Jumat, 02 November 2012

tokoh-tokoh hermeneutik


TOKOH-TOKOH HERMENEUTIK
A.    Emilio Betty
1.      Biografi
Emilio Betti adalah seorang theology modernis dan sejarawan hokum yang lahir di Italia pada tahun 1890 dan wafat pada tahun 1968. Karya-karyanya antara lain: Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der Geisteswissenschaften, Zur Grendlegung einer allgemeinen Auslegungslehre (sebuah manifesto hermeneutic-nya), dan Teori generale della interpretazione.
Munculnya Betti ke pentas ke-hermeneutik-an adalah debat terbukanya dengan beberapa tokoh hermeneutic yang lain seperti Gadamer, Bultmann, dan Ebeling. Betti berupaya mengusung bagaimana menempatkan sebuah pengalaman manusia secara objekti, dengan menyediakan sebuah teori umum penafsiran terhadapnya, yang didasarkan pada asumsi bahwa otonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis dalam membuat suatu interpretasi yang valid.
Dalam merespon kritikan Gadamer, Betti kemudia meluncurkan sebuah booklet (buku kecil) yang diberinya judul Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der Geisteswissenschaften. Dalam booklet ini, Betti mengajukan dua kritik terhadap Gadamer, pertama,  bahwa Gadamer tidak menyajikan sebuah metodologi atau rencana metodologi untuk human studies. Kedua, apa yang dilakukan Gadamer membahayakan legitimasi yang menunjuk pada status objektif dari objek-objek interpretasi dan kemudia membuat pertanyaan-pertanyaan objektifitas interpretasi itu sendiri.
Sebagai seorang sejarawan hukum, ketertarikan Betti terhadap hermeneutik tidak lahir dari keinginan filosofis untuk mengungkap kebenaran sebuah karya seni (Gadamer), atau keinginan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kodrat yang ada (Heidegger), atau sebuah tekanan untuk menyelamatkan makna ayat Bibel (Bultmann dan Ebeling). Betti hanya bermaksud untuk membedakan antara cara atau model beragam interpretasi dalam disiplin manusia dan untuk merumuskan kerangka fondasional dari prinsip-prinsip yang dapat menafsirkan perilaku manusia. [1]
2.      Hermeneutika sebagai Auslegung
Hermeneutik bagi Betti adalah sebuah Auslegung, yaitu bagaimana mendapatkan sebuah penafsiran yang valid dan objektif, bukan Deutung dan spekularive Deutung.[2] Hermeneutika yang dibangun ini seperti keyakinan Betti, adalah sebagai an intellectual discipline and educational training which is fundamental for life. Keyakinan itu, karena sering kali terjadi ketika kita mencoba menafsir sebuah teks yang ada distansi baik historis maupun cultural, dan kemudian kita ingin mengetahui apa dan seberapa dalam makna yang dikandung oleh kedalaman teks itu, apa yang mereka (pengarang) katakan. Dan apa yang melatar belakangi lahirnya ide itu? Tentu, persoalan-persoalan itu membutuhkan sebuah rekontruksi imajinatif yang dengan simpati dan wawasan, akan dibutuhkan bagi pemahaman.
Dalam memahami sebuah interpretasi yang objektif ini, seperti yang dikatakannya dalam Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der Geisteswissenschaften, Betti menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah mengklarifikasi perbedaan esensial antara Auslegung (penafsiran) dan Sinngebung (peran penafsir dalam penyerahan makna terhadap objek). Karenannya, penafsiran terhadap objek, bagi Betti merupakan sebuah objektivikasi dari semangat manusia (Geist) yang diekspresikan dalam bentuk pikiran yang sehat. Interpretasi kemudian membutuhkan pengakuan dan rekontruksi makna yang pengarang itu sendiri telah  memasukkannya. Dengan kata lain, bahwa seorang penafsir harus melakukan ziarah ke dalam subjektifitas asing dan dengan melalui suatu inverse proses kreatif, kembali lagi pada ide atau interpretasi yang telah dimasukkan ke dalam objek. Kemudian Betti melanjutkan bahwa berbicara tentang objektivitas yang tidak melibatkan subjektivitas dari penafsir merupakan suatu yang absurd. Namun subjektifitas sang penafsir harus menembus dari keasingan dan ketidakjelasan objek.
Betti kemudian menawarkan 4 momen dalam proses hermeneutic yang akan memfasilitasi pemahaman, pertama, penafsir melakukan investivigasi fenomena linguistic dari pembicaraan atau teks. Kedua, didalam mengkritik momen, penafsir harus menghindari dari kepentingan social, ideology, komitmen, atau sumber-sumber yang intoleran yang bias menghalangi pemahaman. Ketiga, seperti Schleiermacher dan khususnya Dilthey, Betti juga menyarankan penafsir untuk menempatkan dirinya dalam posisi seseorang untuk dipahami, dengan menggunakan imajinasi dan wawasan. Keempat, melakukan rekontruksi untuk untuk memasukkan situasi dan dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai baik berupa ungkapan (dari percakapan), atau teks. Seperti yang dikatakan Betti, bahwa meskipun konsepnya banyak terkait dengan persoalan ‘retropeksi’ dan ’genetik’, ia juga memerlukan elemen ‘prospektif’ dan ‘evolosioner’. Prasarat-prasarat ini merupakan suatu yang harus dilakukan dan pemahaman terhadapnya merupakan suatu yang terus menerus, on going process, dengan selalu membuka pandangan dan sikap yang jumawa dalam mengoreksi dan memperbaikinya.
Menanggapi teori Hermeneutik yang diajuka Betti di atas, bahwa pemahaman terhadap teks baik dalam pengertiannya yang luas (alam semesta), atau dalam arti yang sempit (teks itu sendiri) dapat diberikan suatu penafsiran yang objektif dengan melakukan prosedur-prosedur seperti yang ia kemukakan di atas yang pada akhirnya bagaimana seorang penafsir mampu berbuat seperti yang apa yang telah dilakukan pengarang teks itu sendiri atau malah melampauinya. Dengan memposisikan pengarang dan teks itu dalam wilayah partikular-historisnya. [3]
B.     Hans Georg Gadamer
1.      Biografi dan Latar Belakang Pemikirannya
Hans Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Dia mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya antara lain pada Nikolas Hartman dan Martin Heidegger, serta mengikuti kuliyah pada Rudolf Bultmann, seorang teolog protestan yang cukup terkenal.
Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.[4]
Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada 2002.
Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka untuk  menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.[5]
2.      Hermeneutika Gadamer
Menurut Gadamer, hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Artinya, kajiannya bertumpu pada apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkan sebagaimana adanya. Sedangkan wilayah hermeneutika terletak pada perjumpaan antara masa kini dan masa lalu.
Pemahaman sebenarnya bukan sebuah proses subjektif manusia, bukan suatu metode objektivikasi, juga bukan suatu pencarian keterangan tentang suatu objek. Tetapi, pemahaman merupakan suatu peristiwa terbuka, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, sesuatu yang dipahami membuka berbagai kemungkinan reformasi. Di samping itu, pemahaman menurut Gadamer juga bersifat parsipatorik pada suatu warisan budaya. Pemahaman masuk pada masa transmisi, masa lalu dan masa kini senantiasa diperantarai. Dengan demikian, pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Metode tidak sanggup membuka kebenaran baru, sehingga metode hanya akan ditemukan dalam dialektika.
Di sini terlihat bahwa Gadamer menempatkan cakupan hermeneutika sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi mendasar-fundamental dari semua pemahaman serta menolak anggapan bahwa tugas hermeneutika adalah investigasi metodologis ke dalam ilmu-ilmu sosial dan disiplin lainnya.
Dalam pemahaman, Gadamer tidak menyetujui hermeneutika romantik yang meletakkannya pada psikologi pengarang. Sebab, menurut Gadamer, bagaimana mungkin orang dapat keluar dari situasi zamannya sendiri untuk masuk ke dalam suasana zaman lain. Merupakan suatu hal yang mustahil orang dapat meninggalkan prasangka-prasangka dan situasi psikis dan sosiologis yang mengitarinya lalu masuk ke dalam suasana lain.
Oleh karena itu, upaya memahami sebuah teks bukanlah dalam rangka meraih makna otentik dari sebuah teks atau makna yang dikehendaki sang pengarang. Suatu pemikiran hermeneutika sejati harus mempertimbangkan historikalitasnya sendiri, konteks kekinian sang penafsir. Dengan demikian, pemahaman tidak semata-mata reproduktif, namun sebuah proses yang sangat produktif, dan kerja-kerja penafsiran akan selalu berubah selama sejarah penerimaan tentang apa dipahami oleh pembaca.[6]
Dalam pandangan Gadamer, ada empat faktor yang selalu terlibat dalam suatu proses interpretasi, yaitu:
a)    Bildung (kebudayaan), yakni pembentukan jalan pikiran. Maksudnya adalah bentuk atau jalan pikiran yang mengalir secara harmonis. Dalam kaitannya dengan proses penafsiran, misalnya bila seseorang membaca suatu teks yang termasuk dalam ilmu-ilmukemanusiaan seperti sejarah, sastra, dan filsafat, maka keseluruhan pengalaman akan ikut berperan. Dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaan, usia, atau tingkat pendidikannya tidak akan melakukan interpretasi dengan cara yang sama.
b)   Sensus cummunis, Istilah ini digunakan Gadamer bukan dalam pengertian ‘pendapat umum’, tetapi sebagai ‘pertimbangan praktis yang baik’. Mengerti konsep ini penting untuk hidup bermasyarakat. Karena hidup di dalam masyarakat mempertimbangkan suatu pandangan tentang kebaikan yang benar dan umum. Sejarawan memerlukan sensus cummunis dengan maksud untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia. Sejarah pada dasarnya tidak berbicara tentang seorang manusia yang hidup terpencil.
c)    Pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan.
d)   Taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa. Namun dengan keseimbangan antara instink, panca indera, dan kebebasan intelektual, sikap ini dapat membuat diskriminasi terhapap hal-hal yang bertentangan dengan yang indah dan yang baik.[7]
Gadamer juga membawa problem hermeneutika ke wilayah linguistik, lebih dari sekedar pemahaman historis secara filosofis. Argumennya, bahwa esensi (being) itu bereksistensi melalui bahasa dan karenanya ia bisa dipahami hanya melalui bahasa. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan tradisi sekaligus media untuk memahaminya. Proses hermeneutika untuk memahami tradisi melalui bahasa lebih dari sebuah metode. Pemahaman bukanlah produk metode; metode tidaklah merupakan wahana yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui. Dengan demikian, bahasa mempunyai posisi sentral sebagai media yang menghubungkan cakrawala masa kini dengan cakrawala historikal.
Bahasa menurut Gadamer berfungsi pengungkapan kenyataan. Bahkan lebih tegas dikatakan ada yang dapat dipahami dan diketahui secara umum, yaitu bersifat komunikatif jika pikiran membahasa. Lebih lanjut, bahasa adalah realitas yang tidak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, dan pemikiran. Maka, bahasa juga tidak pernah ditangkap sehingga “faktum” atau realitas empirik, tetapi juga prinsip, perantaraan pengalaman (die mitle) dan cakrawala ontologi. Kenyataan bahasa tradisi adalah bersifat kebahasaan, maka jelas memiliki konsekuensi-konsekuensi hermeneutik, yaitu pemahaman itu sendiri bersifat kebahasaan. Dengan demikian, bahasa dan pemikiran membentuk kategori-kategori untuk membangun dan kemudian menafsirkan realitas di sekeliling kita. Tanpa bahasa dan kategori, maka dunia tidak memiliki struktur dan akan kehilangan absurd. Bayangkan, kalau otak kita tidak mengenal kategori panjang-lebar, besar-kecil, lama-baru, tinggi-pendek, dan sebagainya, maka dunia sekitar sulit dipahami dan dikomunikasikan.
Secara paradoksial, Gadamer menegaskan bahwa suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampu menghilang di balik bahasa yang digunakan. Maksudnya adalah terjemahan itu akan tepat bila pembacanya mengalami suatu kehalusan dan irama bahasa yang teratur atau dengan kata lain terjemahan akan terasa indah sekali bila tidak setia pada bahasa aslinya dan bila setia, maka terjemahan itu tidak indah lagi. Artinya terjemahan yang baik bila tidak menurut kata per kata, tetapi disesuaikan menurut ragam bahasa sendiri.
Dalam berbicara, interpretasi bagaikan terjemahan. Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau dokumen tertulis saja, melainkan juga benda-benda yang bukan bahasa seperti patung, komposisi musik, lukisan-lukisan dan lain-lain. Sebenarnya orang yang menggunakan bahasa atau tidak dalam kegiatan interpretasinya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun kita tahu bahwa ada pola-pola bahasa yang tersembunyi di balik semua itu. Sehingga Gadamer menyatakan bahwa yang dimaksud ‘bahasa’ adalah bahasa penalaran itu sendiri.[8]
C.    Wilhelm Dilthey (1833-1911)
1.    Riwayat hidup
Wilhelm Dilthey lengkapnya Wilhelm Christian Ludwig Dilthey lahir pada tanggal 19 november 1833 di Bierbrich am Rhein. Ayahnya adalah seorang pendeta protestan dan menjadi pejabat gereja protestan Duke dari Nassau,[9] sedangkang ibunya adalah seorang putrid dirigen dan karenanya menjadi penggemar music juga, Dilthey mewarisi sifat musical dari ibunya itu dan sangat piawai dalam komposisi dan permainan piano.
Setelah mnyelesaikan pendidikan lokal, Dilthey meneruskan pendidikan lanjutannya di Weisbaden dan pada tahun 1852 pergi ke Heidelberg untuk belajar teologi di sana. Kedua orang tuanya menginginkan Dilthey untuk menjadi seorang pendeta, akan tetapi ternyata dia lebih tertarik pada sejarah dan filsafat. Untuk menekuni kedua bidang tersebut, ia mampu bekerja selama 12-14 jam dalam sehari. Ia mempelajari bahasa Yunani, Ibrani dan Inggris, bersama teman-temannya ia mempelajari karya-karya Shakespear, Plato, Aristoteles, dan Agustinus.
Ketika menjadi mahasiswa beliau sangat tertarik pada karya Schleirmacher dan mengagumi seluruh kehidupan intelektualnya. Dilthey kagum pada Schleirmacher terutama karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahan dan interpretasinya atas dialog Plato. Pada tahun 1864 Dilthey memperoleh gelar Doktor dan tetap mengajar di Berlin. Tahun 1868 ia meninggalkan Basel dan menjadi professor di sebuah universitas kecil, yaitu universitas Kiel.
Pada tahun 1896 ia terserang penyakit yang disebutnya sendiri dengan istilah “nervous origin” serta terkena gejala ‘insomnia’. Suatu hari Dilthey berlibur dan menginap di sebuah hotel di Seis di mana ia terserang infeksi dan meninggal dunia pada tanggal 30 September 1911. [10]
2.      Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutik
Dilthey adalah seorang filsuf yang menaruh perhatian pada sejarah. Ia seakan-akan telah mematri sejarah dan filsafat menjadi satu dengan maksud untuk mengembangkan pandangan filosofisnyang komperehensif dan yang tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak diredupkan oleh prasangka.
Dilthey berambisi untuk menyusun sebuah dasar epistimologis baru bagi pertimbangan sejarah. Proyek ini berkisar pada gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam (interior) dan wajah luar (eksterior). Spiritualisme sebagai bagian wajah dalam (interior) dan realisme sebagai bagian dari wajah luar (eksterior). Dilthey mencoba meninjau peristiwa sejarah dari dua sudut pandang, yaitu secara eksterior dan interior. Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu. Secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi itu dalam keadaan saling bergantung satu sama lain. Seringkali yang memberi nilai pada dimensi eksterior suatu peristiwa, yaitu tanggal dan tempat adalah nilai yang berasal dari kesadaran kita sendiri, yaitu dimensi interior. Atau dapat terjadi dimensi eksterior, di mana sebuah peristiwa sejarah sedemikian mempengaruhi kesadaran sehingga sedikit banyak menutupi keadaan sadar itu.[11]
3.      Hermeneutik dan Ilmu Sejarah
Pada mulanya Dilthey mengingin kan kritik historis terhadap akal menjadi kritik dasar atas akal historis yang dapat diumpamakan dengan ‘kritik terhadap akal murni’ dari Immanuel Kant. ‘Kritik’ Dilthey adalah suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalam dari pada sekedar penelitian historis. Maka untuk memulai karyanya Dilthey mulai dengan meyakini bahwa data empiris menunjukkan ‘pola-pola’ atau hubungan-hubungan yang member makna pada pengalaman hidup kita. Eksplorasi manusia dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan moral, seni, puisi, agama dan filsafat membawa Dilthey ke pembahasan filsafat sejarah yang diarahkan untuk memahami manuisa dan memancing munculnya kesadaran manusia sendiri.
Dilthey ingin membangun sebuah sistem. Sistem-sistem kemasyarakatan sifatnya adalah eksternal karena ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi-organisai social, politik, ekonomi, militer, teknologi dan bahkan organisasi keagamaan. Semua organisasi tersebut mengandung sistem nilai-nilai yang didasarkan atas kebudayaan misalnya: bahasa, filsafat, dan seni. Sistem individual pada dasarnya merupakan produk produk sistem yang telah diresapi oleh manusia. Jadi, hanya pengetahuan tentang sistem eksternal sajalah yang akan mampu meraih interpretasi historis objektif  tentang situasi historis setiap individu.
Yang menjadi sasaran Dilthey adalah memahami person yang menyejarah. Pemahaman atas sistem yang dihasilkan oleh person individu adalah mutlak bagi sasaran tersebut sebab person tidak lain adalah produk dari suatu sistem social atau eksternal. Oleh karena itu, menurut Dilthey sistem eksternal adalah basis pemahaman historis. Yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal dari organisasi-organisai social politik dan ekonomi dengan dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan atau mantap. Namun kegiatan-kegiatan individu juga merupakan indikasi atau petunjuk ke arah faktor-faktor psikologinya. Seorang interpreter atau penafsir tidak dapat mengesampingkan begitu saja psikologi tingkah laku.     
Sementara seorang individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya, seperti sejarah, keluarga, dan peraturan-peraturan kemasyarakatan, individu ini sekaligus juga merupakan person psikologis yang mampu merusak lingkungan eksternal atas dasar alasan pribadi. Menurut Dilthey, lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seorang person harus dilihat secara seksama dengan maksud untuk memahami perilakunya.
Dilthey membedakan dengan tajam antara ilmu pengetahuan tentang alam (Naturwissenschaften) dengan ilmu pengetahuan tentang batin manusia (geisteswissenschaften). Dilthey menganggap perbedaan itu sangat penting, karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan itu menggunakan metode atau metodologi pembahasan yang berbeda satu sama lain. Ilmu pengetahuan tentang alam mempergunakan metode ilmiah dan merupakan ilmu pasti yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat. Sedangkan ilmu pengetahuan tentang hidup (manusia) tidak dapat diterapi metode-metode ilmiah seperti pada ilmu-ilmu eksakta sebab ilmu-ilmu ini berhubungan dengan manusia.
Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan lainnya, maka pemahaman terhadap diri sendiri adalah mutlak. Pemahaman tentang geisteswissenschaften tergantung terhadap pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah.
Menurut Dilthey, hermeneutic adalah dasar dari geisteswissenschaften, sehingga dia menganjurkan kita menggunakan hermeneutic. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, ia merasa perlu memiliki tipe memahami yang khusus. Meskipun orang dapat menyadari keadaan diri sendiri melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi tersebut. Dan hermeneutic hanya akan bekerja jika ekspresi atau ungkapan-ungkapan tersebut tidak asing atau sudah kita kenal. Eksegesis atau interpretasi akan sulit dilakukan jika ungkapan-ungkapan tentang kehidupan itu dirasa asing.[12]
4.      Proses Pemahaman
Pemahaman menurut Dilthey adalah nama untuk proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indra. Pemahan yang baik perlu disertai rasa penuh pengertian terhadap ekspresi yang dihadapi. Karena itu Dilthey menekankan pentingnya rasa simpati (sympathie, das miterleben) dalam proses pemahaman. Memahami (verstehen) adalah ,mengetahui yang dialami orang lain lewat suatu tiruan (nachbild) pengalamannya. Jadi, verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman orang llain dalam diri kita. Ketika dihadapkan pada ekspresi pengalaman orang lain maka, kita akan melakonkan pengalaman yang sama sesuai dengan kesadaran kita sendiri dan hal tersebut diproyeksikan pada orang yang sebenarnya mempunyai pengalaman tersebut. Kita dapat melakonkan kembali pengalaman tersebut karena kita memiliki struktur kejiawaan yang sama di mana pengalaman yang terwujud pada orang tersebut merupakan sesuatu yang dapat diwujudkan dalam diri kita.
Dilthey mengakui bahwa prinsip koherensi dapat diterapkan pada bidang  pemikiran, terlebih lagi dapat diterapkan dalam bidang pemahaman (verstehen), karena pikiran (jiwa) manusia adalah suatu kesatuan hidup yang masing-masing bagiannya dijiwai oleh sifat keseluruhannya.
Bilamana kita memahami dengan memproyeksikan diri kita pada objek, berarti kita memahami objek sebagai keberadaan yang juga kesatuan itu. Dilthey dalam hal ini suka memperlawankan human studies dengan ilmu alam. Pengetahuan kita tentang dunia fifikal berasal dari data indra (sense data) yang terpisah-pisahkan. Di dalamyan tidak terdapat kesatuan atau koherensi objektif. Pikiranlah, begitu penjelasan Kant yang sedikit member keteraturan. Tetapi, di dalam pikiran (jiwa) terlihat adanya kesatuan. Ia terdapat di dalam pengalaman-pengalaman serta tersembul di dalam pemahaman. Selama bekerja dengan prinsip tersebut, kita tidaklah memaksakan suatu analisis arti pada fenomena, tetapi menelusuri fenomena itu sendiri. 
Pemahaman (verstehen) adalah sumber dasar. Dan pada sumber dasar tersebut kita senantiasa harus kembali guan memperoleh kekuatan dan kepastian baru dalam penglihatan. Betapapun juga arti kebenaran umum dan pemikiran kasual dalam rangka ‘menangkap’ sesuatu atau seseorang di masa lampau, pendekatan yang setepatnya dan bahkan paling objektif adalah pendekatan yang paling subjektif, yakni menghidupkan kembali di dalam diri kita hal yang kita pelajari.
Ciri yang menonjol dari proses pemahaman adalah bahwa proses ini menafsirkan seluk beluk kehidupan jiwa di dalam pola pengalaman atas keseluruhan  Jika ekspresi khusus tertentu ditangkap, terwujud suatu Nachbild khusus. Secara seketika, seluruh sistem struktural yang kita alami sebagai suatu keseluruhan tergelar menjadi latar belakangnya. Seluk beluk suatu periatiwa yang tidak terungkap dalam ekspresi tersebut, dibentangkan lewat pengalaman kita atas keseluruhan.
Akan tetapi verstehen bukan berati mempunyai gambaran eksak proses mental lain. Dari segi unsur waktu saja hal itu sudah tidak mungkin terjadi. Memahami (verstehen) sesuatu niscaya mencakup pengertian memahami hal tersebut sebagai suatu keseluruhan. Dan menghidupkan kembali suatu proses mental yang panjang hingga ke seluk-beluknya niscaya menimbulkan kesulitan dalam memahami keseluruhan.
Jika kita membaca suatu cerita, peristiwanya mirip dengan jika kita menatap hidup itu sendiri. Dengan bergeraknya membaca kita, hal yang sudah lewat dibaca menjadi kurang cerah dan jelas berbeda-beda. Kita tidak mungkin lagi mempunyai gambaran sejelas ketika sedang  membaca. Dengan demikian, prinsipnya adalah memegang zussamenharg (kaitan) kisah, hingga kita mempunyai pandangan yang menyatu tentang seluruh kisah. Dengan sendirinya kita hanya mempunyai satu garis besar. Garis besar perlu diperluas jika kita menghadapi sejarah. Seluk beluk kejadian niscaya diteropong dalam pola-pola yang dapat mewakili kumpulan seluk-beluk kejadian, hingga yang ditangkap bukan kejadian yang terpisah-pisah, melainkan strukturnya.[13]
5.      Proses Hermeneutik
Tugas hermeneutik bagi Dilthey adalah melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah aman dari penyelundupan pandangan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sebelum analisi arti yang sesungguhnya dimulai, dituntut adanya suatu latar belakang penegetahuan. Penegtahuan tersebut harus bersifat gramatikal (kebahasaan) serta bersifat sejarah. Maksudnya agar kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya yang ada, mengenai lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya tersebut.
Setiap bagian dari suatu karya sastra hanya dapat ditangkap lewat keseluruhannya, sedangkan sebaliknya keseluruhan hanya dapat ditangkap bagian-bagiannya. Setiap bagian suatu karya sastra dapat mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata selain istilah-istilah teknis tertentu senantiasa dapat berarti lebih dari satu. Ekuivokasi kata atau arti bermacam ragam yang dapat menimbulkan kata dapat memberikan berbagai ragam kemungkinan. Arti suatu kata di dalam kesempatan tertentu ditentukan arti fungsionalnya oleh suatu konteks. Begitulah keadaannya dengan kata, demikian pula dengan kalimat, paragraf, bab, dan seluruh bagian struktural suatu buku.
Arti suatu buku dapat terungkap secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang dan arti karya-karya lain tersebut dapat dibaca lewat hidup dan watak si pengarang. Dari kenyataan tersebut selanjutnya dapat dipertimbangkan  keadaan-keadaannya dan waktu ia hidup. Kemudian tulisan-tulisannya dilihat sebagai kejadian-kejadian dalam suatu proses sejarah budaya atau sejarah sosial yang jauh melampaui dirinya dan merupakan bagian kisah besar umat manusia.
Tujuan akhir dari setiap Hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri. Dengan kata lain, seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih bila dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abab sesudahnya. Namun pandangan semacam ini bisa dianggap keliru juga. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi.
Selain menggunakan data-data sejarah yang telah diperoleh, seorang sejarawan juga harus menggunakan intuisi, sebab keseimbangan antara rasio dan rasa harus dibuat, mengingat bahwa yang rasional itu belum sepenuhnya benar. Oleh karena itu, Dilthey kemudian menekankan supaya psikologi tentang individu masuk dalam hermeneutic. Bahkan segala hal yang dianggap remeh dalam tingkah laku manusia diperhatikan juga oleh hermeneutik.
Karena seorang hermeneutic atau penafsir menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia mengambil apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Di dalam hermeneutic, baik penafsir maupun yang diinterpretasikan sama-sama mempunyai andil besar pada interpretasi yang benar. Dualitas peran inilah yang menentang kesimpulan yang sempit dan ilmiah. Sudah seharusnyalah hermeneutic menjadi metode dari Geisteswissenschaften. Sebab metode-metode ilmiah sama sekali tidak dapat digunakan untuk membahas sejarah, kesustraan, filsafat, agama, seni, politik, dan ilmu pengetahuan sosial lainya. [14]
D.    Martin Heidegger
1.    Sketsa Biografi dan Karya-karyanya
Martin Heidegger berasal dari keluarga yang sederhana. Ia dilahirkan di kota kecil Messkirch pada tanggal 26 September  1889. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi Katholik Roma yang ketat, di mana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Katolik Santo Martinus. Ia mengikuti sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg im Breisgau. Pada tahun 1909 ia masuk Universitas Freiburg untuk belajar di Fakultas Teologi. Setalah mempelajari teologi selama 4 semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah-kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Heidegger memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun  1913 dengan disertasi tentang Die Lehre vom Urteil im Psychologismus (ajaran tentang putusan dalam psikologisme). Pada tahun  1916 Heidegger mulai belajar filsafat Fenomenologi kepada Husserl, bahkan menjadi asistenya. Disamping itu selama tahun 1916-1919, Heidegger mencoba mengkaji dogma-dogma Katolik yang rigid dan menggerakkan dogma-dogma tersebut ke faham Protestan liberal.[15]
Pada tahub 1923 dia diangkat menjadi professor filsafat di Universitas Marburg. Di sini ia menerbitkan karya utamanya Being and Time (Sein und Zeit,1l927). Dia kembali ke Freiburg pada tahun 1928 untuk menggantikan Edmund Husserl. Pada tahun 1933 dia memperoleh jabatan rektor pada universitas Freiburg. Merasa kecewa dengan rezim yang ada, dia berhenti dari jabatan rektor pada tahun 1934 tetapi tetap mengajar sampai pensiun pada tahun 1957. Dia meninggal pada tanggal 26 mei 1976 dalam usia 87 tahun.
Kehidupan keagamaan Heidegger cukup menarik. Karena kebingungan antara berserah diri kepada Tuhan atau hidup di jalan penemuan filsafat yang bebas, dia memilih hidup bersama kelompok Jesuit, pengikut agama yang terkenal taat beragama dan disiplin intelektual. Pada tahun 1920an, karena pengaruh skeptisisme Kristen Hans Oeverbeck, Heidegger kehilangan imannya dan mulai menyatakan independensinya terhadap struktur teologis. [16]
Disamping karya menumentalnya sein un zeit, sebagaimana tersebut di atas, Heidegger menerbitkan banyak karya lagi  yang kebanyakan menyajikan salah satu ceramah atau serangkaian ceramah yang pernah dibawakannya seperti kant und das problem der Metaphysik (Kant dan problem Metafisika, 1929),  Was ist Metaphysic (apakah Metafisika ?, 1929), Holzwege (jalan-jalan buntu, 1950), Identitat und Differanz (identitas dan perbedaan, 1957)[17] dan masih banyak karya lainya.
2.      Pemahaman akan Ada
Beratus tahun sudah orang bicara tentang ada-khusus, tetapi menurut keyakinannya, ia telah berbicara tentang Ada. Sejak Plato, tidak ada yang mengangkat kembali masalah metafisika yang begitu mendasar dan menetukan sebagai tema penyelidikan dan pemikiran yang benar-benar. Padalah masalah ada adalah masalah kunci dalam bicara, tentang kebenaran dalam perspsktif yang lebih luas dan benar.
Ada dan kebenaran mempunyai kaitan yang begitu erat. Pertanyaan tentang arti ada selalu secara langsung, sekaligus, tidak boleh tidak, pertanyaan tentang esensi kebenaran. Oleh karena itu, Heidegger menugasi dirinya untuk mngangkat masalah Ada dengan cara lain dan benar. Ada tidak dapat didekati secara apriori. Ada mempunyai cara berada yang khas. Kembali ke bagaimana seharusnya Ada didekati, tidak dapat ditawar.
Berhubung manusia adalah mediasi terjadinya peristiwa Ada, lankah metodologis terawal adalah membuka struktur eksistensial atau kategori-kategori fundamental wujud manusia (Dasein). Analisis wujud manusia yang analisis ontologis mendahului semua analisis ilmiah manapun, merupakn suatu catatan pengantar yang tidak dapat ditawar bagi ontologi, filsafat tentang Ada. Diamati dengan lebih cermat, berbeda dengan pendapat kebanyakan kritisi, Heidegger tenyata sangat kokoh dalam bertumpu pada kenyataan sebagaimana adanya.
Meskipun Heidegger bermaksud memberikan suatu struktur ontologis yang sah secara umum, ia juga menandaskan bahwa eksistensi yang dikajinya adalah eksistensi manusia konkrit individual yang ada ini. Menurut analisisnya, manusia berbeda dengan makhluk lainnya, bukan karena ia animal rationale tetapi karena manusia adalah pemahaman akan ada (seinsverstandnis). Makhluk lainya tidak mempunyai pemahaman akan Ada.
Wujud manusia tanpak menonjol berbeda dari entitas-entitas lain atas dasar kenyataan bahwa di dalam keberadaannya, Ada merupakan sesuatu yang pokok dan senantiasa muncul mengitarinya, bersamanya. Manusia sejak mula sudah berurusan dengan Ada. Manusia adalah pemahaman akan Ada. Ia ditentukan oleh pemahaman akan Ada.
Pemahaman akan Ada, bukan suatu kecakapan, bukan sekedar sesuatu yang terkadang dimiliki oleh manusia. Pemahaman akan Ada adalah keterbukaan terhadap Ada. Secara ontologis ia satu struktur dengan manusia. Manusia sejak mulabegitu dekat dengan Ada, senantiasa akrab bercengkrama dengan Ada, senantiasa mengundang untuk di eksplisitkan dan diartikulasikan untuk dibuat menderita. “membuat memberita”  itulah pengertian hermeneutika dari kata kerja Yunani hermeneuein.[18]
3.      Hermeneutika Falsafi
Dalam sein und zeit, Heidegger memberikan definisi baru tentang hermeneutika. “Fenomenologi” wujud manusia adalah suatu hermeneutika di dalam arti premordial/ mula pertama dari kalimat tersebut, manakala ia sibuk menafsirkan. Karena bagi Heidegger, fenomenologi bertugas menguak Ada dan wujud manusia adalah hal yang harus diteliti agar pertanyaan ontologis tentang ada dapat dihampiri, menurut arti pertamanya, hermeneutika adalah fenomenologi wujud manusia. Tetapi, analitika struktur universal eksistensi tetap diabdikan bagi suatu hermeneutika yang akhirnya berurusan dengan pertanyaan tentang arti Ada sebagai Ada. Dalam arti inilah, hermeneutika berarti ontologis. Dengan demikian, hermeneutika menjadi hermeneutika filsafati karena hermeneutika dikaitkan dengan masalah yang mengkaji tentang Ada dan peninjauan tentang wujud manusia yang tidak dapat melepaskan pertanyaan tentang Ada.
Hermeneutika menurut heddeger juga mempunyai tugas lain yakni “menunjukkan cakrawala bagi setiap studi lebih lanjut tentang semua entitas yang tidak mempunyai ciri wujud manusia”. Manusia adalah satu-satunya ada-khusus yang mempunyai kualifikasi sebagai pangkal tolak untuk meneliti Ada. Kunci-kunci untuk menguak Ada terdapat pada manusia. Jika struktur-struktur dasar manusia dan arti Ada berhasil diungkap, terbukalah perspektif-perspektif yang luas. Dengan demikian, Heidegger membuka kemungkinan penerapan hermeneutika yang bermutu falsafati pada semua ada-khusus lainnya.
Wujud manusia sebagai suatu entitas dengan kemungkinan eksistensi berarti mempunyai prioritas ontologis diatas entitas lainnya. Maka analitika eksistensialitas eksistensi yang disebut sebagai hermeneutika dalam arti ketiga mempunyai arti secara filsafati primer.
Dari definisi-definisi diatas jelas bahwa Heidegger telah menegaskan pengertian baru dari hermeneutika. Hermeneutika Heidegger bukan metodologi filologik, bukan pula metodologi geisteswissenschaften menurut pola Dilthey. Hermeneutika bukan lagi sekedar pembinaan sikap (membuka diri, peningkatan, kemampuan, mendengar, menyingkirkan segala bentuk prasangka) atau ketrampilan yang senantiasa perlu ditingkatkan (kesanggupan membaca dengan kritis, kesanggupan menghindari salah paham, kesanggupan menerapkan aturan-aturan hermeneutika), tetapi merupakan ciri hakiki manusia, yakni bahwa hermeneutika adalah tanda khas yang sebenarnya dari manusia yang sebagai nur alami (lumen naturale) membuat Ada dari setiap ada-khusus memberita.
Wujud manusia adalah hermeneutika karena berangkat dari adanya sendiri dan arti ada secara umum, serta bertumpu padanya, adanya setiap ada-khusus dibuat memberita. Dengan demikian, menurut Heidegger manusia adalah eksistensi, bukan insistensi, bukan objek. Manusia adalah mediasi untuk tampilannya ada. Tanpa manusia tiada pemahaman akan ada. Tanpa manusia tiada ontologi, tiada kebenaran, tiada hermeneutika.[19]
4.      Ada dan Ada-Khusus
Seluruh strategi pemikiran Heidegger adalah untuk menjangkau ada. Bagaimana pendangan tentang ada? Heidegger sangat berhati-hati dan tidak pernah merumuskan arti ada. Dalam filsafat Heidegger, Ada adalah “sama sekali berbeda” dari ada-khusus karena ada tidak dapat ditundukkan pada kategori-kategori substansi yang dapat diterapkan pada ada-khusus. Maka masalah kebenaran ontologis juda tidak perlu direduksikan ke masalah kebenaran ontis. Sebab ada-khusus itu ‘berada’ karena ada. Ada tidak berakar pada ada-khusus. Tetapi ada-khusus yang berakar di dalam ada. Namun Ada bukanlah Tuhan, bukan pula dasar atau sebab dunia (weltgrund). Ada bukan entitas, maka tidak dapat didefinisikan. Ada bukan ide, bukan sesuatu yang dihasilkan oleh jiwa.
Ada adalah kenyataan yang dijumpai di dalam setiap hal yang Ada dan yang membuat mungkin setiap hal yang ada. Ada adalah ciri atau tanda khas yang terwujud di dalam semua ada-khusus dan berkat ciri itu semua ada-khusus berada dan tampak nyata keluar dari ketiadaan.
Ada melampaui segala tulisan baik pemisahan subjek-objek maupun pemisahan Aku-dunia, pemisahan rasio teoritis- rasio praktis. Jadi Ada sendiri bukan ada-khusus, sehingga tidak dapat direduksikan menjadi salah satu ada-khusus. Ada adalah intelligibilitas yang sebenarnya, yang membuat segala sesuatu dapat ditangkap atau dipahami. Ada mencakup ‘menjadi ada’ tetapi Ada berbeda ‘menjadi ada’.
Itulah deskripsi pengertian Ada dan ada-khusus yang diangkat dari berbagai karya Heidegger. Dari definisi deskriptif tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pandangan Heidegger amat dalam tentang kebenaran yang senantiasa dipandang berkaitan erat dengan Ada. Sebagaimana Ada masih merupakan sesuatu yang belum dikatakan, kebenaran pun masih merupakan sesuatu yang belum habis dipikirkan. Tetapi kebenaran dan Ada tidak dapat tampil tanpa manusia.[20]
5.      Ada membutuhkan manusia.
Telah jelas bahwa, Ada bukan sesuatu yang terisolasi dengan dirinya dan lepas dari manusia. Adapun manusia tidak terisolasi pada dirinyadan lepas dari Ada. Hakikat Ada dan hakikat manusia berkaitan antara satu denngan yang lainnya. Namun untuk tampil, Ada membutuhkan manusia. “Hakikat Ada membutuhkan Hakikat manusia”. Sehingga Ada tidak dapat dibicarakan atas dasar observasi yang terpisah dari keberadaan manusia. Demikian pula keberadaan manusia juga bukan objek yang dapat diletakkan di depan seseorang dan orang tersebut mendeskripsikannya dari luar.
Manusia adalah tempat Ada mengambil tempat untuk berada. Manusia adalah partisipasi Ada, bukan penonton Ada. Ada membutuhkan manusia, karena ada membutuhkan tempat tinggal, ruang untuk berada, dan ruang itu adalah pikiran manusia. Tetapi Ada sama sekali bukanlah produk dari pikiran. Berpikir adalah membantu Ada tampil sebagaimana mestinya. Ada membutuhkan manusia berpikir. Dengan berpikir menusia mewujudkan hubungannya antara Ada dengan hakikat manusia. Peristiwa Ada mamadukan manusia dan Ada di dalam keterhubungan yang sesungguhnya. Dalam pemikiran Heidegger, Ada mempunyai semacam prioritas. Ada adalah pemegang inisiatif. Manusia adalah yang mendengarkan, yang menerima, sedang Ada adalah yang memberi. Namun demikian, Ada dan manusia begitu dekat, Ada selalu merupakan yang lain dari manusia yang mendengaerkan. Ada bukanlah manusia yang mendengarkan. Ada bukanlah manusia dan tidak berada dalam podidi konfrontasi dengan manusia. [21]
6.      Rekonsepsi pemahaman
Bagi Heidegger, pemahaman adalah modus berada di dunia, yakni modus dengan ciri hakiki manusia yang paling asli. Di Dunia adalah struktur wujud manusia, bukan sifat ataupun konstatasi suatu situasi faktual. Pemahaman bukan hanya sekedar peristiwa kejiwaan, tetapi suatu proses ontologis, medium penyongkapan ontologis, yakni sebagai penguakan segalanya yang real bagi manusia. Dengan demikian, dasar pemahaman terletak dalam kenyatan yang lebih dulu dari suatu ungkapan tematis. Dari penjelasan tersebut, nampak bahwa memahami (dan juga berpikir) bukan merupakan gerak linear tetapi berstruktur dialektik.
Antisipasi arti yang menguasai pemahaman terhadap sesuatu teks bukan kegiatan subjek. Antisipasi  tersebut terbit dari kebersamaan yang mengikat kita pada tradisi. Tradisi berkaitan dengan manusia dan dengan Ada itu sendiri. Tradisi adalah sesuatu yang menjelang kita. Tradisi adalah hakikat pada diri manusia. Dalam memahami, manusia ikut serta dalam proses perkembangan tradisi dan tradisi selanjutnya menentukan kita. Heidegger berkesimpulan bahwa hakikat hermeneutika adalah kemampuan ontologis pemahaman dan interpretasi yang memungkinkan terbukanya semua keberadaan dan pada instansi akhirnya juga terbukanya keberadaan wujud manusia.
Kesimpulan selanjutnya adalah bahwa arti (Bedeudsamkeit) merupakan sesuatu yang lebih dalam dari sistem logis, bahasa, lebih dahulu dari bahasa, bahkan merupakan kemungkinan ontologis bagi dapat terartikannya kata-kata. Bersama dengan pemahaman arti merupakan dasar bagi bahasa dan interpretasi. Dengan demikian arti bukanlah sesuatu yang diberikan pada objek tetapi sesuatu yang diberikan objek kepada manusia dengan menyediakan kemungkinan ontologis bagi terwujudnya kata dan bahasa.
Heidegger ingin menegaskan bahwa interpretasi tidak pernah bertolak dari tabularasa, tetapi senantiasa terjadi atas dasar suatu pra pemahaman. Setiap interpretasi selalu melibatkan ‘sesuatu yang kita punya sebelumnya’ (vorhabe), ‘sesuatu yang kita lihat sebelumnya’ (vorsich), dan ‘sesuatu yang kita tangkap sebelumnya’ (vorgriff).[22]
6.      Ada sebagai peristiwa
Ada sebagai peristiwa membutuhkan pikiran dan bahasa sebagai tempat terjadinya. Dengan berfikir manusia menyelesaikan peristiwa itu. Ada adalah proses kedatangan (anwesen). Dengan berfikir, manusia mewujudkan hubungan ada dengan hakikat manusia. Peristiwa ada memadukan manusia dan ada di dalam keterhubungannya yang sesungguhnya. Jadi, pada dasarnya berfikir sudah senantiasa berada dalam suatu keterhubungan yang hakiki dan sejak semulannya. Ada-lah yang terlebih dahulu pada mula pertamanya serta merupakan sumber dan asal mula pikiran. Berpikir bagi Heidegger bukan menggambarkan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, tetapi bertanya- meminta- keterangan, mendengarkan- dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan pada Ada.[23]
7.      Fungsi Hermeneutik Bahasa
Dalam perkembangan pikiran Heidegger bahasa merupakan pusat perhatiannya, tema bahasa sejak permulakan merupakan salah satu tema terpenting. Bahasa dan Ada berada dalam keterjalinan yang erat. Apabila bahasa merumuskan hakikat manusia sebagai “berdiri di terang Ada”, “di dalam keterbukaan yang menerangi dari Ada”, harus ada yang memungkinkan begitu. Kemungkinan itu adalah bahasa. Bertempat tinggal di dalam bahasa yang merupakan kediaman yang Ada adalah hakiki bagi manusia.  
Pemikiran di atas menunjukkan betapa erat hubungan keterjalinan anatara antara manusia, bahasa dan Ada. Tempat tinggal yang sebenarnya bagi wujud manusia adalah di dalam bahasa. Bahasa adalah kediaman Ada, sehingga hubungan antara manusia dan Ada terjadi di dalam bahasa. Menurut Heidegger, bahasa bukan berasal dari kegiatan manusia bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan Ada kepadanya. Dengan berfikir dan berkata, manusia meng-kata-kan Ada. Dan bauru di dalam peng-kata-an inilah Ada dapat tampil dan tampak. Dengan dibahasakan Ada lepas dari keterlupaan dan kegelapan.
Berkata yang sesungguhnya adalah mengumumkan, menampakkan dan membuat terbuka,  menunjukkan dan memerdekakan. Berkata adalah menunjukkan dan memperlihatkan, memunculkan dan membuka. Berfikir dan berkata adalah membierkan peristiwa Ada. Di dlam berfikir dan berkata terciptalah ruang yang dibutuhkan bagi tampat dan tampilnya Ada. Bahasa pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa Ada.
Heidegger terhadap bahasa dengan tegas berbeda dari pendapat yang beredar, baik di lingkungan filsafat maupun teologi. Bahasa niscaya tidak ditangkap berfungsi sebagai suatu tanda, yang menunjukkan isi tertentu, lewat nada suara yang umum  diterima. Bagi Heidegger, pengertian bahasa seperti di atas adalah pengertian bahasa dalam arti sekunder, hasil lupa-akan-Ada.
Bahasa adalah kediaman Ada. Ada dari segalanya yang ada bertempat tinggal di dalam kata. Tetapi, manusia  bukan pencipta tempat kediaman ini. Dengan berbicara (berbahasa), manusia mendiami tempat yang Ada dapat datang mendekat. Berbicara adalah membiarkan diri berkata. Berkata sesuatu adalah menjawab terhadap sesuatu. Bahasa membutuhkan manusia sebagai pengeras suara. Bahasa menggunakan manusia. Bahasa sendiri yang berbicara. Berbicara secara hakiki dan intrinsik adalah mendengarkan. Berbicara adalah menjawab, memberi respon. Heidegger menangkap bahasa sebagai suatu proses gerakan, suatu jalan. Kita senantiasa dalam jalan ke bahasa. Bahasa manusia pada dasarnya adalah jawaban. Bahasa adalah Ada itu sendiri, sedangkan bahasa manusia menyesuaikan.
Pikiran Heidegger di atas sangat vital dibutuhkan untuk menangkap pendalamannya tentang masalah kebahasaan. Perhatian Heidegger bukan pada pemakaian kata  di masa lalu itu atau ketepatan filologisnya, tetapi bagaimana ia dapat berhasil memasuki gerakan kata-kata.
Pemahaman suatu teks terletak dalam mendengarkan lewat  bahasa manusia perihal yang dikatakan bahasa tersebut. Atau dengan kata lain penyingkapan Ada yang sekali peristiwa membangkitkan bahasa. Masalah bahasa dan pikirab ini ditemukan Heidegger lewat perkenalannya dengan suatu disiplin teologi yang bernama hermeneutika. Menurut pengakuannya, Heidegger tidak akan sampai pada pemikirannya yang sekarang, yaitu hermeneutika dikaitkan dengan bahasa.
Hermeneutika diturunkan dari kata kerja Yunani Hermeneuein. Kata kerja tersebut berhubungan dengan  kata benda hermeneus yang berkaitan dengan nama dewa Yunani Hermes. Dewa Hermes adalah utusan para dewa membawa pesan dewa kepada manusia.[24] Jadi, pesan yang disampaikan yang merupakan sasaran hermeneutika, bukan wadag pesan yang  menjadi perhatian pertamanya. Jalan ke bahasa  adalah peristiwa pemahaman pesan yang disampaikan. Hermeneutika adalah fenomenologi. Hermeneutika bicara tentang momen arti menampak. Ada yang adalah inteligibilitas, pemahaman, berpikir dan bahkan eksistensi manusia sendiri bersifat kebahasaan. Proses hermeneutika adalah proses mengartikulasikan dan membahasakan arti yang menjadi terang karena ditanyakan kembali masalah yang digeluti oleh suatu karya atau hidup itu sendiri. [25]
E.     JACQUES DERRIDA
1.    Riwayat Hidup
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dia belajar di Ecole Normal Superieure dan selanjutnya mengajar di sekolah tersebut sebagai ‘maitre-assistant’ (asisten ahli) bidang filsafat. Setiap tahun ia juga mengajar di Yale University, USA sebagai dosen tamu. Pada masa mudanya ia juga pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.
Penaruhnya terhadap pemikiran teoritis kontemporer mulai dirasakan sejak tahun 1967, yaitu sejak publikasi serentak tiga buah karya kefilsafatannya yaitu: La Vioxet la Phenomene (suatu introduksi terhadap persoalan tentang tanda dalam fenomenologi Husserl), L’Ecriture et la Difference (suatu kumpulan esei tentang problematic penulisan dalam kesustraan, filsafat, psikoanalisis dan antropologi), dan De La grammatologie (suatu analisis terbatas atas tekanan yang diderita dalam karya tulis di Barat terutama tentang teori bahasa, teori kebudayaan dan tentang garis besar metodologis  dan teoritis “ilmu pengetahuan” baru mengenai menulis/karya tulis).
Lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1972, terbit lagi secara serentak buku-buku Derrida, yaitu: Marges de la Philosophie (suatu kumpulan esei tentang pinggiran-pinggiran filsafat linguistik, dan kesusastraan), La Dissemination serta Positions (sebuah kumpulan interview).
Jacques Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis kontemporer sejauh ia berhubungan dengan bahasa dan makna. Akan tetapi, beberapa komentator mengatakan bahwa ia justru sorang filsuf yang anti heremeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra mengklasifikasikan dia diantara kritikus sastra, meskipun ia sendiri mengingkari mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf ataupun sastrawan.
Derrida sangat cerdas. Ia dengan tekun mempelajari karya-karya filsafat tokoh-tokoh besar, mulai dari filsuf-filsuf Yunani klasik seperti Plato dan Aristoteles, kemudian Kant, Hegel, Freud, Nietzsche, Husserl, dan Heidegger.[26]
2.      Tanggapan atas Fenomenologi
a.       Arti ‘Differance
Derrida tidak menyetujui adanya pertentangan antara subjektivitas dan objektivitas, sebab di mana terdapat pasangan dua hal, maka yang pertama menguasai yang yang kedua. Misalnya pasangan Bapak-Ibu, subjek-objek, induksi-deduksi. Derrida “membubarkan” dugaan-dugaan tersebut dan mempertanyakan adanya prioritas yang terkandung dalam pasangan-pasangan tersebut.
Untuk menemukan makna yang tersembunyi, orang harus membuka selubungnya, melihat isi secara terpisah, membuang semua hubungan yang sudah ada antara kata dan konsep. Ini merupakan cara untuk menghapus prasangka, sumber utama timbulnya kesalahpahaman atau salah pengertian. Derrida mempertanyakan semua hal dan dan menempatkannya pada pemikiran yang baru. Ia tidak menerima semua sistem makna yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Deconstruction adalah sebuah cara untuk memberikan penjelasan. Selain kata tersebut, ada kata lain yang membuat Derrida jadi terkenal, yaitu differance (dalam bahasa Prancis). Kata differance ini berbeda dengan kata difference. Kata difference umumnya kita artika sebagai ‘tidak sama’, lain, berbeda. Sedangkan differance memerlukan uraian yang panjang untuk menegetahui maksud dari Derrida dalam penggunaan kata tersebut.
Perbedaan antara dua kata yang kontroversial itu, yaitu difference dan differance, sebenarnya hanya dalam satu huruf saja. Kedua kata tersebut diturunkan dari bahasa Latin differre yang dapat diartikan “berbeda, menunda, atau menangguhkan”. Jadi perbedaan pokok antara kata-kata differance dan difference hanya terdapat di dalam kerangka ruang dan waktu. Derrida menghubungkan ruang dan waktu itu dengan pengertian ‘tanda dan penulisannya’. ‘Tanda’ menggantikan bendanya, yaitu benda yang ada, tanda ‘menyatakan kehadiran benda yang belum hadir’. Jika yang nampak itu tidak menyatakan dirinya, maka yang menyatakan dirinya hanyalah sesuatu yang lain, yaitu ‘tanda’. Jadi menurut Derrida ‘tanda’ menunjukkan ‘kehadiran yang tertunda’. Segera sesudah kita memehami halnya sendiri, melihatnya, maka tanda segera menghilang atau menghapus jejaknya.
Dengan kata lain ‘tanda’ adalah wakil dari bendanya. Makna juga seperti tanda, tidak mudah untuk dimengerti. Untuk memahami makna kita harus ‘menangguhkan’ atau menunda dulu sampai ada orang atau benda yang merasa layak atau pantas untuk memilikinya. Tetapi apa dan siapa yang pantas memiliki makna itu, masih belum jelas. Oleh karena itu pemahaman makna harus ditunda dulu. Proses ini oleh Derrida disebut sebagai ‘temporisasi’ atau pemberian waktu (untuk menunda).
Tanda tempatnya dalam ruang. Tanda dapat dengan mudah kita mengerti dan kita rasakan, seperti kata-kata ataupun tulisan. Kata-kata adalah tanda, demikian juga dengan bahasa, isyarat, dan sistem yang pada umumnya kita menegrti berdasarkan sejarahnya sebagai jaringan yang merupakan asal mula timbulnya perbedaan.
Tulisan untuk sementara waktu mendahului ucapan. Namun pada umumnya, kita berpandangan bahwa sebelum seseorang menuliskannya, ia terlebih dulu mengucapkannya. Derrida justru berpendapat sebaliknya. Tulisan itu barang mati, hanya merupakan jalan tengah antara maksud dan makna atau antara ucapan dan pemahaman. Inilah paradoks yang selalu dikumandangkan oleh Derrida, bahwa tulisan mendahului ucapan dan merupakan syarat awal sebuah bahasa. Maka kiranya lebih baik kita menyebutkan tulisan-ucapan dari pada ucapan-tulisan. Sebab menurut Derrida ‘tulisan’ itu bukan gambar sebagai hasil tindakan seseorang memindahkan gagasan-gagasannya. [27]

b.      Peranan Sejarah
Derida membicarakan sejarah melalui cara yang berbeda yaitu bukan sebagai deretan makna melainkan sebagai jejak yang bisa dilacak. Menurutnya, jika sejarah adalah jejak, maka orang yang tidak menyaksikannya tidak dapat berbicara apapun tentangnya. Sejak itu sejarah sosial adalah bisu, walaupun ia meninggalakan une cicracite sur la carte (bekas diatas peta). Jejak yang murni adalah differance. Tulisan dapat menjadi jejak yang bisu, namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan. Yang dapat mendahulukan tulisan daripada ucapan hanyalah yang berasal dari alam, bukan dari waktu. Tulisan adalah barang asing yang masuk ke dalam sistem bahasa. Sudah menjadi keyakinan umum bahwa penulisan abjad menghadirkan ucapan dan sesaat kemudian menghilang dibalik kata-kata yang diucapkan. Tulisan akan menghilang ketika ucapan mencapai kesempurnaannya dan akan sepenuhnya ditampilkan dalam pemindahan sistem penulisannya dan segera hadir pada subjek yang mengucapkannya dan pada ucapannya itu tulisan memperoleh arti isi serta nilainya.
Menurut Derrida meskipun seseorang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan yaitu makna yang tertunda kehadirannya, sudah terdapat di dalam tulisan.
Untuk dapat berbicara, kita harus dapat membedakan kata-kata. Namun, makna ucapan pembicara ditunda dulu sampai ucapan itu selesai. Oleh karena itu, dalam berbicara atau percakapan terdapat penantian dan harapan tentang makna yang semacam itu serta arti yang datang dan pergi sehingga akhirnya orang memahami pesan yang terdapat dalam ucapan. Pada dasarnya Derida ingin mengatakan bahwa tulisan juga merupakan suatu fait accompli, yang sudah selesai dan terlaksana ketika orang berbicara.
Penulisan adalah penyingkiran yang terus-menerus terhadap makna, yang mengatur dan menempatkan bahasa di bawah jangkauan pengetahuan yang sudah mapan dan murni. Jadi tulisan merupakan prasyarat bahasa dan dianggap mendahului ucapan.
 Derrida mengatakan bahwa gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap unsurnya tidak “hadir” atau tidak tampil. Yaitu muncul sebagai yang menampakkan diri dan berhubungan dengan hall-hal berikut ini, yaitu mempertahankan tanda unsur yang lampau dalam dirinya sendiri dan membiarkan dirinya dilipat oleh tanda pertaliannya dengan masa yang akan datang; jejaknya diketemukan tidak hanya pada masa yang akan datang, namun juga pada masa lalunya; dan menentukan kehaddirannya  melalui pertaliannya dengan sesuatu yang lain dan bukan dengan dirinya sendiri, bukan pula denga masa lalu, masa depan atau dengan masa sekarangnya yang sudah tergambarkan. Sebuah interval harus berada di antara yang ada (hadir) dan yang tidak hadir agar makna tampil dalam konteks saat ini.
 Bahasa menurut mite, diarahkan oleh hakikat entitas yang non linguistik. Mite disebut juga logosentrisme, yaitu hasil manipulasi yang sangat kuat dan sistematik terhadap bahasa. Oleh karena itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa orang dapat memahami hakikat instrinsik dari sebuah objek dan maknanya melalui bahasa. Tidak sesuatu makna pun dapat dihadirkan langsung dalam bahasa. Apa yang kita anggap hadir atau kelihatan tidak lain adalah konstruksi pikiran kita sendiri yang didasarkan atas konsepsi kita tentang apa yang seharusnya tidak tampak dari sesuatu hal. Jika Derrida mencoret sebuah kata untuk menandai bahwa yang kelihatannya ada itu sebenarnya tidak ada, ini memang dimaksudkan untuk menerangkan tentang tanda. Ia mengatakan bahwa archi-writing, proto-jejak atau differance tidak lain adalah ketentuan tentang kehadiran sesuatu yang tampak sebagai sintetis asli, tidak berasal usul, terdiri dari bekas-bekas, jejak-jejak yang dipertahankan. Ini juga merupakan pengaturan ruang dan sekaligus waktu.[28]
c.       Definisi Differance
Makna sebagaimana tanda, selalu tertunda. Kehadiran makna juga ditunda, atau dengan kata-kata lain, masih bergerak antara masa lalu dan masa yang akan datang seperti bila kita hendak menangkap makna ucapan seseorang. Differance juga berarti gerakan masa sekarang ke dalam masa lalu dan masa mendatang. Inilah sebabnya mengapa Derrida menyatakan bahwa differance itu tidak statis tetapi genetis. Differance pada dasarnya mengatasi kerangka waktu, tidak merupakan sekarang atau  masa lalu atau masa mendatang. Differance adalah awal-mula, sebuah proto-waktu, dan di bawah jangkauan ekstase waktu.
Ada empat macam definisi defferance, yaitu:
1)      Defferance
Defferance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang terdiri dari penundaan, karena penundaan, perutusan, penundaan hukuman, penyimpangan, penangguhan, penyimpanan. Dalam pengertian ini defferance tidak didahului oleh satuan yang asli dan individual dari  kemungkinan ada atau kemungkinan hadir yang kita tempatkan pada penyimpangan, seperti misalnya penangguhan harga yang disebabkan karena perhitungan tertentu atau karena kesadaran ekonomis. Kehadiran di nyatakan atau diinginkan dalam sifat representatifnya, tandanya atau jejaknya. Dalam pengertian ini pula defferance benar-benar merupakan penundaan atau penangguhan, tetapi masih tetap tanpa ekstase waktu.
2)      Gerakan defferance
Gerakan defferance adalah akar umum dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa misalnya sensibel-inteligibel, intuisi-makna, alam kebudayaan dan lain-lain. Dalam hal ini, defferance tetap merupakan unsur yang sama yang menimbulkan pertentangan atau perlawanan tersebut.
Derrida menyatakan bahwa defferance menciptakan perbedaan-perbedaan meskipun demikian, masih juga tetap menjadi akar semua pertentangan atau perlawanan atau oposisi. Dalam hal ini Derida mengambil gagasannya dari pandangan atau filsafat Hegel. Dalam bukunya yang berjudul Science of Logic, Hegel menyatakan bahwa jika perbedaan yang nyata menjadi ekstrem, maka jalan tengahnya adalah netralitas yang abstrak. Gerakan dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lain melibatkan ‘jalan tembus’ di antara dua momen yang benar-benar ada.
Hanya defferance-lah yang memungkinkan kita untuk melihat tanda sebagai kehadiran yang ditangguhkan dan defferance pula yang memungkinkan kita untuk menyeberang  ke ‘tengah jalan’ di antara dua ekstrem yang beroposisi seperti tinggi-rendah, rasa-akal, surga-bumi.
3)      Defferance
Defferance yang menghasilkan perbedaan adalah syarat dari semua makna dan struktur. Perbedaan-perbedaan yang dihasilkannya itu adalah akibat dari adanya defferance itu sendiri. Perbedaan-perbedaan itu ada secara nyata, bukan ada dalam khayalan atau angan-angan saja. Atas dasar ini semua, konsep tentang defferance bukanlah sekedar struktural genetik saja. Defferance bukanlah sebuah konsep yang hanya sederhana saja.
Definisi-definisi diatas sebenarnya ingin menekankan bahwa, bila defferance menghasilkan perbedaan-perbedaan (sebagaimana terdapat di antara dua hal yang bertentangan), perbedaan-perbedaan itu mendahului makna, baik yang struktur  ataupun yang genetis. Jadi tidak ada kerangka waktu yang terlibat di dalam defferance, selain proto-jejak atau proto-waktu. Defferance bukan konsep.
4)      Defferance
Defferance adalah berbeda secara khusus, tetapi perbedaan ini secara ontologis benar-benar ada dan tampak. Di sini sekarang jelas bahwa deconstruction dan defferance seiring berjalan. Desconstruction membatalkan ekspresi ganda seperti dalam ucapan/ penulisan. Bila orang berpikir dengan kata-kata konseptual atau logos, maknanya akan ditangguhkan sampai batas waktu tertentu dimana kata-kata yang diucapkan memindahkannya. Jadi dualitas subjektif-objektif harus mengalami denconstruction atau pembalikan prioritas, dengan maksud untuk mencapai nilai filosofis yang sebenarnya.[29]
d.      Pengaruh Strukturalisme
Aliran kefilsafatan yang lain yang mempengaruhi gagasan-gagasan Derrida adalah Strukturalisme. Banyak sejarawan yang mengatakan bahwa Derrida adalah seoran post-strukturalisme. Strukturalisme merupakan reaksi langsung terhadap aliran yang pada akhirnya disebut dengan eksistensialisme. Bila eksistensialisme mengagungkan manusia sebagai being  yang khusus, strukturalisme justru meremahkannya dengan mengatakan bahwa manusia itu sudah mati karena telah menjadi subjek sains. Jika eksistensialisme mempertahankan kebebasan manusia, strukturalisme menmyangkal eksistensinya sebab manusia itu hanya sekedar produk sebuah “struktur”. Lebih jauh lagi strukturalisme membuat cabang dalam pikirannya kedalam ilmu-ilmu lain seperti antropologi, sejarah, kasusastraan,  seni, ilmu bahasa yang kesemuanya itu di luar filsafat. Strulturalisme menyatakan bahwa setiap hal yang ada di bumi ini akan berhenti sifat misteriusnya jika orang sudah menemukan strukturnya yang tersembunyi.
Selanjutnya, Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur bahasa itu benar-benar ada. Terutama ia akan menolak argumen Noam Chomsky yang menyatakan bahwa bahasa itu diprogram ke dalam bahasa pikiran manusia dan manusia sebagai pembicara begitu saja mengikuti struktur tersebut. Menurutnya, makna tiak dapat disusun dimanapun juga dalam pikiran manusia. Ia ingin mengupas gagasan tentang “struktur”, karena struktur menentang kebebasan peran makna  di dalam teks apa saja.  Hal ini berarti bahwa orang dapat membaca kata-kata dalam sebuah teks, tapi ia tidak mungkin membaca makna dalam teks tersebut. Jika memang benar bahwa makna telah diprogram atau disusun dalam bentuk bahasa di dalam pikiran manusia, maka setiap orang yang berbicara akan membaca makna yang sama pula.
Dengan demikian makna bukan merupakan urusan struktur. Makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, dan oleh karena itu Derrida menentang pernyataan pakar linguistik struktural. Sebab jika makna sudah terbentuk di dalam bahasa, orang tidak akan membutuhkan hermeneutik atau interpretasi lainnya. Makna, sebagaimana terbawa oleh suara selalu memberikan penjelasan kepada pendengarnya. Tindakan mendengarkan masih tetap merupakan cara kerya penyelidikan hermeneutik. Hal ini berarti bahwa kebenaran tidak dapat menjadi kebenaran monolitik dari being selama masih ada kebenaran-kebenaran lain tampil di dalam sejarah berbagai zaman.[30]


e.       Gagasan tentang Hermeneutik
Setelah menimba gagasan dari Hegel dan Husserl, Derrida ingin menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah intensionalitas. Husserl menunjukkan perbedaan antara pikiran dengan yang  dipikirkan. Seperti seseorang yang melihat sebuah pohon, harus dibedakan antara “siapa yang melihat” dengan “dari sudut mana” pohon itu dilihat.  Oleh karena itu seorang tukang kayu dengan seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang dilihatnya itu. Dari realitas contoh tersebut Derrida melihat hubungan yang jelas antara fenomenologi dengan hermeneutik. Jika makna hanya muncul pada taraf yang paling dalam maka bahasa yang dipergunakan untuk bicara harus diselidiki, apakah bahasa ini keluar dari emanasi taraf pertama atau kedua. Dalam banyak hal kiranya cukup jelas bahwa bahasa dikatakan secara sambil lalu tanpa suatu unsur kesungguhan sedikitpun. Lalu bagaimana hermeneutmengenakan suatu nilai atau makna pada kata yang diucapkan itu?
Dalam hal ini pengertian Derrida tentang bahasa merangsang dia untuk membuat kritik. Ia mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna, namun tandanya berbeda-beda. Membaca teks pada hakikatnya merupakan perumusan kembali pandangan dunia yang terdapat dalam proses membaca. Kritik termasuk dalam pandangan dunia dari pengarang, sedang membaca termasuk dalam arti tanda-tanda dalam kata-kata. Jika kritik tidak dapat menyusup masuk ke dalam arus utama dari jalan pikiran pengarang atau jika gagal mendalami pandangan dunia dari pengarang, maka kritik itu tidak ada artinya. Dalam komunikasi terdapat bahassa “dalam” yang oleh Husserl disebut pernyataan murni. Melalui “fiksi” atau jenis pernyataan khusus yang mengarah pada khayalan, orang sampai pada bahasa dalam tersebut.
Hermeneutika adalah pemahaman dalam karya, tujuannya adalah membongkar rahasia pandangan dunia dari pengarang dan memungkinkan seseorang untuk menyadur bahwa esensi fenomenologis dari memahami tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan sendiri apa yang ia katakan. Pemberi tanda adalah orang yang dapatmerasakan nafas pengarang dan maksud dari isyarat atau melekat pada pengarang. Hermeneun kemudian berusaha melepaskan makna dari kata-kata yang diucapkan atau yang terrtulis tepat pada saat kata-kata itu diucapkan, ini dapat terjadi karena suara yang terdengar adalah identik dengan  kesadaran sedangkan untuk dapat dikatakan tulisan dalam arti yang sebenarnya maka teks tersebut harus berjuang untuk mengatasi “kematian” pembicara yang membawanya di dalam komunikasi oral.
Metode Derrida mengenai interpretasi memusat  di dalam bukunya yang berjudul La Dissemination. Dalam buku tersebut antara lain sebagai berikut: Sebuah teks tidak akan merupakan teks jika dalam pandanngan sekilas tidak menyembunyikan hukum-hukum komposisinya dan aturan-aturan permainannya. Teks tersebut harus selalu kelihatan seakan-akan sulit dimengerti. Hukum dan aturan-aturannya tidak boleh tersembunyi di balik rahasia yang sulit dipecahkan. Hukum dan aturan-aturan itu hanya tidak boleh kelihatandi dalam ”sekarang” terhadap segala jenis pesan dan persepsi. Bila rahasia hukum dan aturan-aturan tersebut terlalu cepat diketahui oleh akal, maka akan selalu timbul resiko. Dari pernyataan Derrida tersebut, dapat dilihat antsipasi persoalan yang dapat diperhitungkan di dalam hermeneutik. Teori interpretasi pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya juga merupakan teori tentang teks. Pemahaman seseorang tergantung pada bagaimana ia membaca teks. Atas dasar ini, maka teori membaca juga akan tergantung pada pemahaman.
Selanjutnya yang menjadi persoalannya adalah apa peranan pengarang dan pembaca di dalam interpretasi pada sebuah teks? Kemudian apa yang menjadi ukurannya jika dikatakan  bahwa teori interpretasi menggambarkan pengarang asli atau pembaca asli? Jika seseorang membicarakan tentang interpretasi, apa yang menjadi batasan tersebut? Apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan penerapan, kelayakan dan permainan?
Menurut Jean Greisch, semua pertanyaan tersebut harus dijawab oleh orang-orang yang membuat interpretasi. Hermeneut menghendaki jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi pendahuluan dalam karya interpretasinya. Gadamer manyatakan,bahwa teks bukanlah merupakan ujung interpretasi. Untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam perspektif yang semestinya, maka dari itu harus dibedakan antara tiga jenis teks berikut ini:
1)   Sebuah teks tertulis yang merupakan transkrip teks oral.
2)   Teks tertulis yang maksudnya hanya untuk dibaca bukan untuk didengarkan.
3)   Sebuah teks tertulis yang dimaksudkan untuk dibaca seperti sebuah teks  satra seperti yang banyak kita jumpai sekarang ini.
Sebuah teks oral yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teks tertulis pada dasarnya tidak memiliki ‘nilai tertulis” sebagaimana dimaksudkan untuk dibaca, seperti karya sastra. Jika seseorang berbicara, maka ia mengukuti atuiran-aturan berbicara yang tentunya berbeda dengan aturan-aturan membaca. Jika seseorang menulis, ia sadar akan kesatuan, koherensi dan hubungan logis antara gagasan-gagasan dan bab-babnya, pengaturan pemakaian kata-kata serta redundansinya. Jika terdapat teks yang dimaksudkan hanya untuk dibaca tetapi ternyata dibacakan untuk didengarkan, maka teks tersebut menghasilkan sesuatu yang sumbang dan seringkali menghasilkan makna yang berbeda bagi pendengarnya. Derrida lebih suka mengoperasikan teks tertulis pada jenis yang ketiga, yaitu teks yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai teks, sebab teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan tentang sintaksis, tata bahasa dan gaya bahasa.[31]



[1]Damanhuri, “Emilio Betti” dalam Hermeneutika Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Nafisul Atho’ (ed.), (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), h. 38-39
[2]Auslegung merujuk pada sebuah intrepretatif objectif sedangkan spekularive deutung atau spekulatif interpretation adalah sebuah penetapan yang dibangun pada intuisi dan koherensi internal dari a priori system yang dibangun.
[3]Damanhuri, Emilio Betti.,...h. 39-41
[4] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: KANISIUS, 2006)., h.  67-68.
[5] Ibid., h. 69
[6] Ibid., h. 81.
[7] Ibid., h. 71-76.
[8] Ibid., h. 81
[9] Supriyo Priyanto, Wilhelm Dilthey Peletak Dasar Ilmu-Ilmu Humaniora, (Semarang: Bendera, 2001), h. 9
[10]E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat,... h. 45-46
[11]Ibid., h. 47
[12]Ibid., h. 48-52
[13] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)., h. 44-49
[14]Ibid., h. 50
[15]Nafisul Atho’ Mahsun, “Martin Heidegger” dalam Hermeneutika Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies.,...h. 52-53
[16]Sugeng Ristiyanto, “Martin Heidegger”dalam Hermeneutika Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies.,...h. 78-79
[17]Nafisul Atho’ Mahsun, “Martin Heidegger” dalam Hermeneutika Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies.,...h. 55

[18] W. Poespoprodjo, Hermeneutika,... h. 66-67.
[19] Ibid., h. 68-69.
[20] Ibid., h. 70-73.
[21] Ibid., h. 74-75.
[22] Ibid., h. 75-78.
[23] Ibid., h. 80-81.
[24] Lihat di Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan Gadamerian, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA GROUP, 2008), h. 27-28
[25] W. Poespoprodjo, Hermeneutika,... h. h. 87
[26] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat,.... h. 115-116.
[27] Ibid., h. 120-122.
[28] Ibid., h. 124-126.
[29] Ibid., h. 126-128.
[30] Ibid., h. 129-130.
[31] Ibid., h. 130-134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar