizeau) mengantar ke perubahan-perubahan pada
panjang gelombang dari tradisi tertentu sehingga dia berubah sepanjang zaman
atau sesuai dengan tempatnya. Seorang Kristen di India pada abad ke-20 mungkin
jauh berbeda dari apa yang dianggap demikian di Prancis pada abad ke-10.
Kiasan ini tidaak harus berarti bahwa
semua agama adalah sama, bahwa tak mungkin ada tempat-tempat yang hitam atau
tak berwarna, bahwa untuk beberapa masalah khusus hanya ada satu warna tertentu
yang cocok,dst. Juga kiasan tersebut masih dapat membantu untuk memperlihatkan
hak dari sesuatu yang tidak memilii cahaya di dalamnya untuk dapat disebut
sebagai tradisi agama. Kritik humanistic dari agama-agama tradisional, misalnya,
barangkali menganggap semua agama zaman
dulu sebagai obkurantistik dan menyangkal bahwa agama-agama itu membawa terang;
hanya tradisi-tradisi pencerahan, katakan saja, rasionalisme, marxisme, dan
humanism yang mereka bicarakan. Saya mengambil kasus ekstrem ini untuk
memperjelas kemacam-ragaman kemungkinan yang begitu luas dalam penggunaan
kiasan- dasar ini. Bahkan kiasan ini pun dapat memberikan suatu gambaran
mengenai konsepsi agama tertentu yang menganggap diri sebagai cahaya putih,
sedang semua agama lain sebagai pembelokan (diffraction) dari keagamaan
primordial ini. Atau, sebaliknya, kiasan ini memberikan suatu contoh bagaimana
mengatakan bahwa kemacam-ragaman agama itu merupakan bagian keindahan dan
kekayaan situasi manusia: sebab hanya keseluruhan pelangilah yang bisa member
gambaran lengkap mengenai dimensi religious manusia.
Namun nilai suatu model tidak hanya
berasal dari kemungkinan penerapannya, melainkan juga dari kesamaan sifat
dasarnya dengan fenomen yang diselidiki.kenyataan fisik dari pelangi dalam hal
ini membantu kita untuk menerangkan seluk beluk fenomen antropogis agama.
b.
Model
Geometri: Invarian Topologis
Jika pada model pertama pembelokan adalah penyebab munculnya cahaya yang
berbeda-beda, yakni bermacam agama, maka pada model kedua ini transformasi
merupakan penyebab bentuk dan wujud yang beragam dari sosok geometris, yakni
agama-agama.
Di dalam dan lewat ruangan dan juga
karena pengaruh waktu, bentuk primordial dan asli mengadakan
transformasi-transformasi yang dimungkinkan dalam jumlah yang hamper tak
terbatas lewatberkisarnya manusia, rentangan sejarah, pembengkokan oleh
kekuatan alami, dst. Agama-agama tampak berlain-lainan dan bahkan tidak bisa
saling didamaikan sampai atau kecuali jika ditemukan titik (invariant)
topologis yang tetap. Titik tetap ini tidak perlu harus satu untuk semua agama.
Sementara orang lebih senang memegang teori rumpun agama. Sedang orang lain
mungkin berusaha untuk mengolah hipotesis bahwa semua cara manusia yang
berbeda-beda berasal dari suatu pengalaman dasar yang ditransformasikan menurut
hokum-hukum yang-sebagaimana pada setiap persoalan geometris- harus ditemukan
lebih dahulu. Orang yang lain lagi mungkin berkata bahwa agama-agama
sesungguhnya berbeda-beda sampai transformasi topologis yang sesuai telah
terbentuk. Modelnya mempunyai banyak kaitan (polyvalent). Homeomorfisme
tidaklah sama dengan analogi: homeomorfisme menunjukkan kesamaan fungsional
yang diketahui lewat transformasi topologis. Brahman dan Tuhan bukan
semata-mata dua nama yang bisa dibandingkan ; kedua nama itu homeomorfik dalam
arti bahwa masing-masing menggantikan sesuatu yang memainkan peran yang sama
kuatnya (equivalent) didalam system yang bersangkutan. Namun hal ini baru dapat
dirumuskan ketika homeomorfisme dari ekuivalensi topologis telah ditemukan.
Agama yang pada penampilan pertama tampak sangat berbeda satu sama lain mungkin
menemukan hubungannya begitu transformasi topologis ditemukan, sehinga
dimungkinkan pembicaraan mengenai perkaitan dua tradisi itu. Model ini
memberikan tantangan untuk studi lebih lanjut dan mencegah kita untuk
cepat-cepat menarik kesimpulan. Penggunaan secara harafiah model topologis
mengandaikan tidak hanya bahwa semua agama merupakan transformasi dari
pengalaman primordial, instuisi atau datum (sama kiranya halnya pada model
pelangi), tetapi juga bahwa tiap-tiap tradisi agama merupakan suatu dimensi
dari agama lainnya, bahwa ada semacam “circumincessio” (bhs. Latin, artinya
menjelajahi keliling) atau “perichoresis” (bhs. Yunani) atau
“pratityasamutpada” (bhs. Sansekerta) di antara semua tradisi agama dunia,
sehingga model-model persentuhan semata tidak cukup untuk mengungkapkan
hubungan antar mereka. agama-agama tidak berdiri berdampingan melainkan
benar-benar jalin-menjalin dan mencakupi satu sama lain. Vishnu tinggal didalam
hati siva dan sebaliknya. Tiap-tiap agama mewakili keseluruhan bagi kelompok
manusia tertentu dan dengan cara tertentu “merupakan” agama dari kelompok lain
hanya saja dalam bentuk topologis yang berbeda. Mungkin ini merupakan pandangan
yang terlalu optimistik, tetapi model tersebut menyediakan juga
peringatan-peringatan atau larangan-larangan yang perlu. Orang tidak dapat
secara a priori, misalnya, merumuskan teori ini, tetapi ini mungkin bisa
menjadi hipotesis kerja yang memacu pikiran kita menuju suaatu kesatuan
transendental dari pengalaman religius manusia. Jelas bahwa model ini tidak
mengecualikan factor ilahi atau evaluasi kritis tradisi-tradisi manusia.
Kadang-kadang kita tidak berhasil menemukan padanan topologis yang cocok, tetapi
saat lain transformasi yang demikian itu barangkali juga tidak ada.
Perbandingan antar agama menurut model
ini dengan demikian kiranya bukan soal untuk menemukan analogi-analogi, yang
tentu saja akan bersifat superfisial dan memerlukan suatu primum analogatum
sebagai titik acuan (yang mestinya sudah dimiliki oleh setiap tradisi yang
diperbandingkan, kalau mau adil dalam perbandingannya), melainkan akan berupa
kegiatan memahami agama-agama dari dalam agama itu sendiri dan menemukan
struktur konkret agama tersebut serta homeomorfisme pada masing-masing agama.
Kebermacam-ragaman agama disini tidak akan begitu tampak sebagai dunia penuh
warna-warni yang menampilkan secara berbeda-beda suatu struktur dalam yang
hanya bisa ditangkap dengan intuisi yang mendalam, baik yang disebut mistik
ataupun ilmu.
Hukum-hukum topologis ini tidak harus
mempunyai sifat dasar yang rasional atau logis saja, sebagaimana pada topologi
geometrik. Bisa saja bersifat historis atau sui generis. Singkat kata, model
topologis tidak hanya berlaku untuk ekuivalensi ajaran yang mungkin; tetapi
dapat juga membantu menyelidiki bentuk-bentuk korespondensi dan ekuivalensi
lainnya. Kita mungkin berhasil menerangkan, misalnya, bagaimana Buddhisme awal
diserap kembali ke India lewat aliran advaita tertentu dengan menemukan
hukum-hukum topologis transformasi yang tepat.
c. Model Antropologis; Bahasa
Apa pun teori yang kita ambil mengenai
asal dan hakikat agama, entah sebagai anugerah ilahi atau penemuan manusia
ataupun keduanya, yang jelas hal itu setidaknya tetap merupakan kenyataan
manusiawi dan dengan demikian sama luas dengan kenyataan lain yang setidaknya
juga manusiawi, yakni bahasa. Model ini menganggap setiap agama sebagai suatu
bahasa. Model ini telah lama dirintis. Pada kepercayaan lama yang telah
tersebar luas mengenai adanya 72 bahasa, sementara orang menambahkan pendirian
bahwa dengan demikian terdapat 72 agama juga. “Item dixit quod sicus sunt LXII
lingue, ita sunt LXII fides”-demikian diputuskan dalam proses pengadilan
inkuisisi pada abad ke-13 di Bologna, yang mengutuk seorang Kathar.
Setiap agama adalah lengkap,
sebagaimana setiap bahasa, dan mampu mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa
perlu untuk diungkapkan. Setiap agama terbuka untuk pertumbuhan dan evolusi
sebagaimana halnya bahasa. Keduanya mampu mengunggkapkan atau menyembunyikan
lagi sesuatu arti, mengubah istilah-istilah atau penemuan tertentu, memperhalus
cara pengungkapan ataupun mengubahnya. Ketika dunia agama atau bahasa merasakan
lagi sesuatu kebutuhan, maka selalu ada cara untuk menangani kebutuhan
tersebut. Lagi pula, meskipun setiap bahasa merupakan dunia pada dirinya
sendiri, hal ini tidak berarti tanpa hubungan dengan bahasa-bahasa tetangga,
saling meminjam dari yang lain dan keterbukaan untuk pengaruh timbal balik. Meskipun
demikian, setiap bahasa hanya mengambil sebanyak yang dapat diterimanya dari
bahasa asing. Sama halnya dengan agama: mereka saling mempengaruhi dan saling
meminjami satu sama lain tanpa kehilangan identitasnya sendiri. Dalam kasus
yang ekstrem, suatu agama, seperti halnya suatu bahasa, bisa saja menghilang
sama sekali. Alasannya juga tampak sangat mirip – penaklukan, kehancuran,
perpindahan, dll.
Dari sudut pandangan internal setiap
bahasa dan agama, sebenarnya tak ada banyak artinya menyatakan bahwa suatu
bahasa lebih sempurna dari yang lainnya, sebab orang dapat saja mengatakan
dengan bahasanya sendiri (seperti juga dengan agamanya) apa saja yang dia rasa
perlu untuk dikatakan. Jika dia merasa perlu mengatakan sesuatu yang lain atau sesuatu yang berbeda,
dia akan mengatakannya. Dia barangkali menggunakan satu kata untuk unta dan
ratusan kata untuk logam yang berbeda-beda, pahala bahasa yang lain justru
melakukan yang sebaliknya. Demikian pula halnya dengan agama-agama. Anda
mungkin hanya mempunyai satu kata untuk kebijaksanaan, Tuhan, rasa kasih atau
keutamaan, sedangkan agama lain melebihinya.
Masalah besar muncul ketika kita sampai
pada perjumpaan antar bahasa, dan
antaragama. Masalahnya adalah terjemahan. Agam-agama mempunyai ekuisvalensi
seperti halnya bahasa-bahasa yang dapat saling diterjemahkan.di situlah
terdapat dunia umum dari hal-hal yang bisa diobyektivasikan, yakni obyek
pembenara secara empiris dan logis. Inilah dunia istilah-istilah. Setiap
istilah merupakan sebuah tanda epistemic untuk sebuah objek yang bisa
diverifikasi secara empiris atau secara logis.istilah “pohon”, “anggur”,
“atom“, “empat” dapat diterjemahkan ke dalam setiap bahasa yang ada, asalkan
kita mempunyai cara menunjuk barang yang terlihat mata itu secara empiris (pohon),
substansi yang bisa dikenal secara fisis (anggur), entitas yang bisa dirumuskan
secara psikomatematis (atom) dan suatu symbol yang logis (empat). Masing-masing
hal tersebut menuntut beberapa syarat khusus, tetapi kita bisa mengandaikan
bahwa semua syarat ini dapat diverifikasikan secara empiris atau logis kalau
suatu aksioma tertentu sudah diterima. Pendeknya, semua istilah, sejauh itu
bisa diterjemahkan seperti suatu nama, dapat dengan mudah diciptakan dan
diterima bahkan oleh bahasa yang mungkin tidak mempunyai istilah untuk hal
tertentu (“atom” misalnya). Sama halnya, semua agama mempunyai wilayah yang
bisa diterjemahkan: semua menunjuk kepada manusia, kesejahteraannya, cara
mengatasi halangan yang mungkin dihadapinya dan semacamnya. Istilah-istilah keagamaan-sebagai
istilah-bisa diterjemahkan.
Bagian yang terpenting dari bahasa
seperti juga pada agama, bukanlah istilah-istilah tetapi kata-kata, jadi
bukannya tanda-tanda, jadi bukannya tanda-tanda epistemik yang memberi
orientasi pada dunia objek melaikan symbol-simbol hidup yang mengizinkan kita
hidup dalam dunia orang-orang dan Allah-allah. Kata-kata tidak bisa dijadikan
objek. Sebuah kata tidak dapat sepenuhnya terpisah dari arti yang kita berikan
dan masing-masing dari kita dalam kenyataannya memberi corak arti yang berbeda
pada kata yang sama. Sebuah kata memantulkan suatu pengalaman total manusia dan
tak bisa dipisahkan dari padanya.sebuah kata tidak bias diselidiki secara
empiris dan logis. Ketika mengatakan ‘keadilan’, ‘dharma’, ‘karuna’, kita tidak
bisa menunjuk ke suatu objek, tetapi harus berpaling pada kristalisasi
pengalaman-pengalaman manusia yang terkait dengan bermacam-macam orang, tempat,
zaman, dll. Dalam arti sebenarnya kita tidak bisa menerjemahkan kata-kata. Kita
hanya bisamemindahkannya menurut konteks tertentu yang melingkupi, yang
memberinya arti dan memberi horizon untuk bersandar bagi kata tersebut, dimana
kata itu bias dimengerti, artinya mengasimilasikannya kedalam horizon lain. Dan
bahkan kemudian kata yang dipindahkannya itu, jika bias bertahan, segera akan
melebarkan akar-akarnya pada tanah dan memperoleh aspek-aspek, konotasi yang
baru, dll. Sama halnya dengan agama: agama tidak bias diterjemahkan seperti
istilah; hanya beberapa pemindahan tertentu dimungkinkan, dengan kondisi yang
sesuai. Tidak ada objek ‘Allah’, ‘Keadilan’, atau ‘Brahman’, sesuatu yang pada
dirinya tak tergantung dari kata-kata yang hidup itu, atas dasar mana kita bisa
memeriksa kebenaran terjemahan. Untuk menerjemahkannya, kita harus memindahkan
pandangan dunia yang terkait, yang membuat kata-kata itu menyatakan sesuatu
yang memang dimaksudkan. Kata yang tidak berbicara adalah seperti lagu yang
dinyanyikan. Jika kata itu tidak ditangkap sebagai kata yang berbicara tentang
apa yang mau dikatakan, kita sesungguhnya belum menerjemahkan kata tersebut.
Penerjemahan pandangan-pandangan keagamaan tidak bisa dilakukan kecuali kalau
pandangan yang menghasilkan kata tersebut juga dipindahkan. Untuk itu,
pandangan dari luar semata-mata tidak cukup. Kita mungkin, kalau demikian hanya
menterjemahkan kerangka luar yang mati dari suatu kata dan bukan arti yang
sesungguhnya. Tak satu katapun dapat dipisahkan dari pembicaraannya jika mau
dipertahankan sebagai kata yang autentik dan bukan sekedar istilah. Penerjemah
juga harus menjadi pembicara dalam bahasa asing tersebut, dalam tradisi asing
tersebut. Ia harus menjadi juru bicara sejati dari agama tersebut. Ia harus
yakin-pada tingkat tertentu(yang tidak akan saya jelaskan lebih lanjut
disini)-akan kebenaran yang dibawanya, masuk sendiri jadi penganut tradisi yang
diterjemahkannya. Di sini saya sudah berada dalam dialog intra agama.
Penerjemah harus berbicara dalam bahasa
‘asing’ sebagai bahasa sendiri. Sejauh kita massih berbicara dengan suatu
bahasa yang diterjemahkan dari bahasa yang lain, kita tidak pernah akan
berbicara lancer dan bahkan dengan benar. Hanya kalau kita bicara dengan bahasa
itu, hanya kalau anda ‘berbicara’dalam agama itu sebagai agama sendiri, anda
akan sungguh-sungguh bisa jadi juru bicara untuk agama itu, sebagai penerjemah
sejati. Hal ini sekaligus mengandaikan tentu saja, bahwa anda tidak melupakan
bahasa anda sendiri, bahwa anda mempunyaikemempuan yang sama juga untuk
mengungkapkan diri dalam dunia bahasa yang lain. Baru kalau demikian, orang
mulai kagum akan ketepatan penerjemahan, atau sementara pengungkapan masih
berlangsung, kagum akan ‘kesetiaan’ dari banyak terjemahannya. Apakah anda
tetap setia baik kepada Brahman maupun Allah, dharma maupun agama (atau
keadilan, atau aturan?) kalau anda menerjemahkan dengan cara demikian? Atau
apakah anda merasa harus memperluas, memperdalam dam merentang bahasa anda
sendiri untuk memberi tempat bagi pandangan-pandangan yang lain? Dan barangkali
demikian juga halnya dengan istilah yang sebagian dapat dibenarkan secara
empiris. Apakah anda sungguh yakin bahwa ketika menerjemahkan gau dengan ‘cow’
anda tidak menjerumuskan pembaca inggris modern juika anda membuat dia percaya
bahwa anda bicara semata-mata tentang sapi betina yang barang kali ada
hubungannya dengan ‘cowboy’ tetapi tidak dengan kamadhenu? Padahal gau lebih
dari sekedar nama hewan, sebagaimana surya (matahari) lebih dari sekedar nama
untuk benda astronomis atau fisis.
Model bahasa juga membantu dalam
masalah pelik perbandingan Agama. Hanya kalau kkita mempunyai bahasa bersama,
baru kita dapat mulai memperbandingkan yakni mempertimbangkan bersandar pada
latar belakang bersama. Hanya dengan demikian pemahaman timbal balik akan
muncul. Lebih lanjut, model ini memberi kejelasan bahwa kita tidak dapat
memperbandingkan bahasa-bahasa (agama-agama) diluar bahasa (agama) dan tidak
ada bahasa (agama) kecuali dalam bahasa-bahasa (agama-agama) konkret.
Perbandingan agama hanya mungkin sebagai perbandingan antaragama dari titik
tolak agama-agama yang konkret itu sendiri. Hal ini menuntut suatu metode yang
baru sama sekali dari munculnya anggapan bahwa ada ‘alasan’ netral non-agama,
yang berhak untuk menjalankan penilaian perbandingan dibidang agama-agama.
3. Pluralisme
Sebagai kesimpulan perlu disebut
pluralisme. Tujuan dialog intra-agama adalah pemahaman. Bukan maksudnya untuk
mengalahkan yang lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau pada suatu
agama universal. Cita-citanya adalah komunikasi untuk menjembatani jurang
ketidaktauhan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya dunia yang
berbeda-beda, membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam
bahasa mereka sendiri. Sementara orang mungkin berharap mencapai persekutuan,
tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa yang menjadi tujuan adalah keseragaman
bentuk atau reduksi dari bermacam-ragaman manusia ke dalam agama, system,
ideology atau tradisi yang satu-satunya. Puralisme berdiri atara pluraitas yang
tidak saling berhubungan dan suatu kesatuan monolitik. Hal ini berarti bahwa
kondisi manusia dalam relitasnya yang sekarang ini tidak boleh ditelantarkan,
apalagi diremehkan demi keadaan yang ideal (?) dari kesatuan bentuk atau
keseragaman manusia. Sebaliknya, hal ini membuat keadaan factual kita sebagai
yang real dan menegaskan bahwa dalam polaritas actual dari eksistensi manusiawi
kita, kita menemukan keberadaan kita yang sebenarnya.
BAB V
Sunyata
dan Pleroma:
Jawaban
Budha dan Kristen Mengenai Nasib Manusia
Purnasya purnam adaya
Purnam evavasisyate
Mengurangi kepenuhan dari kepenuhan
Kepenuhan tetap lestari
Do’a Upanised*
*
Bdk BU V, 1.
1.
Nasib
Manusia
Kendati
sudah banyak usaha untuk mendefinisikan agama, saya memberanikan diri
mengajukan pernyataan sederhana dan singkat ini: Agama adalah jalan yang
ditempuh manusia untuk mencapai tujuan hidup, atau secara lebih singkat, agama
adalah jalan keselamatan. Segera
harus ditambahkan bahwa di sini kata “jalan” dan”keselamatan” tidak dimaksudkan
memuat isi khusus. Maksud kata-kata tersebut lebih sebagai peziarahan
eksistensial yang dilakukan manusia dengan keyakinan bahwa usaha itu akan
menolongnya meraih maksud atau tujuan akhir hidup.[38] Suatu jalan pemenuhan, jika kita lebih suka
mengatakan demikian.
Dengan
kata lain, dalam perspektif khusus yang kita sebut agama, setiap budaya manusia
menampilkan tiga unsur: (1) suatu visi mengenai manusia sebagaimana ia tampak
secara nyata (hic et nunc), (2) suatu pengertian tertentu yang kurang lebih
telah berkembang mengenai tujuan atau pemberhentian akhir manusia (illic et
postea),dan (3) sarana-sarana untuk berpindah dari keadaan yang terdahulu ke
keadaan yang kemudian.[39]
Unsur
pertama dapat disebut nasib manusia,yaitu gambaran khusus mengenai bagaimana
manusia dipandang dan dinilai. Saya lebih cenderung memakai ungkapan ini
daripada ungkapan yang lebih umum “kondisi manusia”, dengan maksud untuk
menekankan bahwa tidak semua agama memandang situasi factual manusia sesuai
dengan “kondisi” yang dimaksudkan. Manusia tidak bebas dalam hal apa yang
menjadi gambaran mengenai dirinya dan kondisi manusia justru dikondisikan oleh
pandangan manusia sendiri mengenai hal itu. Dengan nasib manusia saya maksudkan
keberadaan factual manusia sebagaimana dinilai menurut konsepsi tertentu yang
turut membentuk keberadaan faktual itu sendiri.
Tak
ada agama, lebih lagi yang akan kita lihat kemudian, yang dapat dicakup suatu
ajaran monolitis, seolah-olah satu ajaran saja sudah dapat merumuskan seluruh
maknanya. Bab ini hanya akan mengupas sepasang pemahaman, yang berasal dari
masing-masing tradisi, untuk menampilkan pandangan ortodoks dalam agama
masing-masing.
Nasib
manusia menurut tradisi Buddhis dapat diringkas sebagai berikut: (1) dalam
pra-andaian filosofis: anatmavada;[40] (2) dalam pernyataan
teologis: aryasatyani,[41]
yang mengembangkan intuisi antropokosmis sarva duhkha;[42] dan (3) dalam ajaran
moral yang diungkapkan secara paling baik dalam kata-kata terakhir Buddha:
“Usahakanlah keselamatanmu penuh ketekunan.”[43]
Nasib
manusia menurut pandangan Kristen dapat diringkaskan: (1) dalam pra- andaian
filosofis, penciptaan dunia;[44]
(2) dalam pernyataan teologis, kekuatan Kristus yang menebus atau
menyelamatkan,[45]
yang mengembangkan intuisi kosmoteandrik dari inkarnasi;[46] dan (3) dalam ajaran
moral yang diungkapkan secara paling baik dalam sabda Kristus yang meringlkas
kitab Taurat dan Nabi-nabi: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati,
dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatanmu….[47] Kasihilah sesamamu
seperti dirimu sendiri.”[48]
Kita
bisa mencoba mengungkapkan dalam katra-kata kita sendiri intisari dari dua
pandangan ini. Harus diingat bahwa sampai sekarang dua tradisi ini setuju
mengenai nasib manusia. Benar atau salah, kedua tradisi ini tampaknya setuju
dalam menyatakan bahwa manusia diberi suatu kerinduan – secara harfiah, suatu
kehausan[49]-
atau diberi suatu gairah – secara harfiah suatu keinginan[50]- yang menjadi sebab
ketidakbahagiaannya. Kedua agama ini akan menerangkan hal tersebut sebagai
Kebodohan atau Kejatuhan, karenanya penerangan atau penebusan perlu untuk
mengatasi nasib manusia ini. Dalam hal manapun, nasib manusia ini bukanlah
sesuatu yang seharusnya atau yang
sewajarnya. Buddha[51]
dan Kristus[52]
menyatakan diri mengobati nasib ini. Manusia harus mengatasi kondisi sekarang
ini supaya terbebaskan, yakni dilepaskan dari roda samsara,[53] atau dari kosmos[54]
ini. Baik Buddhisme maupun agama Kristen berpihak pada pembebasan manusia.[55]
Di
sini, kedua tradisi ini mengungkapkan suatu pengalaman manusi yang hamper
universal. Keduanya percaya bahwa manusia adalah keadaan yang belum selesai,
suatu realitas yang tak tergapai, sedabng bertumbuh, menjadi, dalam perjalanan,
seorang peziarah. Inilah nasib manusia. Masalah
yang sesungguhnya terletak dalam jawaban yang diberikan kedua agama ini
terhadap nasib tersebut.
2.
Jawaban
Buddha dan Kristen
a.
Nirvana dan Soteria
Seperti
telah kami katakana, unsur kedua dari semua agama adalah pemahaman bahwa ada
suatu tujuan atau perhatian akhir manusia. Manusia, adaan yang belum selesai
ini, tidak harus tinggal seperti apa adanya, tetapi harus mengalami
transformasi yang kurang lebih radikal, suatu perubahan, dengan tujuan untuk mencapai
keadaan yang oleh kaum Buddha disebut nirvana1[56] dan oleh kaum Kristen
disebut soteria.[57]Agama
adalah dinamisme menuju suatu terminus ad quem, yang berasal mula dari
ketidaksesuaian dengan status quo.
Cukup
penting bahwa kitab-kitab kanon kedua tradisi ini tampaknya tidak cenderung
membatasi hakikat kedua istilah tersebut. Nirvana hanyalah berhentinya proses
menjadi,[58]
berhentinya semua samkara,[59]
semua mata rantai,[60]setiap
kehausan.[61]
Nirvana adalah padamnya semua karma,[62] istilah yang tak
terangkan, pun juga yang menyangkut adanya,[63] daya pengasal yang
mendasar dari segala sesuatu,[64]
dan sang akhir tanpa jalan masuk atau jalan keluar.[65] Nirvana ada di
seberang semua dialektika[66]
dan pemikiran,[67]
tanpa subjek atau objek[68].
Seluruh usaha diarahkan bukan untuk melukiskan dan memahaminya, melainkan untuk
mencapainya.[69]
Tetapi pernyataan ini keliru kalau dipahami sebagai menghubungkan nirvana
bagaimanpun juga dengan kehendak atau imajinasi kita.[70] Nirvana “tidak
dilahirkan, tidak menjadi, tidak dibuat, tidak dijumlahkan.”[71]
Nirvana tidaklah transenden menurut arti yang biasa kita pakai. Jikalau nirvana
transenden terhadap segala sesuatu, berarti ia mempunyai hubungan secara
transenden dengan dilampauinya itu.[72] Nirvana adalah
semata-mata kehancuran, atau lebih tepat ketidakjadian[73] dari segala yang ada;
dan oleh kenyataan bahwa itu semua dapat tak terjadi, dihancurkan dan
ditiadakan, terbuktilah kenyataan mereka. Jadi, nirvana adalah “hal” yang
paling positif sebab ia menghancurkan ketiadaan.
Kekaburan
yang sama tampaknya menandai juga gagasan kitab suci kristen soteria. Soteria
adalah keselamatan dari kemusnahan, [74] dari kematian,[75]
lewat kristus,[76]
yang membimbing ke keselamatan.[77]
Soteria abadi sifatnya[78]
sebab keselamatan hidup kita.[79]
Seringkali keselamatan digunakan tanpa diberi ciri-cirilebih lanjut dlam
penggunaannya yang sudah diterima umum.[80] Ada jalan,[81]
sabda,[82]
dan pengetahuan[83]
akan keselamatan. Yesus adalah penyelamat.[84] Ia menyelamatkan umat
dari dosa-dosa mereka[85]
dan tak ada keselamatan selain dalam yesus.[86]
Dengan
kata lain, baik nirvana maupun soteria tidak mengembangkan pemikiran dasar
kosmologis atau metafisis. Nirvana adalah hilangnya kondisi manusia dan soteria
adalah kebebasannya dari dosa.
b.
Sunyata
dan Pleroma
Diperlukan satu jilid tersendiri untuk menyajikan
perbedaan panafsiran dari gagasan sentral ini, meski maksudnya hanya sepintas sekalipun. Seperti
telah ditunjukkan, kita akan
mengurangi kesulitan tersebut dengan memilih dau contoh yang penting dan hanya
memberikan keranggka kasar dari keduanya. Disini dua kata kunci itu adalah
sunyata[87] dan pleroma,[88] kekosongan dan kepenuhan. Keduanya radikal
dan boleh menampilkan secara paling baik intisari dari tradisi mereka
masing-masing. Lebih lamjut, sebagaimana arti prima facie yang diberikan oleh
dua kata itu sendiri, tampaknya kedua istilah itu berbeda secara total, tak
hanya satu sama lain, tetapi juga dengan tradisi-tradisi Humanistik modern.
Akhir
perjalanan, tujuan manusia, menurut definisinya adalah nirvana dan
soteria,tetapi hakekat dari tujuan itu adalah sebagai sunyata pada kasus yang
pertama, dan pleroma pada kasus yang terakhir, menurut aliran dalam tradisi
masing-masing.
Dalam
keselarasan yang total dengan intuisi Buddhis yang sentral, yakni
nairatmyavada, atau ajran tentang kefanaan terakhir dari segala sesuatu, konsep
sunyata (kehampaan, kekosongan) berusaha mengungkapkan esensi dasar dari yang
mutlak, kodrat terakhir dari segala sesuatu.[89]
Sunyavada
bukanlah nihilisme filosofis atau agnotisisme metafisis, melainkan suatu
penegasan positif dan kongkrit, satu dari antara intuisi manusia yang terdalam
mengenai sruktur dasar realitas.[90]
Dikatakan bahwa segala sesuatu, yang ada dalam lingkup pengalaman kita, sama
sekali tanpa terkecuali-yang aktual dan yang mungkin- tiadak mempunyai
konsistensi(yang dilapisi pada permukaan sehingga hanya tampak semunya) dengan
mana kita cendrung menghiaskan kontingensi kita.
Semua,
termasuk akal budi kita dengan mana kita mengungkapkan gagasan ini, ada dalam
cengkraman perubahan terus menerus yang kontingen sifatnya. “pantai yang lain”
dalam metafora Buddhis yang senantiasa di ulang-ulang sedemikian total
transendensinya sehingga bahkan tidak ada. Pemikiran hal ini justru mengaburkan
dan mengasingkannya.[91]
“nircana adalah Samsara dan samsanra adalah nirvana”, demikian sebuah rumusan yang
sangat dikenal[92]
yang terus menerus diulang dalam bentuk yang berbeda-beda.[93] Tak ada jalan untuk
pergi kepantai yang lain itu karena tak ada jembatan, bahkan tak ada juga
pantai yang lainnya. Pengenalan ini adalah kebijaksanaan yang paling tinggi,
intuisi advaita atau non-dualistik, atau
prajnaparamita. Mengenal samsara sebagai samsara,yaitu sebagai perubahan
kontinu dari eksistensi dan eksistensi yang sama itu pula sebagai berada pada dalam perubahan kontinu, hal ini sudah
merupakan permulaan dari penerangan, bukan karena orang mampu
mengatasinya(sebab tidak ada “tempat lain” dibalik atau diseberang) melainkan
karena pengenalan ini membersihkan selubung ketidahtahuan yang justru tampak
dalam menganggap nyata atau subtansial apa yang sesungguhnya kosong dan hampa.[94] Inilah sebabnya, mengapa diam merupakan
sikap yang tepat- bukan karena pertanyaan itu tak ada jawabannya, melainkan
karena kita menyadari omong kosong dari pertanyaan itu sendiri, karena tidak
bisa ada pertanyaan terhadap apa yang tidak bisa dipertanyakan(hal ini
merupakan kontradiksi) dan tak bisa ada jawaban tak ada pertanyaan.[95] Siapa dapat mempertanyakan yang tak dapat
dipertanyakan? Tentu bukan yang tak dapat dipertanyakan itu sendiri; dan dari
dunia yang dapat dipertanyakan ini tak bisa ada pertanyaan tentang yang tak
dapat dipertanyakan. Segala yang dapat ditanyakan tentulah bukan yang tak dapat
ditanyakan. Inilah diam ontis(kebisuan adanya) dari Buddha.
Dalam keselarasan sempurna dengan ajaran pokok
kristen Inkarnasi, konsep pleroma(kepenuhan dan pemenuhan), mengungkap tujuan
manusia dan seluruh ciptaan.[96] Tidak hanya
bahwa penebus datang dalam kepenuhan waktu,[97] melainkan bahwa ia juga memperkenankan mereka yang
percaya kepada-Nya sendiri,[98] sebab dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima,[99] dan dalam Dia kepenuhan ke-Allah-an tinggal secara
badani.[100] Maka kepenuhan Allah-lah[101] yang mengisi segala sesuatu, sekalipun ada suatu
pengmbangan, suatu masa penantian dan harapan sampai masa pemulihan segala
sesuatu.[102] Segera setelah seluruh dunia ditundukkan
kepada-Nya, kepada siapa segalanya telah ditklukkan, Ia sendiri akan
menaklukkan Diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga Allah menjadi segala dalam
segalanya.[103]
Lepas dari penggunaan yang sifatnya magis, gnostik,
dan lainnya dari kata pleroma, tradisi kristen memahami pesannya sebagai
dipanggil menjadi sempurna sebagai Bapa yang di surga;[104]
menjadi satu dengan Kristus[105] sebagaimana Ia
satu dengan Bapa[106] dan dengan
demikian bukannya menjadi seperti Allah, menurut bujugan si penggoda,[107] melainkan Allah
sendiri[108] lewat persatuan
manusia dengan Putra berkat dan rahmat Roh.[109]
Theiosis, pengilahian, adalah kata teknis yang
dipakai selama berabad-abad dalam tradisi kristen, dan rumusan yang paling
sederhana mengatakan bahwa Allah telah menjadi manusia supaya manusia dapat
menjadi Allah.[110]
Keseluruhan tata pengolaan kristen adalah
trnsformasi seluruh kosmos sampai datangnya langit yang baru dan bumi yang
baru,[111] termasuk
kebngkitan badan.[112] Takdi manusia
adalah untuk menjadi Allah, untuk mencapai pantai lain di man ke-Allah-an
tinggal, lewat transformasi yang menuntut kelahiran baru supaya dapat masuk
Kerajaan Surga.[113] Metanoia,
perubahan hati, perubahan hidup dan akhirnya permindahan dari kematian ke
kehidupan baru, adalah tema pokok pewartaan Kristus,[114]
untuk itu Yohanes Pembaptis, sang pelopor, telah menyiapkan jalan.[115]
Kita harus mencoba sekarang untuk mengerti apa yang
disimbolkan oleh kata-kata tersebut dalam tradisi masing-masing.
Tanpa sunyata, pikiran terikat.[116]
Kenyataannya, apa yang terikat tidaklah dibebaskan, dan yang tak terikatpun
bukan tidak dibebaskan.[117] Menyadari
kekosongan dari segala sesuatu, merupakan puncak segala kebijaksanaan(prajna),
yang membawa ke kesadaran akan kenisbian radikal segala sesuatu
(Pratityasamutpada). Inilah awal pencapain Nirvana. Dari sudut kenyataan
sebenarnyaterdapat lebih kesejajaran dari pada hierarki dari keempat gagasan
tersebut.[118] Kita tidak
melukiskan empat langkah epistemologis maupun ontologis, melainkan empat cara
mengantar ke kesadaran yang satu dan sama. Kesadaran bahwa tidak ada sesuatu
yang definitif di dunia ini dan bahwa kemungkinan lain manapun, bahkan pikiran
kearah itu, masih juga terkait dengan pengalaman “ke-dunia-wian” kita ini dan
karenanya terkondisikan, tergantung, dan tidak definitf singkatnya, kosong.
Jika bukan karena kekosongan ini, hal-hal itu tak dapat bergerak. Perubahan
tidak akan mungkin, karena badan-badan material tidak dapat bergerak manakala
tak ada ruangan di antaranya. Kekosongan adalah kondisi utama untuk jenis
keberadaan yang cocok untuk benda-benda. Dan tak ada hal lain, sebab sesuatu
apapun lainnya yang mungkin ada tentu dipengaruhi oleh kekosongan yang sama,
cukup dari kenyataan bahwa kita menganggap hal itu mungkin dan karenanya
merupakan objek pikiran kita.
Tak
ada air maupin tanah,
Api
maupun udara tak dapat bertahan,
Bintang-bintang
tidak bercahaya,
Mataharipun
tidak bersinar,
Bulan
tidak menjadi terang
Dan
kegelapan tidak ada.[119]
Tanpa pleroma,tak ada tempat bagi Allah, keberadaan manusia tak
ada artinya. Manusia lebih dari manusia. Manakala ia hanya ingin menjadi
manusia semata, ia merosot menjadi seekor binatang saja.[120]
Ia ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang lebih tinggi.[121]
Pada saat ia gelisah[122],
pada saat ia mencari-car sesuatu, hal itu disebabkan karena Allah telah
memanggil lebih dahulu.[123]
Transendensi Allah tetap terjaga sebab pengilahian kristen,tepatnya dikatakan
lebih merupakan “keputraan” dari pada peleburan tak terbedakan dengan bapa.
Trinitas kristen di sini merupakan jaminan pembedaan yang tepat tanpa
pemisahan. Manusia, dan bersama dengan dia seluruh alam, menjadi satu dengan
putra oleh kuasa dan anugerah Roh; sebagai putra ia bersatu dengan bapa tetapi
tidak pernah menjadi bapa. Sekalipun demikian, pemikiran kristen ortodoks
dengan cara bagaimanapun menekankan bahwa sementara Putra adalah Allah dari
Allah, terang dari terang, manusia menjadi satu dengan Putra dan karena itu
mencapai ke-Allah-an di dalam dan lewat putra. Kefanaan manusia tetap tinggal
sebagai cacat, sebagaimana kenyataannya, dalam inti keberadaan. Pengilahian, seperti ditekankan oleh tradis kristen, tidak berarti
alienasi dari manusia, justru karena manusia berkodrat ilahi.[124]
Manusia dipanggil untuk ambil bagian dengan Allah secara penuh, kembali keasal
dan kodrat primordialnya. Pengilahian memulihkan gambaran yang telah menyimpang
dan membuat manusia menjadi sesuatu menurut panggilannya. Keputraan Allah
adalah panggilan manusia sebenarnya. Kristus menurut kodratnya[125]
adalah kristus sebagai saudara manusia,[126]
yang telah memungkinkan manusia ada dan memang demikian berkat pengangkatannya
sebagai putra (penebusan); ambil bagian dalam keputraan-Nya[127]
dalam generasi baru,[128]
yang dilahirkan kembali dalam air dan Roh [129]
3.
Agama-agama
dan Pemanusiaan Manusia
Menurut seorang fisuf Yunani, Manusia adalah ukuran semua hal.[130] Tetapi
filsuf Yunani lain menyangkal dia[131] dan
menegaskan bahwa Allahlah dan bukan Manusia yang merupakan ukuran semua hal.[132] Maka
murid filsuf itu mengatakan bahwa manusia, walaupun dapat mati, seharusnya
tidak hanya memuaskan diri sendiri dengan hal-hal yang dapat mati, melainkan
berusaha keras untuk menjadi immortal. [133]Namun
mereka semua mungkin ingat seorang dari leluhur mereka yang mengatakan: “Yang menjadi pola tingkah laku manusia
adalah daimon-nya.”[134]
Dari inspirasi Ibrani, sesuatu ditulis
mengenai Allah yang menciptakan manusia menurut gambaran dan keserupaannya
sendiri. [135]Dari
sumber yang sama pula, kalimat itu sering dibalikan dan dianggap lebih sebagai
definisi mengenai Allah daripada suatu deskripsi mengenai manusia: Allah dalam
gambaran manusia.[136]
Seorang Yahudi, yang dipengaruhi
kebudayaan Yunani dan pandangan imannya yang menilai sebagai sama Allah, yang
telah menjadi daging, [137]sedang
seorang Romawi memperlihatkan orang yang sama ini sebagai Manusia[138].
Dan seorang ksatria dari Timur menolak
untuk berbicara tentang Allah dan menolak untuk memperturutkan kata hatinya
pada spekulais teoritis semata-mata.[139] Orang yang sama ini
melibatkan diri secara langsung hanya pada pemberian nasihat yang konkret dan
efektif bagimana menangani nasib manusia.[140] Sebagai reaksi terhadap
religiostas yang berlebih-lebihan dari zamannya dan melawan kondisi manusia
yang merusak dari para tetangganya, dia memusatkan seluruh hidupnya untuk
menunjukkan bagaimana melepaskan diri dari keresahan dan kegelisahan manusia
yang nyaris meliputi segala, malah dengan menolak untuk mendukung
ajaran-ajarannya dengan sesuatu antropolgi.[141] Dalam hal ini, dia
mengumandangkan tradisi kebudayaannya sendiri yang dengan sangat kuat
menekankan bahwa :
Manusia sesungguhnya adalah
Segala-galanya
Apa yang telah ada dan apa yang akan
ada,[142]
karena manusia primordial adalah
kenyataan yang tertinggi[143].
Maka tidak mengherankan kalau Buddhisme berkembang di tanah manusiawi
(Humanistik) secara wajar, yakni dunia Konfusian, dan dalam kebudayaan Cina
secara luas.[144]
Melanjutkan deskripsi fungsional agama
yang telah kita berikan, mungkin masih perlu kita tambahkan bahwa agama
merupakan cara dengan mana manusia menangani nasibnya supaya mampu
mengemudikannya menuju suatu situasi
yang sedikit banyak lebih baik. Manusia modern menyadari sungguh-sungguh
kepentingan dan kesulitan dalam melakukan tugas semacam ini. Di sini kerangka
dari dua tradisi agama besar dapat memperlihatkan sesuatu nilai. Dengan ini mau
diklatakan bahwa Perbandingan Agama, jauh dari sekedar membanding-bandingkan
agama atau mempelajari sejarahnya, sesungguhnya merupakan studi mengenai
problem-problem manusia yang paling mendasar – yakni tentang situasi-situasi
religious – dengan bantuan lebih dari satu tradisi agama, sehingga dengan
menjelaskan nasib manusia yang konkret dengan pengalaman umat manusia yang
terkumpul kita mungkin berada dalam suatu posisi yang lebih baik untuk memahami
hal itu.
a. Buddhisme, Kristianitas dan Humanisme
Dalam penjelasan di atas ini kita
sekarang bisa memusatkan diri pada situasi Humanistik dewasa ini. Selama
beberapa dekade Humanisme telah menjadi kata yang penuh daya.[145] Kata
ini mengekspresikan mitos berharga yang dalam Negara-negara Kristen secara
tradisional dapat dipahami sebagai reaksi melawan suatu devaluasi manusia
karena mengejar yang supernatural.[146] Abad
ke-20 telah menyaksikan kelahiran segala macam Humanisme: atheistik, ilmiah,
yang baru, yang klasik, yang modern, yang dari abad pertengahan, yang sosial
dan bahkan yang hiperbolik. Sementara suara bahkan didengungkan menyangkut
Humanisme Hindhu dan Budhdhis. Sulitlah untuk menguraikan apa yang bukan
Humanisme, kecuali sejumlah tendensi manusia dalam beberapa ideology yang
dilebih-lebihkan dan dengan jelas bersifat tak manusiawi. Manusia jemu dengan
kecenderungan dehumanisasi tertentu dalam agama-agama yang sudah mapan.
Humanisme mungkin suatu reaksi yang sehat. Sekarang ini, ideologi-ideologi
modern dan apa yang dinamakan teknokrasi dalam segala jenis juga dilihat
sebagai kekuatan-kekuatan dehumanisasi. Dewasa ini bukan hanya surga yang
transenden dan neraka yang kekal dipandang sebagai dehumanisasai, tetapi
masyarakat, teknik, kota-kota modern, dsb., juga dipandang sebagai yang merusak
manusia. Dalam konteks inilah agama-agama tradisional ditantang untuk sungguh
mengemban tugas pemanusiaan (humanisasi) manusia. Di sini kami bisa
menbambhakan beberapa refleksi dari pandangan Buddhis dan Kristen.
Pertama-tama, agama sangatlah peka
terhadap pendiktean dari luar atau perintah untuk melayani apa saja, sebab
mereka ada di atas segala jenis pelayanan. Masalahnya, menurut mereka, bukanlah
‘menyelamatkan’ nasib manusia menurut pendapat-pendapat individual manusia,
melainkan melihat situasi sebagaimana adanya dalam terang tradisi agama itu.
Barangkali apa yang disebut ‘Pemanusiaan Manusia’ malah hanya keterjeratan dan
kejatuhannya.
Untuk menghindari sikap-sikap yang peka
ini, yang hanya muncul dari pendekatan-pendekatan superficial, kita ingin
mendekatio masalah itu dari perspektif Perbandingan Agama atau Filsafat Agama
seperti telah kita definisikan di atas.
Kira-kira tujuh ribu tahun ingatan
sejarah manusia memperlihatkan suatu pola umum yang hadir hampir di mana-mana;
keinginan manusia akan kelelahan kekekalan. Mengatasi kematian selalu menjadi
keprihatinan sentral agama dan manusia. Menegenai cara-caranya, setiap agama
berbeda. Dari sudut pandang Sejarah Agama-agama orang mungkin condong untuk
menafsirkan pikiran ke arah yang ilahi sebagai suatu cara untuk menyelamatkan
manusia dari cengkraman kematian, ataupun dari ketakuatan pada alam dan pada
genggaman seluruh kosmos. Dalam hampir setiap tradisi agama, ciri fundamental
dari pengilahian adalah imoralitas. Manusia dapat mati sedang Alah adalah
imortal. Nasib manusia adalah untuk mengatasi situasinya dengan cara-cara yang
berbeda yang ditawarkan agama-agama yang sangat bermacam-macam itu. Dengan satu
lain cara, agama-agama tradisional ingin mengatasi kondisi manusia itu dengan
mencapai yang tidak terkondisikan. Pengilahian dapat tampak secara
fenomenologis sebagai peniadaan kondisi dari kondisi manusia. Manusia mencapai
yang ilahi (yang bisa ditafsirkan secara berbeda-beda) ketika dia telah
mengatasi kondisinya yang dapat mati. Kekristenan kiranya merupakan model yang
khas untuk sikap ini. Doktrin trinitas Kristen menawarkan pembelaan terhadap
suatu pengilahian total (persatuan dengan Putra) tanpa melenyaopkan pembedaan
Allah-Manusia.
Buddhisme menawarkan suatu sikap yang
berbeda. Ia tidak menginginkan penghapusan kondisi (uncondition) itu tetapi
lebih pembatalan kondisi (decondition) manusia; tidak berupaya untuk mencapai
yang transenden, melainkan mengatasi yang imanen; tidak terlalu peduli mengenai
Allah dibandingkan dengan pembatalan kondisi manusia dengan cara yang radikal
dan mustajab. Manusia harus berhenti menjadi apa yang adanya, bukan untuk
menjadi hal yang lain, bahkan tidak juga untuk menjadi Allah, tetapi untuk
secara total menyangkal situasi manusiawi dan duniawi. Buddhisme mengahncurkan
impian manusia akan suatu kelangsungan hidup yang dapat dibayangkan atau dapat
dipikirkan.
Berlawanan dengan kedua agama di atas,
Sekularisme zaman ini kiranya mewakili suatu sikap baru yang menganggap waktu,
yakni alam semesta yang sementara ini, sebagai yang nyata dan positif, dan
karenanya tidak untuk diatasi.[147]
Sekularisme tidak berarti penghpusan ataupun pembatalan kondisi dari nasib
manusia, melainkan secara jernih mengakuinya sebagaimana ia tampak; tidak
melarikan diri darinya atau menyangkalnya. Kekuatan yang mendorong di belakang
sesuatu Humanisme bertujuan membuat manusia sungguh-sungguh manusia dan tidak
lain kecuali manusia. Dan manusia, menurut Humanisme hendaknya membuang sikap
ketakutan akan kekuatan-kekuatan duniawi atau adiduniawi. Dia telah dewasa,
tidak perlu takut menjadi manusia. Namun setelah mengatasi kekutannya akan
alam, akan Allah dan dewa-dewa, sekarang manusia mulai takut akan dirinya
sendiri sendiri danm kenyataan sosialnya. Maka seluruh persoalan itu pun muncul
kembali. Kita mungkin bertanya, apakah manusia sehingga mungkin bertanya.
Apakah manusia sehinga ia harus dibuat menjadi manusia? Siapkah dia ini yang
masih perlu untuk dibentuk dibentuk, untuk menjadi apa yang bukan (belum?) dia.
b. Homo Viator
Suatu studi yang mendalam tentang
ketiga jawaban di atas kiranya akan melengkapi manusia modern dengan sebuah
model dengan sebuah model yang lebih tergarap daripada suatu pemecahan sepihak
yang sejauh ini ditawarkan.[148]Inilah
tugas Perbandingan Agama.[149]
Kita mungkin memperhatikan adanya
pengandian ganda : (1) manusia adalah adaan (makhluk) yang belum tercapai; (2)
pencapaian ini merupakan manusia yang nyata.
Bagian pertama hampir merupakan soal
yang biasa. Keadaan manusia tidak pernah definitive. Selalu ada ruang untuk
perubahan, penyesalan, harapan, penerangan, keselamatan, perbaikan dan
semacamnya. Nasib manusia adalah tak terhingga karena tidak terbatas, tidak
berakhir. Manusia adalah makhluk yang terbuka: dia mengada keluar (“ek-sets”)
dengan membentangkan adanya, setidaknya menyangkut ruang dan waktu.
Pengandaian yang kedua kurang menyolok,
namun berlaku secara sama untuk ketiga sikap fundamental yang kita bicarakan di
atas. Tidak ada tradisi manusia, religious atapun secular, yang mengesahkan
keterasingan manusia. Mengubah manusia secara radikal menjadi suatu adaan
(makhluk) yang sama sekali berbeda tidak hanya merupakan ajaran simpang
(heterodoks) dan asing bagi sesuatu tradisi, tetapi juga tak masuk akal.
Sesuatu perbedaan hanya mempunyai arti di dalam dan melawan suatu identitas
yang mendasarinya. Perubahan yang mutlak adalah kontradikitif dalam istilahnya
sendiri, sebab tidak ada sesuatu pun yang tinggal dari apa yang dianggap
berubah itu.
Jika Buddhisme mau melenyapkan manusia,
untuk membatalkan kondisi manusiawinya, untuk memadamkan dalam dirinya seluruh
eksistensi samsara, seluruh sisa dari kemakhlukannya, maka hal itu disebabkan
karena ia menganggap manusia tidak ada, bahwa tidak ada atman, sehingga
pemadaman (nirvana) dari seluruh struktur ruang-waktu dan pengalaman merupakan
‘perwujudan sejati dari “kodrat” manusia yang autentik’. Pemusnahan seluruh
konstruksi kita merupakan pembebasan manusiawi yang nyata. Namun hal ini
tidaklah bertentangan dengan sikap pokok ajaran Buddhis yang asli (ortodoks),
yaityu kasih sayang universal (karuna),[150] keramahtamahan yang
tak terbatas. Anda dapat mewujudkan sikap yang tenang, penuh kegembiraan dan
bahkan sikap pragmatis dalam cinta yang efektif hanya kalau Anda telah
mewujudkan sunyata dari semua hal.
Jika Kristianitas ingin mengilahikan
manusia, agar dia ambil bagian dalam kodrat ilahi dan kembali kepada Bapa
melalui Kristus, maka hal itu disebabkan karena kristianitas menganggap kodrat
ilahi merupakan konstitusi manusia yang tertinggi dan paling intim.[151]
Manusia merupakan keturunan Allah[152] dan haruskembali
kepada Bapa untuk secara penuh mewujudkan diri yang sebenarnya.[153]
Namun hal ini tidaklah bertentangan dengan pembedaan antara Allah dan manusia,
ataupun dengan penekanan Kristiani pada kematian dan kebangkitan, kelahiran
baru dan tobat yang total. Kristus yang bangkit begitui pula orang Kristen yang
bangkit, tentu saja merupakan makhluk yang baru,[154] tetapi bukan sesuatu
yang lain (aliud non alius). Orangnya tetap sama.[155]Dalam peristilahan
skolastik; gratia non destruit, sed supponit et perficit naturam (rahmat tidak
merusakkan, melainkan mengandaikan dan menyempurnakan kodrat).[156]
Allah tidak menjadi Allah, tetapi manusia menjadi apa yang belum merupakan
dirinya.
Demikian pula, jika Humanisme ingin
memanusiakan manusia dengan membuatnya sadar dan menerima kondisi manusiawinya,
dan membantunya melawan gidaan untuk melarikan diri ke wilayah-wilayah yang
tidak nyata, maka hal itu disebabkan karena Humanisme beranggapan bahwa masa
depan manusia adalah manusia dan bahwa martabatnya yang autentik berupa
pengakuan teguh terhadap kemanusiaanya, kendati adanya bujukan-bujukan dari
atas atau bawah. Manusia harus menghadapi masa depannya dengan keberanian dan
penuh martabat. Bahkan kalaupun harus berhadapan dengan yang absurd atau yang
tak bermakna, dia harus menerima dan mengakui dirinya dengan teguh.[157]
Sikap ini tidak bertentangan dengan dogma Humanistik yang menyangkal adanya
substansi yang lebih luhur dari manusia, karena ‘masa depan’ yang
disekularisasdiakn memainkan banyak peranan dari Allah monoteistik; tetapi
Humanisme juga menurut suatu kepercayaan yang benar pada manusia, yakni
kepercayaan akan yang tampak. Humanism menurut manusia sikap-sikap kepahlawanan
sama seperti pada agama tradisional.
Akan tetapi, kendati segala persamaan
struktural antara pandangan-pandangan dunia itu, kita tidak dapat mengabaikan
perbedaan antropologi mereka, yakni konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang
manusia dan akhirnya tentang realitas mendasarinya. Tidak ada sesuatu yang
lebih mandul dan berbahaya daripada persetujuan-persetujuan superficial dan
kompromi-kompromi yang bersifat taktis. Perintah untuk memanusiakan manusia praktis
disetuji oleh setiap orang, namun bagi pandangan-pandangan dunia dan tradisi
agama-agama yang berbeda, hal itu berarti hal-hal yang bermacam-ragam dan
berlawan-lawanan. Perjumpaan yang sesunguhnya terjadi ketika kita berhenti
menganalisis pola-pola struktural dan memusatkan perhatian pada sifat dasar
tujuan itu sendiri. Apakah pemanusiaan itu ? Di sini kita tidak dapat berbuat
lebih dari hanya mengajukan pertanyaan.
c. Persimpangan Antara
Jalan-jalan
Jika studi agama mempunyai sesuatu arti
pada zaman ini, maka itulah masalah yang harus dihadapi. Suatu metodik yang sama sekali baru dituntut karena kita
tidak dapat lagi mengajukan masalah ini dalam cara yang terbatas dan particular
seperti yang telah kita lakukan sampai sekarang, dengan membiarkan dunia dibagi
ke dalam kompartemen-kompartemen kultural. Bahkan Humanisme modern, pada
umumnya, sama picik dan terbatasnya terhadap konsepnya sendiri yang khusus
tentang manusia dan Realitas sebagaimana banyak kebudayaan yang lebih
tradisional mengritiknya. Tak seorang pun dapat memutuskan secara apriori apa
arti memanusiakan manusia, tidak juga hal ini sepenuhnya tergantung pada satu
antropologi saja. Di sini bukan suatu metodologi yang dituntut, melainkan suatu
metodik khusus dari dirinya, yang akan
muncul dari dalam dan melalui interaksi timbale balik dan fertilisasi silang
yang dimungkinkan dari agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.
Suatu dialog yang dialogis penting di sini. Dialog yang dialogis ini, yang
berbeda dari dialog yang dialektis, bersandar pada asumsi bahwa tidak seorang
pun mempunyai jalan masuk ke cakrawala universal pengalaman manusia, dan hanya
dengan tidak mendalilkan aturan-aturan perjumpaan itu dari sesuatu pihak saja,
manusia dapat maju menuju pemahaman yang lebih dalam dan lebih universal
tentang dirinya dan karena itu semakin lebih mendekati realisasi dirinya
sendirinya. Pada pokok ini, menginginkan untuk memanusiakan manusia menurut
suatu skema yang telah dikonsepkan sebelumnya. Meskipun bagi sejumlah orang
mungkin meyakinkan, namun hal semacam itu hanya akan mengulangi kesalahan yang
sama yang telah dilakukan begitu banyak tradisi agama dalam keyakinan mereka
sebagai pemilik kebenaran atau Berkewajiban, dan karena itu juga berhak, untuk
menyebarkan pesan keselamatan mereka. Padahal tidak seorang pun dikecualikan
dari tugas untuk memanusiakan manusia; tidak ada tradisi manusia yang mesti
berdiam diri dalam tugas umum ini.
Kita bisa menambahkan suatu pemikiran
akhir, perbedaan antara eklektisisme dan sinkretisme. Yang pertama adalah
campuran yang tidak kritis dari tradisi-tradisi agama dan persetujuan di antara
mereka. Caranya dengan memotong semua ketidaksepahaman yang mungkin demi suatu
denominator (sebutan) bersama yang tidak menentu. Sinkretisme memperbolehkan
asimilasi yang mungkin dari unsur-unsur berkat mana unsur-unsur ini tidak lagi
menjadi badan-badan asing, sehingga pertumbuhan organic dalam masing-masing
tradisi menjadi mungkin, dan penyuburan timbal balik dari tradisi-tradisi agama
menjadi suatu pilihan yang sejati.[158]
Dengan menghindari ekleksitisme, tetapi
dengan memikirkan interaksi yang mungkin – walaupun kita tidak boleh meremehkan
keterangan-keterangan yang ada, entah filosofis, teologis, atau keagamaan,
antara tradisi-tradisi yang sedang dipertimbangkan – kita bisa membayangkan
adanya koreksi, peringatan dan saling melengkapi yang kiranya tidak hanya akan
menghilangkan saling kecurigaan dan sikap-sikap sepihak yang begitu sering
terjadi, tetapi juga membantu memupuk pertumbuhan manusiawi yang nyata dan
dengan demikian menyumbangkan secara positif pemanusiaan yang konkret terhadap
kehidupan manusia di bumi.
Perkenankan saya menunjukkan beberapa
hal untuk dipelajari. Perhatian pokok Buddhisme pada waktu yang tepat
mengingatkan Kristianisme dan setiap Humanisme bahwa tidak ada ‘pewahyuan’ atau
‘penalaran’ yang membenarkan manipulasi dengan kedok ‘kehendak Allah’ ataupun
‘tuntutan-tuntutan Akal Budi’ mau menyetir manusia dan dunia ke tujuan-tujuan
yang telah didefinisikan dengan jelas. Tujuan akhir selalu sedemikian tak
terlukiskan sehingga hal itu malahan tidak ada. Buddhisme dengan seksama
mempertahankan misteri eksistensi yang terakhir, yang secara mutlak tidak dapat
ditangkap. Di sini misteri itu bersifat imanen.
Perhatian pokok Kristianisme pada waktu
yang tepat mengingatkan Buddhisme dan
semua Humanisme bahwa tidak ada usaha sendiri dan kehendak baik yang memadai
untuk merekayasa nasib manusia dengan semestinya. Kita harus terbuka
terus-menerus terhadap pemunculan-pemunculan Realitas itu sendiri yang tidak
diharapkan dan tidak dapat diramalkan, yang oleh orang Kristen disebut sebagai
Allah atau Penyelenggaraan Ilahi. Kristianisme berpihak pada pembelaan yang
autentik dan tidak egois terhadap terhadap hak-hak primordial Realitas itu,
terhadap mana manusia bukanlah tuan. Di sini misteri bersifat transenden.
Selanjutnya, Humanisme pada waktu yang
tepat mengingatkan Buddhisme dan Kristianisme bahwa tidak saja agama-agama tradisional itu sering
melupakan ajaran-ajaran mereka sendiri – seperti mereka yang tidak berwenang
mengenai Buddha,[159]
yang justru menjadi halangan paling besar untuk mewujudkan kodrat Buddha mereka
sendiri,[160]
atau seperti hari Sabat yang dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya[161]
dan kebebasan anak-anak Allah,[162]
dibebaskan oleh Sang Kebenaran sendiri[163] - tetapi juga bahwa
pemanusiaan manusia tidak boleh kehilangan pandangan menyangkut manusia konkret
yang akan dimanusiakan. Menunjkkan jalan atau mewartakan pesan tidak pernah
akan mencukupi jika kondisi-kondisi tidak diberikan dan diolah. Sekularisme
adalah kesadaran akan tanggung jawab penuh manusia terhadap masa yang akan
datang. Di sini misteri merupakan titik pertemuan antara yang imanen dan yang
transenden.
Meskipun ada resiko salah paham yang
bisa terjadi (andaikata kata-kata saya ditafsirkan hanya dalam satu kunci),
saya akan mencoba mengungkapkan apa yang dapat dipertimbangkan sebagai
pemanusiaan manusia yang benar dalam kerangka tiga tradisi besar tersebut.
Pemanusiaan manusia berarti menjadikan dia sungguh-sungguh manusia, tetapi
ekspresi ini berbahaya dan ambivalen karena pembendaan kata kerja di situ
(yakni “memanusiakan”) bukanlah sekedar transitif atau intransitif. Hal ini
bukanlah seolah-olah seseorang lain sedang memanusiakan manusia atau
seolah-olah manusia itu sendiri dapat mencapai apa yang belum menjadi dirinya.
Pemanusiaan manusia lebih dimaksudkan sebagai penceburan ke dalam realitas dan
partisipasi dalam keseluruhan nasib dari semua yang ada, yang terjadi di dalam
dan di luar manusia. Ini adalah suatu proses dalam mana manusia menjadi sungguh-sungguh
seorang pribadi, kadang-kadang melepaskan gambaran yang dia miliki tentang
dirinya sendiri, mati, lenyap, mengatasi dirinya sendiri; saat lain meneguhkan
adanya ketika ia diancam oleh kekuatan-kekuatan asing, tatapi dalam setiap
peristiwa itu ia masuk ke dalam hubungan ontonomis yang lebih dalam dengan
Realitas – apa pun hal yang terakhir ini, entah ada atau tidak ada. Yang
disentuh di sini bukan hanya pantai kelemahlembutan, kekuatan dan kebijaksanaan
tetapi juga lubuk keputusasaan, ketiadaan dan kematian. Pemanusiaan ini harus
menyangkut segala sesuatu sehingga manusia secara unik sanggup untuk itu. Hal
ini tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Setiap orang adalah
simpul yang unik dalam jaringan semesta. Bisa berarti ia harus meraih
puncak-puncak Ketuhanan, jika ini merupakan model yang dimiliki manusia untuk
dirinya sendiri, asal panggilan semacam itu bukan sekeddar suatu proyeksi
kosong dari keinginan-keinginan rendah yang tak terpenuhi. Bisa pula berarti
manusia harus menyentuh pantai ketiadaan, asalkan dia tidak tinggal tempat yang
tidak bereksistensi itu. Bisa berarti mengembangkan seluruh kemampuan manusia,
asalkan hal-hal itu bukan mimpi-mimpi yang dibuat-buat. Akhirnya ini berarti
mengetahui dan menerima nasib manusiawi dan sekaligus mengetahui bahwa nasib
manusiawi ini membawa sertanya usaha terus-menerus untuk mengatasi semua yang
merupakan manusia sekarang.[164]
Dalam pengertian inilah, dewasa ini
suatu stadium tentang agama secara jujur dan dengan keterlibatan total (karena
tidak berpamrih), dengan segala risiko, ketidakpastian dan kegirangan yang
menyertainya, barangkali merupakan salah satu dari tindakan keagamaan yang
paling autentik – setidaknya bagi beberapa orang dari kita.
BAB VI
AGAMA MASA DEPAN
Ada Banyak Ramalan (Prophecies) dan beberapa kepercayaan
dalam subyek ini, tetapi yang paling diperlukan adalah untuk memahami apa arti
agama. Agama yang ada saat ini, atau agama yang akan datang, atau agama masa
lalu, adalah untuk mereka yang membagi Kebenaran, yang sebenarnya satu, menjadi
banyak. Sebenarnya apakah itu? Dan mau jadi apa. Apakah pemikiran ini tidak
didukung oleh Yesus Kristus, yang berkata: “Aku
tidak datang untuk memberi hukuman baru; aku datang untuk memenuhi hukum?” Jika Yesus Kristus berkata demikian, maka
dapatkah orang lain menyatakan diri dan berkata: “Aku memberimu agama baru?” Tidak ada agama baru; orang dapat saja
berkata, “Aku ingin mengajarimu
kebijaksanaan baru.” Tidak ada
kebijaksanann baru; kebijaksanaan selalu sama, sejak dulu hingga sekarang dan
untuk yang akan datang akan begitu seterusnya.
Hal ini, bagi orang yang hatinya masih
penasaran akan menimbulkan suatu pertanyaan; “lantas keanekaragaman agama macam apa ini, yang telah melibatkan umat
manusia selama bertahun-tahun dalam konflik antara satu dengan yang lain,
karena sebagian besar peperangan dipicu oleh sebab agama?” ini hanya
menunjukkan kekanak-kanakan manusia. Agama yang dulu dan sekarang diberikan,
dimanapun diberikan adalah untuk
persatuan, untuk keharmonisan, persaudaraan, tapi diperguna-kan oleh manusia
yang kekanak-kanakan untuk berselisih, bertengkar dan melibatkan diri mereka
sendiri dalam peperangan selama bertahun-tahun. Hal yang paling mengge-likan
bagi orang bijaksana adalah untuk memikirkan dan melihat bagaimana mereka telah
memberi nama dalam sejarah masa lalu, suatu karakter yang dianggapnya paling
suci untuk ikut berperang, pertumpahan darah dan menyebut perang itu sebagai
perang suci, atau perang keramat. Dan kecenderungan yang sama untuk memicu
peperangan antara yang satu dengan yang lain, bermula dari agama mereka, hal
ini terus berlangsung dalam kurun waktu materialism; kecenderungan yang sama
berubah menjadi perang antara dua Negara. Pada saat yang sama keberadaan dari
perbedaan dan ketidaksamaan antara dua kepercayaan yang berbeda masih tetap ada
dalam tingkatan yang lebih kecil ataupun justru malah lebih besar. Fenomena ini
menunjukkan apa? Hal ini menunjukkan bahwa arti sebenarnya dari agama belum
dipahami oleh sebagian besar orang. Oleh karena itu misi bahwa agama harus
menjadi penyelesai dalam hubungannya dengan umat manusia, masih tetap ada untuk
ditindaklanjuti. Dan pemenuhan tugas itulah yang telah diisyaratkan oleh Yesus
kristus: “Aku datang untuk menyempurnakan
hukum, bukan untuk memberikan hukum baru”.
Agama bisa dipandang dari lima sisi.
Yang pertama, agama yang kita ketahui sebagai dogma-dogma, hukum-hukum ataupun
ajaran-ajaran tertentu. Kemudian ketika Tuhan berfikir dan melihat keadaan
dunia sekarang ini, kita melihat bahwa hukum sekarang ditentukan oleh Negara.
Sekarang setiap Negara bertanggungjawab atas ketentraman dan kedamaian
penduduknya.
Disamping ini, aspek agama yang kedua
adalah gereja (tempat ibadah) dan bentuk leyanannya. Dalam hal ini terdapat
perbedaan-perbedaan, dan akan selalu ada perbedaan; ini adalah masalah
temperamen, masalah kecenderungan, dan juga tergan-tung pada adat kebiasaan dan
kepercayaan orang yang mewarisi kecenderungan tersebut dari leluhurnya.
Beberapa agama mempunyai bentuk upacara dan do’a-do’a yang berbeda tempat ibadahnya yang dapat membantu mereka
merasakan peninggalan (spiritual); yang lainnya hanya mempunyai bentuk-bentuk
pelayanan yang sederhana. Yang satu menarik bagi yang pertama sedangkan yang
lain menarik bagi yang berikutnya.
Tidak diragukan lagi, dunia berevolusi
menuju keseragaman, dan selagi kita sekarang melihat tidak ada persedaan yang
sangat besar antara bentuk-bentuk tersebut – bentuk dari segala sesuatu,
perbedaan kebiasaan dalam hal penyambutan, berpakaian, dan masih banyak lagi –
sehingga orang menuju keseragaman tertentu. Pada saat yang sama, ketika kita
melihat pada subyek tersebut dari sudut pandang yang berbeda, kita akan
menemukan bahwa bahwa seringkali keseragaman menghilangkan keindahan dalam
hidup ini. Di Negara-negara yang begitu beradab dan maju, bilamana semuanya
berpakaian dengan cara yang sama, orang akan menjadi bosan sehingga mereka
ingin pergi kenegara lain dan melihat rumah-rumah yang berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya, demikian juga dengan orang-orangnya. Sebagai contoh, metode
menulis music dan bentuk notasi untuk seluruh dunia Barat sama semua, tetapi
perbedaan antar music Perancis, Italia, Jerman, Rusia member suatu stimulus
bagi pecina music. Demikian juga dalam perbedaan bentuk-bentuk tadi.
Menginginkan untuk menjadikan semua orang hidup serupa dan bertindak sama
berarti mengubah semua orang menjadi satu bentuk dan satu wilayah, dan apa yang
terjadi kemudian? Dunia akan menjadi sangat tidak menarik. Yang diperlukan
adalah untuk mengetahui bagaimana menciptakan keharmonisan antara nada-nada
yang berbeda tersebut.
Aspek
agama yang ketiga adalah religious ideal
(beragama secara ideal), agama Tuhan
dan Yesus Kristus. Tuhan dan Yesus Kristus adalah jiwa yang telah dijunjung
tinggi sebagai ideal-nya. Itu adalah
sesuatu yang tidak bisa didiskusikan, sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan.
Semakin sedikit dibicarakan, semakin baik. Ini adalah hasil dari penyerahan
diri dari hati yang tulus yang melahirkan ideal
tersebut yang terlalu suci untuk disebut, suatu ideal yang tidak bisa diperbandingkan, tidak bisa dijelaskan.
Ketika pengikut agama-agama yang berbeda sampai pada pertanyaan ini dan
berselisih tentang sesuatu yang ideal bagi
mereka, sesuatu yang suci yang mereka punyai walau sebatas tradisi – mereka
tidak mengetahuinya, mereka hanya mempunyai tradisinya – dan berharap untuk
membuktikan lebih dari yang lainnya, mereka sesungguhnya membuang-buang waktu
dan mereka sendiri menghancurkan sentiment suci yang hanya bisa dipelihara
dalam hati. Religious Ideal adalah
sarana yang dipakai seseorang untuk meningkat menuju kesempurnaan. Apapun nama
yang orang berikan pada ideal-nya,
nama itu hanya untuknya, dan nama itu bukanlah yang paling suci baginya. Tetapi
berarti bahwa nama tersebut membatasi ideal
tersebut. Hanya ada satu ideal,
divine ideal (teladan/cita-cita keilahian). Panggilah ia sebagai Kristus,
dan biarkan Kritus yang sama diketahui dengan nama berbeda, yang
diberikan padaNya oleh berbagai komunitas. Sebagai contoh, seseorang yang
mempunyai kesetiaan besar, cinta yang besar dan keterikatan pada temannyam
berbicara tentang persahabatan dalam kata-kata yang muluk, dan dia berkata
betapa berharganya untuk menjadi temannya; tetapi kemudian ada yang lain lagi
yang berkata: “Oh, aku tahu temanmu, bagaimana dia sebenarnya; dia tidak lebih baik
dari orang lain.” Jawaban terhadap pemikiran ini diberikan oleh Majnun, dalam
kisah yang diceritakan oleh orang-orang dahulu, yang mana seseorang berkata
pada Majnun, “Leila kekasihmu itu, tidak secantik yang kamu kira.” Dia
berkata,”Leilaku harus dilihat dengan mataku. Jika kamu ingin melihat betapa
cantiknya Leila, kamu harus meminjam mataku.” Oleh karena itu jika anda ingin
menghargai obyek kesetiaan, apapun kepercayaannya, atau apapun komunitasnya,
orang yang bagaimanapun, anda harus meminjam mata mereka, anda harus meminjam
hati mereka. Tidak ada gunanya memperselisihkan sejarah, tradisi dalam sejarah;
karena hal-hal tersebut seringkali dibuat dengan prasangka. Kesetiaan adalah
masalah hati, dan dibuat oleh mereka yang setia.
Aspek
agama yang keempat adalah gagasan tentang Tuhan. Akan selalu ada perdebatan dan
diskusi mengenai hal itu, orang berkata, “Tuhannya keluargaku adalah satu, dan
Tuhannya keluargamu lain lagi.” Selalu ada pertengkaran. Pada zaman dahulu ada
perselisihan antara orang-orang yang berkata bahwa Tuhanna Bani Israil adalah
Tuhan yang istimewa; maka setiap komunitas dan setiap Gereja membuat Tuhannya
adalah Tuhan yang istimewa. Jika ada Tuhan yang istimewa, tidak hanya Tuhan
istimewa untuk satu komunitas, tetapi Tuhan setiap individu. Karena manusia
harus membuat Tuhannya sendiri sebelum merealisasikan Tuhan yang sesungguhnya.
Tetapi Tuhan yang dibuat manusia di dalam dirinya sendiri, pada akhirnya
menjadi pintu baginya untuk memasuki tempat suci dari dirinya yang terdalam,
Tuhan yang sejati, yang ada di dalam hati setiap manusia. Maka orang yang akan
mulai menyadari bahwa Tuhan bukanlah hanya Tuhan untuk satu komunitas atau
orang-orang tertentu saja tetapi Tuhan adalah Tuhan dari seluruh Keberadaan.
Kemudian
sampailah kita pada aspek agama yang lain, yang tidak memerlukan hokum atau
upacara atau divine ideal atau Tuhan,
tetapi sesuatu yang terlepas dari keempat aspek diatas. Yaitu, sesuatu yang
hidup dalam jiwa, dalam pikiran, dalam hati manusia, ketiadaannya memnbuat
manusia seperti mati, dan kehadirannya member kehidupan. Seandainya ada agama,
itu adalah perasaan yang khusus. Rasa yang bagaimana? Hindu menyebutnya dalam
bahasa sanskerta: Dharma, yang dalam arti kata biasa adalah kewajiban. Tetapi
ia adalah sesuatu yang lebih besar daripada yang kita ketahui dalam kehidupan
sehari-hari sebagai kewajiban. Saya tidak menyebutnya kewajiban, tetapi hidup
itu sendiri. Ketika seseorang banyak berpikir, menimbang-nimbang, merasa ada
sesuatu kewajiban yang harus dia kerjakan terhadap sesamanya, terhadap
temannya, terhadap ayah atau ibunya, atau dalam hubungannya dengan siapapun
orang itu, selama masih menjadi manusia, ia adalah sesuatu yang hidup, sesuatu
yang seperti air, yang member rasa akan jiwa yang hidup; jiwa yang tidak mati. Jiwa yang hidup inilah yang
sesungguhnya membuat seseorang hidup. Dan orang yang tidak menyadari hal ini,
kelembutan ini, kesucian hidup ini, dia hidup, tetapi jiwanya ada didalam
kubur. Anda tidak perlu bertanya pada orang itu apa agamanya, apa
kepercayaannya, karena ia hidup didalamnya; hidup itu sendiri adalah agamanya,
dan inilah agama sejati. Manusia yang sadar akan kehormatan, yang punya rasa
malu, yang mempunyai rasa ketulusan, yang mempunyai rasa simpati, yang
mempunyai rasa penuh kesetiaan, orang tersebut jelas hidup, orang tersebut
benar-benar beragama.
Agama
inilah yang menjadi agama masa lalu dan akan menjadi agama masa depan. Dan
agama, jika diajarkan oleh Kristus atau Orang Suci lainnya, adalah untuk
membangkitkan rasa tersebut dalam diri manusia.
Tidak
peduli kerumah ibadah mana anda masuk dan berdo’a, karena setiap saat dari
hidup anda adalah agama itu sendiri. Maka hal itu bukanlah agama yang anda
percayai, tetapi itu adalah agama yang mana anda hidup.
Apakah ajaran Sufi itu? Sufisme adalah Ajaran yang menggali hidup yang
seperti air, yang telah terkubur oleh riak-riuk kehidupan materiil ini. Ada
ungkapan Inggris: “Jiwa yang hilang.” Jiwa itu tidak hilang, hanya terkubur.
Ketika ia digali maka sifat keilahian yang hidup memancar keluar seperti air.
Pertanyaannya adalah, apa yang disebut menggali itu? Apa ayng digali orang dari
dalam dirinya sendiri? Apakah tidak benar, tidak disebutkan di dalam
kitab-kitab bahwa tuhan adalah Cinta? lantas dimanakah Tuhan harus dicari?
apakah Dia harus dicari ke Surga ke tujuh ataukah Dia harus dicari di dalam hati manusia? Dia harus
dicari di dalam hato manusia, yang menjadi tempat sucinya. tetapi jika hati ini
terkubur – hati yang telah kehilangan cahayanya, kehidupan itu, kehangatan itu
– lantas ia nanti menjadi seperti apa? ia seperti kuburan. keadaan seperrti itu digambarkan dalam lagu
popular inggris, satu baris yang indah: “cahaya seluruh kehidupan mati
ketika cinta usai”. sesuatu yang hidup dalam hati tersebut adalah cinta. ia
bisa dating dalam bentuk kebaikan, persahabatan, simpati, toleransi, sikap
pemaaf – dalam bentuk apapun dalam air kehidupan ini muncul dari hati, ini
membuktikan bahwa hati adalah sebagai mata air keilahian. dan begitu mata air
ini terbuka dan mengalir, setiap yang dilakukan manusia seperti suatu
perbuatan, perkataan, perasaan, itu semua adalah agama; orang itu menjadi
pemeluk agama.
jika ada agama yang akan datang,
suatu agama baru, tentulah agama itu agama hati. setelah mengalami berbagai
penderitaan yang disebabkan oleh peperangan pada akhir-akhir ini, manusia mulai
membuka matanya. dan seiring dengan berlalunya waktu, manusia akan membuka
matanya untuk mengetahui dan memahami bahwa agama yang benar ada di dalam hati
yang terbuka, dalam pandangan yang luas, dan dalam agama yang hidup yang mana
itu adalah: satu agama.
VII
AGAMA
MANCARI YANG IDEAL
Agama adalah kebutuhan jiwa umat
manusia. di sepanjang sejarah dan disetiap tahap evolusi umat manusia, ada
agama yang diikuti eloh penduduk dunia. pada tahap evolusi apapun, dan dalam
periode manapun, kebutuhan akan agama selalu dirasakan kehadirannya. alsannya
adalah, bahwa jiwa manusia mempunyai lima keinginan yang mendalam, dan
keinginan itu terjawab oleh agama.
1
Keinginan yang pertama adalah mencari
ynag ideal. akan datang suatu saat, ketika manusia datang mencari keadilan yang
lebih utuh daripada yang dia temukan diantar manusia, dan ketika dia mencari
seseorang, yang padanya dia bisa bersandar lebih yakin dari pada yang dia
dapatkan ketika bersandar pada teman-temannya didunia ini. akan datang suatu
kondisi, ketika seseorang merasakan suatu keinginan untuk membuka hatinya pada
tingkat keberadaan yang berada di atas keberadaan umat manusia dan yang dapat
memahami hatinya. Manusia secara alamiah berkeingina untuk bertemu dengan
seseorangyang lebih hebat darinya. dan ketika dia mencari di dunia yang fana
ini, - karena jiwa tidak bisa sampai pada tahap yang menurutnya ideal – dia
secara alamiah berpaling keatas menuju ”seseorang” yang lebih tinggi
dari manusia. manusia ingin merasakan bahwa ada “seseorang” yang datang
menolongnya, “seseorang” yang ada didekatnya ketika berada di dalam
kesendirian. dia merasakan kebutuhan untuk memohon pengampunan pada “seseorang”
yang berada di atas batas keterbatasan manusia, dan mencari perlindungan di
bawah “seseorang” yang lebih kuat darinya. dan untuk semua kecenderungan
alami Manusia ini ada sebuah jawaban, dan agamalah yang dapat memberikan
jawbannya itu: ialah Tuhan.
2
Setiap mahluk hidup didunia ini
mencintai kehidupan di atas yang lainnya. Serangga terkecil, yang hidupnnya
berlangsung beberapa saat, mencoba untuk meloloskan diri dari setiap bahaya
supaya hidup lebih lama. dan keingina untuk hidup adalah hal yang paling jelas
terlihat dalam diri manusia. begitu kecerdasan diberikan pada diri manusia, dia
mulai bertanya-tanya, apakah sesungguhnya hidup ini adalah persinggahan, dan
jika begitu, setelah hidup ini apakah semuanya akan berakhir. suatu pemikirang
yang menyatakan bahwa, ”setelah hidupku yang pendek ini, dunia akan terus
berjalan; ia akan hidup” – pemikiran seperti ini, bagi seorang manusia, lebih
mengerikan daripada kematian. dan jika kehidupan tidak memiliki efek
melelapkan, pemikiran seperti ini akan membunuh banyak orang. orang yang
berpikir bahwa setelah kehidupan ini tidak ada yang lain lagi, maka pemikiran
itu tidak dapat bertahan dalam waktu lama. bila berpaku dalam pemikiran ini dan
erus merenungkannya, adalah seperti apa yang dirasakan oleh orang-orang yang
berdiri diketinggian dan melihat ke bawah membuatnya ngeri. kepercayaan bahwa
hidup akan terus berjalan setelah kita mati, adalah gagasan yang paling
menyenangkan bagi setiap jiwa. Orang yang belum menerima hasil atas
usaha-usahanya, kebaikannya: orang yang belum, dalam keehidupannya, betemu
dengan satu jawaban pada rasa keadilan
di dalam dirinya; orang yang belum
menemukan dalam dirinya suatu kepuasan secara seutuhnya; Orang yang belum bisa
memenuhi keinginan dalam hidupnya, harannya sesudah itu ada di dalam apa yang
akan datang, dan Agama ini menjanjikan kepadanya.
3
Manusia mempunyai keinginan akan
kemuliaan, kemuliaan yang didapat dalam kebersihan lahir dan kesucian bathin.
Manusiaingin merasakan kemuliaan baik dengan kekuatan atas kata-kata(perintah)
dan dari lingkungan sekelilingnya. Manusia mengusahakan kemuliaan tersebut
dengan pemikiran, dengan tindakan dan dengan perasaan.secara alamiah hidup di
dunia ini mengikat manusia secara terus-menerus kepada bumi (dan
gemerlapnya). panca inderanya terus menerus menariknya agar condong ke
bumi; sifat alami manusia yang kasar, yang sering sekali membuat
kejutan-kejutan(ingin berbeda dengan lainnya), suatu ketertarikanyang
inheren ada pada manusia terhadap bumi, dan menyebabkan manusia secara
terus-menerus memikul beban tanggung jawab yang berat, dan pada akhirnya
disadari, bahwa tanggung jawab ini tidaklah penting benar. satu-satunya
perubahanyang bisa dilakukan untuk menghilangkan tanggung jawab material pada
dirinya adalah dengan berdo’a, baik sendiri-sendiri maupun bergabung dengan
yang lainnya dalam ritual dan upacara keagamaan, ini merupakan sarana bagi
manusia untuk meraih kemuliaan tersebut sebagai jawaban atas keinginannya.
4
Manusia dengan semakin dewasa jiwanya,
berkeinginan untuk menemukan kehidupan yang hakiki. Dia berkeinginan untuk
menemukan kekuatan tersembunyi yang ada didalam dirinya, Dia berkeinginan
menemukan asal muladan tujuan hidupnya, Dia rindurindu untuk memahami tujuan
dan arti hidup, dia ingin memahami arti yang sebenarnya atas segala sesuatu,
dan ia ingin membuka atas semua yang tertuttup oleh nama dan bentuk: Dia mencari
pengertian yang mendalam pada sebab dan akibat, dia ingin menguak misteri Waktu
dan ruang, dan dia ingin menemukan rantai yang putus antar Tuhan dan Manusia –
dimana Manusia berakhir, diman Tuhan bermula. dan pemenuhan atas keinginan ini
juga dapat ditemukan dalam hubunganya
dengan semangat yang diberikan oleh agama.
5
Adalah keinginan yang paling alamiah
dari jiwa manusia adalah mencari kebahagiaan dan kesenangan. Manusia
menginginkan adanya prinsip-prinsip dasar sebagai pegangan hidupnya, dan dia
mengharapkan standar moral sebagai aturan bermasyarakat. Dia menginkan
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat; dia menginginkan kehidupan bersama
orang yang dicintainya; dia menginginkan keamanan atas semua yang menjadi
miliknya, timbale balik yang paling menguntungkan , member dan menerima yang
adil, dan segala hal yang memberikan kebahagiaan dan kedamaian di rumah dan di
Negara.
Di dunia pada saat ini, masih banyak
orang yang berpikir bahwa orang bisa berbuat tanpa agama, dan bahwa mereka
sendiri telah menguasai (menjadi lebih tinggi dari) agama dengan alasan evolusi
mereka. banyak yang tidak mempunyai kepercayaan dalam beragama. Oleh karena
itu, dunia berada dalam keadaan yang lebih kacau. tidak diragukan lagi orang
dapat menemukan dalam tradisi maupun dalam sejarah, bahwa atas nama agama,
keegoisan dan pengbaian terhadap umat manusia telah memainkan peran yang besar.
karena itu manusia – bangkitlah menentang keadaan ini – telah meninggalkan
agama, dan melupakan semangat yang mengatasnamakan agama, juga telah memainkan
sebagian perannya di dunia. sekarang, dalam ketidakadaan pengaruh agama,
semangat yang dengan nama agama dapat memainkan perannya dalam sejarah,
selanjutnya semangat ini berperan dibawah modernisme. meskipun manusia mencoba
membuat pemisah antara dirinya dengan orang lain, dirinya selalu merasakan
kekurangan dalam dirinya, di dalam rumah dan di negrinya. ini bisa dilihat ,
saat ini, diantara para materialis, yang tidak akan memperbolehkan dirinya,
walaupun sekejap, untuk memeluk suatu keyakinan: Agama, tetapi mereka masih
saja belum puas. alasannya adalah bahwa mereka kehilangan sesuatu yang sangat
besar dan sangat penting, sesuatu itu tidak bisa mereka capai karena mereka
telah membagun tembok di hadapan mereka sendiri.
BAB VIII
TUHAN DAN SEJARAH
Andaikan kematian seseorang berarti
akhir seluruh cerita hidupnya, yang berarti setelah mati tak ada lagi
kelanjutan hidup dan tak ada yang namanya pahala (reward) dan siksa (punishment),
maka rasanya cerita kehidupan menjadi sangat pendek dan hampa (absured).
Sejak terjang dan hiruk-pikuk kehidupan lalu berjalan tanpa tujuan yang lebih
tinggi, kecuali sekedar menjalani hidup layaknya tumbuh-tumbuhan. Semuanya
berakhir dengan kekalahan dan kepunahan. Andaikan tak ada keabadian jiwa
setelah peristiwa kematian, sehingga tak ada pengadilan Tuhan Yang Maha Adil
setelah peristiwa kematian, landasan moral apakah yang dijadikan pijakan absolut
dalam menjalani hidup yang kadang kala sangat menyakitkan dan sulit dipahami
ujung pangkalnya ini?
Demikianlah, sejarah manusian sejarah
alam raya selalu menjadi obyek renungan dan perdebatan yang tidak pernah
selesai karena terlalu kecil dan sangat terbatas kemampuan manusia untuk bisa
memahami realitas hidup yang ujung dan pangkalnya di luar kemampuan nalar
manusia. Kita tidak tahu secara persis bagaimana kehidupan ini bermula dan
bagaiman akhirnya akan berakhir. Atau, adakah tidak bermula dan tidak berakhir?
Di sini jelas sekali bahwa pemahaman dan pengetahuan manusia banyak mengandung
perkiraan, tafsiran, dugaan yang kemudian dipercayai sebagai sebuah keyakinan
karena hidup tanpa keyakinan bagaikan orang berjalan tanpa tujuan dan tapa
tempat berteduh. Lelah dan bingung. Terlepas adakah sebuah keyakinan memang
benar ataukah salah, yang pasti hidup tanpa keyakina tidak akan tenang. Adakah
dalam hidup ini terdapat keyakinan yang kebenarannya absolut sehingga mampu
membimbing pengembaraan hidup dan melewati batas-betas duniawi yang teramat
pendek, teramat dekat, dan sangat terbatas ini?
Sulit dinafikan, di samping cerita
bahagia, sejarah kehidupan juga menyajikan serial derita, ketidakadilan,
kedzaliman, dan pengorbanan dari mereka yang sesungguhnya tidak bersalah. Jika
kenyataan ini dipandang secara negatif, maka di mana peran Tuhan yang
membiarkan smua ini berlangsung? Beberapa pertanyaan klasik yang selalu diulang
antara lain, jika Tuhan Maha Kasih dan Maha Perkasa, mengapa kedzaliman
terhadap mereka yang lemah dan tidak berdosa dibiarkan saja? Ketika rakyat
sipil di Irak diajar dan dibantai oleh tentara Amerika dan Inggris, di mana
campur tangan Tuhan? Jika Tuhan Maha Tahu, mangapa ada istilah Ia hendak
menguji pada manusia yang lemah dan bodoh ini? Yakin bahwa Tuhan tidak pernah
tidur, adakah proses sejarah ini selalu diintervensi ataukah dibiarkan berjalan
bagaikan sebuah jam yang berjalan otomatis? Ataukah sesungguhnya sejarah
berjalan tanpa pakem (batasan-batasan standar) yang baku?
Demikianlah, pelbagai pertanyaan
teologis dan filosofis senantiasa muncul ketika kita dihadapkan pada relaitas
sejarah yang begitu kompleks dan sering kali sulit dipahami oleh nalar. Asumsi
dan jawaban yang muncul dari pelbagai pertanyaan di atas sangat beragam,
dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing. Para ilmuan, teolog, filosof, dan
sejarawan terbagi-bagi pada pelbagai madzhab sehingga sudut pandangnya berbeda
yang pada urutannya melahirkan kesimpulan yang juga berbeda. Dengan kata lain,
kita memang sulit lari dengan penafsiran terhadap Tuhan dan penafsiran atas
kehendak-Nya, juga terhadap realitas sejarah itu. Karena penafsiran, mungkin
sekali – atau bahkan pasti – mengandung kesalahan, tetapi jika dilakuka secara
tulus, cermat, dan didorong oleh cinta kebenaran, pasti ada kebenarannya.
A. Memakai Pengorbanan
Pelbagai peristiwa sejarah selalu
melahirkan tragedi yang sulit dicerna oleh nalar sehat dan hati nurani. Tak
terhitung jiwa manusia melayang dan sebuah masyarakat mengalami kehancuran
akibat kebiadaban orang lain. Contoh paling mutakhir adalah rakyat Palestina
dan Irak. Bagaimana memahami dan menafsirkan semua ini?
Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, salah satu pandangan teologi Islam yang dikenal qodariyah
menyebutkan bahwa Tuhan memang sebagai pencipta, penguasa, dan pengatur
sejarah. Namun keterlibatan Tuhan dalam sejarah telah dituangkan dalam suatu
hkum-hkum sejarah dan hukum alam. Jadi pada setiap peristiwa sejarah,
intervensi Tuhan tidak langsung dan seketika. Di sana telah terbuka panggung
kebebasan dan kecerdasan manusia untuk menerima tanggung jawab sebagai khalifah
Tuhan di muka bumi. Manusia lalu akan belajar dari perjalanan umat yang telah
lalu, bagaimana membangun kehidupan yang beik, beradab, dan sejahtera.
Sekalipun Tuahn tidak langsung
berintervensi, namun kaidah dan catatan mral bagi setiap individu tidak pernah
berhenti. Dalam konteks demikian maka sesungguhnya setiap derita nasib buruk
yang menimpa orang tidak bersalah akan menjadi sebuah pengorbanan yang tidak
sia-sia bagi proses pendewasaan dan pembelajaran manusia untuk membangun
kehidupan yang beradab dalam pangung sejarah. Dan mereka menjadi korban demi kebaikan
orang lain diyakini akan memperoleh kehidupan akhirat yang jauh lebih baik dan
lebih mulia dari mereka yang merasa sukses hidup di dunia yang diraih secara
semu karena haisl rampasan dan penpuan atas hak-hak orang lai.
Pandangan lain yang disebut Jabariyah
bahwa seluruh peristiwa sekecil apa pun dalam sejarah merupakan pekerjaan
Tuhan. Posisi manusia benar-benar seperti wayang yang hanya mengikuti kemauan
sang dalang. Sejarah adalah panggung Tuhan untuk mempertunjukkan kekuasaan-Nya
dan wadah untuk menerima kasih-Nya. Tuhan menciptakan manusia dan jagad raya
sebagai prosuk dari kemauan-Nya dan sebagai cermin yang akan memantulkan
wajah-Nya. Karena Tuhan Maha Kreatif dan Maha Berkehendak, maka sejarah adalah
ekspresi dari kreatifitasnya, ibarat sang pelukis mengekspresikan gagasannya
dalam kanvas sejarah. Perdebatan seputar Qodariyah dan Jabariyah ini
sesungguhnya muncul dalam ilmu sosial dan ilmu alam. Pendukung paham
Behaviorisme-Positivisme mengatakan bahwa perilaku manusia adalah produk dari
pelbagai elemen-material yang ada baik yang ada di dalam mapun di luar,
sehingga seseungguhnya semua tindakan manusia itu tidak ada yang murni muncul
dari pilihan sadar dan kemerdekaan yang dimiliki. Bahkan yang namanya jatuh
cinta pun dapat dikaji secara ilmiah pada formula mekanisme stimulus dan respon
pada tataran psikobiologis.
Pandangan di atas tentu tidak
menawarkan fondasi moral absolut dan menafikan prinsip pengorbanan yang
dipahami dalam ajaran agama. Kalau paradigma penafsiran semacam ini diterima,
maka sejarah adalah panggung bagi rentetan peristiwa dan perubahan yang secara
moral bersifat random (acak) dan untung-untungan dari perjalanan nasib. Namun
dari sudut padang agama, pelbagai tragedi sejarah yang menampilkan sosok
pemenang (winner) dan kalah (loser) hanyalah persepsi manusia belaka, karena
sesungguhnya penglihatan manusia terhadap realitas hidup ini teramat sangat
sedikit dan banyak sekali kelemahannya.
Fasilitas ruang dan waktu yang sempat
dimiliki manusia secara individual bagaikan sebutir pasir dan sedetik jarum jam
ketika diposisikan dalam perspektif ruang dan waktu yang tidak terbatas. Kapan
bermula dan kapan berakhir lorong waktu ini, sungguh kita hanya bisa bertanya
namun tidak bisa menjawab. Begitupun sampai di mana batuas ruang ini, akal
manusia terjenti dan tidak bisa memebri jawaban mutlak. Kesadaran akan
keterbatasan diri untuk memahami pelbagai tragesi dan keagungan alam ini
memberi ruang bagi kesadaran agama untuk menghayati makna “Islam”, yaitu sikap
berserah diri pada Tuhan. Dari sinilah maka hidup tidak mengenal kata kalah,
karena “kebersilaman” seseorang merupakan penyerahan diri dan pengorbanan
terhadap Sang Pemilik sejarah. Andaikan dalam hidup tak ada konsep “berkorban”
demi tujuan yang lebih mulia, sekalipun orang lain yang akan menuai hasilnya,
maka jalannya sejarah manusia menjadi dangkal dan absolut dipahami.
Kata “korban” sendiri berasal dari
bahasa Arab yang berarti “dekat”, yaitu bekerja keras dengan segala kemampuan
yang ada serta mengalahkan dominasi egoisme termasuk ego kepemilikan harta
untuk meningkatkan kualitas hidup agar seseorang menjadi dekat pada Tuhan.
Uoaya untuk dekat kepada Tuhan ini ditempuh dengan cara membangun kedekatan
dengan hamba Tuhan yang teraniaya, yang memerlukan pertolongan. Oleh karenanya,
kata “korban” itu konotasinya selalu dikaitkan dengan “pemberian”, baik harta,
raga maupun jiwa untuk tujuan yang mulia. Dalam pengertiannya yang populer,
korban lalu diartikan sebagai “victim”, yaitu nasib buruk semacam kecelakaan
akibat tindakan orang lain, padahal pada dia sendiri tidak dalam posisi salam.
Dia menanggung derita akibat ketidakadilan sosial maupun keganasan alam. Kalau
saja semua ini tidak dihiraukan oleh pemilik hidup, yaitu Tuhan, maka wsejarah
tidak memiliki pijakan moral absolut, durasi hidup sangat pendek dan tidak
memiliki harapan transendental. Lalu di sana tak ada lagi makna syuhada, yaitu
mereka yang rela menderita dan meninggal demi membela kebenaran ajaran Tuhan.
Uraian di atas tentu sangat
mengandalkan penafsiran rasional atas relasi sejarah dan Tuhan. Namun banyak
orang yang menafsirkan dan akhirnya menerima realitas sejarah berdasarkan
pengalaman dan keyakinan batiniyahnya. Kalangan sufi yang merasa dan meyakini
telah memeperoleh pencerahan Tuhan melalui mata hatinya yang dikenal dengan
istilah syuhud memiliki perspektif lain kalau bicara tentang sejarah. Mereka
melihat sejarah dari dua macam perspektif waktu dan peristiwa, dengan kacamata
immanent dan sekaligus juga trancendent. Ruang dan waktu historis dan metahistoris. Batas dunia dan akhirat
telah transparan di mata mereka.
B. Intervensi Tuhan
Salah satu semangat dan ciri aktivitas
keberagaman yang cukup menyolok adalah berdoa agar Tuhan melakukan intervensi
dalam peristiwa sejarah. Di mana da kehidupan, di situ ada problem, ada penderitaan,
dan ada kematian. Selama ada kehidupan maka selama itu juga ada kegiatan
berdoa, sehingga dikatakan bahwa inti agama sesungguhnya berupa ritual doa. Ada
doa yang dilakukan sendiri-sendiri dan ada pula yang beramai-ramai.
Setiap agama besar memiliki keyakinan
dan tradisi tersendiri tentang upacara doa ini. Yang paling spektakuler adalah
meungkin saja umat Islam yang ramai-ramai berkumpul dalam satu ruang dan waktu
dalam jumlah di atas satu juta orang yang dikenal dengan ibadah haji. Inti dari
doa di samping ingin memanjatkan rasa syukur adalah memohon agar Tuhan memberi
perhatian, perlindungan, dan campur tangannya agar seseorang berhasil menjalani
hidupnya dengan baik dan sejahtera. Pendeknya, ketika berdoa seseorang
mengharap terjadinya intervensi Tuhan untuk mengubah jalannya hukum alam dan
hukum sejarah dengan keyakinan karena Tuhan mengatasi hukum sejarah.
Intervensi Tuhan dalam sejarah yang
dianggap paling nyata adalah peristiwa terjadinya pengiriman para rasul dan
nabi yang dilengkapi dengan mukjizat. Dari sudut bahasa, mukjizat artinya
senjata pemungkas, suatu bukti intervensi Tuhan yang menyertai kehadiran
rasul-Nya untuk mengalahkan keangkuhan para penentangnya. Al-Qur'an, misalnya,
bagi orang yang beriman lebih dihayati sebagai anugerah dan petunjuk, tetapi
bagi mereka yang menentang merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang sangup
mematahkan argumen lawan yang tidak mempercayai kerasulannya.
Harapan dan keyakinan akan intervensi
Tuhan itu merupakan spirit yang selalu memberi harapan bagi orang yang beriman
dalam menapaki hidup. Ketika tentara Amerika nInggris belum lama ini menyerang
Irak, umat Islam berdoa semoga Tuhan mengirimkan pasukan burung ababil
sebagaimana yang terjadi ketika pasukan Abraham hendak menghancurkan Ka’bah
yang berakibat pasukan Abrahan berantakan dan menderita kekalahan fatal akibat
terserang semacam kuman ebola. Virus ebola ini bisa melumatkan tubuh dalam
waktu yang amat singkat dan peristiwa itu diyakini sebagai intervensi Tuhan
untuk melindungi Ka’bah.
Dalam diskusi filsafat agama muncul
pertanyaan, adakah campur tangan Tuahn ini bersifat langsung sehingga hukum
alam yang berlaku selama ini menjadi berhenti, ataukah dengan perantaraan
dengan hukum alam sehingga implementasinya tetap bisa dijelaskan secara
rasional? Sebagian berpendapat bahwa karena Tuhan Maha Kuasa, maka kalau Dia
berkehendak mengabulkan doa manusia, apa pun bisa terjadi sekalipun di luar
kebiasaan. Sebaliknya, yang lain berpendapat bahwa campur tangan Tuhan tidak
pernah keluar dari jalur hukum alam yang telah ditetapkannya. Oleh karena itu
sekalipun orang beriman ramai-ramai berdoa minta hujan, misalnya, kalau hal itu
dilakukan di musim kemarau maka hujan taka akan datang. Kecuali manusia membuat
hujan buatan atau membuat irigasi dengan mengunakan teknologi tinggi.
Demikianlah, doa merupakan salah satu
inti keberagamaan, namun kita hidup terikat dengan hukum alam dan hukum sosial
relatif baku dan kita suilr menawarya.
C. Tuhan, agama, Dan Ideologi
Hubungan antara keyakina terhadap Tuhan
dan perjuangan idelogi keagamaan ini secara sangat menarik di paparkan oleh
Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God (2000). Armstrong yang mantan
biarawati ini menyajikan analisis-historis seputar akar dan pertumbuhan paham
fundamentalisme Islam, Kristen, dan Yahudi. Pembaca bisa saja keberatan dengan
istilah fundamentalisme dan kesimpulannya. Namun yang pasti keyakinan orang dan
masyarakat tentang tuhan dan perintahnya sangat besar pengaruhnya dalam
perjalanan hidup seseorang dan sejarah.
Para pemikir ateisme-materialisme telah
berusaha membangun argumentasi bahwa keyakinan dan gagasan tentang Tuhan
hanyalah produk penalaran dari kinerja saraf-saraf otak dan loncatan proyeksi
psikologis yang tidak memiliki realitas ontologis. Bahwa keyakinan pada Tuhan
itu secara psikologis fungisonal dan sangat kuat pengaruhnya bagi pembentukan
pribadi seseorang, namun kebenarannya sangat lemah untuk dibuktikan. Namun
demikian sejarah membuktikan bahwa secara statistikal katakina manusia pada
Tuhan tetap bertahan dan lebih kuat pengaruhnya dari paham ateisme. Pelbagai
polling yang telah dilakukan di Amerika Serikat yang dipersepsikan sekuler itu
selalu memberikan gambaran bahwa orang yang percaya pada Tuhan dan pada surga
lebih dari delapan puluh persen (80%).
Keyakinan pada Tuhan, pada urutannya
melahirkan sikap keberagamaan (religiousity). Ada orang yang kemudian tumbuh
dan bergabung dengan tradisi agama yang telah mapan selama ini, namun ada pula
yang merasa dirinya bertuhan, tetapi tidak mau bergabung dengan komunitas
agama. Bagi kelompok kedua ini sikap kebertuhanan tidak mesti beragama (god
without religion) atau bisa jadi seeenaknya saja dalam menjalankan syariat
agama, karena yang dipentingkan hanya rasa, keyakinan, dan keputusan
intelektual tentang adanya Tuhan. Kebertuhanan semacam ini terindikasi memiliki
semangat ideologis yang rendah,
Sekalipun keyakinan tentang Tuhan pada
awalnya dan pada dasarnya bersifat pribadi dan abstrak, namun pengaruh keimanan
pada Tuhan bisa berpengaruh secara sosial dan politik, terutama yang terjadi
pada pemeluk agama semitik, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam panggung
sejarah ketiga agama ini telah melahirkan gerakan ideologis yang sangat
militan. Kata ideologis sering dipahami baik secara positif maupun negatif.
Ideologi adalah suatu cita-cita sosial
(social blue print) yang memiliki ciri-ciri utama yang antara lain adalah:
pertama, menawarkan tatanan sosial dengan jani-jani yang ideal, namun masih
berada di masa depan sehingga mengandung utopia. Kedua, menawarkan metode
tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan yang diidealkan. Semakin jelas janji dan
metode yang ditawarkan, maka semakin kuat daya tariknya. Ketiga, sebuah
ideologi terkait dengan semangat zaman (the spirit of the age) sehingga
bersifat historis. Oleh karenanya ideoliogi tidak luput dari konstruksi
perancangnya (manusia) dan bisa berubah-ubah karena perubahan zaman. Keempat,
ideologi biasanya normatif, utopis, dan paradigmatik, serta global, sehingga
kebenarannya sulit diverifikasi secara empiris sebagaimana kebenaran ilmiah. Kelima,
ideologi yang solid akan mampu membangkitkan militansi emosional para
pendukungnya, sehingga mereka siap berkorban untuknya. Keenam, ketika ideologi
memiliki pijakan ajaran dan semangat kegamaan, maka ideologi akan disakralkan
oleh para pemeluknya dan sosial-poliris, perannya akan lebih menonjil ketimbang
institusi agama yang bersifat ritual-doktrinal. Ketujuh, pejuang ideologi
keagamaan bisa saja menjadi sangat militan dalam membela kelompok dan simbol
ideologinya, sementara penghayatan spiritualisnya malah menurun.
Demikianlah, dalam sejarahnya telah
terjadi keterkaitan yang amat kuat antara keyakina pada Tuhan penerimaan sebuah
ajaran agam, dan ideologisasi paham keagamaan ke dalam wilayah sosial-politik.
Pelbagai krisis dan gejolak politik dan ekonomi dunia saat ini sulit dipisahkan
dari sentimen, analisis, dan gerakan ideologi keagamaan, khususnya antara
sesama pemeluk agama Semitik. Ketiga komunitas agama besar ini memiliki
collective memory yang pahit akibat peperangan di masa lampau, yang bukannya
dihapus, malah cenderung diabadikan dan diwariskan secara turun-temurun.
D. God of the Battles?
Jika Karen Armstrong menulis buku
dengan judul The Battle for God, pada tataran historis-ideologis muncul
fenomena God of the Battles produk dari rasa lelah, curiga, dan frustasi akibat
konflik yang berkepanjangan dan berdarah-darah, akibat gerakan ideologi
keagamaan. Tuhan seakan dihadirkan ke panggung sejarah dan dikukuhkan sebagai
komandan perang, untuk melawan tuhan-tuhan yang lain bersama prajuritnya.
Gerakan ideologi keagamaan pada
urutannya melahirkan sikap dan keyakinan bahwa Tuhan itu banyak dan mereka
saling berantem berebut kekuasaan dengan melibatkan manusia sebagai
pendukungnya. Bumi dan langit hendak dikavling-kavling menjadi suatu koloni
dari tuahn-tuhan yang berbeda dan selalu bertengkar. Pertanyaannya, benarkah
Tuhan itu banyak, ataukah persepsi dan keyakinan manusia yang terbatas dan
beragam tentang Tuhan sehingga melahirkan personifikasi Tuhan yang banyak?
Kalaupun Tuhan itu dipersepsikan banyak,
mengapa pluralitan keyakina mesti dilanjutkan dengan agenda peperangan antar
pemeluk agama? Demikianlah apapun keyakinan orang tentang Tuhan dan agamanya,
pengalaman sejarah dan kesadaran manusiawi kita mengajarkan bahwa pengetahuan
kita tentang realitas semesta dan tentang Tuhan amat sangat terbatas.
Keterbatasan ini telah melahirkan dua macam sikap. Sadar akan keterbatasannya,
maka seseorang bersikap rerndah hati, terbuka, toleran, inklusif, dan selalu
rela belajar menerima perbedaan dan belajar dari perbedaan. Sikap yang lain,
mengkin justru karena keterbatasannya itu seseorang menjadi militan dan
memperkokoh keyakinannya agar tidak terombang-ambing oleh pilihan-pilihan
akibat perbedaan yang muncul dihadapannya.
Tetapi benarkan sikap inklusif dalam
berteologi berarti seseorang tidak militan dalam menghayati iman dan
melaksanakan agamanya? Sebaliknya, benarkah orang yang militan dan
eksklusif dalam berteologi berarti bobot
iman dan keberagamaannya lebih tinggi? Rasanya kedua fenomena lahiriyah itu
tidak memberi jaminan dan kepastian. Yang pasti dalam melaksanakan dan
memperjuangkan agama, terlebih ideologi keagamaan, peran subjektivitas
penafsiran dan pilihan-pilihan emosional sangat berpengaruh. Maka sangat
mungkin pelbahai konflik dan retorika besar yang mengatasnamakan Tuhan dan
agama kalau saja ditelusuri ternyata lebih dominan digerakkan oleh kepentingan
diri dan penafsirannya tentang Tuhan, tentang agama, dan tentang realitas di
sekitarnya. Yang diperlukan adalah sikap saling terbuka untuk saling belajar
dari yang lain, terutama dari pengalaman sejarah dan keprihatinan bersama akan
masa depan manusia. Kalau nilai-nilai universal agama dan kemanusiaan yang
dikedepankan dan diartikulkasikan dalam tatanan hukum dan etika sosial yang
dijaga bersama, maka konstruksi teologis-psikologid God of the Battle dan
The Battles for God akan berubah menjadi The God of Love dan The
Gos of Peace.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghozali and Kant,
Angkara: Tukie Dianet Vakhi, 1992.
Arkoun,
Mohammed, Rethinking Islam, Oxvord: Westview Press, 1994.
Barthes,
Roland, The Semiotic Challenge, New York: Hill and Wang, 1988.
Bauman,
Zygmunt, Hemeneutics and Social Science, New York: Columbia Univercity
Press, 1978.
Blackburn,
Simon, Spreading, The Words, Rounding in the Philosophy of Language,
Oxford: Clarendon Press, 1984.
Bruns,
Gerald L., Hermeneutics Ancient & Modern, Yale Univercity Press,
1992.
Calinicos,
Aliex, Theories and Naratives, Refrection on the Philosophy of the History, Durham:
Duke Univercity Press, 1995.
Cassirer,
Erenst, An Essay on Man, Virginia: Yale Univercity Press, 1944.
Crapanzano,
Vincent, Hermes Dilemma and Hamlet’s Desirer, Harvared Univercity Press,
1992.
Daneci,
Marcel, Vico: Metaphor anf the Origin of Language, Indianapolis: Indiana
Univercity Press, 1993.
David
E. Linge, “Introduction,” dalam Hans-George Gadamer, Philosophical
Hermeneutics, (terj. David E. Linge), California: Univercity of California,
1977
BAB IX
TUHAN YANG IDEAL
Seperti matahari dan sinarnya.
Adakalanya matahari tertutup awan, demikian juga adakalanya Tuhan yang Ideal
tertutup oleh paham materialistis. Tapi jika awan menutupi matahari, tidak
berarti matahari itu hilang. Demikian juga, dalam kekuasaan materialism, Tuhan
yang ideal kelihatannya menghilang. Padahal Tuhan tetap saja masih ada dan
sama. Keadaan di dunia ini adalah seperti timbul dan tenggelamnya gelombang.
Kadang naik dan kadang turun, meskipun begitu dengan naik turunya gelombang,
laut tetap sama, demikian pula dengan segala perubahannya, hidup tetap sama.
Kita temukan selama beberapa
tahun belakangan ini di seluruh dunia telah datang fase, ketika Tuhan yang
Ideal kelihatannya telah dilupakan. Tidak berarti bahwa gereja telah hilang,
tidak berarti Tuhan tidak ada, tetapi cahaya yang pernah ada telah tertutupi,
berhenti menyinari kita. Tetapi pada saat yang sama, sebagaimana adanya malam
sehabis siang, perubahan keadaan ini datang dalam hidup kita – cahaya dan
kegelapan.
Pada zaman ilmu pengetahuan –
pada satu sisi, dan materialism – pada sisi yang lain serta komersialisme pada
puncaknya, manusia seperti membutakan dirinya sendiri karena silau terhadap
kemakmuran dan kekuasaan, dan tidak pada yang lain. Bukannya tidak ada
pencarian terhadap pencerahan (sifat alamiah dari setiap jiwa untuk mencari
cahaya pencerahan), tetapi yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, bagaimana
bisa pencerahan datang ketika bangsa-bangsa bermusuhan, antar ras saling
bermusuhan, pengikut agama yang satu bermusuhan dengan pengikut agama yang
lain; bagaimana bisa ada perdamaian dan datangnya Cahaya-Nya? Tanda siang
adalah ketika semua terlihat dengan jelas, tanda malam adalah ketika tidak ada
yang bisa ditemukan atau terlihat; ada awan (mendung) yang menutupi. Suatu
mimpi buruk yang paling menakutkan di dinia, melihat peristiwa yang baru saja
lewat; dan, walaupun gelombang ketakutan, mimpi buruk itu kelihatanya telah
pergi, tetapi pengaruhnya masih ada, dan pengaruh yang ditinggalkanya lebih
buruk dari sebabnya, seperti prasangka lebih buruk dari pertumpahan darah.
Ketika manusia haus akan darah temannya sendiri, bagaimana kita bisa berkata
ada pencerahan? Jika seseorang bisa makan di mejanya dengan nikmat sedangkan
tetangganya sekarat karena kelaparan, dimanakah cahaya-Nya? Ini adalah kondisi
perikemanusiaan yang ada sekarang. Dan apa sebabnya? Ini karena cahaya-Nya,
Tuhan yang ideal, tidak ada disana. Pernah sekali saya terhibur oleh satu
jawaban sederhana dari seorang pembantu rumah tangga wanita ketika seorang tamu
datang mengetuk pintu, pembantu itu tidak langsung membukakan pintu, perlu
waktu yang lama; ketika akhirnya pembantu itu datang, tamu itu sangat marah dan
bertanya: “Mengapa kamu tidak segera membukakan pintu?” Saya tanya pembantu
wanita itu: “Menurutmu apa alasan orang itu marah?” Dia menjawab dengan
ekspresi tanpa dosa, “Karena Tuhan tidak bersamanya.”
Perkataan
Kristus adalah: Tuhan itu Kasih; dan jika Tuhan itu Kasih, maka kita, tak
terkecuali bisa membuktikan bahwa Tuhan berada dalam diri kita dengan cara mengekpresikan-Nya
dalam kehidupan sehari-hari. Memang benar, menurut adat kebiasaan yang tampak
dari setiap agama, seseorang pergi ke Gereja, yang lain ke Masjid, yang lain ke
Sinagong, dan yang lain lagi ke Candi Budha, tetapi Gereja yang sesungguhnya bukannya
di Masjid atau Sinagong, tetapi dalam hati setiap manusia, dimana Tuhan berada
dan Kristus berdiam. Dengan unsur keilahian yang bersinar dalam hati manusia,
manusia akan menuju tempat ibadatnya dan kemudian doanya akan didengar. Ada
cerita terkenal di India tentang seorang gadis yang lewat didepan seorang
Muslim yang sedang shalat, sedangkan hukum Islam menyebutkan tidak boleh lewat
didepan orang yang sedang shalat. Ketika gadis itu kembali lagi, orang tersebut
berkata “Taukah kamu apa yang telah kamu perbuat?” “Apa yang telah aku
perbuat?” Tanya si gadis. Orang tersebut berkata bahwa, tidak ada yang boleh
lewat di depan orang yang sedang shalat. “Aku tidak bermaksud mengganggu,” kata
gadis itu, “Tapi tolong katakan, apa yang dimaksud dengan berdo’a?” “Bagiku,
berdo’a adalah berfikir tentang Tuhan,” kata orang itu. “Oh!” timpal si gadis,
“Aku akan bertemu dengan kekasihku dan aku sedang memikirkannya sehingga aku
tidak melihatmu; tapi jika kamu sedang memikirkan Tuhan, bagaimana kamu bisa
melihatku?”
Pada
dasarnya, do’a akan menjadi hidup dan bermakna jika dikerjakan oleh hati yang
hidup. Sedangkan pada hati yang mati, do’a tidak mempunyai makna apa-apa
(sia-sia). Ada kisah, tentang orang Arab yang berlari menuju masjid ketika azan
diperdengarkan, tetapi sebelum sampei disana, shalatnya sudah selesei. Di
tengah perjalanan menuju masjid dia bertemu dengan seseorang yang datang dari
masjid dan bertanya, “Apakah shalatnya sudah selesei?” Dijawab bahwa shalat
sudah selesei, sehingga orang Arab itu sangat menyesal dan berkata “Aduh!”
kemudian orang yang datang dari masjid itu bertanya: “Maukah anda memberikan
pahala penyesalanmu kepadaku untuk ditukar dengan pahala shalatku?” Orang Arab
itu setuju. Hari berikutnya, orang Arab itu melihat Nabi dalam mimpinya, yang
member tahu bahwa dia telah membuat sesuatu kerugian karena satu penyesalan itu
senilai shalat yang dilakukan seumur hidup karena penyesalan datang dari hati.
Ada perbedaan diantara umat
manusia dalam tahapan-tahapan evolusi, dan itu wajar sesuei dengan tahapan
khusus dari evolusinya. Perbedaan itu ada dalam cara menghadirkan Tuhan di
hadapannya, ketika ia berdo’a. siapapun bisa mengajukan pertanyaan untuk
menilai seseorang yang berdo’a, dan berkata “Tuhan bukanlah ini atau itu?”
Oarang yang memaksakan kepercayaannya lebih tinggi dari pada kepercayaan orang
lain, walaupun kepercayaan orang lain itu benar. Akan membutuhkan begitu banyak
kebijaksanaan, pemikiran dan pertimbangan untuk menerangkan kepercayaannya atau
untuk mengoreksi kepercayaan orang lain. di satu sisi, bisa dikatakan tidak
tahu malu bagi orang-orang yang berharap bisa menerangkan tentang Tuhan,
walaupun manusia sekarang ini senang, tidak hanya untuk menjelaskan, tetapi
juga untuk menguji apakah Ruh Tuhan itu ada. Di waktu yang lain, saya bahkan
lebih takjub mendengar bahwa ada orang yang tidak hanya ingin memotret ruh,
mereka bahkan ingin menimbang beratnya. Hal yang bagus pada zaman dahulu,
ketika Negara menghormati Tuhan yang Ideal dan agama, dan mengajarkan
penghormatan itu pada umat manusia seluruhnya. Manusia sekarang
berkecenderungan menggunakan apa yang dinamakan “kebebasan” dalam beragama,
bahkan didalam dasar dari semua agama, Tuhan yang Ideal! Tetapi harus diingat,
bahwa bukannya jalan kebebasan itu yang membimbing kita pada tujuan kebebasan,
tetapi jalan Tuhan yang Ideal-lah yang membimbing kita pada tujuan kebenaran.
Manusia mempunyai rasa hormat
dan segan pada orang tuanya, suami, istri, atau pada atasannya, tetapi mereka
mempunyai kepribadian yang terbatas; lantas pada siapa dia harus memberikan
rasa hormatnya yang terbesar? Hanya kepada yang Satu, Tuhan. Manusia bisa
mencintai dan mengasihi manusia lainnya, tetapi sangat jelas, cintanya pada
orang lain itu terbatas, untuk mengekspresikan seluruh cintanya dia harus
mencintai Tuhan yang tak terbatas. Seseorang memuja semuanya yang indah,
warnanya, nadanya, atau bentuknya, tapi semua yang cantik ada batasnya, ketika
sesuatu naik dan berada diatas keterbatasan, itu adalah kesempurnaan yang mana
hanyalah Tuhan sendiri. Banyak orang bilang “Ya, kesempurnaan dari segala hal,
cinta, harmoni dan keindahan adalah Tuhan, tetapi dimanakah kepribadian
(perwujudan) Tuhan?” kesulitan inilah yang dirasakan orang, ketika kehilangan
dalam menemukan sesuatu untuk dipuja dan disembahnya berbeda dengan yang
dilihatnya. Berabad-abad manusia telah menyembah patung, atau matahari, api,
atau bentuk-bentuk lain sebagai Tuhan, karena mereka tidak bisa melihat lebih
jauh lagi dari pengelihatan matanya. Tentu mudah untuk mengkritik atau
merendahkan orang lain, tetapi sesungguhnya itu menunjukkan bahwa setiap insan
mempunyai hasrat pada sesuatu atau seseorang untuk dikagumi, dipuja, dan
disembah.
Walaupun tidak ada jejak-jejak
perwujudan Tuhan yang bisa ditemukan, tetapi kita bisa melihat ada satu sumber
awal yang mana semua perwujudan itu berasal, dan satu tujuan yang mana semuanya
harus kembali. Dan jika ada satu sumber, tentulah perwujudan dari sumber itu
begitu besar. Ini tidak bisa dipelajari oleh pemikir besar, atau bahkan dengan
studi metafisika atau perbandingan agama, tatapi hanya dapat dipahami oleh hati
yang murni dan tak berdosa yang penuh kasih.
Perwujudan besar yang telah
turun ke bumi dari waktu ke waktu untuk membangkitkan safat keilahian-Nya, yang
dimasukkan kedalam hati manusia berupa cinta kasih; menemukan gaungnya dalam
hati yang suci, bukannya dalam hati pemikir besar. Manusia sering kali
mencampuradukkan antara kebijaksanaan dengan kepandaian dan sebaliknya. Dua hal
ini berbeda, manusia bisa bijaksana dan pandai, bisa pandai tapi tidak bijaksana
dan dengan kepandaiannya seseorang akan berusaha keras, akan tetapi tidak
menemukan Tuhannya. Hanyalah mata air dari sungei kasih-lah yang akan
membimbingnya menuju Tuhan.
II
TUHAN YANG IDEAL
(lanjutan)
SESEORANG
DAPAT MELIHAT TUHAN YANG IDEAL, dari dua sudut pandang. Pertama dari sisi
imajinatif, dan yang kedua dari sisi kesadaran Tuhan. Yang awal, dari hati
kecil (minor), sedangkan yang kedua dari hati (jiwa) yang besar (mayor). Yang
satu berfikir bahwa Tuhan itu ada, sedangkan yang lain melihat Tuhan. Orang
beriman mengabstraksikan Tuhannya dengan segala kemampuan imajinasinya, melihat
tuhan sebagai manifestasi dari segala keindahan, segala kebaikan, sebagai yang
maha Pengasih dan Penyayang, dan mengenal-Nya sebagai yang maha Besar, yang maha
Segalanya. Dia melihat pada Tuhannya sebagai Hakim yang Adil dan berharap suatu
hari akan menerima keadilan dari-Nya. Pada akhirnya, seseorang itu mengetahui
bahwa hanya pada Tuhannyalah, dia akan menemukan cinta kasih yang sempurna dan
yang bisa dipercaya sepenuhnya. Dia melihat Tuhan sebagai teman, yang pada-Nya
dia bisa berpaling, baik di saat senag maupun susah. Dia memanggil-Nya: Bapa,
Jasus Kristus, ataupun ayah dan Bundaku; dan menyadari bahwa semua yang baik
dan indah berasal dari Tuhan. Mudahnya, dia membuat suatu bentuk Tuhan yang
dapat dimengerti, itu hanya suatu kondisi yang mana dia bisa melihat Tuhan.
Orang beriman yang telah membayangkan Tuhannya sesuei dengan kemampuan
masing-masing menjadi rajin memuji-Nya, memohon pengampunan-Nya, memohon pertolongan-Nya,
dan berharap suatu hari akan dapat mencapai-Nya, dan merasakan ada Seseorang
yang lebih dekat padanya melebihi orang lain, serta rahmat-Nya selalu
bersamanya dalam kehidupan.
Sudut pandang inilah yang
dinamakan monoteisme – mempercayai Kepribadian Tuhan. Suatu Kepribadian yang
dibuat manusia sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, Tuhan para penganut
ajaran monoteisme itu ada didalam dirinya, diciptakan oleh pikirannya sendiri.
Tetapi ini hanyalah bentuk Tuhan yang diciptakannya. Ruhnya tentu sama saja,
tersembuhnyai dibalik benruk yang dibuat manusia, karena manusia memerlukan
bentuk itu. Tak perlu diragukan lagi, bahwa pada tahap ini Tuhan yang
dupercayainya adalah suatu bentuk yang dibuat oleh-Nya, dalam bentuk insan
manusia. Tuhan ada dibalik bentuk itu, dan Dia menjawab penyembah-Nya melalui
bentuk itu. Seseorang pernak berkata kepada seseorang Brahmana, “Hai orang
bodoh, kamu telah menyembanh patung ini bertahun-tahun. Apakah kamu pernah
berfikir dia akan menjawabmu ?” “Ya,” kata sang Brahmana, “bahkan jawabannya
akan datang dari patung batu ini jika kamu benar-benar yakin. Tapi jika tidak
benar-benar yakin, kamu tidak akan mendapat jawabannya, bahkan dari Tuhan di
atas sana.” Seseorang yang mengetahui dan melihat semua benda dengan panca
indra dan perasaannya, dan mencoba menggambarkannya dengan imajinasinya –
segala hal yang belum pernah dilihat maupun diketahuinya, seperti roh,
malaikat, peri-peri – adalah wajar, jika dia dengan imajinasinya akan
menciptakan Tuhannya yang dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.
Sudut pandang yang lain, yang
saya sebut sudut pandang mayor, mungkin kurang menarik bagi orang lain, tapi
mungkin lebih menarik bagi orang lainnya lagi, karena ini adalah sudut pandang
yang benar. Ketika semua orang melihat semua kebaikan sebagai kebaikan Tuhan,
semua keindahan di sekelilingnya sebagai keindahan tuhan, tidak diragukan lagi
dia akan meyembah Tuhan yang terlihat, dan tidak ragu lagi, sebagaimana hatinya
selalu mencintai dan memuja keindahan yang dia lihat, dia mulai melihat
segalanya terlihat dari satu penglihatan, semuanya menjadi satu penglihatan,
pandangan Keindahan tuhan. Cintanya pada keindahan meningkatkan kemampuannya
pada suatu tingkatan diman kebijakan-kebijakan seperti sikap toleransi, pemaaf,
mengalir dengan sendirinya dari hatinya. Bahkan hal-hal yang kebanyakan orang
melihatnya dengan pandangan jijik, dilihatnya dengan rasa toleransi.
Persaudaraan antar umat manusia baginya tidak perlu dipelajari, karena dia
tidak melihat umat manusia, yang dilihatnya hanyalah Tuhan. Sebagaimana
penglihatannya berkembang, hal itu menjadi penglihatan Ilahi yang menempati
setiap waktu dari hidupnya. Pada ala mini dia melihat Tuhan, pada manusia dia
melihat bayangan-Nya, dan pada seni dan puisi dia melihat tarian Tuhan.
Gelombang laut membawakannya pesan dari atas sana, ayunan dahan-dahan pohon
dalam semilir angin terlihat seperti orang yang berdo’a. baginya ada hubungan
yang tidak terputus dengan Tuhannya. Dia tidak mengenal takut, ngeri ataupun
rasa khawatir. Kelahiran dan kematian baginya adalah perubahan kecil dalam
hidup. Hidup baginya adalah gambar bergerak yang dicintai dan disenanginya, dan
dia terbebas dari semua itu. Dia adalah satu diantara mereka, seluruh dunia.
Dia sendiri bahagia, dan membuat orang lain bahagia. Sudut pandang ini adalah
sudut pandang panteistik.
Pada kenyatannya, kedua sudut
pandang ini adalah konsekuensi dari evolusi manusia secara wajar, dan tidak ada
yang bisa memisahkannya. Tidak ada yang mencapai usia lanjut tanpa pernah
melewati masa muda, dan tidak ada yang mencapai sudut pandang panteistik, tanpa
pernah terlebih dahulu berpegang pada pandangan monoteistik. Dan seandainya
seseorang pernah mencapai sudut pandang monoteistik, hal itu seperti seorang
yang menjadi dewasa tanpa pernah menjadi anak-anak : keindahan yang hampa.
Tentu saja ada dua kesalahan
yang terjadi. Pertama, yang dibuat oleh seorang monoteis, ketika dia menyuruh
Tuhan yang diciptakannya tanpa memperbolehkan dirinya sendiri untuk melihat
dari sudut pandang panteistik. Untuk mencintai Tuhan, dia membatasi dirinya
sendiri, walaupun tidak berarti bahwa Tuhan betul-betul terbatasi, Tuhan
terbatasi hanya bagi orang itu saja. Kebiasaan di masa kanak-kanak adalah
sangat menyenangkan bagi anak-anak, tetapi bagi orang dewasa dengan karakter
kekanak-kanakan, tidak masuk akal (absurd). Ketika manusia memulai keimanannya
pada Tuhan dengan cara pandang monoteistik, itu adalah cara terbaik, tapi jika
dia mengakhiri hidupnya tanpa peningkatan, dia telah kehilangan kesempatannya
yang terbesar. Orang yang melakukan ini berarti membuat satu kesalahan, karena
memisahkan manusia dari Tuhan, yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan. Karena
Tuhan dan manusia itu laksana dua ujung dari satu garis. Ketika seorang yang
beriman memahami Tuhan sebagai bagian terpisah dan manusia terpisah dariNya,
dia membuat dirinya terisolir – dari Kerajaan Tuhan. Dia memegang teguh bentuk
Tuhan yang menciptakannya sendiri, sehingga dia tidak mencapai Ruh Tuhannya.
Walaupun dalam kehidupannya, dia itu baik dan saleh, betapapun beriman-nya dia,
dia belum memenuhi tujuan hidup ini.
Seorang panties akan menciptakan
satu kesalahan, jika dia memegang teguh semua pemikiran yang telah disusunnya
dan semua yang terjawab oleh panca inderanya, dan keberadaannya.itu
dipercayainya sendiri. Karena kesalahan ini, dia berpegang pada bentuk Tuhan
dan kehilangan Ruh-Nya. Kita dapat memahami diri manusia tetapi tidak semuanya.
Ada sesuatu yang berada di luar jangkauan pemahaman kita. Jika lubuk hati kita
terlalu dalam untuk disentuh, bagaimana dia dapat menyentuh kedalaman-Nya?
Semuanya yang terlihat, sesungguhnya adalah satu tubuh, yang mungkin dapat
dinamakan tubuh Tuhan, tetapi di balik itu ada Ruh-Nya, Ruh tuhan. Apa yang ada
di balik tubuh ini adalah awal mula dan tujuan dari segala sesuatu. Tentu saja
bagian yang berupa ruh adalah yang paling penting. Penganut panteisme mengenali
keilahian hanya sebatas yang dapat dipahaminya. Walaupun panteisme baginya
adalah cita-cita yang hebat, namun begitu dia masih meraba-raba dalam
kegelapan. Semua yang menjadi sasaran pokok bisa berubah, semua itu tidak
tetap, semuanya melewati jalan kelahiran dan kematian, mungkin juga suatu hari
akan dihancurkan. Manusia yang membatasi keberadaan Sang Ilahi bisa mengalami
kehancuran, orang yang tidak dapat merasakan sedikitpun keberadaan Sang Ilahi
melebihi pemahamannya, dia tersesat. Panteisme sejati adalah : Tuhan adalah
semuanya, dan semuanya adalah Tuhan, yang diketahui dan yang tidak diketahhui,
semua yang berada di dalam dan di luar, Tuhan adalah semua yang ada, dan tidak
ada sesuatupun yang ada kecuali Dia.
Permulaan monoteisme bisa
dinamakan deisme, kepercayaan pada seseorang yang lebih tinggi dari dirinya
sendiri. Jiwa-jiwa telah mencapai tahap perubahan ini, karena banyak bimbingan
yang diberikan oleh Sang guru. Sang Guru mengajar mereka untuk memuja matahari,
air, api pepohonan tertentu, dan patung-patung. Tidak diragukan lagi, di balik
semua ajaran ini selalu ada kebijaksanaan Sang Tuhan. Ajaran yang diberikan
pada orang-orang tertentu tidak ditujukan pada orang lain, sebagaimana juga
sesuatu yang cocok untuk suatu masa tertentu belum tentu cocok untuk masa yang
lain. dan untuk mengajarkan panteisme ada ajaran-ajaran dasarnya, seperti
gagasan tentang dewa-dewa, contohnya : di masyarakat Yunani kuno, Hindu kuno,
dan Mesir purba. Semua penduduknya percaya pada banyak dewa, dan ajaran ini
diberikan pada mereka untuk melihat sesuatu yang berbeda di dalam Ruh Tuhan
yang sama. Setiap dewa mempunyai cirri khas tersendiri yang manusiawi, yang
artinya manusia diajar untuk bisa mengenali Tuhan diantara sesame manusianya,
untuk menjadi toleran dan pemaaf; dia juga dibimbing untuk melakukan
konsentrasi dan meditasi atas sifat-sifat tertentu manusia, menganggap mereka
sebagai sesuatu yang bersifat ketuhanan. Perhatian dan penghormatan atas
sifat-sifat tertentu umat manusia diajarkan dengan meditasi.
Manusia tanpa pengetahuan akan
dua sudut pandang yang berbeda ini, dan sangat terkesan pada gagasan-gagasan
materialistik, seringkali melihat Tuhan sebagai kekuatan atau energy, tetapi
dia menyangkal dengan sangat tegas bahwa Tuhan itu mempunyai suatu kepribadian
(perwujudan). Tidak diragukan lagi, akan menjadi kesalahan besar bila
menganggap Tuhan itu Personalitas, tetapi kesalahannya akan lebih besar lagi
kalau manusia menyangkal Personalitas Tuhan. Dan seandainya anda bertanya pada
orang ini : ”Dari manakah asal mulamu? – apa tujuanmu? – Apakah dirimu sendiri
itu personalitas? – Apakah mungkin kamu menjadi personalitas atas dirimu
sendiri, jika tujuan dan asal mula dari mana dirimu datang bukan suatu
personalitas?” Dia tidak punya jawaban. Sesuatu itu adalah benih, yang
merupakan asal mula dari bunga dan buah, tetapi benih juga hasil dari bunga dan
buah. Oleh karena itu manusia adalah miniature Personalitas tuhan; Dia adalah
benih datangnya Personalitas. Manusia, di dalam menumbuh-kembangkan
personalitasnya, merupakan ekspresi dari Personalitas Tuhan. Ini adalah subyek
yang tidak bisa didiskusikan karena seseorang dapat membedakan segala sesuatu
melalui perbandingan, dan, karena Tuhan hanya ada satu, Dia tidak bisa
diperbandingkan, bahkan memakai kata personalitas di dalam membicarakan Tuhan
adalah suatu kesalahan. Tidak ada cara yang lebih baik untuk melihat Tuhan Yang
Ideal selain menerimanya sebagai kesempurnaan dalam makna kata yang paling luas
dan paling dalam.
III
MARTABAT TUHAN
TUHAN
YANG IDEAL TELAH DILIHAT OLEH SETIAP orang dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa orang menggambarkan Tuhan sebagai Raja Langit dan Bumi, yang lain
mempunyai konsep Tuhan sebagai Person, yang lainnya lagi memikirkannya sebagai
suatu abstraksi, beberapa orang percaya pada Tuhan, yang lainnya tidak, yang
lainnya mengangkat Dewata yang ideal ke langit tertinggi, yang lainnya
membawanya ke dasar bumi yang paling dalam, beberapa orang menggambarkan Tuhan
di surge, yang lainnya membuat patung-patung dan arca kemudian menyembahnya.
Begitu banyak gagasan dan kepercayaan, nama-nama yang berbeda, seperti
panteisme, pemujaan berhala, percaya pada Tuhan yang tidak berbentuk, atau
percaya percaya pada banyak dewa-dewi, tetapi semuanya berusaha keras untuk
mencapai sesuatu dengan barbagai macam cara. Jika saya ditanya berapa banyak
konsepsi tentang Tuhan, saya akan menjawab, “Sebanyak jiwa yang ada”; semua orang,
yang bodoh ataupun yang bijaksana, masing-masing mempunyai konsepsi tentang
Tuhan. Setiap orang mengetahui Tuhan dalam berbagai cara, dan mempunyai
gambarannya sendiri tentang Tuhan, baik sebagai Manusia, sebagai Yang Mutlak,
sebagai Kebaikan, sebagai Sesuatu yang Indah atau yang Menerangi. Setiap orang
mempunyai konsepnya sendiri, dan untuk orang yang tidak mempercayai Tuhan,
bahkan
BAB X
BERBAGAI PERLAMBANGAN DARI IDE-IDE KEBERAGAMAN
SIMBOLOGI
Orang yang bijaksana telah memberikan
pada dunia dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan evolusi manusia pada waktu
–waktu tertentu. Bentuk pengajaran yang pertama dan yang paling orisinil adalah
dengan memakai simbol atau perlambang, suatu syarat. Metode pengajaran ini
dihargai sepanjang masa, dan akan selalu mempunyai nilai penting. Itu adalah
keindahan yang terselubungi. Tujuan dari kehidupan berhubungan dengan
penyelubungan dan p enyingkapan tirai keindahan ini. Keindahan adalah sesuatu
yang selalu di luar jangkauan. Seolah-olah kamu melihatnya, padahal kamu tidak
melihatnya. Seolah-olah kamu menyentuhnya, padahal sebenarnya kamu tidak
menyentuhnya. Ia nampak terlihat tetapi ia masih terselubungi; seolah-olah
diketahui padahal tidak bisa diketahui. Olah karena itu kata-kata yang
seringkali tidaklah cukup untuk mengekspesikan keindahan akan Kebenaran. Karena
itulah simbolisme dipakai oleh orang yang bijaksana.
Agama-agama Mesir kuno, Yunani kuno,
Hindu dan Persia, semuanya mempunyai
berbagai perlambangan yang mengekspresikan esensi Kebenaran yang tersembunyi di
balik agama. Ada perlambang di dalam agama Nasrani dan dibanyak agama di
dunia.manusia seringkali menentang penggunaan perlambang, tetapi itu wajar.
Manusia selalu menentang terhadap sesuatu hal yang dia tidak mampu memahaminya.
Sudah ada gelombang perlaewanan terhadap perlambangan yang digunakan di dua
belahan dunia, di daearah Timur dan di daerah Barat. Ia datang di daerah Timur
pada masa Islam dan di daerah Barat menggema kambali pada Reformasi. Maka tidak
diragukan lagi ketika berbagai perlambangan sakral tersebut dipatenkan oleh
kalangan umat beragama yang ingin memonopoli seluruh kebenaran untuk mereka
sendiri, hal tersebut akan membangkitkan kecenderungan umat manusia yang selalu
siap untuk menerima ataupun menolaknya. Akan tetapi, orang dapat berkata tanpa
melebih-lebihkan bahwa simbologi selalu dipergunakan untuk menjaga
kebijaksanaan pada masa lampau agar tetap utuh sepanjang masa. Sekarang ini
dengan simbologi, orang dapat membuktikan perkataan Nabi Sulaiman: “Tidak ada
sesuatu yang barudi bawah matahari.” Ada banyak pemikiran yang berhubungan
dengan umat manusia, dengan kehidupan yang alami, berhbungan dengan Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, berhubungan dengan jalan menuju Tuhan, yang diekspresikan
lewat isyarat-isyarat.
Bag orang yang hanya melihatsisi
kehidupan ini daripermukaan saja, maka berbagai perlambangan yang ada tidak
bermanfaat. Rahasia dari berbagai lambang ini diungkapkan oleh jiwa-jiwa yang
tidak pernah mengalami lewat kehidupan, yang dipandangnya berhasil menembus
melalui benda-benda. Sesungguhnya, di hadapan orang saleh, sesuatu yang ada di
dunia ini bersifat terbuka bagi mereka sendiri. Dalam penyingkapan sesuatu
inilah keindahannya tersembunyi. Ada kegembiraan besar umtuk memahami khususnya
dalam memahami sesuatu hal yang menurut sebagian besar tidak mempunyai arti
apa-apa. Untuk memahami dibutuhkan intuisi, bahkan sesuatu yang lebih dalam
dari intuisi – pengetahuanyang mendalam – untuk memmbaca berbagai lambang.
Terhadap seseorang yang mengetahui berbagai lambang mengungkapkan tentang sifat
dasar dan rahasia mereka, maka baginya tiap sibol itu adalah naskah yang hidup.
Simbologi adalah cara yang terbaik utuk mempelajari misteri kehidupan, dan
salah satu cara yang terbaik untuk meninggalkan ide-ide yang akan dijaga selam
bertahun-tahun setelah sang Guru meninggal. Berbicara tanpa kata-kata; menulis
tanpa tulisan. Perlambangnya mungkin dikatakan sebagai sebuah lautan didalam
setetes air.
LAMBANG MATAHARI
Cahaya telah menjadi daya tarik bagi
jiwa manusia. Manusia menyukai apa yang ada didalam api dan pada sesutu yang
terang dan bersinar, dan itulah sebabnya mengaapa manusia menganggap emas dan
permata berharga. Kosmos mempunyai daya tarik yang lebih besar baginya daripada
bumi, karena cahayanya. Sesuai evolusi manusia secara alami dia berhenti
memandang ke bawah yaitu bumidan mengagumi pada kosmos, cakrawala. Objek yang
paling menarik baginya adalah matahari yang tanpa bantuan siapapun dan paling
bercahaya dibandingkan dengan yang lainnya di langit. Oleh karena itu, seperti
manusia tertarik pada keindahan dan takluk pada keindahan, dia membungkuk pada
matahari sebagai keindahan terbesar di langit, dan manusia mengambil matahari
sebagai simbol alam semesta dari Tuhan.
Lambang ini dia gambarkan dalam
bentuk-bentuk yang berbeda. Di Persia, China, Jepang, India, Mesir, dimanapun
Tuhan digambarkan, pastilah dalam bentuk matahari. Disepanjang masa manusia
telah menggambarkan Naabinya, Master, Penyelamatnya, dengan matahari di
sekeliling kepalanya. Di Persia kuno biasanyaada piringan emas di belakang
kepala raja yang gambarnya seperti matahari, dan mereka biasa menyebuut
piringan ini dengan nama Zardash. Nama Zarathustra mempunyai asal kata yang
sama; kata itu secara harfiah berarti piringan emas. Di candi Hindu dan Budha,
di sekeliling gambar para Avatar ada tanda matahari, dan lambang ini digunakan
baik di Timur maupun di Barat sebagai sorban dan topi. Sekarang ada bebrapa
orang India menempelkan pita kuningan di sorban mereka, yang melambangkan
matahari.
Studi yang mendalam mengenai matahari
akan memberikan kesan adaanya garis dengan empat arah yang terbentuk
sekelilingnya. Tanda inilah yang merupakan awal mula tanda salib. Tradisi kuno
membuktikan bahwa pemikiran tentang salib ada di Timur jauh sebelum kedatangan
Kristus, khususnya diantara para Brahmana. Dari tanda inilah dua senjata
keramat dibuat, Chakra dan Trisula. Agama Islam yang membolehkan untuk tidak
menganut memakai lambang, di dalam bangunan masjidnya ada perlambangan yang
sama: matahari. Dituliskan dalam bahasa Persiaataupun dalam bahasa Arab, nama
matahari menyerupai bentuk masjid.
Menusia, seperti telah menjadi sifat
bawaannyamenyalahkan dan mengejek para pemuja matahari, tetapi tidak pernah
bisa mengambil kehangatan, dan daya tarik dari jiwa manusia terhadap matahari.
BENTUK PENYEMBAHAN SIMBOLIS TERHADAP BRAHMANA
Puja adalah sebutan bentuk penyembahan
Brahmana, yang dari awal sampai akhir adalah ekspresi simbolis tentang apa yang
para pencari tersebut telah melaksanakan pada jalan pencapaian spiritual.
Setelah berendam di air sungai secara berturut-turut, yang orang Hindu diberi
nama sungai Gangga (apapun nama sungainya, pada waktu itu dia percaya bahwa itu
adalah Gangga, sungai suci). Dia berjalan dengan membawa berbagai bunga menuju
tempat suci para dewa, dan mengukangi mantra-mantra, dan berdiri memberi salam
pada dewa dengan tangan terlipat, dan bersujud dihadapannya. Kemudian dia
membunyikan lonceng dan mengulangi kata-kata suci. Lantas dia mengambil beras
di tangannya dan meletakkan di kaki sang dewa. Selanjutnnya bubuk merah, coucou,
disentuhnya dengan ujung jarinya, dan membuat satu tanda di tempat suci
sang dewa dan kemudian di dahinya sendiri. Kemudian disentuhnya salep dengan
ujung jarinya, dan setelah menyentuh sang dewa dia sentuh dahinya dengan salep
yang sama. Sesudah itu dia bersujud dan membuat tiga lingkaran di tempat suci
tersebut. Dibunyikan loncengnya dan selesailah upacaranya. Setelah itu dia
bangkit dan menghadap matahari, sambil melatih pernafasannya dan tindakannya
itu melengkapi bagian berikutnya dari upacara penyembahannya.
Betapapun primitifnya bentuk pemujaan
ini, dibalik itu tampak adanya suatu arti yang besar. Arti mandi di sungai
Gangga adalah untuk menjadi suci sebelum seeorang membuat usaha apapun dalam
perjalanan menempuh jalan spiritual. Penyucian tubuh dan pikiran, keduanya
diperlikan sebelum seseorang mengambil langkah peryamanya menuju Tuhan yang
Ideal. Orang tidak boleh mendekati sang dewa, sebelum penyucian itu –penyucian
jasmani dan rohani- karena itu satu-satunya cara, maka ketika orang itu menjadi
tersucikan, dia akan merasa mudah untuk mencapai kehadiran yang diinginkan.
Arti dari bunga, yang dia ambil adalah bahwa Tuhan berkanan dengan persembahan
yang lembut, indah dan segar. Lembut berarti kehalusan hati, indah dalam warna
adalah kebaikan sifat, kesegaran adalah kebaikan jiwa. Ini adalah persembahan
yang sesuai dengan perkenan-Nya. Di berdiri dengan pemikiran bahwa dirinya
diserahkan dalam disiplinyang sempurna pada Tuhan yang Maha Berkehendak.
Tanganya terlipat mengekspresikan tidak ada perbuatan dari anggota tubuhnya,
hanya penyerahan seutuhnya. Artui bersujud adalah penolakan diri, dalam arti
positif yaitu: “Saya tidak ada
apa-apanya dibanding dengan keagungan-Mu.”
Membisikkan kata-kata dan membunyikan
lonceng adalah kata yang sama yang dibunyikan didalam hatinya. Sentuhan pada
bubuk merah berarti menyentuh esensi hidup; dan ketika dia menyentuh sang dewa
dengan bubuk, itu berarti bahwa dari sumber ini dia mendapat kehidupan yang
abadi. Ketika dia menyentuh dahinya dengan bubuk itu, berarti ia mendapatkannya
untuk dirinya sendiri. Salep berarti kebijaksanaan, dan menyentuh dewa dan
kemudian dahinya sendiri, dengan selep itu berarti Kebijaksanaan sejati hanya
bisa didapat hanya dari Tuhan, dan menyentuh kepalanya sendiri dengan salep
berarti dia telah mendapatkannya. Kemudian membuat tiga lingkaran di sekeliling
tempat suci adalah tanda bahwa hidup adalah perjalanan, dan perjalanan itu
dilaksanakan untuk mencapai tujuannya, yaitu Tuhan. Brahmana berfikir, “setiap
langkah yang aku ambil dalam hidupku akan berada dalam bimbingan-Nya, dalam
pencarian Tuhan. ”Dibagian kedua dari
upacara tersebut, ketika dia berdiri di hadapan matahari, dengan itu dia
maksudkan bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam cahaya. Dan dengan melatih
pernafasan dia menyatukan hubungan komunikasi batinnya, yaitu antara Tuhan
dengan dirinya sendiri.
SERULING KRISHNA
Krishna digambarkan dalama simbologi
Hindu dengan memakai mahkota burung merak dan sedang memainkan seruling.
Krishna adalah kecintaan Ilahiah yang ideal, Dewa Cinta. Dan Sanga Dewa Cinta
mengekspresikan dirinya dengan masuk kedalam diri manusia dan mengisi seluruh
keberadaannya. Karena itu seruling dimaksudkan sebagai hati manusia, dan hati
yang berlubang akan menjadi seruling bagi Dewa Cinta untuk dimainkan. Ketika hatinya
tidak kosong, dengan kata lain tidak ada ruang yang tersisa, maka tidak ada
tempat untuk cinta. Rumi, penyair besar Persia, menerangkan gagasan itu lebih
jelas lagi. Dia menyatakan bahwa penderitaan dan kesedihan yang dialami jiwa
sepanjang hidupnya itu, seperti lubang-lubang yang dibuat pada buluh seruling
tersebut, dan dengan membuat lubang inilah seseorang memainkan seruling itu.
Yang berarti, hati manusia pada awalnya adalah sebuah buluh, daan penderitaan
dan kesakitan yang dialami membuatnya menjadi sebuah seruling, yang kemudian
dipakai oleh Tuhan sebagai alat untuk menghasilkan musik yang selalu diinginkan
untuk dibuat-Nya. Tetapi tiap buluh bukanlah sebuah seruling, maka tiap-tiap
hati bukanlah Perangkat-Nya. Begitu buluh tadi diubah menjadi seruling, maka
hati manusia bisa diubah menjadi suatu alat dan bisa dipersembahkan kepada
Tuhan. Hati manusialah yang menjadi kecapi malaikat; hati manusialah yang
menjadi kecapi Orpheus. Dari model hati manusia seperti itulah alat musik
pertama kali dibuat, dan di sunia ini tidak ada alat musik yang bisa
menghasilkan musik seperti yang dihasilkan oleh hati, menghidupkan hati yang
mati menuju keabadian.
Mahkota dari merak menuntun pada
penyingkapan rahasia yang lebih jauh lagi, yaitu musik hati yang bisa diekspresikan
melalui kepala; dimana pengetahan yang berasal dari kepala dan cinta yang
berasal dari hati itu mengekspresikan Pesan keIlahian secara penuh. Bulu merak
sepanjang masa dianggap sebagai lambang keindahan dan sebagai tanda
pengatahuan. Suatu keindahan karena ia memang terliahat indah, pengetahuan
karena bentuknya seperti mata. Dengan pengamatanyang lebih mendalam, manusia
mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan tanpa cinta bagaikan orang mati. Maka
dengan seruling, mahkota bulu merak membuat lambang tadi menjadi lengkap.
AIR
Dalam naskah kitab kuno, seperti
Vendanta perjanjian lama, ruh dilambangkan sebagai air. Seseorang ingin tahu
mengapa sesuatu yang ada di bumi, bisa dianggap sebagai ruh. Sifat dasar air
adalah memberi kehidupan pada bumi, demikian juga sifat dasar ruh adalah
memberi kehidupan pada tubuh. Tanpa air maka bumi akan mati, dmikian juga
dengan tubuh bila tanpa ruh akan mati. Air dan bumi keduanya bercampur,
demikian juga ruh bercampur dengan materi dan menghidupkannya kemballi. Akan tetapi
ruh tadi berada di atas materi, seperti keberadaan air yang mengalir ke dalam
perut bumi. Dan ketika air menguap maka ia berada di atas bumi. Tetapi orang
mungkin bertanya, “apakah ruh bersembunyi di bawah materi seperti jiwa dalam
tubuh?” Jawabannya adalah: “Seperti air yang berada di dalam bumi.” Di tempat
manapun di bumi ini pasti ada air, dan hanya beberapa tempat saja yang tiidak
ditemukan air. Demikian juga tidak ada ruangan yang tidak ditempati oleh ruh,
hanya ketidakadaan materi saja yang mungkin.
Cara simbolis untuk mengekspresikan
gagasan yang tinggi tidak datang dari otak; ia adalah hasil dari intuisi.
Permulaan intuisi adalah untuk memahami arti simbolis dari berbagai hal yang
berbeda, dan langkah selanjutnya adalah untuk mengekspresikan hal-hal tersebut
secara simbolis. Dalam dirinya sendiri ada seni keIlahian, dan bukti terbaik
akan hal itu ditemukan dalam simbol air, yang begitu pas mengekspresikan arti
ruh.
ANGGUR
Anggur dianggap suci, tidak hanya dalam
kepercayaan Nasrani, tetapi juga ada dalam agama lain. Dalam agama kuno,
Zoroaster, Jami Jamsshyd, mangkuk anggur tempat “Jamsshyd minum banyak” adalah
fakta sejarah. Di antara orang Hindu, Shiwa juga menganggap anggur itu suci.
Dan dalam Islam, walaupun anggur itu minuman haram di bumi, tetapi di Surga
dibolehkan. Hautsi Kautsar, mata air suci di Surga, yang begitu sering
diperbincangkan dalam Islam, adalah tempat sumber mata air anggur.
Anggur adalah lambang dari evolusi
manusia. Anggur berasal dari proses penghancuran buah anggur, keabadian datang
dari peniadaan diri. Mangkuk racun yang dikenal dalam banyak pemujaan mistis
juga menyodorkan gagasan tentang anggur – bukan anggur manis, tetapi yang
pahit. Ketika diri berubah menjadi sebuah sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya, itu layaknya jiwa yang terlahir
kembali. Ini terlihat dalam buah anggur yang berubah menjadi minuman anggur.
Buah itu, yang berubah menjadi minuman anggur, hidup; sebagai buah dia akan
musnahpada waktunya. Hanya saja, dengan berubah menjadi minuman anggur, buah itu
kehilangan kepribadiannya, tetapi tidak kehidupannya. Diri yang serupa dengan
buah anggur tadi hidup sebagai minuman anggur; semakin lama ia hidup maka
semakin bauk mutunya. Bagi seorang sufi, karena itu sakramen yang sebenarnya
adalah mengubah kepribadian yang serupa
dengan anggur tadi. Yang mempunyai waktu terbatas untuk hidup. Menjadi minuman
anggur; sehingga tidak ada dari dirinyayang bisa hilang, tetapi bahkan
sebaliknya, bisa semakin kuat ataupun semakin disempurnakan. Ini adalah inti
sari dari semua Filsafat dan rahasia aliran mistik.
KISAH ISTRI NABI LUTH
Metode yang diberikan sejak zaman kuno
mengenai misteri hidup adalah dengan menyampaikan dalam bentuk legenda. Legenda
Istri Nabi Luth. Nabi Luth sendiri merupakan saudara Nabi Ibrahim yang dengan
cinta dan bantuan Nabi Ibrahim sehingga dua malaikat diutus pada Nabi Luth,
untuk memperingatkan kepadannya bahwa dua kota akan segera dihancurkan dan juga
menyarankan padanya agar pergi ke gunung. Semula Nabi Luth tidak ingin
meninggalkan kotanya, tetapi pada akhirnya dia setuju juga. Menantu
laki-lakinya menolak untuk diajak menemani, tetapi istri dan kedua anak
perempuannya bersediadiajak ke gunung. Mereka diberitahu supaya istrinya tidak
menoleh ke belakang, dan ketika istrinya melanggar larangan itu, dia berubah
menjadi tiang garam. Nabi Luth dan dua anak perempuannya yang tersisa, akhirnya
sampai pada tujuannya: sebuah di gunung.
Dua kota yang akan hancur, melambangkan
kutub utara dan kutub selatan, merupakn dua kutub di dunia. Karena semua harta
benda dunia, semua kepemilikan, kekuatan dan ketenaran yang menjadi milik bumi
bisa mengalami kehancuran. Dan itulah yang ajarkan pada Nabi Luth, jiwa
manusia, yang menjadi saudara Nabi Ibrahim – jiwa keIlahian yang berasal dari
Brahma sang pencipta. Hubungan antara Nabi Luth dengan Nabi Ibrahim
menggambarkan hubungan jiwa manusia dengan sang pencipta. Dua malaikat adalah
malaikat penerang dan akal. Ketika penerangandatanng kepada manusia, ajaran
pertama adalah untuk memperingatkan jiwa akan bencana yang akan menunggu siapa
saja yang bisa mengalami kematian dan kehancuran. Pelajaran inilah yang dalam
bahasa Sansekerta disebut pelajaran Vairagya –ketika mata manusia
terbukauntuk melihat bahwa dia mempunyai keinginan untuk terus memiliki dan
menggenggam semua yang dia cintai dan dia sukai., tetapi ternyata semua itu
bisa mengalami kehancuran dan kematian.
Ada lima tubuh yang yang dianggap oleh
ahli mistis zaman dulu sebagai kendaraan jiwa yang disebut Anandamayakosh:
tubuh kesukacitaan, Vignanamayakosh: tubuh kebijaksanaan, Manamayakosh: tubuh
pikiran, Pranamayakosh: tubuh eter, Annamayakosh: tubuh bumi.yang terakhir ini
adalah penerima makanan. Ia hidup dari makanan duniawi., dan jika ia kelaparan
maka ia akan mati. Kerena ia terbuat dari tanah, ia hidup di bumi. Yang lain
adalah penerima eter yang disebut Pranamayakosh. Bagian dari manusia tersebut
hidup dengan bernafas dan mengambil udara, dan jika ia kekurangan udara maka ia
tidak bisa hidup. Dua bagian tubuh ini memebentuk bagian meterial, bagian fisik
manusia. Dan dua penerima inilah yang disebut-sebut dalam legenda sebagai dua
putra menantu.
Kemudian ada Manamayakosh, yaitu
pikiran dan tubuh mental. Tubuh ini mempunyai aksi dan reaksi pada dua sisi. Ia
bertindak dan bereaksi pada tubuh duniawi, dan bertindak serta bereaksi pada
jiwa. Oleh karena itu ketika Luth meninggalkan kedua kota itu yang melambangkan
tataran fisik, perjalanan menuju tujuan Keabadian, istrinya masih bersamanya.
Karena memang diperlukan bagi tubuh mental untuk tetap tinggal di belakang ketika
berjalan menuju pencerahan dimulai. Ia mampu untuk pergi bersama jiwa menuju
Keabadian. Akan tetapi kelekatannya pada bumi dan tataran fisik masih besar,
karena itu terbuat dan tersusun dari pahatan-pahatan fisik, dari semua
kesan-kesan yang datang dari dunia fisik, dan karena kebutuhannya maka ia ingin
menengok untuk melihat apakah diri fisiknya ataupun diri spiritualnya menuju
arah yang tepat. Sifat dasar pikiran adalah ragu-ragu baik ketika dia melakukan
tindakan yang benar ataupun salah. Keraguan dan kepercayaan adalah musuh.
Sementara kepercayaan menuntun kepada tujuannya, keraguan akan menariknya
kembali. Ketika pikiran sedemikian tertarik ke belakang,oleh semua kesan-kesan
kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bisa menggenggap dunia ataupun berkelana
bersama ruh dan akan tertinggal bukan sebagai tanah ataupun air tetapi sebagai
garam.
Dua tubuh yang lain yang dekat dengan
jiwa, mengikuti jiwa. Sewajarnya mereka akan mengikuti, karena berhubungan erat
dengan jiwa, Vignanamayakosh, tubuh kebijaksanaan, dan Anandamayakosh,
tubuh kesukacitaan. Jiwa terikat kepada Tujuan Abadi seperti namanya puncak
gunung. Dan sebelum mereka mencapai puncak gunung, ada gua, yang disebut Surga
– dalam Metafisika: kemampuan, dalam bahasa Sansekerta: Akasha – yang
mempunyai kekuatan menahan jiwa untuk pergi menuju puncak dan mempergunakan
jiwa untuk tujuan-tujuan tertentu. Jiwa yang terikat pada Tujuan Abadi menjadi
tertinggal dan teracuni oleh ekstasi yang diterimanya dari bidang kenikmatan
dan bidang kebijaksanaan. Dan karena setiap yang terjadi mempunyai maksudnya
sendiri-sendiri, demikian juga kenikmatan ini adalah hasil dari tujuan yang
besar, dalam kelahiran sang pesuruh, yang dalam bahasa Sansekrta disebut Bodhisatwa.
Sang pesuruh terlahir dari pengalaman jiwa pengetahuan dan kebahagiaan, untuk
membawa peningkatan kebaikan pada dunia.
Ada satu pertanyaan yang mungkin
muncul, mengapa Manamayakosh harus menjadi ibu dan Anandamayakosh
da Vignanamayakosh harus menjadi anak perempuan. Jawabnya adalah mereka
terlahir dari pikiran dan jiwa. Seandainya hanya ada jiwa, maka tidak akan ada
suka cita ataupun kebijaksanaan. Pikiran dan jiwa, keduanya menghasilkan suka
cita dan kebijaksanaan. Oleh karena itu yang terakhir disebut anak perempuan
karena pikiran adalah ibunya. Dua bidang yang lebih rendah lagi terwakili putra
menantu, karena mereka tidak langsung terlahir dari pikiran dan jiwa; ia adalah
substansi terpisah yang diambil oleh pikiran dan jiwa ke dalam hidupnya.
Dengan kisah ini, proses tersebut
diajarkan; bagaimana jiwa bisa berkelana dari kefanaan menuju kebaqaan dan
pengalaman-pengalaman apa yang mungkin dialami dalam perjalanannya. Tetapi
ketika sang Pesuruh tercipta, maka sang Bapa-jiwa-beristirahat dalam kedamaian.
Oleh karena itulah sang Pesuruh disebut Putra, dan Jiwa sesungguhnya disebut
Bapa.
YAKUB BERGULAT DENGAN MALAIKAT
Pergulatan Yakub adalah pergulatan
antara jiwa dengan ego. Jiwa yang tersandarkan melihat sekelilingnya dan
bertanya: “siapakah musuhku?” sementara jiwa yang lalai berfikir “ia adalah
tentangku, sudaraku, yang menjadi musuhku”, sang jiwa tadi berkata: “diriku
sendiri; egoku yang lalai adalah musuhku; dan pertempuran dengan musuh ini yang
akan membawa ke titik terang dan mengangkatku dari kesesakan bumi.” Malam
artinya secara simbolis sdalah waktu ketika kegelapan tiba karena kelalaian
menyebabkan kebingungan; orang merasa sedih, kesepian, tertekan; tidak melihat
jalan keluar; terbebani dari segala arah, terbelenggu; tampak tidak ada
kebebasan bagi jiwa; karena ini adalah waktu malam. Tetapi ketika jiwa bisa
mengalahkan ego, maka ia akan naik di atas belenggu danketerikatan pada dunia
ini. Seperti yang dikatakan dalam Injil, pertama-tama Yakub meninggalkan semua
miliknya; dia menjauh dari itu semua. Ini berarti dia meninggalkan semua yang
dia pernah merasa terikat padanya. Seorang sufi yang melihat fenomena ini dari
sudut pandang yang berbeda, lalu berfikir mrninggalkan semua miliknya, dan
pergi ke hutan atau ke gunung, itu bukanlah pelepasan yang sebenarnya;
pelepasan yang sebenarnya ada di dalam hati manusia. Seseorang bisa dikelilingi
keindahan, kenyamanan, kesejahteraan, jabatan, cinta – segala sesuatu – tetapi
bisa lepas dari itu semua; tidak menjadi budak mereka; berada di atas mereka.
Yakub meninggalkan semuanya dan sampai
pada taraf kesendirian, kesenyapan, dan di sana ia berharap untuk memerangi
diri yang terpedaya, ego yang membutakan manusia dari Kebenaran. Dan apa
hasilnya? Datanglah fajar, dan orang itu atau malaikat, yang berkelahi dengan
Yakub, pergi. Ini berarti bahwa ego ingin pergi meninggalkannya; tidak ada lagi
ego, tidak ada lagi Aku; tetapi dengan adanya fajar cahaya baru, inspirasi
baru, penyingkapan rahasia yang baru telah datang. Ego yang yakub lihat sebagai
musuh terbesar, pada saat fajar merekah dia kenali sebagai Tuhannya sendiri.
Sesuatu yang dia perangi sepanjang malam, sekarang ia membungkuk di
hadapan-Nya, memohon rahmat-Nya, dia sebut nama-Nya karena dia melihat sesudah
itu: “bukan Aku lagi tetapi Engkau.” Dan nama tidak bisa disebutkan, karena itu
adalah pengungkapan rahasia Penyatuan antara tuhan dan Manusia, dan pada
perwujudan ini nama dan bentuk menghilang.
YESUS BERJALAN DI ATAS AIR
Fenomena tentang Kristus berjalan di
atas air, dari sudut pandang mistis menyiratkan suatu Filosofi yang lebih besar
dari pada hanya fenomema itu sendiri. Seluruh alam semesta dalam segala
bentuknya adalah satu gambaran tunggal dari aktivitas kontan. Dari awal sampai
akhir setiap aspek kehidupan ini
menggambarkan gerakan, dan gerakan yang tak henti-hentinya dari alam semsta
inilah yang disebut kehidupan. Oleh karena itulah alam semesta dikatakan
sebagai lautan getaran-getaran, dan setiap getaran melambangakan satu
gelombang. Karenanya, para bijak menyebutnnya dalam bahasa Sansekerta, Bhava
Sagara, lautan kehidupan, dan pengikut-pengikut setianya selalu berdo’a
untuk dibebaskan, sehingga mereka tidak akan tenggelam di lautan ini, tetapi
mereka bisa berenang di dalamnya yang disebut Tarana. Dan Ruh master-lah
yang bisa naik di atas gelombang lautan kehidupan yang besar ini, yang pada
umumnya jiwa-jiwa hanyut tenggelam. Untuk berada di dalamnya, dan untuk bisa
berdiri di atasnya, dan berjalan di atasnya, adalah fenomena tentang Kristus
berjalan di atasnya.
Kristus berkata pada seorang nelayan:
“Aku akan membantumu menjadi manusia nelayan.” Yang artinya : “Seperti ketika
kamu menebarkan jala dan ikan-ikan masuk ke dalamnya, demikian juga dengan
spiritualitas kepribadianmu akan menyebar di atmosfir, dan hati manusia yang
dahaga akan inta akan tertarik padamu seperti ikan-ikan itu.” Cinti kristu pada
domba secara simbolis mengekspresikan bahwa bagi sang master, jiwa itu membuat
daya tarik yang lebih besarlagi, yang sederhana dan tidak berbahaya seperti
domba. Dan mahkota duri melambangkan toleransi dari kepribadian seperti duri
yang banyak terdapat di bumi, terus menerus msnusuk, sadar atauoun tidak sadar,
dan inilah yang membuat orang sensitive terganggu dengan kehidupan dunia.
Tetapi sang pesuruh yang hatinya mewakiliBapa dan IbukeIllahian tidak bias lain
kecuali toleran, dan secara sukarela menerima mahkota tersebut yang diberikan
padanya, karena itu memang, tanda KekuasaanNya dalam kerajaan jiwa.
Kristus berkata pada petrus: “Engkau
akan menolakku tiga kali sebelum ayam jantan berkokok.” Ini menjelaskan tentang
pembawaan sifat manusia. Keercayaan manusia umumnya tergantung pada kepercayaan
orang banyak, jika orang banyak menyebut batu krikil sebagai intan, tiap orang
akan mulai menganggapnya sebagai intan dan akan mengatakan demikian. Jika orang
banyak berpikir bahwa bahwa intan adalah batu krikil, maka tiap orang akan
mengikuti kepercayaan orang banyak tersbut. Jiwa sang pesuruh yang dating dari
atas (yang dilmbangkan dengan burung merpati), yang tidak dibuat oleh dunia,
tapi tak dikenali sampai ayam jantan berkokok dan mata hari terbit. Maka kata-katanya
bersinar dan menyebarkan cahaya pada dunia, dan jiwa diberi kehormatan dengan
sedikit pengenalan, tetapi dengan sejumlah besar keraguan, bias percaya untuk
sementara waktu, terkesan dengan kekuatan dan keanggunan kepribadian sang
Master, tetapi juga masih menyangkal seribu kali, meragukan dan menduga-duga,
serta masih terkesan oleh pengaruh orang banyak. Bagaimana persoalan yang
sebenarnya, peribahasa dalam Bahasa Hindustan menyatakan bahwa: “pada umumnya
jiwa mengikuti orang banyak.” Cuma ada sedikit jiwa yang teguh dengan pendirian
mereka, dan tetap teguh bahkan jika seluruh dunia menentang pendirian mereka
sendiri. Sesungguhnya bagi yang setia ada rahmat untuk mereka.
SIMBOL SALIB
Symbol salib mempunyai banyak
pengertian. Dikatakan dalam Injil: pertama adalah kata, kemudian dating cahaya,
dan kemudian tercipta dunia. Dan seperti cahaya diekspresikan dalam bentuk
salib, demikian juga tiap bentuk memperlihatkan didalamnya tanda-tanda aslinya.
Setiap seniman mengetahui nilai dari garis tegak dan garis datar, yang
merupakan kerangka dari setiap bentuk. Ini juga membuktikan ajaran Al-Qur’an,
yang dialamnya disebut bahwa Tuhan menciptakan dunia dari cahayaNya sendiri.
Salib adalah gambar yang tepat untuk setiap bentuk dimana saja.
Secara moral salib berarti derita
ataupun siksa. Itu berarti bahwa dalam setiap kegiatan kehidupan, yang bias
digambarkan sebagai garis tegak, kemudian datanglah gangguan, yang diwakili
oleh garis datar. Ini menunjukkan sifat alamiah kehidupan, yaitu seperti
dikatakan, manusia mengusahakan, Tuhan lah yang menentukan. Seseorang bertanya
pada Master besar, Ali, apa yang membuatnya percaya Tuhan. Ali berkata; “Aku
percaya pada Tuhan karena aku melihat bahwa ketika hanya aku sendiri yang
menginginkan, maka keinginan itu tidak terlaksana.” Menurut sudut pandang
metafisika, ini menggambarkan keterbatasan hidup.
Symbol salib dalam halnya hubungan
dengan kehidupan Kristus tidak hanya menghubungkan penyaliban sang Master,
tetapi juga menunjukkan bahwa penyaliban itu harus dihadapi oleh seseorang yang
memiliki Kebenaran. Menurut gagasan Filsafat Hindu, bahwa kehidupan didunia ini
adalah hanya sebuah ilusi. Dan oleh karena itu setiap peristiwa yang dialami
dalam kehidupan dan pengetahuan akan kehidupan ini adalah sebuah ilusi.
Kata-kata Sansekerta untuk ilisi ini adalah maya, juga disebut Mithea, yang
darinya kata Mitos dating. Ketika jiwa mulai melihat kebenaran, maka bias
dikatakan sebagai terlahir kembali, dan bagi jiwa ini semua yang Nampak sebagai
kebenaran bagi orang kebanyakn, maka bginya akan Nampak tidk benar, dan apa
yang namak sebagai kebenaran jiwa ini , akan menjadi sesuatu yang tidak berarti
apa-apa bagi orang kebanyakan, semua
yang Nampak bagi orang banyak itu penting dan berharga dalam hidup, bagi jiwa
ini tidak penting dan tidak berharga; dan apa yang nampaknya begitu penting dn
berharga bagi jiwa ini, maka bagi orang kebanyakan akan melihatnya sebagai
sesuatu yang tidak penting dan tidak berharga.
Oleh karena itu, dia secara alami hanya
akan menemukan dirinya sendiri bila hidup dalam keramaian dunia yang sungguh
berbeda dri pola keidupannya. Bayangknlah sendiri bila engkau hidup didunia ini
dimana tidak ada orang yang menggunakan bahasamu. Dia bias hidup didunia itu,
karena dia tahu bahasanya. Dan baginya hidup didunia adalah samatidak
menguntungknnya seperti orang dewasa yang hidup didalam dunia anak-anak yang
selalu asyik bermain dengan mainannya. Seorang manusia yang teah menyadari
kebenaran, bias mengalami semua penderitaan dan siksaan dalam cara yang sama
dengan orang lain, kecuali bahwa ia mampu menahannya lebih baik daripada orang
lain. Tapi, pada saat yang sama, sementara dalm keramaian yang mana setiap
orang saling tabrak dan juga menerinma pukulan,mereka yang mengetahui kebenaranharus berdiri sendiri
daan hmenerima semua perlakuan itu secara sendirian; baginya ini adalah siksaan
hebat. Hidup didunia ini adalah tidak mudah bagi setiap orang kaya atau miskan,
kuat atau lemah, tetapi bagi yang mengetahui kebenaran akan menghadapi sesuatu
yang lebih sulit lagi, dan didalam dirinya itulah ada salib. Oleh karena itu,
bagi sang penyampai sepiritual, salib tersebut adalah lambing yang alami untuk
menjelaskan keadaan moralnya. Tetapi ada pengertian yang lebih tinggi lagi
tentang salib yang dipahami oleh ahli mistik. Pengertian ini adalah yang
disebut pengingkaran diri; dan untuk mengajarkan kehalusan moral ini,
kerendahan hati dan kesederhanaan diajarkan sebagai ajaran yang pertama.
Pengingkaran diri adalah akibat uang disebabkan oleh peniadaan diri. Inilah
yang menyebabkab orang berkata: “Bukan aku tetai Engkaulah keagungan
itu.”Sebagai contoh, seorang seniman, memandang pada lukisannya, dan berkata;
“ini adalah pekerjaanNya, bukan saya.”atau seorang pemusik, yang mendengarkan
komposisinya, berkata: “Ini adalah ciptaanNya, bukan aku.” Maka jiwa tersebut
dalam satu cara bias disebut disalib, dan melalui penyaliban itu datanglah
kebangkitan kembali. Tidak ada keragun sedikitpun ketik manusia telah mendapat
banyak penderitaan dalam hidupnya. Dia bangkit pada kesadaran terbesarnya. Tetapi
tidakberarti bahwa penderitaan harus menjadi satu-satunya cara. Kesepian pada
sisiv manusia untuk menolak bagian kesadarannya dan untuk meniadakan
kepribadiannya sendiri, yang membuka selubung yang menyembunyikan Ruh Tuhan
dari pandangan manusia.
SIMBOL MERPATI
Burung mewakili musyafir langit, dan
juga sekaligus mewakili makhluk yang aslinya dibumi dan aslinya tinggal di
angkasa, penjelasan pertama tentang burung mewakili gagasan tentang jiwa yang
tempat tingglnya di surga, dan yang berikutnya mewakili penghuni bumi yang bias
berjalan-jalan dilingkungan yang lebih tinggi, dan kedua penjelasan in
memberikan petunjuk berupa gagasan bahwa manusia spiritual, tinggal di bumi,
berasal dari surga; hal itu menerangkan juga bahwa manusia spiritual adalah
penghuni surga dan bertempat tinggal di bumi untuk sementara waktu.
Burung merpati digunakan sebagai
pembawa pesan, dari satu tempat ketempat lain, dan oleh karena itu lambang
burung merpati adalah lambang alami untuk mewakili pesuruh dari atas sana.
Kebahagiaan spiritual adalah suatu pengalaman yang jika seekor burung atau
binatang mengalaminya, ia tidak akan pernah kembali ke tempat asalnya.tetapi
satu penghargaan bagi manusia yang telah menyentuh titik kegembiraan dan
kebahagiaan besar tersebut, dia kembalilagi ke dalam dunia yang penuh kesedihan
dan kekecewaan dan menyampaikan ajarannya.hal ini juga bisa dilihat pada burung
merpati; ketika ia dikirim, ia pergitetapi dengan setianya ia kembali lagi pada
Tuhan yang mengirimkannya. Manusia spiritual melaksanakan tugans ini dua
kalilipat; ia merengkuh lebih tinggi daripada tataran manusia biasa, menyentuh
tataran ke Illahian dan menyampaikan wahyu dari tuhan ke umat manusia. Dengan
cara ini bukannya menetap di tataran keIlahian, dia kembali diantara
sahabat-sahabatnya manusia, untuk kesjahteraan mereka, itu bukanlah suatu
pengorbanan yang keci. Tetapi sekalilagi dia juga melaksanakan tugas dari
Tuhan, yang dariNya dia membawa FirmanNya, yang disampaikan pada umat manusia.
Dia hidup sebagai makhluk manusia, merasakan cinta, benci, pujian, dan
disalahkah; melewati hidupnya didunia yang penuh ikatan, dan kehidupan yang
mengikatnya dengan seribu tali dari segala penjuru. Akan tetapi dia tidak lupa
akan tempat asalnya, dan dia tetap dengan bersemangat mencari cara untuk tempat
yang seharusnya bagi dia. Oleh karena itu dalam kedua perjalanan ini, dari
bumikesurga dan dari surga kebumi, gagasan tentang burung merpati terbukti
lebih tepat daripada pemikiran lain di dunia ini.
SEPULUH PERAWAN
Ada kisah di Injil tentang sepuluh perawan.
Lima perawan yang pandai dan lima lagi yang bodoh. Dikatakan bahwa calon
pengantin laki-lakinya mau datang, dan mereka harus mnyalakan lampu-lamu
mereka; yang lima tadi sudah siap; membawa minyak, dan menyalakan lampunya.
Yang lima lagi menunggu sampai calon suaminya datang, dan ketika mereka sampai,
maka mereka pergi kelima gadis pertama. Yang telah menyalakan lampu mereka dan
meminta minyak pada mereka, tetapi ditolak. Cerita ini hanya ungkpan simbolis
tentang menerima wahyu Tuhan. Yang dimaksud dengan perawan adalah jiwa yang
menanti pencerahan, tak berdosa dan peka terjhadap cahaya; dan lima artinya
adalah orang banyak. Ada kelompok orang, satu kelompo ialah yang
mempersiapkandiri mereka dan siap menerima wahyu Tuhan, yang digambarkan
sebagai pengantin yang pandai. Dan lima bodoh adalah kelook dalam umat manusia
yang menunggu dan menunggu dsampai wahyu itu datang dan kemudian pergi. Pada
setiap zaman selalu ada jiwa seperti ini. Satu jenis disebut dalam kitab-kitab
sebagai orang yang beriman, dan yang lain adalah yang diketahui sebagai orang
yang tidak beriman.
Disetiap zaman kenabian telah
diberitahukan oleh Nabi pendahulunya
sebelum kedatangan Nabi yuang berikutnya. Kadangkala dikatakan: “Aku akan
datang”, dan kadang: “Dia akan datang.””aku akan datang” telah dikatakan pada
mereka yang mau mengenali Ruh penuntun yang sama dalam setiap kedatangan
pembawa kabar gembira; “Dia akan datang” dikatakan pada mereka yang nama dan
bentuknya berbeda, dan yang tidak bisa mengenali Ruh yang sama dalam nama dan
bentuk yang berbeda. Sebagai contoh, kedatangan Yesus Kristus adalah kedatangan
sang Ruh yang diungkapkan dalam cerita perumpamaan ini sebagai engantin
laki-laki, dan ternyata hanya sedikit yang mengenalinya dan betapa sedikit yang
mendapat pencerahan. Hanya bagi mereka yang lampunya telah siap dinyalakan.
Minyak dalan kisah perumpamaan ini adalah cinta, dan cahaya adalah
kebijaksanaan. Dan ketika lampu mereka dinyalakan, maka begitu banyakyang
datang setelah itu, tetapi rahmat dan kehormatan yang datang bersama dengan
keribadian sang master telah hilang. Mereka harus bisa mengambil keuntungan
dari cahaya yang datangdari lampu-lampu mereka yang dinyalakan, tetapi
kesempatan untuk menyalakan lampu mereka sendiri telah hilang.
Itu sama dengan segala sesuatu yang
terjadi dalam hidup ini. Setiap momen kehidupan kita adalah kesempatan yang
menbawa keberkahan dan rahmat. Dan dia
yang tahu bagaimana agar diuntungkan dari adanya hal tersebut, menerima
keuntungan dan rahmatnya. Setiap orang kelihatannya hidup dan terjaga, tetapi
hanya sedikit jiwa yang benar-benar hidup dan terjaga.ada kesempatan untuk
beruntung dan mendapatkahn rahmat dalam setiap bidang kehidupan seseorang:
bidang fisik, bidang mental, dan bidang spiritual. Setiap kesempatan menjadi
tidak ternilai harganya. Tetapi seringkali seseorang menyadari kebenaran ketika
sudah terlambat. Tidak ada kesempaanyang lebih besar dan lebih baik
dibandingkan dengan saat yang bisa memberi pencerahan spiritual, suatu aat
ketika orang-orang dapat menerima rahmat Tuhan. Itu adalah saat yang tidak
ternilai harganya. Barang siapa yang memahaminyacdan mencoba untuk meraih
keuntungan dari hal tersebut, akan dirahmati.
LIDAH-LIDAH API
Arti simbolis dari legenda ini adalah
bahwa ada satu periode ketika jiwa pencari yang paling rajin sedang mencari ,
dan pada saat itu dia belum menemukan obyek yang dicarinya. Pada masa hidupnya
Yesus Kristus, keindahan kepribadian dari Masteryang sangat mengagumkan dan
kehadirannya membuat jiwa-jiwa pencari menjadi mabuk, dan ajaran yang dicurahkan
secara konstan yang harus dia berikan, ternyata begitu banyak
murid-muridnyacsehingga kondisi tersebut memuncak melewati apa yang bisa
disebut kenikmatan atau kebahagiaan, atau sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan.dan semua rahmat yang mereka terima dan alami selama kehadirannya
sudah terpenuhi oleh kepribadian sang Master. Dan sat perwujudan itu berhasil
mereka dapatkan kedalam hidup mereka , setelah perubahan besar yaitu ketika
orang yng diluar (murid) dari sang masteritu menanjak,dan kemampuan untuk mengejawantah
menjadi terbuka.
Tetapi setelah lima puluh dari hari
penyaliban, ketika mereka telah cukup waktu untuk sembuh dari perasaan yang
telah mengambil alih hati mereka, nampaknya perpisahan dari Tuhan terkasih
mereka yang telah menyiapkan mereka, pada waktunya, dan membuka pintu hati
mereka, memberi kemampuan untuk menerima pencerahan yang selalu mengucur dari
Ruh penuntun, sang Alpha dan omega, yang
selalu ada dan akan tetap ada.
Penafsiran simbolis dari lidah api yang
bangkit dari benak para murid adalah cahaya dari sabda, cahaya Ruh Kristus
dalam bentuk pemikiran yang diungkapkan dalam kata-kata. Ada satutahap dalam
kehidupan seseorang saleh ketika lidah api yang tidah hanya menjadi penafsiran
misteri tetapi juga sebagai kenyataan, sebagai pengalamannya sendiri. Kepala
adalah pusat pengetahuan, dan ketika orang lain terbuka, cahaya yang tadinya
terselubung kini menjadi terang, tidak hanya dalam gagasan tetapi juga dalam
bentuk.
Dan fenomena yang diperlihatkan pada
hari berikutnya, ketika ara Rasul berbicara dalam bahasa yang berbeda, dapat
ditafsirkan dengan benar dengan pengertian ini, bahwa setiap jiwa mendengar
bahasanya sendiri. Karena setiap jiwa
mempunyai kata-kata sendiri, seperti setiap jiwa mempunyai waktu perubahannya
sendiri-sendiri. Dan oleh sebab itu
bahwa seseorang tisakbisa memahami orang lain didunia ini yang bisa memahami
dia sepenuhnya, yang berarti bahwa bahasa masing-masing didunia ini tidak bisa
dipahami oleh orang lain; dan jika seseorang mengerti sedikit saja, dia akan
merasa satu jalan dengannya. Itu adalah cahaya Ruh Kristus yang membawa
keberkahan dalam idup sang murid, sehinga mereka mulai merespon setiap jiwa
yang mereka temui, dan mereka memahami jiwa seperti cara mereka melihatnya, dan
bisa berbicara dengan jiwa yang bahasanya belum mereka ketahui
sebelumnya.secara sederhana mereka mendengar setiap jeritan tangis jiwa, dan
mereka menjawab setiap penggalian jiwa. Setiap nabi besar maupun Guru dalam
pengikutnya memiliki banyak pengikut, tertarik dengan kepribadiannya, dengan
kata-katanya, kebaikan dan kasih sayangnya, yang hatinya menjadi seperti
seruling untuk dimainkan sang master dalam memainkan musiknya, selalu hanya
memilih beberapa saja, seperti duabelas rasul pengikut Kristus.
SHAKKI SADR; MEMBUKA DADA SANG NABI
Ada kisah yang diceritakan dinegara
Saudi Arabia bahwa malaikat turun dari surga ke bumi dan membelah dada sang
nabi, mereka mengambil sesuatu yang harus dibuang dari sana, dan kemudian
dadanya dipulihkan seperti semula. Ini adalah ungkapan simbolis, yang memberi
kepada orang sufi suatu kunci rahasia kehidupan manusia. Apa yang menutup pintu
hati manisia adalah rasa takut , kebingungan, depresi, rasa dengki, kehilangan
semangat, kekecewaan dan kesadaran yang terganggu, dan ketika hal tersebut
dibersihkan, maka pintu hati manusia terbuka. Pembelahan dada sesungguhnya
adalah pembukaan hati. Sensasi kenikmatan dirasakan ditengh-tengah dada, juga
rasa berat yang disebabkan oleh rasa depresi. Olehkarena itu selama dada masih
tersumbat dengan sesuatu, maka hati akan tetap tertutup. Ketika dada
dibersihkan dari sumbatan itu, maka hatinya menjadi terbuka. Hati yang
terbukalah yang mengambil pantulah dari semua kesan yang datang dari luar. Hati
yang terbukalah yang bisa menerima Ruh Illahiah. Keterbukaan hatilah, sekalilagi
yang dapat memberikan kekuatan dan keindahan untuk mengekspresikan dirinya; dan
jika ia tertutup, seorang mabusia bagaimanapun terelajarnya, tidak dapat
mengekspresikan ilmunya pada orang lain.
Kisah sikbolis ini juga menerangkan apa
yang dibutuhkan dalam hidup ini untuk membuat tanaman ksih dari Illahi agar
tumbuh dalam hatinya. Penghilangan unsur itu akan memberi perasaan sedih.
Seperti keadaan racun dalam sengat kala jengking, dan seperti racun dalam
taring ular, demikian juga ada racun dalam hati manusia, hati ini diciptakan
untuk menjadi tempat suci Tuhan. Tetapi tuhan tidakbisa muncul ditempat
suciyang mati oleh karena racunnya sendiri; hati itu harus disucikan dulu, dan
dibuat murni, supaya tuhan bisa muncul. Jiwa yang harus bersimpati pada dunia
ini harus dipersiapkan, sehingga tetesan racun yang selalu menghasilkan
kehinaan, kebencian dan perasaan sakit hati terhadap orang lain, terlebih
dahulu dihancurkan. Begitu banyak yang berbicara tentang penyucian hati, tetapi
angat sedikit yang benar-benar mngetahuinya. Beberapa orang berkata untuk
menjadi suci berarti terbebas dari pikiran jahat tetapi tidak ada pikiran
jahat. Sebutlah jahat atau setan jika ada pikiran seperti itusebenarnya itu
adalah pikiran yang tidak tepat terhadap orang lain. Tidsk ada orang dengan
perasaan dan pemahaman akan menyimpan racun dalam dirinya, dan betapa alpanya
manusia jika dia menyimpan dan memelihara pikiran buruk pada orang lain dalam
hatinya.jika setetes racun bisa menimbulkan kematian pada tubuh kita,sama
halnya dengan kematian seribu orang jika hati menyimpah pikiran buruk yang
terkecil sekalipun. Dalam kisah ini pembelahan dada adalah pembukaan ego, yang
serupa dengan kulit penutup hati. Dan pembuangan unsur tersebut adalah bahwa
setiap jenis pemikiran atau perasaan terhadap orang ain didunia ini telah
dibuang, dan dadanya yang berarti hati dipenuhi dengan cintakasih, yag
merupakan kehidupan sejati Tuhan.
MI’RAJ SANG NABI
Satu kisah yang ada dalam Islam adalah
Mi’raj sang nabi, yang merupakan sesuatu inisiasi dalam lingkungan yang lebih
tinggi. Banyak yang menerimanya secara harfiyah dan mendiskusikannya, dan
sesudahnya pergi dengan pintu sama pada waktu dia masuk. Dari sudut pandang
mistiklah orang bisa menemukan misterinya.
Diceritakan sang Nabi dibawa dari
Masjid Yerusalim kemesjid Perdamaian (Sidratul Muntaha), yang berarti dari luar
msjid perdamaian kedalam mesjid perdamaian. Buraq dibawakan untuk sang nabi
untuk kendaraan. Malaikat Jibril menemui sang nabi dalam perjalanan, dan
menjadi penunjuk jalan. Konon buraq adalah hewan surga yang mempunyai sayap,
bertubuh kuda muka manusia, itu berarti bahwa tubuh berhubungan dengan pikiran.
Sayap meambangkan pikiran dan tubuh buraq melambangkan tubuh manusia, kepalanya
melambangkan kesemurnaan. Ini juga menggambarkan nafas. Nafas adalah buraq yang
menggapai dunia luar dalam waktu sekejap. Jibril dalam kisah ini melambangkan
akal.
Dikisahkan bahwa dalam perjlanan , Sang
nabi melihat Adam. Adam kelihatan tersenyum disuatu sisi dan berurai air mata
disisi lain. Ini memperlihatkan bahwa jiwa manusia, ketika mengembangkan
didalam dirinya sentimen kemanusiaan, bergembira atas perkembangan umat manusia
dan bersedih atas degenerasi umat manusia.buraq sendiri tidak bisa pergi lebih
kjauh lagi pada suatu tempat, yang berarti bahwa nafas mempunya jarak tertentu
daam kenyataan mistis, tetapi ada satu tahap ketika nafas ter sebut bisa
menemaninya lagi. Ketia mereka sampai didekat tujuannya, malaikat Jibril juga
berhentui yang berarti akal tidak bisa melangkah lebih jauh lagi dari batas-batasnya.
Maka sampailah sang nabi didekat tirai yang terhampar diantara manusia dn Allah
SWT. Dan menyeru nama Tuhan, “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Dan datanglah
jawabannya, “benar, benar.” Itu adalah insiasi yang sejak saat itu tercatat
berkembangnya wahyu kenabian Muhammad SAW.
BAB XI
DARI TEOLOGI KE SOSIOLOGI
Teologi adalah ilmu atau penalaran
kritis (logos) tentang Tuhan (teos), sedangkan sosiologi adalah
sebuah penalaran kritis (logos) tentang masyarakat (socius).
Meskipun sama-sama sebagai kajian yang bersifat kritis-logis, teologi muncul
dari tradisi dan semangat beragama, sehingga di dalamnya terkandung semangat
iman dan pembenaran pada wahyu Tuhan. Teologi lalu dibedakan dari filsafat
ketuhanan yang memberikan kebebasan bagi nalar dalam membahas persoalan Tuhan
tanpa harus terikat dengan wahyu.
Namun demikian, dalam tradisi Islam,
sebebas apapun nalar berpikir, tetap ada penghormatan pada wibawa wahyu. Oleh
sebab itu, tradisi filsafat dalam Islam masih berdekatan dengan tradisi
teologi. Yang membedakan keduanya hanya dari segi metodologi. Filsafat lebih
mengandalkan metode burhani (demonstratif), sedangkan teologi lebih
bersifat jadali (dialektis). Yang pertama mencari formula kebenaran
dengan cara membangun premis dan melakukan analisis secara kritis-radikal
setapak demi setapak. Adapun yang kedua berangkat dari berbagai statemen ayat
atau wahyu yang kemudian saling diperhadapkan dalam kerangka analisis guna
menangkap pesan Tuhan.
A. Dari Individual ke Sosial
Semua
agama, pada awalnya, merupakan pengalaman pribadi para pendiri atau pembawanya.
Jika ditelusuri ke belakang, Islam bermula ketika Muhammad meyakini memperoleh
pengajaran Tuhan melalui malaikat Jibril, yang berlangsung selama 23 tahun.
Orang lain yang mendengarkan cerita pengalamannya terbagi menjadi dua: mereka
yang percaya dan mereka yang tidak percaya. Yang pertama disebut orang mu’min
(the community of believers), yang kedua disebut orang kafir(the
community of disbelievers). Ada juga kelompok ketiga yang disebut ahl
al-kitab (the people of the book). Mereka tidak percaya pada pengalaman
Muhammad dalam hal menerima wahyu dari Jibril, namun karena memiliki kesamaan,
banyak ajaran yang disampaikan Muhammad juga menjadi kepercayaan mereka. Ajaran
tentang beriman pada Tuhan Yang Esa, surga-neraka, dan petunjuk moral agar
seseorang berbuat baik, misalnya, sama-sama dimiliki oleh masing-masing pihak.
Pada waktu itu, posisi kelompok ketiga ini dibedakan dari kelompok orang kafir,
dan tidak pula dianggap sebagai orang mukmin. Mereka beriman pada Tuhan, namun
mengingkari kerasulan Muhammad. Mereka terdiri dari golongan Yahudi, Nasrani,
dan Sabiin.
Ketika
pemahaman dan keyakinan pada wahyu tidak lagi dimonopoli oleh Muhammad,
melainkan menyebar pada orang lain, muncullah sebuah komunitas baru yang diikat
oleh kesamaan iman. Di masa Rasulullah, istilah “iman” lebih popular ketimbang
“islam”. Sekarang ini terjadi pembalikan semangat. Kata “iman” sebenarnya lebih
inklusif sifatnya dan digunakan oleh berbagai kelompok agama, sehingga tidak
terbatas pada mereka yang mengakui kerasulan Muhammad saja. Sedangkan kata
“islam” yang dalam Al-Qur’an lebih inklusif-karena sebagian Nabi dan umat
terdahulu juga masuk kategori muslim (dengan “m” kecil)- sekarang berbalik menjadi ekslusif. Sekarang kata
tersebut hanya mencakup mereka yang menjadi penganut Muhammad yang lazim
disebut umat Islam. Kata “Islam” (dengan huruf besar) juga mengandung konotasi
pengelompokan sosial, karena yang dimasukkan kelompok ini tidak selalu memahami
dan melaksanakan ajaran Muhammad secara mendalam. Istilah ini berubah menjadi
identitas demografis-sosiologis.
Jika
dibandingkan sosok dan entitas Muhammad dan komunitas Muslim dalam memahami dan
mengapresiasi ajaran Islam, akan terlihat perbedaan yang sangat mendasar. Wahyu
Tuhan masuk dan bekerja dalam diri Muhammad secara optimal karena ibarat tanah,
kondisinya sudah siap dan subur untuk ditaburi benih wahyu. Ini terlihat dari
kepribadian Muhammad yang sejak kecil hingga malam penerimaan wahyu, sudah
dikenal sebagai sosok pribadi yang cerdas, berbudi luhur, senang berkontemlasi,
dan berbagai keunggulan lain. Masyarakat Arab pun sepakat memberi gelar “al-‘amin”,
orang yang terpercaya. Dengan demikian, sebelum mengumumkan pada masyarakat
bahwa dirinya memperoleh bimbingan wahyu Tuhan melalui Jibril, Muhammad sudah
menonjol sebagai pribadi agung, bagaikan berlian di tengah bebatuan.
Demikianlah, pemahaman, apresiasi, dan keyakinan Muhammad terhadap wahyu ajaran
Tuhan sangat intens dan mendalam. Barangkali fenomena ini yang dimaksudkan oleh
isterinya Aisyah ketika ditanya, bagaimana akhlak Muhammad? Ia menjawab:
akhlaknya adalah Al-Qur’an. Lalu, Al-Qur’an sendiri menyebut Muhammad sosok uswah
hasanah, model yang baik.
Marilah
kita bandingkan dengan intensitas pemahaman dan penghayatan komunitas Islam
tentang wahyu Tuhan. Segera kita temukan beberapa perbedaannya. Pertama,
pengikut Muhammad tidak menerima pewahyuan secara langsung, sehingga ia lazim
disebut sebagai pengikut. Hubungan ‘imam-ma’mum (leader-follower) ini
secara sosiologis, pada gilirannya, akan melahirkan ciri khas masyarakat Muslim
yang bisa jadi berbeda dari masyarakat demokratik-sekularistik. Kedua,
kualitas pemahaman dan keimanan orang pada wahyu Tuhan sudah pasti berada di
bawah level Muhammad. Bahkan banyak sahabat yang sebelum memeluk Islam
perjalanan hidupnya amburadul, tidak sebersih Muhammad. Secara psikologis,
rekaman bawah sadar negatif pasti mempengaruhi pertumbuhan kepribadian mereka,
sekalipun telah menyatakan memeluk Islam. Ketiga, emosi dan perilaku
kelompok sudah pasti berbeda dari emosi dan perilaku pribadi. Dalam kelompok,
ikut hadir emosi dan kepentingan non-wahyu, terutama menyangkut sentimen
komunalisme-primordial. Oleh karena itu, tidak jarang loyalitas pada kebenaran
wahyu diboncengi dan potensial untuk dibajak oleh loyalitas lain. Keempat, keterikatan
orang pada norma kelompok yang berlangsung terus-menerus bisa mengendorkan
intensitas penghayatan pada panggilan wahyu. Seseorang bisa berperilaku bukan
karena panggilan wahyu, melainkan karena takut pada sanksi sosial.
Ketika
firman yang sedianya diterima secara pribadi telah menjadi fenomena sosial,
maka simbol dan kekuatan agama sulit mengelak dari jebakan institusi. Institusi
memang sangat diperlukan untuk mewadahi dan menyebarkan ajaran Tuhan. Namun,
ketika institusi diabsolutkan dan diperlakukan sebagai ideology suci, ia bisa
menghalangi esensi dan substansi ajarana wahyu itu sendiri. Oleh karena itu,
semua agama senantiasa mempunyai problem dalam mengelola hubungan antara esensi
ajaran wahyu dan institusi keagamaan yang dibangun oleh pendukungnya. Institusi
ini ada kalanya dipahami bukan sekadar wadah, melainkan sebuah tuntutan
doktriner yang penting diwujudkan dalam realitas sosial. Gagasan tentang Negara
Islam ataupun pelaksanaan syari’at, misalnya, dipahami oleh sebagian orang
sebagai instrumen yang bersifat profane dan sangat relative. Namun demikian,
oleh sebagian yang lain, justru disakralkan sebagai kehendak Tuhan yang harus
diwujudkan.
Dalam
teologi Kristiani, ketika Firman menjelma menjadi darah dan daging Yesus, maka
Yesus diyakini memiliki dua kapasitas sekaligus: sacral dan profane sekaligus;
Tuhan dan sekaligus manusia. Struktur berpikir seperti itu mirip dengan orang
Islam dalam memandang Al-Qur’an, sebuah firman suci yang sudah terbungkus dalam
darah dan daging bahasa dan kebudayaan Arab. Tuhan yang absolute berinkarnasi
dalam tubuh yang relatif. Dalam istilah tasawuf, Tuhan telah ber-tajalli
dan menyatu dengan diri sufi. Ibarat matahari, cahaya dan kehangatannya telah
memeluk Tuhan. Zat Tuhan yang Absolut tetap tak terjangkau, namun sifat dan
firman-Nya menyatu dengan makhluk-Nya bagaikan cahaya matahari meresapi wajah
bumi.
Dalam
konteks historis-sosiologis, pertanyaannya adalah apakah objektivasi wahyu ke
dalam wilayah sosial merupakan cetak-biru Tuhan yang absolut, ataukah hanya
penjelmaan partikular, yang relatif dan eksperimentif? Kalau wahyu Tuhan
dipahami sebagai firman yang menyejarah, maka aturan hukum dan tradisi agama
tetaplah memberikan ruang bagi manusia untuk menafsirkan dan mengubahnya. Kita
bisa mengambil contoh masyarakat Madinah dan berbagai hukum yang diajarkan
Al-Qur’an. Apakah berbagai hukum yang selama ini dianggap sakral dan merupakan
perintah Tuhan benar-benar isi dan
formalnya juga merupakan kehendak Tuhan? Atau apakah semua itu lebih merupakan
gubahan dan terjemahan Nabi Muhammad atas wahyu dalam konteks ruang dan waktu
tertentu yang sewaktu-waktu bisa diubah?
Secara
filosofis, bisa dikatakan bahwa semua pemahaman kita tentang hokum Tuhan
bersifat relatif. Hanya saja secara teologis dan sosiologis, sistem
kepercayaan, formula hukum, kaidah moral, dan bentuk-bentuk ritual selalu
dipertahankan karena memberikan tali pengikat dan identitas kelompok. Secara
vertikal, ia diyakini sebagai sebagai ikatan dan penghubung dengan Tuhan untuk
memperoleh jalan keselamatan eskatologis. Sementara secara horisontal, tradisi
keagamaan bisa memelihara solidaritas kelompok seagama. Oleh karena itu, perspektif
sosiologis melihat bahwa orang yang takut berbeda dari paham agama yang
telah mapan bukan lantaran takut kemarahan Tuhan. Akan tetapi, bisa jadi ia
lebih takut pada sanksi dan kemarahan soaial. Orang yang mencoba memberi
tafsiran dan menggugat paham yang mapan akan dikutuk sebagai melawan Tuhan.
Identitas kelompok dan institusi keagamaan disejajarkan dengan atau mengatas
namakan Tuhan. Orang membela yang
pendirian kelompok agama tertentu akan merasa sebagai tengah membela
Tuhan, dan orang yang berbeda dan menyerang mereka akan dipandang sebagai
berkonfrontasi dengan Tuhan. Di sinilah konsep awal agama sebagai respons iman
seseorang yang sangat pribadi mengenai pengalaman kehadiran Tuhan berkembang
menjadi institusi dan komunitas umat beriman yang diikat dengan tradisi dan
selalu dijaga dari waktu ke waktu.
B. Agama dan Fakta Sosial
Mana
lebih dahulu hadir, agama atau realitas sosial? Agama dalam kategori
historis-sosiologis tentu merupakan fenomena baru. Kristen baru dua ribu tahun,
Islam baru lim belas abad. Masyarakat tentu saja sudah ada jauh lebih dahulu.
Dengan demikian, agama tidak pernah hadir dalam ruang kosong. Fakta sosial
telah ada sebelum agama datang.
Fakta
sosial adalah konstruksi teoretis bahwa dalam kehidupan sosial terdapat
prilaku, cara bertindak, dan pola berfikir yang relative mapan dan
berulang-ulang, sehingga mencerminkan adanya struktur dan pola interaksi sosial
dalam masyarakat. Perilaku sosial yang mapan ini kemudian melahirkan tradisi
yang dijaga bersama yang pengaruhnya sangat besar terhadap individu. Bahkan,
individu bisa hanyut dan terserap ke dalam masyarakat. Seseorang yang lahir dan
berkembang pasti dibentuk oleh fakta sosial, sekalipun perannya sebagai
individu juga memiliki andil. Bidan inilah yang kemudian menjadi objek kajian
sosiologi. Sosiologi berusaha mencari tahu hukum sebab-akibat dari pikiran dan tindakan
manusia yang relatif konsisten, berulng-ulang sebagai anggota kelompok atau
masyarakat. Jika psikologi lebih menitikberatkan perilaku perorangan, sosiologi
lebih pada perilaku kelompok. Jadi bagi sosiologi, sumber yang menggerakkan
pikiran dan tindakan diyakini bukan muncul dari kesadaran individu, melainkan
motivasi dan pertimbangan sosial. Analisis tentang fakta sosial dan determinasi
kelompok ini sangat penting dikaji agar kita bisa membuat analisis lebih lanjut
mengenai seberapa jauh aga,a bisa mempengaruhi perilaku sosial. Sebaliknya,
kita juga bisa menyelidiki seberapa jauh fakta sosial itu mempengaruhi perilaku
keagamaan.
Berbagai
teori klasik dari bidang sosiologi tentu sangat membantu menjelaskan peran
agama dalam masyarakat. Namun, memasuki masyarakat global saat ini, diperlukan
pendekatan-pendekatan yang lebih baru. Dalam tradisi barat, para sarjana sosial
tidak bisa keluar dari pengaruh Auguste Comte (1798-1857), Karl Marx
(1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan George
Simmel (1858-1918) Ketika menjelaskan agama dalam pentas sosial dan sejarah.
Teori mereka sangat membantu untuk memahami hubungan antara agama dan
elemen-elemen lain dalam masyarakat, namun dalam banyak hal, tidak lagi
mencukupi ketika dihadapkan pada situasi yang berkembang saat ini.
Menurut
Durkheim, peran utama agama dalam masyarakat tradisional adalah untuk menjaga
solidaritas sosial. Sebuah masyarakat bisa lestari karena adanya ikatan
emosional dan ikatan moral dari warganya pada seperangkat nilai, kepercayaan,
dan kebiasaan yang dijaga bersama, yang mengatasi, dan menguasai alam pikiran
dan tindakan anggota kelompok. Sedemikian kuat ikatan itu, sehingga agama
diyakini sebagai kekuatan gaib yang disakralkan karena dinggap datang dari
Tuhan. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah pengentalan kesadaran kolektif
(conscience collective). Untuk menjaga kebutuhan sosial maka diperlukan
seorang pemimpin yang dianggap kharismatik, yang memiliki wibawa dan kelebihan
di atas rata-rata warga masyarakat. Kharisma ini bisa datang karena
kesaktianny, karena keturunan penguasa sebelumnya, dan bisa juga karena bisa
menunjukkan mukjizat yang bukti sebagai utusan Tuhan.
Dibanding
situasi sosial saat ini, keadaan masyarakat saat kemunculan Musa, Yesus dan
Muhammad relative lebih terbelakang. Di masa Rasulullah, kota Makkah dan
Madinah masih terpencil dari kota-kota lain yang dianggap lebih maju. Bisa
dibayangkan bagaimana pola hidup masyarakat padang pasir pada abad ke-6 dulu.
Oleh para teolog, justru keterpencilan ini bisa dijadikan argument bahwa
Muhammad benar-benar Nabi dan Al-Qur’an benar-benar wahyu Tuhan. Hal ini karena
tidak mungkin seorang nabi muncul dari masyarakat yang belum memiliki budaya
baca tulis sebagaimana bangsa Yunani dan Romawi, kecuali ia benar-benar utusan
Tuhan, nabi Allah yang “ummi”.
Pada
kondisi sosial seperti itu, peran Muhammad dan ajarannya bisa menjadi sosok
pengikat yang amat solid. Dengan demikian, telah lahir identitas sosial baru
yang melewati batas etnis dan kabilah. Kalau sebelumnya kelompok-kelompok suku
di semenanjung Arab bagaikan atom-atom sosial yang terpisah-pisah, Muhammad
segera mempersatukan mereka dengan ikatan tawhid dan etika sosial baru
sehingga lahirlah kekuatan baru yang berlipat ganda. Kekuatan baru ini terbukti
sangat ampuh ketika Muhammad dan rombongan kembali ke Makkah. Orang-orang kafir
Makkah yang awalnya memusuhi jadi bertekuk lutut ketakutan dan menyatakan masuk
Islam. Sepeninggal Rasulullah, komunitas baru yang diikat oleh keyakinan agama
ini tak tertandingi soliditasnya, sehingga kepak sayap pengaruhnya meruntuhkan
semua kekuasaan di sekitarnya. Hingga akhir abad ke-13, Dunia Islam menjadi
pusat kekuasaan dunia.
Menurut
analisis sosiologis, ketika Rasulullah bersama Sahabat masuk kembali ke Makkah
dengan kekuatan baru, terjadi pergeseran pusat loyalitas. Mereka yang ingin
merasa aman harus bergabung dan menunjukkan kesetiaannya pada Muhammad. Yang
tidak percaya pada kenabian Muhammad bisa tetap bertahan, namun terikat oleh
kontrak sosial. Fenomena ini berlangsung sepeninggal Nabi sehingga muncul
istilah kafir harbi dan kafir dzimmi. Yang pertama adalah
orang kafir yang mengambil sikap perlawanan, yang kedua orang kafir yang
memilih hidup damai dan bersahabat di bawah kekuasaan Islam.
Demikianlah,
ketika agama menjelma menjadi bagian fakta dan realitas sosial, wajah dan
artikulasinya menjadi berbeda dari perannya dalam konteks individu. Wahyu Tuhan
yang disampaikan sepeninggal Musa, Yesus, dan Muhammad, misalnya, diawetkan
dalam sebuah tradisi sosial dengan komunitas yang eksklusif. Emosi keagamaan,
sentiment etnis, serta hubungan kekerabatan ikut mewarnai pikiran dan tindakan
para pendukungnya. Watak etnis dan karakter tradisi sosial yang telah mapan
sangat besar pengaruhnya dalam menafsirkan dan mengartikulasikan pesan-pesan
agama. Bahkan, dalam pandangan madzhab strukturalisme, pikiran dan tindakan
pribadi akan terserap dalam tradisi sosial. Pertanyaannya, kapan ajaran Islam
yang disampaikan Muhammad mempengaruhi dan membentuk bangunan sosial dan
sejarah sebuah masyarakat, dan kapan realitas sosial mendominasi dan
menjinakkan ajaran Muhammad? Pertanyaan ini semakin relevan ketika
diperhadapkan pada kehidupan modern yang ditandai oleh interdependensi dan
globalisasi hubungan sosial yang berlangsung lintas agama dan Negara.
Terdapat
beberapa cara pandang terhadap peristiwa sosial-keagamaan. Pertama,
pandangan politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan
oleh persaingan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan. Serangkaian
hukum, peraturan, pertempuran, sanksi sosial, dan lain sebagainya, ternyata
dimksudkan untuk memperebutkan hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi
bagian dari perebutan ini. Kedua, sudut pandang geografis. Madzhab ini
ingin menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh
kondisi fisiknya. Oleh Karena itu, ajaran sebuah agama akan sangat dipengaruhi
oleh lingkungannya: apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir,
pertanian, pegunungan, daerah kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah
damai atau perang, wilayah subur ataukah miskin? Semua itu dianggap menentukan
perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul. Hal yang sama juga
terjadi pada paham keagamaan yang muncul di lingkungan padang pasir. Banyak
aspeknya yang sulit diterapkan pada lingkungan yang berbeda. Pakaian ihram
sewaktu ibadah haji, misalnya, hanya cocok bagi masyarakat padang pasir yang
panas, tetapi sulit dilakukan di daerah salju.
Ketiga,
cara pandang Marxian yang melihat fenomena agama dari pola aktivitas
ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong pada mode pertanian,
perdagangan, industry, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi ini akan sangat
mempengaruhi cara berfikir dan bertindak seseorang serta institusi sosial yang
ada. Perubahan ekonomi dan pembagian kerja ini juga menjadi kajian yang sangat
serius dalam pemikiran Durkheim dan sangat membantu untuk menganalisis peran
agama dalam sebuah masyarakat. Jika kehidupan sosial masyarakat Madinah di masa
Rasulullah hendak diterapkan pada kondisi sosial saat ini, pasti ada banyak hal
yang mengalami anomaly.
Keempat,
analisi Freudian yang berusaha menjelaskan bahwa masyarakat saat itu sangat
dipengaruhi oleh endapan bawah sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan.
Nafsu libido ini mempunyai kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan
penyaluran. Jika endapan bawah sadar terkendali dan memperoleh penyaluran yang
tepat maka masyarakat bisa sangat kreatif dalam membuat loncatan peradaban.
Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, sebuah masyarakat bisa sewaktu-waktu
bisa saja berbuat nekad, naluri-naluri hewaninya muncul dalam bentuk yang
sadis, brutal, tidak segan melakukan pemerkosaan, peperangan, increst,
dan semacamnya. Fenomena ini barangkali bisa menjelaskan mengapa masyarakat
Indonesia yang kelihatannya ramah dan religius, namun pada saat tertentu bisa
demikian nekad. Semua itu hanya “kelihatannya”, sebuah pemandangan artificial
dalam puncak gunung es masyarakat. Dalam endapan bawah sadar kolektifnya,
bangsa ini menyimpan akumulasi nafsu hewani yang tertekan akibat penjajahan
yang berkepanjangan, baik oleh orang asing maupun pemerintah sendiri.
Kelima,
cara pandang hostoriko-filosofis yang mengatakan bahwa
sebuah peradapan mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan anak manusia. Ada
masa kelahiran, pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau
kematian. Dalam tradisi pemikiran Barat, tokohnya yang terkenal adalah
friedrich Hegel (1770-1831), Oswald Spengler (1880-1936), Arnold Toynbee.
Meskipun memilki beberapa perbedaan, namun mereka sama-sama sepakat bahwa
peradapan masyarakat memiliki pola dan logika tertentu yang bisa dipahami. Oleh
karena itu, perkembangannya bisa diprediksi kalau saja mampu membaca problem
yang dihadapi, lalu mengikuti hukum pertumbuhan sejarahnya. Menurut Toynbee,
sejarah bergerak linier, maju ke depan, dan berkembang dengan adanya berbagai
tantangan yang menghadang. Peradaban Islam, menurutnya, merupakan pertumbuhan
lanjut dari peradaban sebelumnya yang dimotori oleh Muhammad. Namun, memasuki
abad ke-13 dan 14, Dunia Islam gagal menjawab tantangan yang ia hadapi,
sehingga mengalami kemunduran. Mirip logika Darwinian, semua komunitas agama
juga akan terkena seleksi alam. Mereka yang tidak mampu menjawab tantangan
sejarah pasti akan terpinggirkan dalam kompetisi kebudayaan.
Keenam,
teori teologi-eksistensialisme. Yaitu, sebuah madzab pemikiran yang menyatakan
bahwa sejarah dan realitas sosial itu tak lebih dari ekstensi para tokoh-tokoh
elitnya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini sangat kuat. Tak akan ada
peradaban Yahudi jika tidak ada Musa. Tak ada dunia Kristen kalau Yesus tidak
terlahir. Tak ada peradaban Islam tanpa Muhammad. Sekalipun teori elitisme ini
sudah klasik, namun ia memperoleh dukungan dari para pemikir modern. Revolusi
Amerika sering dianggap tidak bisa dipisahkan dari peran Washington; Revolusi
Prancis dari ketokohan Roberpierre; dan Lenin adalah aktor Revolusi Rusia.
Teori
ini sangat menarik untuk dikaji dan kemudian diperhadapkan dengan teori
strukturalisme dalam konteks masyarakat global. Yang pertama menekankan pada
kekuatan tokoh, yang kedua memandang pada kekuatan pribadi akan hilang dalam
sebuah jaringan dan struktur sosial yang memiliki entitas otonom. Dalam
masyarakat Islam, peran Muhammad demikian sentralnya dalam penghayatan agama.
Namun, sebagai institusi dan komunitas, apakah Islam mampu melahirkan kreasi
peradaban besar sebagaimana yang tercipta sepanjang abad ke-6 hingga ke-9
ketika saat ini bangsa-bangsa lainlebih kreatif dalam bidang ilmu dan ekonomi?
Ketujuh,
pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan
spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata
rantai menuju dunia lain, mendekati sang pencipta alam semesta. Dunia adalah
penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh. Tujuan akhir manusia adalah
mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan. Hati-hatilah dengan tipuan
kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan manifestasinya: harta, kedudukan,
dan kekuasaan. Pandangan ini lebih mendekati wilayah psikologi ketimbang
sosiologi. Dalam konteks sosial, posisi pandangan ini marginal. Ia lebih
merupakan ekspresi pribadi dan kelompok terbatas akibat kekecewaan terhadap
kondisi sosial yang ada.
Pertanyaannya
kemudian di masa peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas sosial?
Terdapat tiga wilayah di mana agama terlibat. Pertama, masyarakat
tradisional; kedua, masyarakat modern; ketiga, masyarakat pasca
modern. Secara teoretis, tiga model masyarakat ini bisa dilihat sebagai gerak
linier. Namun demikian, sebagai fakta sosial ketiga model masyarakat tadi hadir
bersama, saling berbenturan dan tumpang tindih, dalam era masyarakat global.
C.
Makna
Perilaku Religius
Max
Weber sedikit dari sekian sosiolog ternama yang paling menyadari peran agama
dalam mengarahkan perilaku individu dan sosial, sehingga peran individu dan
kelompok saling berinteraksi dalam membangun masyarakat. Tradisi ini kemudian
dikembangkan lagi oleh Peter Berger (1229). Melihat arus gerak kapitalisme
Eropa, Weber bertanya, nilai, keyakinan, dan motivasi apa yang menggerakkan
kekuatan sosial, sehingga melahirkan perubahan ekonomi dan politik yang
demikian drastis? Dia membangun teorinya berdasarkan tradisi Marxian dan
Kantian. Masyarakat, menurutnya, merupakan produk negosiasi dan pergumulan
antara kondisi objektif yang memaksa individu untuk mengikuti kaidah dan
tekanan sosial yang sangat kuat, dan kehendak individu untuk memilih tindakan
secara bebas dan merdeka. Ketegangan antara determinisme eksternal dan
kebebasan internal ini merupakan tema pemikirang yang laten, baik dalam
teologi, filsafat, sejarah, sains, maupun sosiologi. Benarkah manusia memiliki
kebebasab? Kalau ya, seberapa besar kebebasan yang dimiliki manusia di hadapan
kekuasaan Tuhan, kondisi sosial yang melingkupinya, dan hukum alam yang begitu
perkasa lagi konsisten? Bukankah manusia tak ubahnya seperti sekawanan belalang
yang hidup sebentar dan menempel di pepohonan hutan kehidupan di alam semesta?
Sebagaimana
Kant, Weber berpandangan bahwa kita tidak mungkin bisa memahami realitas tanpa
adanya prakonsepsi yang ada dalam otak kita. Ini mirip hasil kerja foto. Gambar
foto bisa muncul karena adanya sintesis antara objek di luar dan hasil rekayasa
kamera yang memiliki kecerdasan (artifisial) yang mampu merekonstruksi objek.
Di sini Weber ingin menekankan bahwa perilaku sosial memiliki logika yang jelas
dan bisa dipahami, sebagaimana ilmu alam memahami dunia fisik. Jika para
saintis bisa merancang teknologi setelah memahami watak-watak alam, maka
ilmuwan sosial bisa merancang sebuah masyarakat yang diinginkan kalau bisa
memahami kaidah-kaidah sosial dan sejarah.
Karena
aktivitas manusia selalu didorong oleh motif dan tujuan, maka tindakan manusia
terkena hokum moral. Ini berbeda dari aktivitas alam dan hewan yang bergerak
secara mekanik dan instingtif. Keduanya tidak dikenai penilaian baik dan buruk,
karena tidak disertai kemampuan memilih. Jadi, kata kunci dari tegaknya hukum
moral adalah adanya ruang kebebasan untuk memilih (freedom to choose)
dan kemampuan merancang tujuan yang hendak diraih (goal seeking behaviour).
Di sini, analisis Weber tampak lebih dalam ketimbang konsep Durkheim tentang “collective
form” dan “group mind”. Di balik struktur sosial yang memang begitu
perkasa, menindas, imperative, dan menyerap individu ke dalam kekuasaannya,
juga terdapat kreasi dan kekuatan pikiran besar individu-individu yang memandu
proses sosial.
Tujuan
dan motivasi yang mengarahkan proses sosial ini oleh Weber disebut “ideal
type”. Tipe ideal ini dimaksudkn sebagai sebuah model yang hendak diraih oeh
masyarakat yang digerakkan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang dominan dalam
sebuah komunitas. Sekali kita bisa membaca dengan cermat dan tepat model ideal
sebuah masyarakat, maka kita bisa memprediksi perkembangannya, layaknya dalam
ilmu alam. Weber telah melangkah dari problem makna (meaning) ke hukum
sosial yang bekerja untuk mewujudkannya (operative law).
Uraian
singkat di atas barangkali menawarkan banyak hal bisa kita eksplorasi lebih
lanjut mengenai pemikiran masyarakat tentang Tuhan, tentang kebajikan,
keselamatan, dan amal saleh. Setelah itu kita bisa mengaitkannya dengan proses
perubahan sosial dan cita-cita politiknya. Seperti perbandingan antara
masyarakat Protestan dan Katolik dalam merespons munculnya kapitalisme awal di
Eropa, juga tidak kalah menariknya membandingkan tipe ideal masyarakat Sunni
dan Syi’ah, serta implikasi sosial-politik yang dikandungnya.
Ada
banyak ragam keyakinan dan pilihan orang dalam mengekspresikan dan mewujudkan
rasa keberagamannya. Gereja Protestan di Eropa memiliki doktrin bahwa jalan
terbaik untuk meraih keselamatan dan kebajikan beragama adalah dengan bekerja
keras, sehingga membantu dan melayani kebutuhan hidup masyarakat. Tuhan
mencintai mereka yang bekerja keras, hidup hemat, dan peduli pada nasib
sesamanya. Keyakinan inilah yang ikut andil bagi munculnya kapitalisme di Eropa
pada akhir abad ke-18 . Bentuk kapitalisme awal ini masih murni, yang
kemunculannya didorong panggilan Tuhan untuk memajukan masyarakat. Sementara
itu, kalangan gereja Katolik lebih menitikberatkan jalan keselamatan melalui
kebaktian dan penyebaran berita Injil. Perbedaan penafsiran dan penekanan
terhadap iman ini, pada gilirannya, melahirkan dua gambaran sosial yang berbeda
antara masyarakat Protestan Eropa-Amerika yang jauh lebih maju secara ekonomi,
disbanding Negara-negara Katolik di belahan bumi lainnya.
Pemahaman
dan pendekatan terhadap pengertian iman dan amal kebajikan ternyata tidak
seragam, sehingga artikulasi dan eksternalisasi keberagaman seseorang dan
masyarakat juga beragam. Dimensi-dimensi utama dari sikap keberagaman antara
lain ialah, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan (ultimate
dimension). Karena dimensi ini begitu abstrak, maka yang terlihat secara
sosial hanyalah sebatas keikutsertaan seseorang dalam aktivitas ritual kelompok
dan penggunaan simbol-simbol yang menjadi konsensus mereka. Ramai-ramai
sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan simbol salib dan
semacamnya adalah fenomena yang bisa ditemukan di mana-mana.
Kedua,
perilaku keberagaman yang paling dasar selalu bersifat
sangat pribadi (private and personal dimension). Apakah kepercayaan
seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit
diketahui secara pasti oleh orang lain. Mereka yang rajin ke masjid dan
memelihara tradisi agama, oleh karena itu, tidak memberikan indikator yang
valid tentang ketakwaan seseorang. Dalam analisis kaum strukturalis-fungsional,
dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih disebabkan oleh desakan
eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam. Tindakan semacam itu
dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agama agar diterima oleh lingkungan,
sebagai sebuah solidaritas kelompok. Pandangan ini tentu saja banyak mengundang
kritik.
Ketiga,
agama selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama
yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur.
Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja
dengan Kristen, dan seterusnya. Dimensi dan ekspresi cultural keagamaan
memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung berbaur dengan identitas dan
kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu dikaitkan dengan umat Islam
dan masjid. Padahal di Jepang dan Cina, juga terdapat bedug, tetapi tak ada
hubungannya dengan masjid. Masih banyak lagi fenomena kultural yang
diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin, pohon cemara,
menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan lain-lain. Ketiga
dimensi di atas, ultimate dimension, personal dimension, dan cultural
dimension saling terkait, yang pada gilirannya, menciptakan hubungan
dialektis secara psikologis dan sosiologis.
Secara
psikologis, keyakinan agama sangat berpengaruh pada pola pikir, emosi, dan
tindakan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam kelompok. Bagaimana orang
memandang dunia, mencari teman karib, memilih partai politik, dan sekian
pilihan penting lainnya dalam hidup, sangat dipengaruhi oleh keyakinan
kegamaannya. Jadi, sesungguhnya, tindakan apa pun yang diambil seseorang tidak
pernah lepas dari pertimbangan keyakinan. Hanya saja, karena salah satu dimensi
dari pandangan, pemahaman, dan keyakinan agama seseorang bersifat personal,
maka keberagaman masyarakat pun selalu tampil dalam keberagaman. Keragaman ini
semakin nyata ketika kita memasuki masyarakat global. Dalam masyarakat
tradisional yang jumlah warganya relatif
kecil dan kulturnya cenderung homogen, maka keragaman tidak begitu
kelihatan. Kita tidak perlu mencari contoh jauh-jauh. Kita bisa membayangkan
orang tua kita dulu sewaktu hidup di kampung yang terpencil dari kampung yang
lain, sementara telpon, televisi, dan transportasi modern belum ada. Pola hidup
mereka homogen dan monoton, dan pemahaman dan praktik beragama pun cenderung
seragam. Pada tataran pribadi, sesungguhnya tetap ada perbedaan dan
penyimpangan, tetapi tidk berani dimunculkan karena takut pada sanksi kelompok.
Di lingkungan komunitas NU, misalnya, praktik shalat tarawih dan witir pasti
berjumlah minimal 21 rakaat, sedangkan komunitas Muhammadiyah berjumlah 11
rakaat. Akan tetapi, sekarang banyak kalangan NU yang tinggal di perkotaan
melaksanakan tarawih dan witir hanya 11 rakaat mengikuti tradisi Muhammadiyah.
Jumlah
rakaat shalat tadi merupakan salah satu contoh bahwa pilihan-pilihan individu
dan tekanan sosial selalu memunculkan ketegangan dan konflik. Keragaman sebgai
produk kebebasan individu tidak bisa dihilangkan, terlebih dengan hadirnya
masyarakat global. Keragaman etnis, profesi, dan agama kian menguat, sehingga
apa yang disebut Emile Durkheim sebagai mechanic solidarity yang tumbuh
dalam masyarakat tradisional menjadi buyar, beralih pada organic solidarity.
Yang terakhir ini muncul akibat
pembagian kerja (division of labour) yang semakin beragam akibat
modernisasi. Akibatnya, orang bisa lebih dekat dan loyal pada teman seprofesi
dan tempat kerjanya, ketimbang teman seagama. Ikatan agama semakin melemah,
lalu diganti oleh ikatan yang mendatangkan kalkulasi keuntungan ekonomis.
Hubungan lawan dan kawan lalu diukur dengan kepentingan politik dan ekonomi.
Sekalipun
ikatan emosi keagamaan melemah, namun ternyata modernisasi dan globalisasi
tidak mampu menggusur bentuk solidaritas keagamaan sebagai sebuah kekuatan
sosial. Dalil-dalil modernisasi, hak-hak asasi manusia, dan demokrasi liberal
yang diagung-agungkan dan disakralkan oleh Barat dengan Amerika Serikat sebagai
juru utama, telah mengundang perlawanan serius dari Negara-negara Arab dan Asia
pada umumnya. Hal ini karena Amerika sendiri dinilai tidak konsisten dalam
melaksanakannya. Bahkan apa yang disebut demokrasi, pada akhirnya, jatuh di
bawah cengkeraman kapitalisme global yang merupakan imperialisme baru.
Kalangan ilmuwan sosial mulai menggugat
secara kritis mitos-mitos demokrasi dan globalisasi karena situasi dunia
ternyata semakin gaduh. Statemen bahwa perang dingin telah usai hanyalah
retorika palsu, karena agresivitas Amerika Serikat semakin menjadi-jadi dalam
berbagai cara dan bentuknya. Akibatnya, sentimen agama dan etnis menguat
kembali sebagai benteng kebudayaan dan ideology baru terhadap Gusuran globalisme
yang menindas. Agama yang pernah diramalkan akan habis dan menjadi uruusan
pribadi oleh desakan modernisasi dan sains modern, kini kembali tampil sebagai
kekuatan sosial yang menyatukan mereka yang merasa tertindas dan didzalimi.
Terjadi semacam gerak pendulum, dari pribadi ke sosial, lalu menjurus ke
pribadi, dan kini kembali lagi sebagai gerakan sosial namun masing-masing
dengan karakter yang berbeda-beda.
BAB XII
I
“APAKAH AGAMA TERTENTU HAL YANG PENTING ATAUKAH
MENGHIDUPKANNYA YANG PENTING”
BISA SAJA SESEORANG MENJADI PENGIKUT
SATU agama erbaik di dunia ini. Dia tidak menghidupkannya, tetapi menjdi
pengikutnya. Dia mengaku sebagai Muslim, Nasrani, ataupun Yahudi, dan meyakini
itu adalah agama terbaik, tetapi pada
saat yang sama dia tidak peduli untuk menghidupkannya, dan cukup hanya menjadi
pengikutnya, lalu bangga dengan menjadi pengikut suatu agama tertentu, yang
merupakan agama yang diterima masyarakat. Banyak orang dari berbagai macam
agama telah menjadi seperti demikian,
mematuhi antusiasme dan dipaksa oleh misi mereka dalam hidup ini. Karena mereka
meyakini kemudahan yang akan didapat dengan menjadi pemeluk agama tersebut.
Meraka yakin bahwa mereka akan diselamatkan pada Hari Pengadilan, sementara
orang lain dari agama yang berbeda, dengan semua perbuatan baiknya, tidak akan
diselamatkan, karena mereka tidak menjadi pemeluk agama tersebut. Ini adalah
gagasan buatan manusia, bukan pemikiran Tuhan. Tuhan buka hanya bapa dari satu sekte saja; Tuhan adalah bapa
dari seluruh dunia, dan semua berhak dipanggil anak-anak-Nya, baik ataupun
buruk. Dan sesungguhnya sikap manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang
bisa membawanya lebih dekat pada Tuhan yang menjadi ideal setiap jiwa.
Dan jika sikap ini tidak berkembang, maka apapun agamanya, berarti dia telah gagal
menghidupkannya. Oleh karena itu, apa yang penting dalam hidup adalah terus
mencoba menghidupkan agama yang dianutnya, atau yan g dia percayai, atau yang
dia imani sebagai agamanya.
Tetapi setiap orang harus mengetahui
bahwa agama mempunyai tubuh dan jiwa. Apapun tubuh agama yang anda sentuh, anda
harus menyentuh jiwanya; tetapi jika anda menyentuh jiwanya, anda telah
menyentuh seluruh tubuh agamanya (bagaikan organ-organ tubuh). Semua organ
tersebut membentuk satu tubuh, yaitu tubuh agama, yang menjadi agama Alpha dan
Omega, dari dulu sekarang dan akan datang. Oleh karena itu perdebatan “ Aku
benar dan Anda salah” dalam jalan agama tidaklah diperlukan. Kita tidak tahu
apa yang ada di dalam hati seorang manusia.. dari luar dia bisa tampak sebagai
Yahudi, Nasrani, Muslim atau Budha, namun kita bukanlah hakim untuk agamanya,
karena setiap jiwa mempunyai agama
khusus untuk dirinya sendiri, dan tidak ada orang lain yang mempunyai
hak untuk menilai agamanya. Munkin ada orang dengan pakaian yang sangat
sederhana, tanpa kesan sebagai orang yang beriman, atau sebagai orang saleh
atau koot sekalipun, tetapi dia
mempunyai agama tersembunyi di dalam hatinya yang tidak setiap orang
bisa memahaminya. Mungkin ada orang yang terlalu cepat berubah kelakuanya yang
tampak dalam pandangan orang lain, bahkan mungkin kelihatan bertolak belakang
dengan cara pandang mereka terhadap segala sesuatu, dan mereka mungkin
menuduhkannya matrealis atau tidak beriman, atau sebagi orang yang jauh dari
Tuhan dan kebenaran, tetapi kita tetap saja kita tidak tahu karena
kadang-kadangpenampilan hanyalah kamuflase; dibalik itu semua mungkin terdapat
penyerahan diri yang terdalam atau ideal tertinggi yang tersembunyi. Sebenarnya
yang kita thu sangat sedikit (kecil ) sekali.
Karena itu bagi seorang sufi, hal
terbaik adalah menghormati kepercayaan seseorang, apapun kepercayaannya itu, ideal-nya,
termasuk caranya melihat kehidupan, bahkan jika itu cukup berbeda dari cara
pandang kita sendiri. Sangat toleran inilah, yang kalau dikembangkan, akan
membawa persaudaraan yang merupakan inti dari agama dan harapan masa sekarang.
Pemikiran
bahwa anda berbeda dan saya berbeda; karena kepercayaan anda berbeda dengan
kepercayaan saya, itu hal yang tidak menyatukan, itu semua hanya akan memecah umat
manusia. Mereka itulah yang dengan dalih kesetiaan terhadap agama, mereka
menyakiti perasaan orang lain, dan memecah belah umat manusia, yang sumbernya
dan tujuannya sama, itu merugikan agama, betapapun besarnya kesetiaan mereka.
Ajaran agama apapun, pada saat kapanpun, datang ke dunia ini, tidak hanya untuk
mengangkat derajat beberapa orang yang mungkin menerima kesetiaanya.
Sebagaimana hujan tidak jatuh di negeri tertentu saja, pun matahari tidak
bersinar di negeri tertentu saja. Semua yang berasal dari Tuhan adalah untuk
seluruh jiwa. Sesungguhnya rahmat adalah untuk semua jiwa, karena setiap jiwa,
apapun kepercayaan atau keimanannya, adalah milik Tuhan.
II
AGAMA HATI
JIKA SESEORANG
BERTANYA,” APAKAH SUFISME itu? Apakah agama itu?” anda bisa menjawab,” Sufisme
adalah agama hati, agama yang di dalamnya ada satu hal yang paling penting,
yaitu mencari Tuhan di dalam hati umat manusia”.
Ada tiga cara mencari Tuhan dalam hati
manusia. Yang pertama adalah untuk
mengenali sifat ketuhanan pada setiap orang dan karenanya berhati-hati dengan
setiap orang yang berhubungan dengan kita, dengan pemikiran kita, perkataan
kita, dan tindakan kita. Kepribadian manusia sangatlah lembut. Semakin hidup
hati manusia, maka ia semakin sensitife. Tapi yang menyebabkan kepekaan adalah
unsur cinta di dalam hati, dan cinta adalah Tuhan. Orang yang hatinya tidak
sensitive, berarti tanpa perasaan; hatinya tidak hidup; hatinya mati. Pada
orang yang seperti itu, ruh ketuhanan terkubur dalam hatinya. Seseorang yang
selalu mempertimbangkan perasaanya sendiri, akan sedemikian terserap dengan
dirinya sendiri sehingga ia tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain.
Seluruh perhatianya tertuju pada perasaanya sendiri. Dia mengasihani dirinya
sendiri: dia khawatir dengan penderitaanya sendiri, dan tidak pernah membuka
rasa simpati pada orang lain. Memperhatikan perasaan orang lain yang
berhubungan dengannya merupakan latihan dasar moral pertama dari Sufisme.
Car
berikutnya adalah dengan memikirkan orang yang pada kesempatan itu idak
berada dihadapan kita. Orang merasakan
perasaan orang lain yang datang, tetapi sering kali mengabaikan perasaan
orang lain yag terlihat. Orang berbicara denga baik pada orang ketika saling
berhadapan, tetapi jika orang berbicara dengan baik tentang orang itu ketika
dia tidak ada, itu lebih baik lagi. Orang bersimpati dengan kesusaha orang lain
yang ada di hadapannya pada saat itu, tetapi akan lebih baik lagi untuk
bersimpati pada orang lain yang jauh darinya. Dan cara ketiga untuk mewujudkan
prinsip-prinsip sufi adalah dengan mengenali dalam perasaan orang itu sendiri
sebagai perasaan Tuhan; dengan menyadari bahwa setiap gerak hati berupa cinta
yang timbul dalam hati seseorang sebagai petunjuk dari Tuhan; menyadari bahwa
cinta adalah sepercik kilatan ketuhanan dalam hatinya, yang meniupkan percikan
itu sampai menyala kemudian muncul seagai penerang jalankehidupan seseorang.
Symbol gerakan sufi adalah hati dengan
dua sayap, merupakan perlambang dari ideal (cita-cita) ini. Hati meliputi kedua
bagian: bumi dan surga. Hati adalah penerima (di bumi) akan ruh ketuhanan, dan
ketika ia telah mendapatkan ruh ketuhanan, ia akan membumbung menuju surga;
sedangkan sayap menggambarkan kebangkitannya. Bulan sabit di dalam hati
melambangkan kepekaan. Bulan sabit adalah hati yang mau merespon terhadap ruh
Tuhan, itulah awal kebangkitan. Bulan sabit melambangkan kepekaa karena ia
berkembang semakin penuh seperti bulan berbentuk semakin bulat dengan merespon
lebih banyak dan lebih banyak lagi kepada matahari sewaktu ia berkembang. Cahaya
yang dilihat orang pada bulan sabit adalah cahaya matahari. Selagi ia mendapat
lebih banyak cahaya dengan respon yang bertambah juga, maka ia juga menjadi
semakin penuh dengan cahaya matahari. Bintang dalam hati bulan sabit tersebut
melambangkan percikan ketuhanan yang terpantulkan dalam hati manusia sebagai
cinta, dan yang membantu bulan sabit menuju purnamanya.
Ajaran sufi adalh ajaran untuk masa
sekarang. Ia tidak membawa teori ataupun doktrin untuk menambah dokrin-doktrin
yang sudah ada, yang membingungkan pikiran manusia. Apa yang dunia perlukan
sekarang ini adalah ajaran cinta, keharmonisan, dan keindahan, yang
ketidakadaan akan hal ini merupaka tragedy hidup ini. Ajaran sufi tidak memberi
aturan baru; ajaran itu membangkitkan semangat persaudaraan dalam umat manusia,
dengan toleransi dan sikap pemaaf dari masing-masing agama terhadap kesalahan
pihak lain. Ia mengajarkan untuk selalu berpikir dan menimbang nimbang, untuk
menciptakan, dan memelihara harmoni dalam hidup; ia mengajarkan pelayanan dan
manfaat, yang dengan hal itu saja bisa membuat hidup di dunia ini bermanfaat,
yang di dalamnya terletak kepuasan bagi tiap-tiap jiwa.
III
KEBUTUHAN DUNIA SEKARANG
Jika orang sungguh-sungguh mengamati
kondisi umat manusia saat ini, tidak seorangpun yang berperasaan akan menolak
kenyataan bahwa dunia saat ini memerlukan agama tertentu. Mengapa saya berkata
agama tertentu dan bukan suatu agama, karena ada banyak agama saat ini yang
disebut suatu agama, tetapi yang kita perlukan saat ini adalah agama tertentu.
Dan sekarang datang pertanyaan, seharusnya seperti apa agama itu- haruskah ia
berupa agama baru? Jika ia suatu agama baru, ia tidak dapat disebut agama
tertentu; dan ia akan serupa dengan agama lainnya. Saya sebut agama tertentu
sebagai agama, dengan demikian orang dapat melihatnya dengan berdiri di atas
sekte-sekte dan perbedaan yang mengkotak-kotakkan manusia; dan dengan memahami
agama tertentu kita akan memahami semua agama yang bisa disebut suatu agama.
Saya tidak mengatakan bahwa semua agama
yang ada ini bukan agama; itu semua hanyalah nada. Tetapi ada musiknya, dan
music itu adalah agama tertentu tersebut. Setiap agama membunyikan satu nada,
satu ada yang menjawab tunutan umat manusia dalam satu zaman tertentu. Tetapi
pada saat yang sama, sumber dari setiap nada adalah music yang sama yang
mengejawentahkan ketika nada-nada tersebut dirangkaikan bersama-sama. Anda bisa
bertanya, mengapa, pada setiap zaman, semua musiknya tidak di berikan; mengapa
hanya satu nada tunggal? Jawabannya adalah bahwa alat mainan bayi diberikan
secara cukup pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupan seorang bayi, sedangkan
alat mainan biola diberikan pada waktu lain seiring bertambahnya usia. Di
sepanjang zaman; Chaldea, Arab, Roma, Yunani, perbedaan mengenai cita-cita (idealitas)
pada masing-masing agama itu sudah ada. Bagi beberapa orang, musik
diajarkan,bagi banyak orang, itu hanya sebuah nada. Hal ini menunjuakkan bahwa
musik ini selalu ada, hanya pada pada manusia pada umumnya tidak siap untuk
merengkuhnya, sehingga hanya diberika satu nada. Tetapi konsekuensinya adalah
bahwa orang yang diberi nada C, dan orang lain yang diberi nada G berselisih;
masing-masing berkata, “Nada yang diberikan padaku adalah nada yang tepat”; dan
yang lain berkat, “G yang benar,” yang lainnya pun berkata, “C yang benar.”
Semua adalah nada ynag benar, dan ketika mereka bercampur, maka terjadilah
musik. Ini memperlihakan bahwa ada senyawa luar dari agama yang merupakan
bentuk, dan inti sarinya yang berupa kebijaksanaan. Ketika kebijaksanaan telah memberi
rahmat kepada jiwa, berarti jiwa telah mendengar musik ketuhanan. Perkataan
Kristus, “Aku telah Alpha dan Omega” – apa maksud dari perkataan ini? Apakah
itu hanya ketika ia datang sebagai yesus? Tidak; musik tersebut menjadi milik
Alpha dan Omega, yang pertama dan yang terakhir. Mereka yang mempersiapkan
hatinya untuk mendengar musik tersebut, yang meningkatkan kondisi jiwa dengan
cukup tinggi, mereka mendengar musik ketuhanan ini. Tetapi mereka yang
bermain-main dengan mainannya (nada mereka sendiri), mereka berselisih satu
sama lain. Mereka akan menolak biola; mereka tidak siap untuk itu; mereka tidak
akan pernah tahu bagaimana menggunakannya.
Saat ini dunia mengalami keterpurukan
akan agama dibanding masa sebelumnya. Alasannya adalah bahwa mereka yang masih
awam, terikat pada kepercayaan yang dianut nenek moyang mereka, memegang teguh
kepercayaan itu sebagai penghargaan, menganggap agama diperlukan dalam hidup
ini; tetai banyak mereka, dengan kecerdasan dan alasan serta pemahaman akan
hidup, berontak terhadap agama, seperti anak-anak ketika beranjak besar,
membuang mainannya; dia tidak lagi tertarik dengan mainan itu demikian juga
keadaan saat ini, agama agama tetap ada di tangan mereka yang menjaganya dalam
bentuk luar sebagai salah satu penyerahan diri dan kesetian pada kepercayaan
nenek moyang mereka; dan merek atidak boleh dibilang, tumbuh dalam pikiran dan
semangat, dan menginginkan sesuatu yang lebih baik, mereka tidak menemukan
apa-apa. Jiwa mereka dahaga akan musik, dan ketika mereka minta musik tersebut,
mereka hanya diberi mainan, mereka membuang mainan tersebut dan berkata bahwa
mereka tidak peduli lagi dengan musik. Tetapi tetap saja masih ada kerinduan
hati pada musik, msik jiwaa, dan tanpa musik tersebut, hidup mereka menjadi
kosong. Betapa sedikit yang mengenali kenyataan ini, dan lebih sedikit lagi
yang akan mengakuinya. Keadan psikologis umat manusia telah menjadi sehingga
seseorang dengan kecerdasan pun menolak musik. Dia tidak menginginkan musik;
dia ingin sesuatu, tetapi dia disebut dengan mana lain. Selama sepuluh tahun
saya berkunjung kedunia barat, saya berhubungan dengan paara cendikia, pemikir,
ilmuwan,; pada diri mereka saya melihat ada kerinduan terbesar terhadap
semangat religius tersebut; mereka merindukan setiap saat dalam hidupnya
terhadap hal itu, karena mereka telah merasakan dengan pendidikan dan
pengetahuan mereka, ada ruang kosong dalam diri mereka dn mereka ingin
mengtasinya. Tetapi, pada saat yang sama, jika anda berbincang tentang agama;
mereka berkata,”Tidak, jangan, bicara yang lain saja; kami tidak mau agama.”
Ini berarti bahwa mereka hanya tahu bagian alat mainan dari musik (dengan kata
lain: agama) dan tidak tahu tentang bagian biola tersebut. Mereka tidak
berpikir bahwa keberadaan sesuatu bisa berbeda dari mainan anak-anak tetapi
tetap masih ada kebingunan dalam diri mereka, ada kebutuhan akan spiritualitas,
yang tidak terjawab bahkan dengan segala uaya ilmiah mereka.
Karen itu, sekarang, apa yang
diperlukan di dubia pada saat ini adalah rekonsiliasi antara orang-orang
beragama (religius) dengan orang-orang yang menjauh dari agama. Tetapi apa yang
bisa kita lakukan ketika kita melihat dalam agama Nasrani pun ada banyak sekte
yang saling bertentangan; pun agam Islam, budha, Yahudi, dan masih banyak lagi
masing-masing mementingkan diri mereka sendiri dan berpikir bahwa yang lain
tidak layak untuk dipikirkan. Sekarang bagi saya agama-agama ini seperti organ
tubuh dipotong-potong dan menjadikannya tercerai berai. Oleh karena itu bagi
saya secara pribadi, hal tersebut tampak seolah-olahsatu tangan dari satu orang
yang sama dipotong dan melawan tangan satunya lagi. Kedua tangan itu milik satu
orang yang sama, dan ketika organ orang ini lengkap, ketika seluruh bagian
dikumpulkan bersama, maka jadilah agama tertentu (the religion)
tersebut.
Lantas apa usaha Gerakan Sufi? Untuk
membuat Agama baru? Tidak; tetapi untuk secara bersama-sama mengumpulkan
organ-organ tubuh yang berbeda tersebut dalam satu tubuh, yang berarti
menyatukan dan bukan mencerai-beraikan. Anda mungkin bertanya apa metode kami.
Bagaimana kami bekerja untuk mengusahakan rekonsulasi? Ialah dengan menyadari
diri kita sendiri bahwa intisari (esensi) dari semua agama adalah satu, dan dan
itu adalah kebijaksanaan, dan menganggap bahwa kebijaksanaan sebagai agama kita,
apapun bentuk kepercayaan kita. Gerakan Sufi mempunyai pengikut yang anggotanya
menjadi pemeluk berbagai kepercayaan. Apakah anda berfikir bahwa mereka keluar
dari agama mereka? Tidak. Sebaliknya, mereka lebih kuat dari kepercayaannya
dengan memahami kepercayaan orang lain. Dari sudut pandang yang sempit,
kesalahan bisa ditemukan karena mereka tidak membenci, tidak mempercayai dan
mengritik agama orang lain. Mereka menghormati kitab injil yang dipegang teguh
oleh jutaan pengikutnya sebagai kitab suci, walaupun kitab injil tidak menjadi
kitab agama mereka. Mereka ingin mempelajari dan menghargai kitab-kitab agama
lain, dan menemukan bahwa kebijaksanaan datang dari satu sumber – kebijaksanaan
timur dan kebijaksanaan barat. Gerakan Sufi karena itu bukanlah sekte; bisa
disebut apa saja tapi bukan sekte. Dan jika menjadi sekte, akan bertentangan
dengan gagasan pada awal mula didirikannya, karena gagasan utamanya adalah
untuk menghilangkan pertentangan dan perbedaan yang menyebabkan pengelompokan
pada umat manusia. Dan cita-cita ini terwujud dengan perwujudan dari satu
sumber dari seluruh umat manusia, yang juga sebagai tujuan, yang kita sebut
sebagai Tuhan.
[1] Henricus
Denzinger (ed. Adolfus schonmetzer), Enchiridion symbotorum, Editio
XXXIV (Freiburg: Verlag herder KG, 1965), 714, (hal. 342)
[2] Denzinger, op.cit,
(1295,1379)
[3] Wilfred Cantwell
Smith, “is the Qur’an tehe word of God?”, dalam Questions of
Religious Treuth(New york: Charles Schribner’s sona; and London: V.
Gollanez Ltd, 1967)
[4] Paul
schwarzenau, kurankunde Fur Christen (Stuttgart: Kreuz-Verlag, 1982),
hal. 124
[5] Adolf Schlatter,
Die Geschichte der ersten Christenheit (Stuttgart: Carwer Verlag, 1983,
ediai pertama Aufl. Gutersloh, 1926), hal. 376-77 (terj.)
[6] Adolf Schlatter,
“DieEntwicklung des judischen christentums Zum Islam, ” Evangelisches
missionsmagazin, N.S.LXII (1918), 251-64.
[7] Hans-joachim, theologie
and geschicgte des jundenchristentums (Tubingen: Mohr, 1949), hal. 342
[8] Ibn al-'Arabi,
Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian (Beirut: Dar
al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121.
[9] Fushush,
1:225-226.
[10] Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol.
(Beirut: Daral-Fikr, t.th.), 4:446.
[11] H. Diels W. Kram, Die Fragmente der Vorsokratiker,
Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. Kedua fragmen
ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta:
Kanisius,1989), h. 40.
[12] Fushush,1:226
[13]Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo:
Muhammad 'Ali Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi,
Futuhat, 1:314; 2:311; idem, Fushush, 1:184.
[14] Raffaele Pettazzoni, "The Supreme Being:
Phenomenological Structure and Historical Development," dalam Mircea
Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The History of Religion: Essays in
Methodology (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1959,
Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur Dister, Pengalaman dan
Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Leppenas,1982), h.
36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta
& Jakarta: Gunung Mulia & Kanisius,1983), h. 43-45.
[15] Fushush,1:113
[16] Fushush, 1:121.
[17] Futuhat, 2:30.
[18] Futuhat, 2:69.
[19] Leo Schaya,
"Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf Ibish
and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World Religions
(Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165
[20] Rabbi Louis
Jacobs, We Have Reason to Believe (London: Vallentine, Mitchell, 1965), h.14.
[22] Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of
Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983),
376, 379; idem, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute
of Cultural and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
[23]Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston,
The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire, England:
Anthony Clarke, 1978), h. viii.
[24] Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford: Oxford
University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse, The Silence of God:
Meditations on Prayer (New York: Macmillan, 1985), h. 9.
[25] David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina,
Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press, 1986).
[26] Samuel Rayan,
"Naming the Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann, ed., Naming God
(New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.
[27] Martin Palmer, The
Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse,
The Silence of God, h. 9.
[28] Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik"
("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang membicarakan
"teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif".
[34] Leo Schaya, op.cit, h.166.
[37] Futuhat, 2:619; 3:132.
[38] Pokok bahasan dari bab ini saya harap bisa
membenarkan penghapusan apa yang disebut literatur tambahan-meskipun bisa
berguna-dan hanya membatasi diri dengan kutipan-kutipan sekedar untuk menunjuk
contoh-contoh. Kebanyakan kutipan itu diambil buku-buku penulis El Silencio del dios, (Madrid: Guadiana,
1970), dan Humanism y Cruz, (Madrid: Rialp, 1963).
[39] Bdk. R. Pannikar, “Have ‘Religion’ the
Monopoly on Religion?”, Journal of
Ecumenical Studies, XI: 3, (Summer, 1974), hlm.515-517.
[40] Yakni ajaran
tentang bukan diri (nonself) atau ketiadaan
mutlak substansi (ultimate
unsubstantiality) dari adaan. Bdk. Misalnya,
Samyutta-nikaya III,66; Digha-Nikaya II, I, I, (atau 251); II,
2, 1; III, 5, 6,; dll.
[41] Empat kenyataan
mulia aryasaccani (Sans. aryasatyani), yakni kenyataan universal
dari kedukaan, hasrat yang bermacam-macam sebagai sebab dari kedukaan itu,
penghapusan segala hasrat sebagai penghapusan kedukaan dan kedelapan jalan
melepaskan diri dari kedukaan: pandangan yang benar, maksud yang benar,
pembicaraan yang benar, tingkah laku yang benar, kehidupan yang benar, usaha
yang benar, ingatan yang benar, dan konsentrasi
yang benar. Bdk. Samyutta-nikaya V,
420 dst.
[42] Yakni segala
sesuatu adalah duka. Bdk. Dhammapada XX,
6 (nr. 278). Penderitaan, Ketidakenakan, kegelisahan, dsb adalah beberapa versi
dari duhkham (dari akar kata dus, memburuk).
[43] Bdk. Mahaparinibbana-sutta VI, 10; III,
66; dll. Bdk. Sambil lalu, Flp 2:12
”kerjakan keselamatanmu dengan tanpa takut dan gentar”.
[44] Kej 1: 1 dst;
1:31; dll.
[45] Bdk. Luk
2: 11; Kis 13: 23, dll.
[46] Bdk. Yoh
1:14; dll.
[47] Bdk. Bil
6:5
[48] Bdk. Mat
22:37-40
[49] Tanha dalam
bahasa Pali berpandanan dengan trsna dalam bahasa Sansekerta, artinya
haus. Disamping teks yang sudah dikiutip, bdk. Anguttara-nikaya III,
416; IV,400; Samyutta-nikaya I, I, Majjhima-nikaya I, 6; II, 256,
Itivuttaka 30; 50;58;105, dll.
[50] Istilah dalam
perjanjian baru adalah epithymija, yang diterjemahkan dalam teologi
Latin menjadi concupiscentia. Bdk.1 Yoh 2: 16-17; 2 Ptr 2:18; Gal 5: 16;
Rom 6:12; 2 Tim 3: 6; dll.
[51] Bdk .
Majjhima-nikaya III,6:’Tathagata membatasi dirinya hanya memperlihatkan jalan’,
dll (Bdk. Juga Majjhima-nikaya I, 83)
[52] Bdk. yoh
10: 9; 14: 6; dll.
[53] Bdk. Milindapanha
326; dll.d
[54] Bdk. Yoh
16:8 dst; 17: 9 dst; dll
[55] Bdk. Udana
V,5; “Wahai para biksu, sebagaimana lautan hanya mempunyai satu rasa, rasa
asin, demikian juga, disiplin ajaran hanya mempunyai satu rasa, rasa kebebasan.
Bahwa disiplin ajaran hanya memopunyai satu rasa, wahai para biksu, rasa
kebebasan, hal ini merupakan hal ajaib dan luar biasa yang kekenam fari disiplin
ajaran. “ Bdk. Metafor yang sama dalam CU VI, 13 untuk ajaran yang
berbeda namun ada kaitannya. Bdk. Juga Yoh 8: 36; Rom 8:21; dll. Dari pihak Kristen.
[56] Kata itu sendiri
tidak khusus Buddhis, sebagaimana tampak dalam BG II,72, VI,15; MB XIV, 543;
dll; dan dikuatkan oleh pembicaraan-pembicaraan tentang makna-makna non Buddhis
dari istilah itu dalam Digha-nikaya I, 3;19; dst.
[57] Kata tersebut
dari pihak Yunani yang menerjemahkan kata Ibrani yeshuah, yesha dan teshuah,
dari lain pihak Kristen yang menerjemahkan kata yang sama dari bahasa kuno
klasik ; sering ambivalen, yakni dipakai untuk dewa-dewa/yang ilahi dan
manusia.
[58] Bdk. Samyutta-nikaya
II, 68.
[59]Yakni
‘unsur-unsur dari dunia ini’, ‘dari kemakhlukan semata’ orang berani untuk
menerjemahkan. Bdk.ibid. I, 136.
[61] Bdk.ibid. I,
39
[62] Bdk.
etimologi dari nirvana; dari kata kerja intransifif nirva, padam, habis.
Akar kata va arinya meniup, vata artinya angin (bdk. Spirtus,
pneuma). Nirvana adalah padamnya semua materi yang dapat terbakar
(mati, fana; sementara).
[63] Bdk. Kathaavatthu
XIX, 6.
[64] Bdk. Itivuttak
II, 6 (atau 43); Udana VIII, 3.
[65] Bdk. Udana
VIII, 1.
[66] Bdk.
Nagarjuna, Mulamadhyamikakakarika XXV, 1 dst.
[67] Bdk.
Candrakirti, Prasannapada XXIV, passim
[68] Bdk.
seluruh bab III atau sunnatavagga dari Majjhima-nikaya.
[69] Bdk.
perumpamaan terkenal tentang orang yang terluka oleh panah, lalu mati sesudah
menghabiskan waktunya untuk bertanya-tanya mengenai hal-hal kecil yang tak
penting, seperti siapa yang memanahnya dan mengapa, dalam Majjhima-nikaya
I, 426 dst.; Anguttara-nikaya IV, 67 dst.
[70] Bdk. Majjihima-nikaya
III, 254, di mana konsentrasi disebut kekosongan, tanpa tanda-tanda dan tanpa
tujuan.
[71] Udana
VIII, 3. Bdk. juga Candrakirti, Prasannapada XXV, 3 (ed. La Vallee
Poussin; terj.R. H. Robinson, hlm.521): ‘Nirvana dirumuskan sebagai yang tak
dilepas, tak tercapai, tak termusnahkan, bukan kekal, tak terpadamkan, tak
terbangkitkan.
[72] Hal ini dapat
diangap sebagai inti pokok dari pandangan Nagarjuna.
[73] Bdk.
Konsep penting asamkrta, yang tak tersusun. Pengertian akata(akrta)
yang tak tergarap, tak terbuat, tak tercipta berada dalam posisi berlawanan
dengan samskrta, yang tersusun,
dalam tradisi india. Bdk. Dhammapada VII, 8 (97).
[74] Bdk. Flp
1: 28
[75] Bdk..
2Kor 7:10
[76] Bdk. 1Tes
5:9;dll.
[77] Bdk. Ibr
2:10.
[78] Bdk. Ibr
5:9
[79] Bdk. 1Ptr
1:9-10
[80] Bdk. Yoh
4:22.
[81] Bdk. Kis
16:17.
[82] Bdk. Kis
13:26; dll.
[83] Bdk. Luk
1:77.
[84] Bdk. Luk
2:11 dan nama yesus (yoshua)sesungguhnya berarti keselamatan.
[85] Bdk. Mat
1:21; kis. 5:31.
[86] Bdk. Kis
4:12.
[87] Akar kata su (suid)
artinya ‘bengkak’ dan istilah sunya (kosong atau hampa) sudah ada
dalam kesustraan pra-budhis dan non-Budhis yang kuno. Bdk. AV XIV, 2,19; SB II,
3,1,9; TB II, 1,2,12; dan banyak dari kitab Upanishad. Susunan kata yang
menarik adalah sunyagara, artinya yang ditinggalkan, rumah kosong (Jabu
VI), yakni rumah di mana para samnyasi atau petapa hindu di duga hidup(bisa
juga suatu tempat tinggal bagi tuhan, kuil:devagrha). Bdk. Juga Maitu
VI, 10.
[88] Tak perlu
ditekankan bahwa pleroma-yakni apa yang mengisi(penuh)-berasal dari
pra-kristen dan memeperoleh artinya yang penuh dalam kesusatraan Yunani.
[89] Bdk. Awal
dari buku Nagarjuna, Mulamadhyamikakarika
I,1: ‘tidak dari mereka, tidak juga dari sesuatu yang lain, atau dari sesuatu
sebab, bahwa sesuatu yang ada muncul.’
[90] Bdk.
Ungkapan suabhavasunyata(kekosongan dari dalam dirinya sendiri) sebagai
suatu cara dari kekosingan yang dilukiskan dalam pancavimsarisahasriska
sebagia inti dasar dari prajnaparamita, 1 (yang disebut Jantung-sutra).
Bdk. Juga dharmasunyata dari buku Santideva, Siksasa muccaya XIV,
242 dan Sunyabhutah (hampa dari adanya) dalam Maitu VI, 23.
[91] Perumpamaan
tentang panta seberang lazim dalam kesusatraan Buddhis. Bdk. Anguttara-nikaya
II, 13; IV, 160; Itavuttaka 69; Samyutta-nikaya IV, 175; Prajnaparamita
IX; dll.
[92] Bdk.
Nagarjuna, Mulamadhyamikakarika XXV, 19.
[93] Andai kata ada
perbedaan antara kedaunya, maka akan ada samsara dan nirvana dari
sesuatu yang hal yang ketiga. Masing-masing darinya saling berlawanan.
[94] Bdk. Lalitavistara
XIII, 175 dst. Majjhima-nikaya 1, 297, menekankan bahwa itu kosong
(bahasa Pali: sunna) dari jati diri dan dari apa yang menjadi bagian
jati diri (atta dan attaniya). Bdk. Juga Samyutta-nikaya IV, 54 dan 296;
dll.
[95] Bdk. Samyutta-nikaya
III, 189.
[96] Bdk. Ef
4:13; dll.
[97] Tuhan mengutus
putra-Nya pada kepenuhan waktu(chronos) (Gal 4:4), tetapi dalam
kepenuhan waktu-waktu itu(kairos) ia akan mengumpulkan segala sesuatu
dalam Kristus (Ef 1:10).
[98] Bdk. Ef
1: 23.
[99] Bdk. Yoh
1:16.
[100] Bdk. Kol.
2:9.
[101] Bdk. Ef
3:19.
[102] Bdk. Kis
3:21.
[103] Bdk. 1
Kor 15:28.
[104] Bdk. Mat.
5:48.
[105] Bdk. Yoh
15:1 dst.
[106] Bdk. Yoh
6:56-57;17:23; dll.
[107] Bdk. Kej
3:5.
[108] Bdk. Yoh
1:12(dan dengan kualifikasi 10:34-35); dll.
[109] Bdk. Yoh
14:17;15:26; dll.
[110] Bdk.
Clemens dari aleksandria, Propterpticus 1,9(disini dengan menggunakan theopoiein yang pada umumnya menunjuk pada pembuatan berhala); Greogorius dari
Nazianza, Oratio theologica III, 19 (P.G., 36,100); Athanasius: ……..;
Ipse siquidem homo factus est, ut nos dii efficeremur’, (sebab ia telah menjadi
manusia supaya kita menjadi tuhan), De
Incarnatine Verbi 54 (P.G.,
25,192); Oratio 4 contra arrianos VI (P.G., 26, 476); Agustinus, Sermo 128(P.L.,39,1997); sermo
de vativitate 3 dan 11 (P.L.,
38,39 dan 1016); ‘Propet te factus est temporalis, ut tu fias aeternus’, kata agustinus
dalam gayanya yang tinggi, Epist.
Lo. II, 10 (P.L., 35, 1994); ‘Quod
est Christus, erimus Christiani’, Ciprianus mengulangnya dalam De
idolorum vanitute XV (P.L., 4, 582); dll.
[111] Bdk. Why 21:1.
[112] Bdk. 1 Kor 15:12
dst.
[113] Bdk. Yoh
3:3 dst.
[114] Bdk. Mat
4:17, dll.
[115] Bdk. Mat
3:2, dll.
[116] Bdk.
Sntideva, Bodhcaryavatara IX, 49.
[117] Bdk.
Candrakirti, Prasannapada XVI, 8 (ed. La Valee Poussin, hlm. 293).
[118] Prajna,
sunyata, pratityasamupada, nirvana.
[119] Udana 1,
10.
[120] Bdk.
Perkataan pascal yang terkenal, Pensee,358: ‘L’homme n’ est ni ange
bete, et le malheur veuet que qui veuet faere I’ange fait la bete.’
[121] Bdk.
Kalimat yang sering dikutip. ‘Agnosce, O Christiane, dignitatem tuam, et
divanae consors factus naturae, noli in veteram vilitatem degeneri conversatione
redire. Memento cuius capitis et cuius corpissis membrum’, Leo I, sermo
21,3(P.L.54, 192-193).
[122] Bdk. Kata
Agustinus yang terkenal, ‘irrequietum est cor nostrum donec requiescat in te’. Confess,
1,1,1.
[123] Bdk.
Maximus Confessor, Ambigua, ‘Tuhan telah memasukkan dalam hati manusia
kerinduan kepada-Nya’ (P.G. 91,1312); atau dengan menerima gagasan bahwa ephithymia
(kecerdikan) dapat menjadi hasrat yang menyala kepada-Nya, Quaest. Ad Thal.(P.G.,90,
269). Bdk. Komentar kristen terhadap Yoh. 6, 44, ‘Nemo te quarere valet nisi
qui prius invenerit’, Bernard dari Clairvaux, De diligendoo Deo VII,
22(P.L.182,987); juga ‘Consule toi, tu ne me chercherais pas, si tu ne m’ avais
pas trouve’. Pascal, Pansees, 553.
[124] Bdk. 2
Ptr 1:4; dll.
[125] Bdk. Rom
8:29; dll.
[126] Bdk. Lbr
2:1; dll.
[127] Bdk. Gal 4:5;
dll.
[128] Bdk. 1 Yoh 2:29;
dll.
[129] Bdk. Yoh 3:5;
dll.
[130]
----------------------------------------------, Protagoras, Frag. I.
[131] Bdk.
Plato, Cratylus, 386a; Theatetus, 152a.
[132] Bdk.
Plato, Laws IV (716 c).
[133] Bdk.
Aristoteles, Nicomachean Ethics X, 7 (1177 b 31).
[134] Secara harfiah:
----------------------- -‘etos dari manusia adalah daimon-nya
Heraklitus, Frag. 119.
[135] Bdk. Kej.
I : 26-27.
[136] Hal ini boleh
dikata menjadi pembenaran teologis bagi semua Humanisme yang bertolak dari
Kitab Suci.
[137] Bdk. Yoh
1: 14.
[138] Bdk. Yoh
19: 5.
[139] Bdk. avyakrtavastuni
yang termasyhur, atau hal-hal yang tak terperikan, yang ditolak oleh Buddha
untuk menjawabnya. Bdk. vacchagotta samyuttam (Samyuta-nikaya
III, 33), avyakata samyuttam (Samyutta-nikaya IV,44), culamalunkya
sutta (Majjhima-nikaya 63), aggivacchagotta sutta (Majjhima-nikaya 72), dll
[140] Bdk.
misalnya, penolakan Buddha untuk menguraikan sifat-sifat dasar karma karena
satu-satunya hal yang berarti hanyalah melepaskan diri daripadanya. Bdk.
Anguttara-nikaya II, 80; Digha-nikaya III 138; Samyutta-nikaya
III, 103.
[141] Bahwa Buddha
tidak mempunyai teori-teori (Majjhima-nikaya) merupaka gagasan konstan
dalam Madhayamika menjadi pesan sentral Buddhisme.
[142] RV X, 90, 2.
[143] Bdk. SU
II, 8 dst.; dan yang lain.
[144] Acuan kepada
dunia Cina ini diamksud untuk menandakan bahwa pembicaraan yang lengkap dan
sahih tentang humanisasi tidak dapat terjadi dewasa ini tanpa memasukkan apa
yang barangkali paling manusiawi dari semua kebudayaan, yang idealnya adalah
manusia sempurna. Bdk. suatu contoh, yang bisa dianggap sebagai mewakili
lebih dari satu tradisi: ‘Karena itu manusia sempurna menjadikan roh dan
pikirannya menembus keterbatasan dan tak terhalangi oleh batas-batas,
menggunakan sepenuhnya penglihatan mata dan pendengaran telingadan tidak
dapat dibiaskan bersama dengan suara dan bentuk-bentuk – karena dia
mengidentikan diri dengan kekosongan yang merupakan jati diri dari berbagai hal
itu. Maka hal-hal itu tidak dapat mengahalangi intelegensi spiritualnya.’
Seng-Chao,Emptiness of the Non-Absolute, (Chao-lun III; tr. R.H.
Robinson)
[145] Tidak ada
gunanya diberikan di sini suatu bibliografi yang akan mencakup lebih banyak
halaman daripada seluruh bab kita.
[146] Bdk. spendida
vitia Agustinus yang termasyhur untuk keutamaan-keutamaan mereka yang tidak
dilahirkan kembali ke dalam pembaptisan. Dan lagi ‘Bene currunt; sed ini via
non corrunt. Quanto plus currunt, plus errant; quia a via recedunt’, Sermo
141c, 4, nr.4 (p.l.38, 777). Atau lagi, ‘maius opus est ut ex impio iustus
fiat, quam creare caelum et terram’, In Ioh tr.72, nr.3 (P.L.35, 1823),
dikomentari oleh Thomas, ‘Bonum gratiae uniusmaius est quam bonuin naturae
totius universi’, (sum. Theol. I-II, q. 113, a. 9, c. et ad 2), dan lagi
dikembangkan dengan caranya sendiri oleh Meister Eckhrat dalam Ser. Lat. II,2
(Lateinische Werke IV, 16, n.10); dan yang lain.
[147] Bdk. petunjuk
etimologis: Saeculum pasti bukan kosmos, tetapi lebih dimaksudkan aeon,
jangka hidup (Bdk. bahasa Sansekert ayu), yaitu aspek
temporal dari dunia.
[148]Kita mengatakan sepihak
karena tidak dapat disangkal bahwa jawaban-jawaban tradisional tidak
memperhitungkan seluruh horizon manusia; dalam zaman kita yang kairologis ini,
hal seperti itu merupakan suatu kepentingan.
[149] Tak ayal lagi,
kita hanya dapat menunjukkan secara umum betapa riset yang mendasar mengenai
problem ini dapat dimulai.
[150] Dalam kenyataan,
karuna dan sunyata adalah dua pilar Buddhisme Mahyan, dan banyak teks
menghubungkan kedua hal itu.
[151] Bdk. ucapan
‘tu aueta eras interior intimo meo at superior summo meo’ yang termasyhur dari
Agustinus (Confessiones, III, 6, 11). Bdk. juga Alvin, Institusiones
christiane religionis III, &: ‘Quod sinostri non sumus, sed Domini …
ergo ne vel ratio nostra, vel voluntas in consiliis nostris fastisque dominetur
(…) Nostri non sumus: ergo quoad licet obliviscamurnosmetipsos ac nostra omnia.
Rursum, Dei sumus: iili ergo vivamus et moriamur’, (Opere Calvini, ed.
Brunsvigae, 1864, vol.2, col. 505-506); belum lagi disebutkan ucapan-ucapan
kaum mistici.
[152] Bdk. Kis
17: 28.
[153] Bdk. Yoh
17: 22-26; dll.
[154] Bdk. 2
Kor 5: 17; Gal 6: 15; Ef 4: 24; Kol 3: 10; dll.
[155] Cukup menarik
bahwa intuisi Buddhis tentang nairatmyavada dalam suatu cara yang sangat
mengejutkan cocok denagn doktrin Kristen tentang perichoreris (circumincessio).
[156] Bdk.
Thomas, Sum. Theol , I, q. 1, a.8 ad 2; I, q.2, a. 2 ad 1; di sini
Aquinas tidak menggunakan kata –kata harfiah dari prinsip yang belakangan
menjadi terkenal ini.
[157] Setiap Humanisme
berakhir dengan afimasi manusia yang mengatasi ‘manusia’ yang mengafirmasikan
hal itu.
[158] Bdk. R.
Pannikar, “Some Notes on Syncretism and Eclecticism related to the Growth of
Human Consciousness”, dalam Religion
Syncretism in Antiquity, Essays in Conversation with Geo Widengren, yang
disunting oleh Birger A. Pearson, Missoula, Montana (Scholars Press), 1975,
hlm. 47-60.
[159] Tema yang
berulang-ulang dari ajaran Buddha adalah bahwa mereka tidak mempunyai autoritas
atas diri mereka sendiri, selain sejauh si pendengar mengalami mereka sebagai
pembawa pesan yang nyata tentang pembebasan. Bdk. Tradisi Buddhis: ‘Mereka yang membayangkan Buddha sebagai yang
melampaui angan-angan dan yang tak terhancurkan, semua dibunuh oleh angan-angan
dan tidak melihat Tathagata’ (Candrakirti,
Prasannapada XXII, 15, [ed. La Valee
Poussin, tr. R.H. Robinson, hlm. 448]).
[160] Ini berlanjut
dengan ucapan yang ekstrem: ‘Bunuhlah Buddha jika kamu kebetulan bertemu dia’, Taisho Tripitaka 47, 500b (apud K.
ch’en, Buddhisme di Cina, (Princeton: Princeton University press, 1964), hlm.
358)
[162] Bdk. Rom 8:21; dan yang lain.
[163] Bdk. Yoh 8:32.
[164] Bdk. Sermo I dari VII Sermones ad mortous C. G. Jung yang dicetak secara pribadi
tahun 1916 dan diterbitkan sebagai Apendiks pada autobiografinya: Erinnerungen, Traume, Gedanken, yang
disunting oleh A. Jaffe, (Olten-Freiburg: Walter, 1972), hlm. 389 dst. Sebuah
kutipan: “Das Nichts order die Fulle nennen wir das Pleroma (di mana
penyimpangan terminlogis Krtisten-Yunani tampak). Dort drin hort denken und
sein auf, den “das ewige und unendliche hat keine eigenschaften”[sic]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar