TOKOH-TOKOH HERMENEUTIK
A.
Emilio Betty
1.
Biografi
Emilio Betti adalah seorang theology
modernis dan sejarawan hokum yang lahir di Italia pada tahun 1890 dan wafat
pada tahun 1968. Karya-karyanya antara lain: Die Hermeneutik als allgemeine
Methodik der Geisteswissenschaften, Zur Grendlegung einer allgemeinen
Auslegungslehre (sebuah manifesto hermeneutic-nya), dan Teori generale
della interpretazione.
Munculnya Betti ke pentas
ke-hermeneutik-an adalah debat terbukanya dengan beberapa tokoh hermeneutic
yang lain seperti Gadamer, Bultmann, dan Ebeling. Betti berupaya mengusung
bagaimana menempatkan sebuah pengalaman manusia secara objekti, dengan menyediakan
sebuah teori umum penafsiran terhadapnya, yang didasarkan pada asumsi bahwa
otonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis dalam membuat
suatu interpretasi yang valid.
Dalam merespon kritikan Gadamer,
Betti kemudia meluncurkan sebuah booklet (buku kecil) yang diberinya judul Die
Hermeneutik als allgemeine Methodik der Geisteswissenschaften. Dalam
booklet ini, Betti mengajukan dua kritik terhadap Gadamer, pertama, bahwa Gadamer tidak menyajikan sebuah
metodologi atau rencana metodologi untuk human studies. Kedua, apa yang
dilakukan Gadamer membahayakan legitimasi yang menunjuk pada status objektif
dari objek-objek interpretasi dan kemudia membuat pertanyaan-pertanyaan
objektifitas interpretasi itu sendiri.
Sebagai seorang sejarawan hukum, ketertarikan Betti terhadap hermeneutik
tidak lahir dari keinginan filosofis untuk mengungkap kebenaran sebuah karya
seni (Gadamer), atau keinginan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam
tentang kodrat yang ada (Heidegger), atau sebuah tekanan untuk menyelamatkan
makna ayat Bibel (Bultmann dan Ebeling). Betti
hanya bermaksud untuk membedakan antara cara atau model beragam interpretasi
dalam disiplin manusia dan untuk merumuskan kerangka fondasional dari
prinsip-prinsip yang dapat menafsirkan perilaku manusia. [1]
2.
Hermeneutika
sebagai Auslegung
Hermeneutik bagi Betti adalah sebuah
Auslegung, yaitu bagaimana mendapatkan sebuah penafsiran yang valid dan
objektif, bukan Deutung dan spekularive Deutung.[2]
Hermeneutika yang dibangun ini seperti keyakinan Betti, adalah sebagai an
intellectual discipline and educational training which is fundamental for life.
Keyakinan itu, karena sering kali terjadi ketika kita mencoba
menafsir sebuah teks yang ada distansi baik historis maupun cultural, dan
kemudian kita ingin mengetahui apa dan seberapa dalam makna yang dikandung oleh
kedalaman teks itu, apa yang mereka (pengarang) katakan. Dan apa yang melatar
belakangi lahirnya ide itu? Tentu, persoalan-persoalan itu membutuhkan sebuah
rekontruksi imajinatif yang dengan simpati dan wawasan, akan dibutuhkan bagi
pemahaman.
Dalam memahami sebuah interpretasi yang objektif ini, seperti yang
dikatakannya dalam Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der
Geisteswissenschaften, Betti menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah mengklarifikasi
perbedaan esensial antara Auslegung (penafsiran) dan Sinngebung (peran
penafsir dalam penyerahan makna terhadap objek). Karenannya,
penafsiran terhadap objek, bagi Betti merupakan sebuah objektivikasi dari
semangat manusia (Geist) yang diekspresikan dalam bentuk pikiran yang
sehat. Interpretasi kemudian membutuhkan pengakuan dan rekontruksi makna yang
pengarang itu sendiri telah
memasukkannya. Dengan kata lain, bahwa seorang penafsir harus melakukan
ziarah ke dalam subjektifitas asing dan dengan melalui suatu inverse proses
kreatif, kembali lagi pada ide atau interpretasi yang telah dimasukkan ke dalam
objek. Kemudian Betti melanjutkan bahwa berbicara tentang objektivitas yang
tidak melibatkan subjektivitas dari penafsir merupakan suatu yang absurd.
Namun subjektifitas sang penafsir harus menembus dari keasingan dan
ketidakjelasan objek.
Betti kemudian
menawarkan 4 momen dalam proses hermeneutic yang akan memfasilitasi pemahaman, pertama,
penafsir melakukan investivigasi fenomena linguistic dari pembicaraan atau
teks. Kedua, didalam mengkritik momen, penafsir harus menghindari dari
kepentingan social, ideology, komitmen, atau sumber-sumber yang intoleran yang
bias menghalangi pemahaman. Ketiga, seperti Schleiermacher dan khususnya
Dilthey, Betti juga menyarankan penafsir untuk menempatkan dirinya dalam posisi
seseorang untuk dipahami, dengan menggunakan imajinasi dan wawasan. Keempat,
melakukan rekontruksi untuk untuk memasukkan situasi dan dan kondisi untuk
memperoleh hasil yang ingin dicapai baik berupa ungkapan (dari percakapan),
atau teks. Seperti yang dikatakan Betti, bahwa meskipun konsepnya banyak
terkait dengan persoalan ‘retropeksi’ dan ’genetik’, ia juga memerlukan elemen
‘prospektif’ dan ‘evolosioner’. Prasarat-prasarat ini merupakan suatu yang
harus dilakukan dan pemahaman terhadapnya merupakan suatu yang terus menerus, on
going process, dengan selalu membuka pandangan dan sikap yang jumawa dalam
mengoreksi dan memperbaikinya.
Menanggapi teori Hermeneutik yang diajuka Betti di atas, bahwa pemahaman
terhadap teks baik dalam pengertiannya yang luas (alam semesta), atau dalam
arti yang sempit (teks itu sendiri) dapat diberikan suatu penafsiran yang
objektif dengan melakukan prosedur-prosedur seperti yang ia kemukakan di atas
yang pada akhirnya bagaimana seorang penafsir mampu berbuat seperti yang apa
yang telah dilakukan pengarang teks itu sendiri atau malah melampauinya. Dengan
memposisikan pengarang dan teks itu dalam wilayah partikular-historisnya. [3]
B.
Hans Georg Gadamer
1.
Biografi
dan Latar Belakang Pemikirannya
Hans Georg
Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Dia mendapatkan pendidikan filsafat
di kota kelahirannya antara lain pada Nikolas Hartman dan Martin Heidegger,
serta mengikuti kuliyah pada Rudolf Bultmann, seorang teolog protestan yang
cukup terkenal.
Gadamer
memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi
profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga
pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti
dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya
asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik,
Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan
lain-lain.[4]
Sebagai anak
seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di
sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan
para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama
kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin
Heidegger, yang saat itu merupakan seorang
sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia
kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan
posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang
memberikan Gadamer pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari
pengaruh-pengaruh neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer
menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk
memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich
Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang
dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya
menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan
pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang
komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena
itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt
am Main dan kemudian menggantikan Karl
Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga
kematiannya pada 2002.
Pada saat
itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method
("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang
terkenal dengan Jürgen
Habermas megnenai kemungkinan dalam
mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang
benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat.
Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari
hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama
membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques
Derrida ternyata kurang memberikan hasil
karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer,
Derrida menyebut kegagalan mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam
hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya
yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.[5]
2.
Hermeneutika
Gadamer
Menurut
Gadamer, hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Artinya,
kajiannya bertumpu pada apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkan
sebagaimana adanya. Sedangkan wilayah hermeneutika terletak pada perjumpaan
antara masa kini dan masa lalu.
Pemahaman
sebenarnya bukan sebuah proses subjektif manusia, bukan suatu metode
objektivikasi, juga bukan suatu pencarian keterangan tentang suatu objek.
Tetapi, pemahaman merupakan suatu peristiwa terbuka, tidak ada ketentuan
sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi,
sesuatu yang dipahami membuka berbagai kemungkinan reformasi. Di samping itu,
pemahaman menurut Gadamer juga bersifat parsipatorik pada suatu warisan budaya.
Pemahaman masuk pada masa transmisi, masa lalu dan masa kini senantiasa
diperantarai. Dengan demikian, pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan,
bukan manipulasi dan pengendalian. Metode tidak sanggup membuka kebenaran baru,
sehingga metode hanya akan ditemukan dalam dialektika.
Di sini
terlihat bahwa Gadamer menempatkan cakupan hermeneutika sebagai eksplorasi
filosofis tentang karakter dan kondisi mendasar-fundamental dari semua
pemahaman serta menolak anggapan bahwa tugas hermeneutika adalah investigasi
metodologis ke dalam ilmu-ilmu sosial dan disiplin lainnya.
Dalam
pemahaman, Gadamer tidak menyetujui hermeneutika romantik yang meletakkannya
pada psikologi pengarang. Sebab, menurut Gadamer, bagaimana mungkin orang dapat
keluar dari situasi zamannya sendiri untuk masuk ke dalam suasana zaman lain. Merupakan suatu hal yang mustahil orang dapat
meninggalkan prasangka-prasangka dan situasi psikis dan sosiologis yang
mengitarinya lalu masuk ke dalam suasana lain.
Oleh
karena itu, upaya memahami sebuah teks bukanlah dalam rangka meraih makna
otentik dari sebuah teks atau makna yang dikehendaki sang pengarang. Suatu
pemikiran hermeneutika sejati harus mempertimbangkan historikalitasnya sendiri,
konteks kekinian sang penafsir. Dengan demikian, pemahaman tidak semata-mata
reproduktif, namun sebuah proses yang sangat produktif, dan kerja-kerja
penafsiran akan selalu berubah selama sejarah penerimaan tentang apa dipahami
oleh pembaca.[6]
Dalam
pandangan Gadamer, ada empat faktor yang selalu terlibat dalam suatu proses
interpretasi, yaitu:
a) Bildung (kebudayaan), yakni pembentukan jalan
pikiran. Maksudnya adalah bentuk atau jalan pikiran yang mengalir secara
harmonis. Dalam kaitannya dengan proses penafsiran, misalnya bila seseorang
membaca suatu teks yang termasuk dalam ilmu-ilmukemanusiaan seperti sejarah,
sastra, dan filsafat, maka keseluruhan pengalaman akan ikut berperan. Dua orang
yang berbeda latar belakang kebudayaan, usia, atau tingkat pendidikannya tidak
akan melakukan interpretasi dengan cara yang sama.
b) Sensus cummunis, Istilah ini digunakan Gadamer
bukan dalam pengertian ‘pendapat umum’, tetapi sebagai ‘pertimbangan praktis
yang baik’. Mengerti konsep ini penting untuk hidup bermasyarakat. Karena hidup
di dalam masyarakat mempertimbangkan suatu pandangan tentang kebaikan yang
benar dan umum. Sejarawan memerlukan sensus cummunis dengan maksud untuk
memahami arus yang mendasari pola sikap manusia. Sejarah pada dasarnya tidak
berbicara tentang seorang manusia yang hidup terpencil.
c) Pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang
khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan.
d) Taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang
berhubungan dengan macam-macam rasa. Namun dengan keseimbangan antara instink,
panca indera, dan kebebasan intelektual, sikap ini dapat membuat diskriminasi
terhapap hal-hal yang bertentangan dengan yang indah dan yang baik.[7]
Gadamer
juga membawa problem hermeneutika ke wilayah linguistik, lebih dari sekedar
pemahaman historis secara filosofis. Argumennya, bahwa esensi (being) itu
bereksistensi melalui bahasa dan karenanya ia bisa dipahami hanya melalui
bahasa. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan tradisi sekaligus media untuk
memahaminya. Proses hermeneutika untuk memahami tradisi melalui bahasa lebih
dari sebuah metode. Pemahaman bukanlah produk metode; metode tidaklah merupakan
wahana yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru akan dicapai jika
batas-batas metodologis dilampaui. Dengan demikian, bahasa mempunyai posisi
sentral sebagai media yang menghubungkan cakrawala masa kini dengan cakrawala
historikal.
Bahasa
menurut Gadamer berfungsi pengungkapan kenyataan. Bahkan lebih tegas dikatakan
ada yang dapat dipahami dan diketahui secara umum, yaitu bersifat komunikatif
jika pikiran membahasa. Lebih lanjut, bahasa adalah realitas yang tidak
terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, dan pemikiran. Maka, bahasa juga
tidak pernah ditangkap sehingga “faktum” atau realitas empirik, tetapi juga
prinsip, perantaraan pengalaman (die mitle) dan cakrawala ontologi. Kenyataan
bahasa tradisi adalah bersifat kebahasaan, maka jelas memiliki
konsekuensi-konsekuensi hermeneutik, yaitu pemahaman itu sendiri bersifat
kebahasaan. Dengan demikian, bahasa dan pemikiran membentuk kategori-kategori
untuk membangun dan kemudian menafsirkan realitas di sekeliling kita. Tanpa
bahasa dan kategori, maka dunia tidak memiliki struktur dan akan kehilangan
absurd. Bayangkan, kalau otak kita tidak mengenal kategori panjang-lebar,
besar-kecil, lama-baru, tinggi-pendek, dan sebagainya, maka dunia sekitar sulit
dipahami dan dikomunikasikan.
Secara paradoksial, Gadamer menegaskan bahwa suatu
interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampu menghilang di balik
bahasa yang digunakan. Maksudnya adalah terjemahan itu akan tepat bila
pembacanya mengalami suatu kehalusan dan irama bahasa yang teratur atau dengan
kata lain terjemahan akan terasa indah sekali bila tidak setia pada
bahasa aslinya dan bila setia, maka terjemahan itu tidak indah lagi. Artinya
terjemahan yang baik bila tidak menurut kata per kata, tetapi disesuaikan
menurut ragam bahasa sendiri.
Dalam berbicara, interpretasi bagaikan terjemahan.
Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau
dokumen tertulis saja, melainkan juga benda-benda yang bukan bahasa seperti
patung, komposisi musik, lukisan-lukisan dan lain-lain. Sebenarnya orang yang
menggunakan bahasa atau tidak dalam kegiatan interpretasinya tidak dapat
diketahui dengan pasti, namun kita tahu bahwa ada pola-pola bahasa yang tersembunyi
di balik semua itu. Sehingga Gadamer menyatakan bahwa yang dimaksud ‘bahasa’
adalah bahasa penalaran itu sendiri.[8]
C.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)
1.
Riwayat
hidup
Wilhelm
Dilthey lengkapnya Wilhelm Christian Ludwig Dilthey lahir
pada tanggal 19 november 1833 di Bierbrich am Rhein.
Ayahnya adalah seorang pendeta protestan dan menjadi pejabat gereja protestan Duke dari Nassau,[9]
sedangkang ibunya adalah seorang putrid dirigen dan karenanya menjadi penggemar
music juga, Dilthey mewarisi sifat musical dari ibunya itu dan sangat piawai
dalam komposisi dan permainan piano.
Setelah
mnyelesaikan pendidikan lokal, Dilthey
meneruskan pendidikan lanjutannya di Weisbaden dan pada tahun 1852 pergi ke
Heidelberg untuk belajar teologi di sana. Kedua orang tuanya menginginkan
Dilthey untuk menjadi seorang pendeta, akan tetapi ternyata dia lebih tertarik
pada sejarah dan filsafat. Untuk menekuni kedua bidang tersebut, ia mampu
bekerja selama 12-14 jam dalam sehari. Ia mempelajari bahasa Yunani, Ibrani dan
Inggris, bersama teman-temannya ia mempelajari karya-karya Shakespear, Plato,
Aristoteles, dan Agustinus.
Ketika
menjadi mahasiswa beliau sangat tertarik pada karya Schleirmacher dan mengagumi
seluruh kehidupan intelektualnya. Dilthey kagum pada Schleirmacher terutama
karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan
dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahan dan
interpretasinya atas dialog Plato. Pada tahun 1864 Dilthey memperoleh gelar
Doktor dan tetap mengajar di Berlin. Tahun 1868 ia meninggalkan Basel dan
menjadi professor di sebuah universitas kecil, yaitu universitas Kiel.
Pada
tahun 1896 ia terserang penyakit yang disebutnya sendiri dengan istilah
“nervous origin” serta terkena gejala ‘insomnia’. Suatu hari Dilthey berlibur
dan menginap di sebuah hotel di Seis di mana ia terserang infeksi dan meninggal
dunia pada tanggal 30 September 1911. [10]
2.
Latar
Belakang Pemikiran tentang Hermeneutik
Dilthey
adalah seorang filsuf yang menaruh perhatian pada sejarah. Ia seakan-akan telah
mematri sejarah dan filsafat menjadi satu dengan maksud untuk mengembangkan
pandangan filosofisnyang komperehensif dan yang tidak terjaring oleh dogma
metafisika dan tidak diredupkan oleh prasangka.
Dilthey
berambisi untuk menyusun sebuah dasar epistimologis baru bagi pertimbangan
sejarah. Proyek ini berkisar pada gagasan tentang komprehensi atau pemahaman
yang memandang dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam (interior) dan wajah
luar (eksterior). Spiritualisme sebagai bagian wajah dalam (interior) dan
realisme sebagai bagian dari wajah luar (eksterior). Dilthey mencoba meninjau
peristiwa sejarah dari dua sudut pandang, yaitu secara eksterior dan interior.
Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau
tertentu. Secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau
keadaan sadar. Kedua dimensi itu dalam keadaan saling bergantung satu sama
lain. Seringkali yang memberi nilai pada dimensi eksterior suatu peristiwa,
yaitu tanggal dan tempat adalah nilai yang berasal dari kesadaran kita sendiri,
yaitu dimensi interior. Atau dapat terjadi dimensi eksterior, di mana sebuah
peristiwa sejarah sedemikian mempengaruhi kesadaran sehingga sedikit banyak
menutupi keadaan sadar itu.[11]
3.
Hermeneutik
dan Ilmu Sejarah
Pada
mulanya Dilthey mengingin kan kritik historis terhadap akal menjadi kritik
dasar atas akal historis yang dapat diumpamakan dengan ‘kritik terhadap akal
murni’ dari Immanuel Kant. ‘Kritik’ Dilthey adalah suatu konstruksi spekulatif
yang dimaksudkan untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami
dengan lebih mendalam dari pada sekedar penelitian historis. Maka untuk memulai
karyanya Dilthey mulai dengan meyakini bahwa data empiris menunjukkan
‘pola-pola’ atau hubungan-hubungan yang member makna pada pengalaman hidup
kita. Eksplorasi manusia dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan moral, seni,
puisi, agama dan filsafat membawa Dilthey ke pembahasan filsafat sejarah yang
diarahkan untuk memahami manuisa dan memancing munculnya kesadaran manusia
sendiri.
Dilthey
ingin membangun sebuah sistem. Sistem-sistem kemasyarakatan sifatnya adalah
eksternal karena ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi-organisai
social, politik, ekonomi, militer, teknologi dan bahkan organisasi keagamaan.
Semua organisasi tersebut mengandung sistem nilai-nilai yang didasarkan atas
kebudayaan misalnya: bahasa, filsafat, dan seni. Sistem individual pada
dasarnya merupakan produk produk sistem yang telah diresapi oleh manusia. Jadi,
hanya pengetahuan tentang sistem eksternal sajalah yang akan mampu meraih
interpretasi historis objektif tentang
situasi historis setiap individu.
Yang
menjadi sasaran Dilthey adalah memahami person yang menyejarah. Pemahaman atas
sistem yang dihasilkan oleh person individu adalah mutlak bagi sasaran tersebut
sebab person tidak lain adalah produk dari suatu sistem social atau eksternal.
Oleh karena itu, menurut Dilthey sistem eksternal adalah basis pemahaman
historis. Yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas
kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam
sistem-sistem eksternal dari organisasi-organisai social politik dan ekonomi
dengan dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan atau mantap.
Namun kegiatan-kegiatan individu juga merupakan indikasi atau petunjuk ke arah
faktor-faktor psikologinya. Seorang interpreter atau penafsir tidak dapat
mengesampingkan begitu saja psikologi tingkah laku.
Sementara
seorang individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya, seperti
sejarah, keluarga, dan peraturan-peraturan kemasyarakatan, individu ini
sekaligus juga merupakan person psikologis yang mampu merusak lingkungan
eksternal atas dasar alasan pribadi. Menurut Dilthey, lingkungan eksternal
maupun kejiwaan internal seorang person harus dilihat secara seksama dengan
maksud untuk memahami perilakunya.
Dilthey
membedakan dengan tajam antara ilmu pengetahuan tentang alam (Naturwissenschaften)
dengan ilmu pengetahuan tentang batin manusia (geisteswissenschaften).
Dilthey menganggap perbedaan itu sangat penting, karena pada kenyataannya kedua
jenis ilmu pengetahuan itu menggunakan metode atau metodologi pembahasan yang
berbeda satu sama lain. Ilmu pengetahuan tentang alam mempergunakan metode
ilmiah dan merupakan ilmu pasti yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan
menggunakan metode yang sangat ketat. Sedangkan ilmu pengetahuan tentang hidup
(manusia) tidak dapat diterapi metode-metode ilmiah seperti pada ilmu-ilmu
eksakta sebab ilmu-ilmu ini berhubungan dengan manusia.
Untuk
dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan lainnya, maka pemahaman
terhadap diri sendiri adalah mutlak. Pemahaman tentang geisteswissenschaften
tergantung terhadap pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat
dijangkau oleh metode ilmiah.
Menurut
Dilthey, hermeneutic adalah dasar dari geisteswissenschaften, sehingga
dia menganjurkan kita menggunakan hermeneutic. Berkenaan dengan keterlibatan
individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, ia merasa perlu
memiliki tipe memahami yang khusus. Meskipun orang dapat menyadari keadaan diri
sendiri melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk
membuat interpretasi atas ekspresi tersebut. Dan hermeneutic hanya akan bekerja
jika ekspresi atau ungkapan-ungkapan tersebut tidak asing atau sudah kita
kenal. Eksegesis atau interpretasi akan sulit dilakukan jika ungkapan-ungkapan
tentang kehidupan itu dirasa asing.[12]
4.
Proses
Pemahaman
Pemahaman
menurut Dilthey adalah nama untuk proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat
ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indra. Pemahan yang baik perlu
disertai rasa penuh pengertian terhadap ekspresi yang dihadapi. Karena itu
Dilthey menekankan pentingnya rasa simpati (sympathie, das miterleben)
dalam proses pemahaman. Memahami (verstehen) adalah ,mengetahui yang
dialami orang lain lewat suatu tiruan (nachbild) pengalamannya. Jadi, verstehen
adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman orang llain
dalam diri kita. Ketika dihadapkan pada ekspresi pengalaman orang lain maka,
kita akan melakonkan pengalaman yang sama sesuai dengan kesadaran kita sendiri
dan hal tersebut diproyeksikan pada orang yang sebenarnya mempunyai pengalaman
tersebut. Kita dapat melakonkan kembali pengalaman tersebut karena kita
memiliki struktur kejiawaan yang sama di mana pengalaman yang terwujud pada
orang tersebut merupakan sesuatu yang dapat diwujudkan dalam diri kita.
Dilthey
mengakui bahwa prinsip koherensi dapat diterapkan pada bidang pemikiran, terlebih lagi dapat diterapkan
dalam bidang pemahaman (verstehen), karena pikiran (jiwa) manusia adalah
suatu kesatuan hidup yang masing-masing bagiannya dijiwai oleh sifat
keseluruhannya.
Bilamana
kita memahami dengan memproyeksikan diri kita pada objek, berarti kita memahami
objek sebagai keberadaan yang juga kesatuan itu. Dilthey dalam hal ini suka
memperlawankan human studies dengan ilmu alam. Pengetahuan kita tentang
dunia fifikal berasal dari data indra (sense data) yang
terpisah-pisahkan. Di dalamyan tidak terdapat kesatuan atau koherensi objektif.
Pikiranlah, begitu penjelasan Kant yang sedikit member keteraturan. Tetapi, di
dalam pikiran (jiwa) terlihat adanya kesatuan. Ia terdapat di dalam
pengalaman-pengalaman serta tersembul di dalam pemahaman. Selama bekerja dengan
prinsip tersebut, kita tidaklah memaksakan suatu analisis arti pada fenomena,
tetapi menelusuri fenomena itu sendiri.
Pemahaman
(verstehen) adalah sumber dasar. Dan pada sumber dasar tersebut kita
senantiasa harus kembali guan memperoleh kekuatan dan kepastian baru dalam
penglihatan. Betapapun juga arti kebenaran umum dan pemikiran kasual dalam
rangka ‘menangkap’ sesuatu atau seseorang di masa lampau, pendekatan yang
setepatnya dan bahkan paling objektif adalah pendekatan yang paling subjektif,
yakni menghidupkan kembali di dalam diri kita hal yang kita pelajari.
Ciri
yang menonjol dari proses pemahaman adalah bahwa proses ini menafsirkan seluk beluk kehidupan jiwa di
dalam pola pengalaman atas keseluruhan Jika
ekspresi khusus tertentu ditangkap, terwujud suatu Nachbild khusus.
Secara seketika, seluruh sistem struktural yang kita alami sebagai suatu
keseluruhan tergelar menjadi latar belakangnya. Seluk beluk suatu periatiwa
yang tidak terungkap dalam ekspresi tersebut, dibentangkan lewat pengalaman
kita atas keseluruhan.
Akan tetapi verstehen bukan berati mempunyai gambaran eksak proses
mental lain. Dari segi unsur waktu saja hal itu sudah tidak mungkin terjadi.
Memahami (verstehen) sesuatu niscaya mencakup pengertian memahami
hal tersebut sebagai suatu keseluruhan. Dan menghidupkan kembali suatu proses
mental yang panjang hingga ke seluk-beluknya niscaya menimbulkan kesulitan
dalam memahami keseluruhan.
Jika kita membaca suatu cerita, peristiwanya
mirip dengan jika kita menatap hidup itu sendiri. Dengan bergeraknya membaca
kita, hal yang sudah lewat dibaca menjadi kurang cerah dan jelas berbeda-beda.
Kita tidak mungkin lagi mempunyai gambaran sejelas ketika sedang membaca. Dengan demikian, prinsipnya adalah
memegang zussamenharg (kaitan) kisah, hingga kita mempunyai pandangan
yang menyatu tentang seluruh kisah. Dengan sendirinya kita hanya mempunyai satu
garis besar. Garis besar perlu diperluas jika kita menghadapi sejarah. Seluk
beluk kejadian niscaya diteropong dalam pola-pola yang dapat mewakili kumpulan
seluk-beluk kejadian, hingga yang ditangkap bukan kejadian yang terpisah-pisah,
melainkan strukturnya.[13]
5. Proses Hermeneutik
Tugas hermeneutik bagi Dilthey adalah
melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah
aman dari penyelundupan pandangan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sebelum analisi arti yang sesungguhnya dimulai, dituntut adanya suatu latar
belakang penegetahuan. Penegtahuan tersebut harus bersifat gramatikal
(kebahasaan) serta bersifat sejarah. Maksudnya agar kita mempunyai alat dalam
mempertimbangkan karya yang ada, mengenai lingkungan munculnya karya dan bahasa
yang dipakai dalam karya tersebut.
Setiap bagian dari suatu karya sastra hanya
dapat ditangkap lewat keseluruhannya, sedangkan sebaliknya keseluruhan hanya
dapat ditangkap bagian-bagiannya. Setiap bagian suatu karya sastra dapat
mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata selain istilah-istilah teknis
tertentu senantiasa dapat berarti lebih dari satu. Ekuivokasi kata atau arti
bermacam ragam yang dapat menimbulkan kata dapat memberikan berbagai ragam
kemungkinan. Arti suatu kata di dalam kesempatan tertentu ditentukan arti
fungsionalnya oleh suatu konteks. Begitulah keadaannya dengan kata, demikian
pula dengan kalimat, paragraf, bab, dan seluruh bagian struktural suatu buku.
Arti suatu buku dapat terungkap secara lebih
penuh lewat karya-karya lain si pengarang dan arti karya-karya lain tersebut
dapat dibaca lewat hidup dan watak si pengarang. Dari kenyataan tersebut
selanjutnya dapat dipertimbangkan
keadaan-keadaannya dan waktu ia hidup. Kemudian tulisan-tulisannya
dilihat sebagai kejadian-kejadian dalam suatu proses sejarah budaya atau
sejarah sosial yang jauh melampaui dirinya dan merupakan bagian kisah besar
umat manusia.
Tujuan
akhir dari setiap Hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang
melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri. Dengan kata lain, seorang
sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di
mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih bila
dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abab sesudahnya. Namun
pandangan semacam ini bisa dianggap keliru juga. Sejauh prasangka dan
keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat
segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya
terjadi.
Selain
menggunakan data-data sejarah yang telah diperoleh, seorang sejarawan juga
harus menggunakan intuisi, sebab keseimbangan antara rasio dan rasa harus
dibuat, mengingat bahwa yang rasional itu belum sepenuhnya benar. Oleh karena
itu, Dilthey kemudian menekankan supaya psikologi tentang individu masuk dalam
hermeneutic. Bahkan segala hal yang dianggap remeh dalam tingkah laku manusia
diperhatikan juga oleh hermeneutik.
Karena
seorang hermeneutic atau penafsir menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan
waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia mengambil apa
saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Di dalam hermeneutic, baik penafsir maupun
yang diinterpretasikan sama-sama mempunyai andil besar pada interpretasi yang
benar. Dualitas peran inilah yang menentang kesimpulan yang sempit dan ilmiah.
Sudah seharusnyalah hermeneutic menjadi metode dari Geisteswissenschaften.
Sebab metode-metode ilmiah sama sekali tidak dapat digunakan untuk membahas
sejarah, kesustraan, filsafat, agama, seni, politik, dan ilmu pengetahuan
sosial lainya. [14]
D.
Martin Heidegger
1.
Sketsa
Biografi dan Karya-karyanya
Martin
Heidegger berasal dari keluarga yang sederhana. Ia dilahirkan di kota kecil
Messkirch pada tanggal 26 September
1889. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi Katholik Roma yang ketat,
di mana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Katolik Santo Martinus. Ia
mengikuti sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg im Breisgau. Pada tahun
1909 ia masuk Universitas Freiburg untuk belajar di Fakultas Teologi. Setalah
mempelajari teologi selama 4 semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan
seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah-kuliah
tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Heidegger
memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun
1913 dengan disertasi tentang Die Lehre vom Urteil im
Psychologismus (ajaran tentang putusan dalam psikologisme). Pada tahun 1916 Heidegger mulai belajar filsafat
Fenomenologi kepada Husserl, bahkan menjadi asistenya. Disamping itu selama
tahun 1916-1919, Heidegger mencoba mengkaji dogma-dogma Katolik yang rigid dan
menggerakkan dogma-dogma tersebut ke faham Protestan liberal.[15]
Pada
tahub 1923 dia diangkat menjadi professor filsafat di Universitas Marburg. Di
sini ia menerbitkan karya utamanya Being and Time (Sein und
Zeit,1l927). Dia kembali ke Freiburg pada tahun 1928 untuk menggantikan
Edmund Husserl. Pada tahun 1933 dia memperoleh jabatan rektor pada universitas
Freiburg. Merasa kecewa dengan rezim yang ada, dia berhenti dari jabatan rektor
pada tahun 1934 tetapi tetap mengajar sampai pensiun pada tahun 1957. Dia
meninggal pada tanggal 26 mei 1976 dalam usia 87 tahun.
Kehidupan
keagamaan Heidegger cukup menarik. Karena kebingungan antara berserah diri
kepada Tuhan atau hidup di jalan penemuan filsafat yang bebas, dia memilih
hidup bersama kelompok Jesuit, pengikut agama yang terkenal taat beragama dan
disiplin intelektual. Pada tahun 1920an, karena pengaruh skeptisisme Kristen
Hans Oeverbeck, Heidegger kehilangan imannya dan mulai menyatakan
independensinya terhadap struktur teologis. [16]
Disamping
karya menumentalnya sein un zeit, sebagaimana tersebut di atas,
Heidegger menerbitkan banyak karya lagi
yang kebanyakan menyajikan salah satu ceramah atau serangkaian ceramah
yang pernah dibawakannya seperti kant und das problem der Metaphysik (Kant
dan problem Metafisika, 1929), Was ist
Metaphysic (apakah Metafisika ?, 1929), Holzwege
(jalan-jalan buntu, 1950), Identitat und Differanz (identitas dan
perbedaan, 1957)[17] dan masih banyak karya lainya.
2.
Pemahaman
akan Ada
Beratus tahun
sudah orang bicara tentang ada-khusus, tetapi menurut keyakinannya, ia telah
berbicara tentang Ada. Sejak Plato, tidak ada yang mengangkat kembali masalah
metafisika yang begitu mendasar dan menetukan sebagai tema penyelidikan dan
pemikiran yang benar-benar. Padalah masalah ada adalah masalah kunci dalam
bicara, tentang kebenaran dalam perspsktif yang lebih luas dan benar.
Ada dan
kebenaran mempunyai kaitan yang begitu erat. Pertanyaan tentang arti ada selalu
secara langsung, sekaligus, tidak boleh tidak, pertanyaan tentang esensi
kebenaran. Oleh karena itu, Heidegger menugasi dirinya untuk mngangkat masalah
Ada dengan cara lain dan benar. Ada tidak dapat didekati secara apriori.
Ada mempunyai cara berada yang khas. Kembali ke bagaimana seharusnya Ada
didekati, tidak dapat ditawar.
Berhubung
manusia adalah mediasi terjadinya peristiwa Ada, lankah metodologis terawal
adalah membuka struktur eksistensial atau kategori-kategori fundamental wujud
manusia (Dasein). Analisis wujud manusia yang analisis ontologis
mendahului semua analisis ilmiah manapun, merupakn suatu catatan pengantar yang
tidak dapat ditawar bagi ontologi, filsafat tentang Ada. Diamati dengan lebih
cermat, berbeda dengan pendapat kebanyakan kritisi, Heidegger tenyata sangat
kokoh dalam bertumpu pada kenyataan sebagaimana adanya.
Meskipun
Heidegger bermaksud memberikan suatu struktur ontologis yang sah secara umum,
ia juga menandaskan bahwa eksistensi yang dikajinya adalah eksistensi manusia
konkrit individual yang ada ini. Menurut analisisnya, manusia berbeda dengan
makhluk lainnya, bukan karena ia animal
rationale tetapi karena manusia
adalah pemahaman akan ada (seinsverstandnis). Makhluk lainya tidak mempunyai pemahaman
akan Ada.
Wujud manusia tanpak menonjol berbeda dari entitas-entitas lain atas
dasar kenyataan bahwa di dalam keberadaannya, Ada merupakan sesuatu yang pokok
dan senantiasa muncul mengitarinya, bersamanya. Manusia sejak mula sudah
berurusan dengan Ada. Manusia adalah pemahaman akan Ada. Ia ditentukan oleh
pemahaman akan Ada.
Pemahaman akan Ada, bukan suatu kecakapan, bukan sekedar sesuatu yang
terkadang dimiliki oleh manusia. Pemahaman akan Ada adalah keterbukaan terhadap
Ada. Secara ontologis ia satu struktur dengan manusia. Manusia sejak mulabegitu
dekat dengan Ada, senantiasa akrab bercengkrama dengan Ada, senantiasa
mengundang untuk di eksplisitkan dan diartikulasikan untuk dibuat menderita.
“membuat memberita” itulah pengertian hermeneutika dari kata kerja
Yunani hermeneuein.[18]
3.
Hermeneutika
Falsafi
Dalam sein und zeit, Heidegger memberikan definisi baru tentang hermeneutika. “Fenomenologi” wujud manusia adalah suatu hermeneutika
di dalam arti premordial/ mula pertama dari kalimat tersebut, manakala ia sibuk
menafsirkan. Karena bagi Heidegger, fenomenologi bertugas menguak Ada dan wujud
manusia adalah hal yang harus diteliti agar pertanyaan ontologis tentang ada
dapat dihampiri, menurut arti pertamanya, hermeneutika adalah fenomenologi
wujud manusia. Tetapi, analitika struktur universal eksistensi tetap diabdikan
bagi suatu hermeneutika yang akhirnya berurusan dengan pertanyaan tentang arti
Ada sebagai Ada. Dalam arti inilah, hermeneutika berarti ontologis. Dengan
demikian, hermeneutika menjadi hermeneutika filsafati karena hermeneutika
dikaitkan dengan masalah yang mengkaji tentang Ada dan peninjauan tentang wujud
manusia yang tidak dapat melepaskan pertanyaan tentang Ada.
Hermeneutika menurut heddeger juga mempunyai tugas lain yakni
“menunjukkan cakrawala bagi setiap studi lebih lanjut tentang semua entitas
yang tidak mempunyai ciri wujud manusia”. Manusia adalah satu-satunya
ada-khusus yang mempunyai kualifikasi sebagai pangkal tolak untuk meneliti Ada.
Kunci-kunci untuk menguak Ada terdapat pada manusia. Jika struktur-struktur
dasar manusia dan arti Ada berhasil diungkap, terbukalah perspektif-perspektif
yang luas. Dengan demikian, Heidegger membuka kemungkinan penerapan
hermeneutika yang bermutu falsafati pada semua ada-khusus lainnya.
Wujud manusia sebagai suatu entitas dengan kemungkinan eksistensi
berarti mempunyai prioritas ontologis diatas entitas lainnya. Maka analitika
eksistensialitas eksistensi yang disebut sebagai hermeneutika dalam arti ketiga
mempunyai arti secara filsafati primer.
Dari definisi-definisi diatas jelas bahwa Heidegger telah menegaskan pengertian
baru dari hermeneutika. Hermeneutika Heidegger bukan metodologi filologik,
bukan pula metodologi geisteswissenschaften menurut pola Dilthey. Hermeneutika bukan lagi
sekedar pembinaan sikap (membuka diri, peningkatan, kemampuan, mendengar,
menyingkirkan segala bentuk prasangka) atau ketrampilan yang senantiasa perlu
ditingkatkan (kesanggupan membaca dengan kritis, kesanggupan menghindari salah
paham, kesanggupan menerapkan aturan-aturan hermeneutika), tetapi merupakan
ciri hakiki manusia, yakni bahwa hermeneutika adalah tanda khas yang sebenarnya
dari manusia yang sebagai nur alami (lumen naturale) membuat Ada dari setiap ada-khusus memberita.
Wujud manusia adalah hermeneutika karena berangkat dari adanya sendiri
dan arti ada secara umum, serta bertumpu padanya, adanya setiap ada-khusus
dibuat memberita. Dengan demikian, menurut Heidegger manusia adalah eksistensi,
bukan insistensi, bukan objek. Manusia adalah mediasi untuk tampilannya ada.
Tanpa manusia tiada pemahaman akan ada. Tanpa manusia tiada ontologi, tiada
kebenaran, tiada hermeneutika.[19]
4. Ada dan Ada-Khusus
Seluruh strategi pemikiran Heidegger adalah untuk menjangkau ada.
Bagaimana pendangan tentang ada? Heidegger sangat berhati-hati dan tidak pernah
merumuskan arti ada. Dalam filsafat Heidegger, Ada adalah “sama sekali berbeda”
dari ada-khusus karena ada tidak dapat ditundukkan pada kategori-kategori
substansi yang dapat diterapkan pada ada-khusus. Maka masalah kebenaran
ontologis juda tidak perlu direduksikan ke masalah kebenaran ontis. Sebab
ada-khusus itu ‘berada’ karena ada. Ada tidak berakar pada ada-khusus. Tetapi
ada-khusus yang berakar di dalam ada. Namun Ada bukanlah Tuhan, bukan pula
dasar atau sebab dunia (weltgrund). Ada bukan entitas, maka tidak dapat didefinisikan. Ada bukan ide,
bukan sesuatu yang dihasilkan oleh jiwa.
Ada adalah kenyataan yang dijumpai di dalam setiap hal yang Ada dan
yang membuat mungkin setiap hal yang ada. Ada adalah ciri atau tanda khas yang
terwujud di dalam semua ada-khusus dan berkat ciri itu semua ada-khusus berada
dan tampak nyata keluar dari ketiadaan.
Ada melampaui segala tulisan baik pemisahan subjek-objek maupun
pemisahan Aku-dunia, pemisahan rasio teoritis- rasio praktis. Jadi Ada sendiri
bukan ada-khusus, sehingga tidak dapat direduksikan menjadi salah satu
ada-khusus. Ada adalah intelligibilitas yang sebenarnya, yang membuat segala sesuatu dapat
ditangkap atau dipahami. Ada mencakup ‘menjadi ada’ tetapi Ada berbeda ‘menjadi
ada’.
Itulah deskripsi pengertian Ada dan ada-khusus yang diangkat dari
berbagai karya Heidegger. Dari definisi deskriptif tadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa pandangan Heidegger amat dalam tentang kebenaran yang
senantiasa dipandang berkaitan erat dengan Ada. Sebagaimana Ada masih merupakan
sesuatu yang belum dikatakan, kebenaran pun masih merupakan sesuatu yang belum
habis dipikirkan. Tetapi kebenaran dan Ada tidak dapat tampil tanpa manusia.[20]
5. Ada membutuhkan manusia.
Telah jelas bahwa, Ada bukan sesuatu yang terisolasi dengan dirinya dan
lepas dari manusia. Adapun manusia tidak terisolasi pada dirinyadan lepas dari
Ada. Hakikat Ada dan hakikat manusia berkaitan antara satu denngan yang
lainnya. Namun untuk tampil, Ada membutuhkan manusia. “Hakikat Ada membutuhkan
Hakikat manusia”. Sehingga Ada tidak dapat dibicarakan atas dasar observasi
yang terpisah dari keberadaan manusia. Demikian pula keberadaan manusia juga
bukan objek yang dapat diletakkan di depan seseorang dan orang tersebut
mendeskripsikannya dari luar.
Manusia adalah tempat Ada mengambil tempat untuk berada. Manusia adalah
partisipasi Ada, bukan penonton Ada. Ada membutuhkan manusia, karena ada
membutuhkan tempat tinggal, ruang untuk berada, dan ruang itu adalah pikiran
manusia. Tetapi Ada sama sekali bukanlah produk dari pikiran. Berpikir adalah
membantu Ada tampil sebagaimana mestinya. Ada membutuhkan manusia berpikir.
Dengan berpikir menusia mewujudkan hubungannya antara Ada dengan hakikat
manusia. Peristiwa Ada mamadukan manusia dan Ada di dalam keterhubungan yang
sesungguhnya. Dalam pemikiran Heidegger, Ada mempunyai semacam prioritas. Ada
adalah pemegang inisiatif. Manusia adalah yang mendengarkan, yang menerima,
sedang Ada adalah yang memberi. Namun demikian, Ada dan manusia begitu dekat,
Ada selalu merupakan yang lain dari manusia yang mendengaerkan. Ada bukanlah
manusia yang mendengarkan. Ada bukanlah manusia dan tidak berada dalam podidi
konfrontasi dengan manusia. [21]
6. Rekonsepsi pemahaman
Bagi Heidegger, pemahaman adalah modus berada di dunia, yakni modus
dengan ciri hakiki manusia yang paling asli. Di Dunia adalah struktur wujud
manusia, bukan sifat ataupun konstatasi suatu situasi faktual. Pemahaman bukan
hanya sekedar peristiwa kejiwaan, tetapi suatu proses ontologis, medium
penyongkapan ontologis, yakni sebagai penguakan segalanya yang real bagi manusia.
Dengan demikian, dasar pemahaman terletak dalam kenyatan yang lebih dulu dari
suatu ungkapan tematis. Dari penjelasan tersebut, nampak bahwa memahami (dan
juga berpikir) bukan merupakan gerak linear tetapi berstruktur dialektik.
Antisipasi arti yang menguasai
pemahaman terhadap sesuatu teks bukan kegiatan subjek. Antisipasi tersebut terbit dari kebersamaan yang mengikat
kita pada tradisi. Tradisi berkaitan dengan manusia dan dengan Ada itu sendiri.
Tradisi adalah sesuatu yang menjelang kita. Tradisi adalah hakikat pada diri
manusia. Dalam memahami, manusia ikut serta dalam proses perkembangan tradisi
dan tradisi selanjutnya menentukan kita. Heidegger berkesimpulan bahwa hakikat
hermeneutika adalah kemampuan ontologis pemahaman dan interpretasi yang memungkinkan
terbukanya semua keberadaan dan pada instansi akhirnya juga terbukanya
keberadaan wujud manusia.
Kesimpulan selanjutnya adalah
bahwa arti (Bedeudsamkeit) merupakan sesuatu
yang lebih dalam dari sistem logis, bahasa, lebih dahulu dari bahasa, bahkan
merupakan kemungkinan ontologis bagi dapat terartikannya kata-kata. Bersama
dengan pemahaman arti merupakan dasar bagi bahasa dan interpretasi. Dengan
demikian arti bukanlah sesuatu yang diberikan pada objek tetapi sesuatu yang
diberikan objek kepada manusia dengan menyediakan kemungkinan ontologis bagi
terwujudnya kata dan bahasa.
Heidegger ingin menegaskan
bahwa interpretasi tidak pernah bertolak dari tabularasa, tetapi senantiasa
terjadi atas dasar suatu pra pemahaman. Setiap interpretasi selalu melibatkan
‘sesuatu yang kita punya sebelumnya’ (vorhabe), ‘sesuatu yang
kita lihat sebelumnya’ (vorsich), dan ‘sesuatu
yang kita tangkap sebelumnya’ (vorgriff).[22]
6.
Ada sebagai
peristiwa
Ada sebagai peristiwa
membutuhkan pikiran dan bahasa sebagai tempat terjadinya. Dengan berfikir
manusia menyelesaikan peristiwa itu. Ada adalah proses kedatangan (anwesen). Dengan berfikir, manusia
mewujudkan hubungan ada dengan hakikat manusia. Peristiwa ada memadukan manusia
dan ada di dalam keterhubungannya yang sesungguhnya. Jadi, pada dasarnya
berfikir sudah senantiasa berada dalam suatu keterhubungan yang hakiki dan
sejak semulannya. Ada-lah yang terlebih dahulu pada mula pertamanya serta
merupakan sumber dan asal mula pikiran. Berpikir bagi Heidegger bukan
menggambarkan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, tetapi bertanya-
meminta- keterangan, mendengarkan- dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu
dengan bertanya dan mendengarkan pada Ada.[23]
7.
Fungsi Hermeneutik
Bahasa
Dalam perkembangan pikiran
Heidegger bahasa merupakan pusat perhatiannya, tema bahasa sejak permulakan
merupakan salah satu tema terpenting. Bahasa dan Ada berada dalam keterjalinan
yang erat. Apabila bahasa merumuskan hakikat manusia sebagai “berdiri di terang
Ada”, “di dalam keterbukaan yang menerangi dari Ada”, harus ada yang
memungkinkan begitu. Kemungkinan itu adalah bahasa. Bertempat tinggal di dalam
bahasa yang merupakan kediaman yang Ada adalah hakiki bagi manusia.
Pemikiran di atas menunjukkan
betapa erat hubungan keterjalinan anatara antara manusia, bahasa dan Ada.
Tempat tinggal yang sebenarnya bagi wujud manusia adalah di dalam bahasa.
Bahasa adalah kediaman Ada, sehingga hubungan antara manusia dan Ada terjadi di
dalam bahasa. Menurut Heidegger, bahasa bukan berasal dari kegiatan manusia
bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan Ada kepadanya. Dengan berfikir
dan berkata, manusia meng-kata-kan Ada. Dan bauru di dalam peng-kata-an inilah
Ada dapat tampil dan tampak. Dengan dibahasakan Ada lepas dari keterlupaan dan
kegelapan.
Berkata yang sesungguhnya
adalah mengumumkan, menampakkan dan membuat terbuka, menunjukkan dan memerdekakan. Berkata adalah
menunjukkan dan memperlihatkan, memunculkan dan membuka. Berfikir dan berkata
adalah membierkan peristiwa Ada. Di dlam berfikir dan berkata terciptalah ruang
yang dibutuhkan bagi tampat dan tampilnya Ada. Bahasa pikiran adalah ruang
tempat terjadinya peristiwa Ada.
Heidegger terhadap bahasa
dengan tegas berbeda dari pendapat yang beredar, baik di lingkungan filsafat
maupun teologi. Bahasa niscaya tidak ditangkap berfungsi sebagai suatu tanda,
yang menunjukkan isi tertentu, lewat nada suara yang umum diterima. Bagi Heidegger, pengertian bahasa
seperti di atas adalah pengertian bahasa dalam arti sekunder, hasil
lupa-akan-Ada.
Bahasa adalah kediaman Ada.
Ada dari segalanya yang ada bertempat tinggal di dalam kata. Tetapi,
manusia bukan pencipta tempat kediaman
ini. Dengan berbicara (berbahasa), manusia mendiami tempat yang Ada dapat
datang mendekat. Berbicara adalah membiarkan diri berkata. Berkata sesuatu
adalah menjawab terhadap sesuatu. Bahasa membutuhkan manusia sebagai pengeras
suara. Bahasa menggunakan manusia. Bahasa sendiri yang berbicara. Berbicara
secara hakiki dan intrinsik adalah mendengarkan. Berbicara adalah menjawab, memberi
respon. Heidegger menangkap bahasa sebagai suatu proses gerakan, suatu jalan.
Kita senantiasa dalam jalan ke bahasa. Bahasa manusia pada dasarnya adalah
jawaban. Bahasa adalah Ada itu sendiri, sedangkan bahasa manusia menyesuaikan.
Pikiran Heidegger di atas
sangat vital dibutuhkan untuk menangkap pendalamannya tentang masalah
kebahasaan. Perhatian Heidegger bukan pada pemakaian kata di masa lalu itu atau ketepatan filologisnya,
tetapi bagaimana ia dapat berhasil memasuki gerakan kata-kata.
Pemahaman suatu teks terletak
dalam mendengarkan lewat bahasa manusia
perihal yang dikatakan bahasa tersebut. Atau dengan kata lain penyingkapan Ada
yang sekali peristiwa membangkitkan bahasa. Masalah bahasa dan pikirab ini
ditemukan Heidegger lewat perkenalannya dengan suatu disiplin teologi yang
bernama hermeneutika. Menurut pengakuannya, Heidegger tidak akan sampai pada
pemikirannya yang sekarang, yaitu hermeneutika dikaitkan dengan bahasa.
Hermeneutika diturunkan dari
kata kerja Yunani Hermeneuein. Kata kerja tersebut
berhubungan dengan kata benda hermeneus yang berkaitan dengan nama
dewa Yunani Hermes. Dewa Hermes adalah utusan para dewa
membawa pesan dewa kepada manusia.[24]
Jadi, pesan yang disampaikan yang merupakan sasaran hermeneutika, bukan wadag
pesan yang menjadi perhatian pertamanya.
Jalan ke bahasa adalah peristiwa
pemahaman pesan yang disampaikan. Hermeneutika adalah fenomenologi.
Hermeneutika bicara tentang momen arti menampak. Ada yang adalah
inteligibilitas, pemahaman, berpikir dan bahkan eksistensi manusia sendiri
bersifat kebahasaan. Proses hermeneutika adalah proses mengartikulasikan dan
membahasakan arti yang menjadi terang karena ditanyakan kembali masalah yang
digeluti oleh suatu karya atau hidup itu sendiri. [25]
E. JACQUES DERRIDA
1. Riwayat Hidup
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dia
belajar di Ecole Normal
Superieure dan selanjutnya mengajar di sekolah tersebut sebagai
‘maitre-assistant’ (asisten ahli) bidang filsafat. Setiap tahun ia juga
mengajar di Yale University, USA sebagai dosen tamu. Pada masa mudanya ia juga
pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.
Penaruhnya
terhadap pemikiran teoritis kontemporer mulai dirasakan sejak tahun 1967, yaitu
sejak publikasi serentak tiga buah karya kefilsafatannya yaitu: La Vioxet la
Phenomene (suatu introduksi terhadap persoalan tentang tanda dalam
fenomenologi Husserl), L’Ecriture et la Difference (suatu kumpulan esei
tentang problematic penulisan dalam kesustraan, filsafat, psikoanalisis dan
antropologi), dan De La grammatologie (suatu analisis terbatas atas
tekanan yang diderita dalam karya tulis di Barat terutama tentang teori bahasa,
teori kebudayaan dan tentang garis besar metodologis dan teoritis “ilmu pengetahuan” baru mengenai
menulis/karya tulis).
Lima tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1972, terbit lagi secara serentak buku-buku Derrida,
yaitu: Marges de la Philosophie (suatu kumpulan esei tentang
pinggiran-pinggiran filsafat linguistik, dan kesusastraan), La Dissemination serta Positions
(sebuah kumpulan interview).
Jacques Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis
kontemporer sejauh ia berhubungan dengan bahasa dan makna. Akan tetapi,
beberapa komentator mengatakan bahwa ia justru sorang filsuf yang anti
heremeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra mengklasifikasikan dia
diantara kritikus sastra, meskipun ia sendiri mengingkari mengingkari anggapan
orang tentang posisinya sebagai filsuf ataupun sastrawan.
Derrida sangat cerdas. Ia dengan tekun mempelajari
karya-karya filsafat tokoh-tokoh besar, mulai dari filsuf-filsuf Yunani klasik
seperti Plato dan Aristoteles, kemudian Kant, Hegel, Freud, Nietzsche, Husserl,
dan Heidegger.[26]
2. Tanggapan atas Fenomenologi
a. Arti ‘Differance’
Derrida tidak menyetujui adanya pertentangan antara subjektivitas dan objektivitas,
sebab di mana terdapat pasangan dua hal, maka yang pertama menguasai yang yang
kedua. Misalnya pasangan Bapak-Ibu, subjek-objek, induksi-deduksi. Derrida
“membubarkan” dugaan-dugaan tersebut dan mempertanyakan adanya prioritas yang
terkandung dalam pasangan-pasangan tersebut.
Untuk menemukan makna yang tersembunyi, orang harus membuka selubungnya,
melihat isi secara terpisah, membuang semua hubungan yang sudah ada antara kata
dan konsep. Ini merupakan cara untuk menghapus prasangka, sumber utama
timbulnya kesalahpahaman atau salah pengertian. Derrida mempertanyakan semua
hal dan dan menempatkannya pada pemikiran yang baru. Ia tidak menerima semua
sistem makna yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Deconstruction adalah sebuah cara untuk memberikan penjelasan. Selain kata tersebut, ada
kata lain yang membuat Derrida jadi terkenal, yaitu differance (dalam
bahasa Prancis). Kata differance ini berbeda dengan kata difference.
Kata difference umumnya kita artika sebagai ‘tidak sama’, lain, berbeda.
Sedangkan differance memerlukan uraian yang panjang untuk menegetahui
maksud dari Derrida dalam penggunaan kata tersebut.
Perbedaan antara dua kata yang kontroversial itu, yaitu difference dan
differance, sebenarnya hanya dalam satu huruf saja. Kedua kata tersebut
diturunkan dari bahasa Latin differre yang dapat diartikan “berbeda,
menunda, atau menangguhkan”. Jadi perbedaan pokok antara kata-kata differance
dan difference hanya terdapat di dalam kerangka ruang dan waktu. Derrida
menghubungkan ruang dan waktu itu dengan pengertian ‘tanda dan penulisannya’.
‘Tanda’ menggantikan bendanya, yaitu benda yang ada, tanda ‘menyatakan
kehadiran benda yang belum hadir’. Jika yang nampak itu tidak menyatakan
dirinya, maka yang menyatakan dirinya hanyalah sesuatu yang lain, yaitu
‘tanda’. Jadi menurut Derrida ‘tanda’ menunjukkan ‘kehadiran yang tertunda’.
Segera sesudah kita memehami halnya sendiri, melihatnya, maka tanda segera
menghilang atau menghapus jejaknya.
Dengan kata lain ‘tanda’ adalah wakil dari bendanya. Makna juga seperti
tanda, tidak mudah untuk dimengerti. Untuk memahami makna kita harus
‘menangguhkan’ atau menunda dulu sampai ada orang atau benda yang merasa layak
atau pantas untuk memilikinya. Tetapi apa dan siapa yang pantas memiliki makna
itu, masih belum jelas. Oleh karena itu pemahaman makna harus ditunda dulu.
Proses ini oleh Derrida disebut sebagai ‘temporisasi’ atau pemberian waktu
(untuk menunda).
Tanda tempatnya dalam ruang. Tanda dapat dengan mudah kita mengerti dan
kita rasakan, seperti kata-kata ataupun tulisan. Kata-kata adalah tanda,
demikian juga dengan bahasa, isyarat, dan sistem yang pada umumnya kita
menegrti berdasarkan sejarahnya sebagai jaringan yang merupakan asal mula
timbulnya perbedaan.
Tulisan untuk sementara waktu mendahului ucapan. Namun pada umumnya, kita
berpandangan bahwa sebelum seseorang menuliskannya, ia terlebih dulu
mengucapkannya. Derrida justru berpendapat sebaliknya. Tulisan itu barang mati,
hanya merupakan jalan tengah antara maksud dan makna atau antara ucapan dan
pemahaman. Inilah paradoks yang selalu dikumandangkan oleh Derrida, bahwa
tulisan mendahului ucapan dan merupakan syarat awal sebuah bahasa. Maka kiranya
lebih baik kita menyebutkan tulisan-ucapan dari pada ucapan-tulisan. Sebab
menurut Derrida ‘tulisan’ itu bukan gambar sebagai hasil tindakan seseorang
memindahkan gagasan-gagasannya. [27]
b. Peranan Sejarah
Derida membicarakan sejarah melalui cara yang berbeda yaitu bukan sebagai
deretan makna melainkan sebagai jejak yang bisa dilacak. Menurutnya, jika
sejarah adalah jejak, maka orang yang tidak menyaksikannya tidak dapat
berbicara apapun tentangnya. Sejak itu sejarah sosial adalah bisu, walaupun ia
meninggalakan une cicracite sur la carte (bekas diatas peta). Jejak yang
murni adalah differance. Tulisan dapat menjadi jejak yang bisu, namun
juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan. Yang
dapat mendahulukan tulisan daripada ucapan hanyalah yang berasal dari alam,
bukan dari waktu. Tulisan adalah barang asing yang masuk ke dalam sistem
bahasa. Sudah menjadi keyakinan umum bahwa penulisan abjad menghadirkan ucapan
dan sesaat kemudian menghilang dibalik kata-kata yang diucapkan. Tulisan akan
menghilang ketika ucapan mencapai kesempurnaannya dan akan sepenuhnya
ditampilkan dalam pemindahan sistem penulisannya dan segera hadir pada subjek
yang mengucapkannya dan pada ucapannya itu tulisan memperoleh arti isi serta
nilainya.
Menurut Derrida meskipun seseorang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan
sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan,
karena ucapan yaitu makna yang tertunda kehadirannya, sudah terdapat di dalam
tulisan.
Untuk dapat berbicara, kita harus dapat membedakan kata-kata. Namun, makna
ucapan pembicara ditunda dulu sampai ucapan itu selesai. Oleh karena itu, dalam
berbicara atau percakapan terdapat penantian dan harapan tentang makna yang
semacam itu serta arti yang datang dan pergi sehingga akhirnya orang memahami
pesan yang terdapat dalam ucapan. Pada dasarnya Derida ingin mengatakan bahwa
tulisan juga merupakan suatu fait accompli, yang sudah selesai dan
terlaksana ketika orang berbicara.
Penulisan adalah penyingkiran yang terus-menerus terhadap makna, yang
mengatur dan menempatkan bahasa di bawah jangkauan pengetahuan yang sudah mapan
dan murni. Jadi tulisan merupakan prasyarat bahasa dan dianggap mendahului
ucapan.
Derrida mengatakan bahwa gerakan
makna tidak akan mungkin bila setiap unsurnya tidak “hadir” atau tidak tampil.
Yaitu muncul sebagai yang menampakkan diri dan berhubungan dengan hall-hal
berikut ini, yaitu mempertahankan tanda unsur yang lampau dalam dirinya sendiri
dan membiarkan dirinya dilipat oleh tanda pertaliannya dengan masa yang akan
datang; jejaknya diketemukan tidak hanya pada masa yang akan datang, namun juga
pada masa lalunya; dan menentukan kehaddirannya
melalui pertaliannya dengan sesuatu yang lain dan bukan dengan dirinya
sendiri, bukan pula denga masa lalu, masa depan atau dengan masa sekarangnya
yang sudah tergambarkan. Sebuah interval harus berada di antara yang ada
(hadir) dan yang tidak hadir agar makna tampil dalam konteks saat ini.
Bahasa menurut mite, diarahkan oleh
hakikat entitas yang non linguistik. Mite disebut juga logosentrisme, yaitu
hasil manipulasi yang sangat kuat dan sistematik terhadap bahasa. Oleh karena
itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa orang dapat memahami hakikat
instrinsik dari sebuah objek dan maknanya melalui bahasa. Tidak sesuatu makna
pun dapat dihadirkan langsung dalam bahasa. Apa yang kita anggap hadir atau
kelihatan tidak lain adalah konstruksi pikiran kita sendiri yang didasarkan
atas konsepsi kita tentang apa yang seharusnya tidak tampak dari sesuatu hal.
Jika Derrida mencoret sebuah kata untuk menandai bahwa yang kelihatannya ada
itu sebenarnya tidak ada, ini memang dimaksudkan untuk menerangkan tentang
tanda. Ia mengatakan bahwa archi-writing, proto-jejak atau differance tidak
lain adalah ketentuan tentang kehadiran sesuatu yang tampak sebagai sintetis
asli, tidak berasal usul, terdiri dari bekas-bekas, jejak-jejak yang
dipertahankan. Ini juga merupakan pengaturan ruang dan sekaligus waktu.[28]
c. Definisi Differance
Makna sebagaimana tanda, selalu tertunda. Kehadiran makna juga ditunda,
atau dengan kata-kata lain, masih bergerak antara masa lalu dan masa yang akan
datang seperti bila kita hendak menangkap makna ucapan seseorang. Differance
juga berarti gerakan masa sekarang ke dalam masa lalu dan masa mendatang.
Inilah sebabnya mengapa Derrida menyatakan bahwa differance itu tidak
statis tetapi genetis. Differance pada dasarnya mengatasi kerangka
waktu, tidak merupakan sekarang atau
masa lalu atau masa mendatang. Differance adalah awal-mula,
sebuah proto-waktu, dan di bawah jangkauan ekstase waktu.
Ada empat macam definisi defferance,
yaitu:
1) Defferance
Defferance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang
terdiri dari penundaan, karena penundaan, perutusan, penundaan hukuman,
penyimpangan, penangguhan, penyimpanan. Dalam pengertian ini defferance tidak
didahului oleh satuan yang asli dan individual dari kemungkinan ada atau kemungkinan hadir yang
kita tempatkan pada penyimpangan, seperti misalnya penangguhan harga yang
disebabkan karena perhitungan tertentu atau karena kesadaran ekonomis. Kehadiran
di nyatakan atau diinginkan dalam sifat representatifnya, tandanya atau
jejaknya. Dalam pengertian ini pula defferance benar-benar merupakan
penundaan atau penangguhan, tetapi masih tetap tanpa ekstase waktu.
2) Gerakan defferance
Gerakan defferance adalah akar umum
dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa misalnya
sensibel-inteligibel, intuisi-makna, alam kebudayaan dan lain-lain. Dalam hal
ini, defferance tetap merupakan unsur yang sama yang menimbulkan
pertentangan atau perlawanan tersebut.
Derrida menyatakan bahwa defferance
menciptakan perbedaan-perbedaan meskipun demikian, masih juga tetap menjadi
akar semua pertentangan atau perlawanan atau oposisi. Dalam hal ini Derida
mengambil gagasannya dari pandangan atau filsafat Hegel. Dalam bukunya yang
berjudul Science of Logic, Hegel menyatakan bahwa jika perbedaan yang
nyata menjadi ekstrem, maka jalan tengahnya adalah netralitas yang abstrak.
Gerakan dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lain melibatkan ‘jalan tembus’
di antara dua momen yang benar-benar ada.
Hanya defferance-lah yang memungkinkan
kita untuk melihat tanda sebagai kehadiran yang ditangguhkan dan defferance
pula yang memungkinkan kita untuk menyeberang
ke ‘tengah jalan’ di antara dua ekstrem yang beroposisi seperti
tinggi-rendah, rasa-akal, surga-bumi.
3) Defferance
Defferance yang menghasilkan perbedaan adalah syarat dari
semua makna dan struktur. Perbedaan-perbedaan yang dihasilkannya itu adalah
akibat dari adanya defferance itu sendiri. Perbedaan-perbedaan itu ada
secara nyata, bukan ada dalam khayalan atau angan-angan saja. Atas dasar ini
semua, konsep tentang defferance bukanlah sekedar struktural genetik
saja. Defferance bukanlah sebuah konsep yang hanya sederhana saja.
Definisi-definisi diatas sebenarnya ingin
menekankan bahwa, bila defferance menghasilkan perbedaan-perbedaan
(sebagaimana terdapat di antara dua hal yang bertentangan), perbedaan-perbedaan
itu mendahului makna, baik yang struktur
ataupun yang genetis. Jadi tidak ada kerangka waktu yang terlibat di
dalam defferance, selain proto-jejak atau proto-waktu. Defferance
bukan konsep.
4) Defferance
Defferance adalah berbeda secara khusus, tetapi
perbedaan ini secara ontologis benar-benar ada dan tampak. Di sini sekarang
jelas bahwa deconstruction dan defferance seiring berjalan. Desconstruction
membatalkan ekspresi ganda seperti dalam ucapan/ penulisan. Bila orang berpikir
dengan kata-kata konseptual atau logos, maknanya akan ditangguhkan sampai batas
waktu tertentu dimana kata-kata yang diucapkan memindahkannya. Jadi dualitas
subjektif-objektif harus mengalami denconstruction atau pembalikan
prioritas, dengan maksud untuk mencapai nilai filosofis yang sebenarnya.[29]
d. Pengaruh Strukturalisme
Aliran kefilsafatan yang lain yang mempengaruhi gagasan-gagasan Derrida
adalah Strukturalisme. Banyak sejarawan yang mengatakan bahwa Derrida adalah
seoran post-strukturalisme. Strukturalisme merupakan reaksi langsung terhadap
aliran yang pada akhirnya disebut dengan eksistensialisme. Bila
eksistensialisme mengagungkan manusia sebagai being yang khusus, strukturalisme justru
meremahkannya dengan mengatakan bahwa manusia itu sudah mati karena telah
menjadi subjek sains. Jika eksistensialisme mempertahankan kebebasan manusia,
strukturalisme menmyangkal eksistensinya sebab manusia itu hanya sekedar produk
sebuah “struktur”. Lebih jauh lagi strukturalisme membuat cabang dalam
pikirannya kedalam ilmu-ilmu lain seperti antropologi, sejarah, kasusastraan, seni, ilmu bahasa yang kesemuanya itu di luar
filsafat. Strulturalisme menyatakan bahwa setiap hal yang ada di bumi ini akan
berhenti sifat misteriusnya jika orang sudah menemukan strukturnya yang
tersembunyi.
Selanjutnya, Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur bahasa itu
benar-benar ada. Terutama ia akan menolak argumen Noam Chomsky yang menyatakan
bahwa bahasa itu diprogram ke dalam bahasa pikiran manusia dan manusia sebagai
pembicara begitu saja mengikuti struktur tersebut. Menurutnya, makna tiak dapat
disusun dimanapun juga dalam pikiran manusia. Ia ingin mengupas gagasan tentang
“struktur”, karena struktur menentang kebebasan peran makna di dalam teks apa saja. Hal ini berarti bahwa orang dapat membaca
kata-kata dalam sebuah teks, tapi ia tidak mungkin membaca makna dalam teks
tersebut. Jika memang benar bahwa makna telah diprogram atau disusun dalam
bentuk bahasa di dalam pikiran manusia, maka setiap orang yang berbicara akan
membaca makna yang sama pula.
Dengan demikian makna bukan merupakan urusan struktur. Makna tidak dapat
dibangun dalam ucapan, dan oleh karena itu Derrida menentang pernyataan pakar
linguistik struktural. Sebab jika makna sudah terbentuk di dalam bahasa, orang
tidak akan membutuhkan hermeneutik atau interpretasi lainnya. Makna, sebagaimana
terbawa oleh suara selalu memberikan penjelasan kepada pendengarnya. Tindakan
mendengarkan masih tetap merupakan cara kerya penyelidikan hermeneutik. Hal ini
berarti bahwa kebenaran tidak dapat menjadi kebenaran monolitik dari being selama
masih ada kebenaran-kebenaran lain tampil di dalam sejarah berbagai zaman.[30]
e. Gagasan tentang Hermeneutik
Setelah menimba gagasan dari Hegel dan Husserl, Derrida ingin menunjukkan
bahwa bahasa tidak lain adalah intensionalitas. Husserl menunjukkan perbedaan
antara pikiran dengan yang dipikirkan.
Seperti seseorang yang melihat sebuah pohon, harus dibedakan antara “siapa yang
melihat” dengan “dari sudut mana” pohon itu dilihat. Oleh karena itu seorang tukang kayu dengan
seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang
dilihatnya itu. Dari realitas contoh tersebut Derrida melihat hubungan yang
jelas antara fenomenologi dengan hermeneutik. Jika makna hanya muncul pada
taraf yang paling dalam maka bahasa yang dipergunakan untuk bicara harus diselidiki,
apakah bahasa ini keluar dari emanasi taraf pertama atau kedua. Dalam banyak
hal kiranya cukup jelas bahwa bahasa dikatakan secara sambil lalu tanpa suatu
unsur kesungguhan sedikitpun. Lalu bagaimana hermeneutmengenakan suatu nilai
atau makna pada kata yang diucapkan itu?
Dalam hal ini pengertian Derrida tentang bahasa merangsang dia untuk
membuat kritik. Ia mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna,
namun tandanya berbeda-beda. Membaca teks pada hakikatnya merupakan perumusan
kembali pandangan dunia yang terdapat dalam proses membaca. Kritik termasuk
dalam pandangan dunia dari pengarang, sedang membaca termasuk dalam arti
tanda-tanda dalam kata-kata. Jika kritik tidak dapat menyusup masuk ke dalam
arus utama dari jalan pikiran pengarang atau jika gagal mendalami pandangan
dunia dari pengarang, maka kritik itu tidak ada artinya. Dalam komunikasi
terdapat bahassa “dalam” yang oleh Husserl disebut pernyataan murni. Melalui
“fiksi” atau jenis pernyataan khusus yang mengarah pada khayalan, orang sampai
pada bahasa dalam tersebut.
Hermeneutika adalah pemahaman dalam karya, tujuannya adalah membongkar
rahasia pandangan dunia dari pengarang dan memungkinkan seseorang untuk
menyadur bahwa esensi fenomenologis dari memahami tidak lain adalah kemampuan
seseorang untuk mendengarkan sendiri apa yang ia katakan. Pemberi tanda adalah
orang yang dapatmerasakan nafas pengarang dan maksud dari isyarat atau melekat
pada pengarang. Hermeneun kemudian berusaha melepaskan makna dari kata-kata
yang diucapkan atau yang terrtulis tepat pada saat kata-kata itu diucapkan, ini
dapat terjadi karena suara yang terdengar adalah identik dengan kesadaran sedangkan untuk dapat dikatakan
tulisan dalam arti yang sebenarnya maka teks tersebut harus berjuang untuk
mengatasi “kematian” pembicara yang membawanya di dalam komunikasi oral.
Metode Derrida mengenai interpretasi
memusat di dalam bukunya yang berjudul La
Dissemination. Dalam buku tersebut antara lain sebagai berikut: Sebuah teks
tidak akan merupakan teks jika dalam pandanngan sekilas tidak menyembunyikan
hukum-hukum komposisinya dan aturan-aturan permainannya. Teks tersebut harus
selalu kelihatan seakan-akan sulit dimengerti. Hukum dan aturan-aturannya tidak
boleh tersembunyi di balik rahasia yang sulit dipecahkan. Hukum dan
aturan-aturan itu hanya tidak boleh kelihatandi dalam ”sekarang” terhadap
segala jenis pesan dan persepsi. Bila rahasia hukum dan aturan-aturan tersebut
terlalu cepat diketahui oleh akal, maka akan selalu timbul resiko. Dari
pernyataan Derrida tersebut, dapat dilihat antsipasi persoalan yang dapat
diperhitungkan di dalam hermeneutik. Teori interpretasi pada dasarnya adalah
teori membaca, yang pada akhirnya juga merupakan teori tentang teks. Pemahaman
seseorang tergantung pada bagaimana ia membaca teks. Atas dasar ini, maka teori
membaca juga akan tergantung pada pemahaman.
Selanjutnya yang menjadi
persoalannya adalah apa peranan pengarang dan pembaca di dalam interpretasi
pada sebuah teks? Kemudian apa yang menjadi ukurannya jika dikatakan bahwa teori interpretasi menggambarkan
pengarang asli atau pembaca asli? Jika seseorang membicarakan tentang
interpretasi, apa yang menjadi batasan tersebut? Apa yang sebenarnya
dimaksudkan dengan penerapan, kelayakan dan permainan?
Menurut Jean Greisch, semua pertanyaan
tersebut harus dijawab oleh orang-orang yang membuat interpretasi. Hermeneut
menghendaki jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi pendahuluan dalam
karya interpretasinya. Gadamer manyatakan,bahwa teks bukanlah merupakan ujung
interpretasi. Untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam perspektif
yang semestinya, maka dari itu harus dibedakan antara tiga jenis teks berikut
ini:
1)
Sebuah
teks tertulis yang merupakan transkrip teks oral.
2)
Teks
tertulis yang maksudnya hanya untuk dibaca bukan untuk didengarkan.
3)
Sebuah
teks tertulis yang dimaksudkan untuk dibaca seperti sebuah teks satra seperti yang banyak kita jumpai
sekarang ini.
Sebuah teks oral yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teks
tertulis pada dasarnya tidak memiliki ‘nilai tertulis” sebagaimana dimaksudkan
untuk dibaca, seperti karya sastra. Jika seseorang berbicara, maka ia mengukuti
atuiran-aturan berbicara yang tentunya berbeda dengan aturan-aturan membaca.
Jika seseorang menulis, ia sadar akan kesatuan, koherensi dan hubungan logis
antara gagasan-gagasan dan bab-babnya, pengaturan pemakaian kata-kata serta
redundansinya. Jika terdapat teks yang dimaksudkan hanya untuk dibaca tetapi
ternyata dibacakan untuk didengarkan, maka teks tersebut menghasilkan sesuatu
yang sumbang dan seringkali menghasilkan makna yang berbeda bagi pendengarnya.
Derrida lebih suka mengoperasikan teks tertulis pada jenis yang ketiga, yaitu
teks yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai teks, sebab teks ini mengikuti
secara ketat aturan-aturan tentang sintaksis, tata bahasa dan gaya bahasa.[31]
[1]Damanhuri, “Emilio Betti” dalam Hermeneutika Transendental dari
Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Nafisul Atho’ (ed.),
(Yogyakarta: IRCISoD, 2003), h. 38-39
[2]Auslegung merujuk pada
sebuah intrepretatif objectif sedangkan spekularive deutung atau
spekulatif interpretation adalah sebuah
penetapan yang dibangun pada intuisi dan koherensi internal dari a priori
system yang dibangun.
[3]Damanhuri, Emilio Betti.,...h. 39-41
[9] Supriyo Priyanto, Wilhelm Dilthey Peletak Dasar Ilmu-Ilmu Humaniora, (Semarang:
Bendera, 2001), h. 9
[15]Nafisul Atho’ Mahsun, “Martin Heidegger” dalam Hermeneutika
Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies.,...h.
52-53
[16]Sugeng Ristiyanto, “Martin Heidegger”dalam Hermeneutika Transendental
dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies.,...h. 78-79
[17]Nafisul Atho’ Mahsun, “Martin Heidegger” dalam Hermeneutika
Transendental dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies.,...h.
55
[24] Lihat di Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika antara Intensionalisme
dan Gadamerian, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA GROUP, 2008), h. 27-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar