REKONTRUKSI MA'NA MAHRAM DALAM HADITS YANG MELARANG PEREMPUAN BEPERGIAN TANPA MAHRAM
A.
Hadits-Hadits yang Melarang Perempuan Bepergian Tanpa
Mahram
Karena keterbatasan
kemampuan kami dan untuk lebih memudahkan dalam mencari hadits yang berhubungan
dengan larangan wanita bepergian tanpa mahram, kami menggunakan mausu’at
kutub al-tis’ah. Kami mencari hadits tersebut dengan menggunakan kata kunci
ذو محرم dan kami menemukan banyak sekali
hadits yang berisi larangan seorang wanita bepergian tanpa mahram. Hadits
tersebut terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari (1122, 1731, 1858), kitab Sahih
Muslim (2381, 2382, 2383, 2389, 2390, 2391), Sunan Abu Daud (1466,1467), sunan al-Tirmidzi (1089, 1090), musnad Ahmad (1833, 3062,
4386, 4467, 9998, 10170, 10615, 10864, 11164, 11200, 11253, 14124), sunan
al-Darimi (2562).
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كِلاَهُمَا عَنْ
سُفْيَانَ - قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ -
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ أَبِى مَعْبَدٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ يَقُولُ «
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ
تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِى خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّى اكْتُتِبْتُ فِى
غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ « انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ »[1]
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya
dari Sufyan - Abu Bakr berakata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin
Uyainah Telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar dari Abu Ma'bad ia
berkata, saya mendengar Ibnu Abbas berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berkhutbah seraya bersabda: "Janganlah sekali-kali
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai
muhrimnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali
ditemani oleh mahramnya." Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan
bertanya, "Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah
haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana
itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: "Pergilah
kamu haji bersama isterimu."
حَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالاَ حَدَّثَنَا يَحْيَى -
وَهُوَ الْقَطَّانُ - عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ
عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُسَافِرِ
الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ »[2].
Telah bercerita kepadaku
Zuhair bin Harb dan Muhammad al-Mutsanna
telah bercerita kepadaku Yahya pedagang kapas, diceritakan dari Ubaidillah,
mengabarkan kepadaku Nafi’ Diceritakan dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama
mahramnya
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى سَعِيدٍ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلاَّ
وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا ».[3]
Artinya: Telah
bercerita kepadaku Qutaibah bin Sa’id, bercerita kepadaku Laits, dari Sa’id bin
Abi Sa’id dari bapaknya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:
tidak halal bagi seorang perempuan muslim bepergian yang menempuh perjalanan
selama semalam kecuali bersama seorang laki-laki dari mahramnya.
حدثنا
أحمد بن منيع حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن أبي سعيد الخدري قال :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن
تسافر سفرا يكون ثلاثة أيام فصاعدا إلا ومعها أبوها أو أخوها أو زوجها أو ابنها أو
ذو محرم منها وفي الباب عن أبي هريرة و ابن عباس و ابن عمر[4]
Artinya: Telah
bercerita kepadaku Ahmad bin Mani’ dari Abu Muawiyah dar al-A’masy dari Abu
Shalih dari Abu Said al-Khudri berkata: Rasulullah saw bersabda: tidak halal
bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian selama
tiga hari atau lebih kecuali bersama bapak atau saudaranya atau suaminya atau
anak laki-lakinya atau mahramnya.
B.
Kritik Sanad (al-Naqd al-Khariji)
Dalam penelitian ini kami tidak melakukan kritik sanad
secara mendetail karena untuk meringkas penelitian ini. Selain itu kami juga
hanya meneliti satu jalur sanad saja, yaitu sanad hadits yang paling awal,
yaitu sanad yang terdapat dalam kitab sahih Muslim. Walaupun banyak ulama’ yang
sudah menjamin kesahihan hadits yang terdapat pada kitab sahih Muslim, tidak
ada salahnya kami untuk mencoba melakukan kritik sanad walaupun hanya secara
global. Rawi-rawi yang terdapat di hadits tersebut adalah:
1.
Ibn Abbas, beliau adalah anak dari paman Nabi saw. Beliau
termasuk golongan shahabat kecil. Beliau mempunyai banyak sekali murid dan
salah satunya adalah hamba yang beliau merdekakan, yakni Abi Ma’bad. Ibn Abbas
adalah seorang shahabat yang terkenal akan kepandaiaan dan keluasan ilmunya.[5]
Tidak ada ulama’ yang menjarahnya karena semua sahabat adalah adil (al-Shahabatu
kulluhum ‘udul).
2.
Nafidz, Abi Ma’bad al-Makky al-Hijazy, beliau adalah salah
seorang hamba yang telah dimerdekakan oleh Ibn Abbas. Beliau hanya mempunyai
seorang guru yaitu Abdullah bin Abbas. Beliau mempunyai beberapa orang murid,
diantaranya Amr bin Dinar. Beliau adalah orang yang tsiqah dan tidak ada
ulama’ yang menjarahnya. Hadits yang beliau riwayatkan terdapat di dalam Kutub
al-Sittah. [6]
3.
‘Amr bin Dinar al-Makky, kunyahnya Abu Muhammad
al-Atsary. Salah satu gururnya dalam bidang hadits adalah Abi Ma’bad al-Makky
al-Hijazy. Beliau mempunyai banyak murid, diantaranya Sufyan bin Uyainah. Beliau
banyak meriwayatkan hadits. Ulama’ menggolongkanya sebagai orang yang tsiqah
dan tsabat. Hadits yang beliau riwayatkan terdapat di Kutub
al-Sittah.[7]
4.
Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi Imran, beliau dari golongan atba’u
al-tabi’in. Beliau mempunyai banyak sekali guru, salah satunya adalah ‘Amr
bin Dinar. Beliau juga mempunyai banyak sekali murid, salah satunya adalah Abu
Bakar bin Abi Syaibah. Menurut para ulama’ sebagaimana yang terdapat di dalam
kitab tahdzib al-Tahdzib beliau adalah orang yang tsiqah, faqih, terkadang
melakukan tadlis tetapi dari orang yang tsiqah juga. Hadits yang beliau
riwayatkan terdapat di dalam Kutub al-Sittah.[8]
5.
Abu Bakar bin Abi Syaibah adalah Muhammad bin Ibrahim bin
‘Utsman bin Khawasti al-‘Abbasy (w. 235 H). Beliau mempunyai sekali guru,
diantaranya adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Selain itu beliau juga mempunyai banyak
murid, diantaranya adalah al-Bukhary, Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah. Menurut
para Ulama’ beliau adalah orang yang tsiqah dan shaduq.[9] Di
dalam kitab tahdzib al-Tahdzib, Ibn Hajar menyebutkan bahwa beliau
adalah orang yang tsiqah dan tsabat.[10]
6.
Zuhair bin Harb bin Syadad (160 H-234 H). Beliau mempunyai
banyak sekali guru dalam bidang hadits, diantaranya adalah Sufyan bin ‘Uyainah.
Sedang murid beliau antara lain al-Bukhary, Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah. Di
dalam kitab tahdzib al-kamal di sebutkan bahwa beliau termasuk orang
yang tsiqah, shaduq, dan hafidz.[11] Begitu
juga di dalam kitab tahdzib al-tahdzib disebutkan bahwa beliau adalah
orang yang tsiqah, tsabat, dan shaduq.[12]
Dari data-data yang kami temukan, dapat kami simpulkan
bahwa hadits yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim tersebut sanadny muttashil,
mulai dari Ibn Abbas sampai Imam Muslim dan seluruh perawinya tsiqah. Oleh
karenanya, hadits tersebut dapat dikatakan shahih sebab telah memenuhi kriteria
hadits syarat-syarat hadits shahih. Di dalam hadits Imam muslim yang beliau
peroleh dari Abu Bakar bin Abi Syaibah terdapat tabi’ yaitu Zuhair bin Harab bin Syadad.
Disamping itu harus kami katakan bahwa hadits dari
riwayat yang lain yang senada dengan hadits tersebut sangat banyak, bahkan
lebih dari sepuluh hadits. Dan jika hadits dari riwayat lainnya dapat kita
buktikan kesahihannya, maka itu akan lebih memantapkan hadits yang diriwayatkan
oleh imam Muslim di atas.
C.
Kritik Matan (al-Naqd al-Dakhili)
Matan hadits yang kami teliti, secara prinsip tidak ada
masalah. Hal ini dikarenakan matan dari hadits-hadits tersebut tidak ada yang
kontradiktif dengan akal sehat, sejarah, maupun dengan prinsip dasar al-Qur’an.
Bahkan hadits tersebut sejalan dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan perempuan
disuruh tetap tinggal di rumah. QS. Al-Ahzab: 33
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/
Dan hendaklah kamu tetap
di rumahmu[13]...
Hanya saja di dalam hadits tersebut terdapat
ragam variasi matan (redaksi hadits). Di dalam hadits yang pertama dan kedua
menggunakan fi’il nahi (laa tusafir al-mar’ah: janganlah seorang perempuan
pergi) sedangkan dua hadits yang terakhir menggunakan fi’il
mudlori’ yang dimasuki laa nafi. Selain itu, hadits-hadits tersebut juga juga
berbeda dalam batasan waktu yang diharamkan bagi perempuan untuk bepergian tanpa
disertai mahram. Di dalam hadits yang pertama tidak disebutkan batasan
waktunya, sedangkan di dalam hadits yang ke dua dan keempat waktunya selama
tiga hari, sedang di dalam hadits yang ketiga waktunya cuma satu hari.
Akan
tetapi semua matan tersebut tidak menimbulkan kontradiksi, bahkan sebaliknya
saling menguatkan dan melengkapi. Kalaupun misalnya riwayat yang satu menyebutkan
jarak perjalanannya sehari, sedangkan riwayat yang lain tiga hari atau lebih,
itu menunjukkan bahwa batasan jarak bepergian itu bersifat perkiraan dan bukan
merupakan suatu ketetapan. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa hadits
tersebut dari sisi matan juga sahih karena tidak ada syadz dan ‘illat.
D.
Rekontruksi Konsep Mahram
Sepanjang
penelitian yang telah kami lakukan, kami belum menemukan asbab al-wurud dari
hadits yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram. Memang harus kita pahami
sebelumnya, bahwa tidak semua hadits mempunyai asbab al-wurud mikro. Bahkan
kalau kita bandingkan antara hadits yang mempunyai asbab al-wurud dan
yang tidak, maka akan kita dapatkan fakta bahwa hadits yang mempunyai asbab al-wurud
mempunyai prosentasi yang sangat kecil. Namun demikian, itu bukanlah suatu
penghalang bagi untuk memahami hadits tersebut melalui konteks kesejarahan
secara umum atau yang disebut dengan asbab al-wurud makro. Sebab Nabi
Muhammad saw tidak mungkin berbicara dalam suatu masyarakat yang vakum
cultural, pasti ada konteks kesejarahan, kultur dan kondisi tertentu yang
melingkupinya.
Jumhur
ulama’ memahami hadits tersebut secara tekstualis-literalis, sehingga menurut
mereka bagaimanapun seorang perempuan ketika mahu melakukan perjalanan jauh
yang sifatnya mubah atau sunnah harus didampingi oleh mahramnya (lelaki yang
haram dinikahinya) atau suaminya.[14]
Sedangkan untuk bepergian yang sifatnya wajib seperti bergi berhaji, para
ulama’ berbeda pendapat. Menurut imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad yang didukung
oleh mayoritas ulama’ ahli hadits, kehadiran mahram atau suami bagi seorang
perempuan yang mahu melaksanakan ibadah haji hukumnya wajib. Sedangkan menurut
Imam Malik dan al-Syafi’I, keberadaan mahram bagi perempuan ketika pergi haji
hukumnya tidak wajib. Artinya, mahram tidak menjadi syarat, mereka (imam Malik
dan al-Syafi’i) hanya mensyaratkan keamanan. [15] Keamanan bisa diperoleh dengan mahram, atau
suami atau wanita-wanita lain yang terpercaya (tsiqah).[16]
Sebenarnya
apa yang telah dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’I dapat dikembangkan
dan dimekarkan pemahamannya, agar nilai dan semangat yang ada di dalam teks
hadits yang bersifat legal formal dapat
tetap hidup dan dapat kita amalkan pada era modernitas sekarang ini. Diakui
atau tidak, kebanyakan umat Islam masih kuat dalam berpegangan pada teks, baik
al-Qur’an maupun hadits. Namun mestinya kita tidak terjebak pada teks yang
legal formalistic, melainkan bagaimana mengambil signifikansinya (maghza)
dan semangat yang ada di balik teks tersebut.[17]
Kalau
demikian, lalu apa signifikansi dari hadits yang melarang perempuan pergi tanpa
mahram? Apakah Nabi melarang demikian untuk mengukuhkan hegemoni patriarkhi
agar perempuan tetap berada dalam wilayah domestiknya?
Kami cenderung setuju dengan apa yang dikatakan
oleh Abdul Mustaqim, bahwa Nabi adalah orang yang sangat feminis, yang
memperjuangkan hak-hak kaum wanita dan para Dlu’afa. Jika kita melihat
kondisi historis dan sosiologis masyarakat Arab[18] saat
itu, sangat mungkin larangan itu dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi
Muhammad saw akan keselamatan perempuan, jika dia bepergian jauh tanpa disertai
suami atau mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seseorang bepergian,
biasanya ia menggunakan kendaraan unta, bighal maupun keledai dalam
perjalanannya. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya keadaan
di sana adalah gurun pasir yang luas dan kebanyakan tanpa penghuni. Disamping
itu, sistem nilai yang berlaku pada saat itu, wanita dianggap tabu atau kurang
etis jika pergi jauh sendirian. Dalam kondisi seperti itu, tentunya seorang
wanita yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan
keselamatan dirinya, atau minimal nama baiknya tercemar.[19]
Dapat
dibayangkan jika perempuan pergi sendirian waktu itu, dalam kondisi yang
demikian, tentu akan rawan bahaya, mungkin dari kejahatan para perampok,[20]
binatang buas, atau kesulitan-kesulitan yang lain yang waktu itu harus
melibatkan peran atau bantuan kaum laki-laki yang menjadi mahramnya. Selain itu
masyarakat Arab terkenal sangat patriarkhal, perempuan cenderung tidak
bisa berperan diranah publik, sehingga ketika harus pergi sendirian mahu tidak
mahu perlu melibatkan mahram. Karena jika tidak ada mahram,
dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang dapat merugikan pihak perempuan tadi. Jadi,
maqashid al-syar’iyah dari konsep mahram adalah perlindungan kepada kaum
perempuan.[21]
Lalu
bagaimana dengan kondisi zaman sekarang? Kita semua tahu bahwa saat inisituasi
dan kondisinya telah berubah dan berbeda dengan zaman Nabi. Saat ini alat
transportasi telah berkembang sedemikian canggih sehingga perjalanan yang dulu
dianggap jauh sekarang sudah dapat ditempuh dengan waktu yang relatif lebih
singkat. Perjalanan jauh bisa ditempuh menggunakan kereta api atau pesawat dengan
mudah. Selain itu, seiring dengan kemajuan zaman, sistem nilai juga telah
mengalami pergeseran. Salah satunya adalah masyarakat sudah bisa mentolelir
jika ada seorang perempuan yang pergi jauh sendirian, entah karena sudah
terpengaruh oleh kemajuan zaman atau karena alasan keuangan atau kerepotan (masyaqqoh).
Jika kita memaknai mahram secara
leterlek tentu kita akan sangat kesulitan, setiap kali perempuan yang bepergian
harus melibatkan mahram lainnya, tentu akan sangat merepotkan. Bila kita hanya
mempunyai seorang anggota keluarga perempuan mungkin itu bukan masalah, tetapi coba kita
bayangkan seandainya jumlah perempuan itu lebih dari dua, betapa kesulitannya
kita untuk menyertai mereka pergi. Yang seorang harus pergi ke pasar, seorang pergi sekolah dan yang satunya bekerja.
Bagaimana cara kita mengatasinya? Haruskah kita membelah tubuh kita menjadi
tiga bagian? Tentu itu mustahil bagi kita. Selain itu sekarang ini telah ada
alat komunikasi handphone atau telepon yang bisa digunakan untuk menghubungi
pihak keamanan dengan ketika terjadi keadaan bahaya, dan lain sebagainya.
Ada
sebuah riwayat yang bisa digunakan untuk menguatkan argumen ini, yakni riwayat
dari ‘Adi ibn Hatim bahwa Nabi pernah bersabda:
وتوشك
الظعينة أن ترحل من الحيرة بغير جوار حتى تطوف بالبيت[22]
Artinya: ‘akan datang suatu masa ketika seorang
perempuan penunggang unta dari kota Hirah tanpa suami yang menyertainya’ hingga melakukan thawaf di ka’bah.
Hadits
tersebut menurut Ibn Hazm sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Qardlawi
memberikan prediksi tentang datangnya suatu masa kejayaan Islam dan keamanan
seantero dunia. Hal itu sekaligus memberikan isyarat dibolehkannya perempuan
bepergian sendiri tanpa suami atau mahram. Selain itu ada fakta sejarah bahwa para istri Nabi melakukan ibadah haji yang terakhir
pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin Khaththab tanpa disertai mahram
mereka, hanya di sertai ‘Utsman bin Affan dan ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf.[23]
Dengan demikian jika memang kondisi keamanan memungkinkan,
lebih-lebih ada sistem yang menjamin keamanan dan keselamatan perempuan ketika
pergi sendirian, maka sah-sah saja dia pergi tanpa mahram. Abdul Mustaqim di
dalam bukunya Ilmu Ma’anil Hadits berpendapat bahwa persyaratan mahram atau
suami sebenarnya tidak bersifat mutlak, tetapi lebih pada syadud a;-dzari’ah
(menutup jalan dari kemungkinan bahaya). Sehingga dalam beberapa hal, mahram yang
bersifat person dapat digantikan fungsinya dengan misalnya sistem keamanan yang
dapat menjamin keselamatan dan keamanan perempuan itu sendiri. [24]
Dengan
demikian, perlu ada rekontruksi konsep mahram, dari yang dulu bersifat personal
menjadi mahram yang berupa sistem keamanan yang dapat menjamin keamanan dan
keselamatan perempuan ketika dia pergi sendiri. Akan tetapi ini hanya terbatas
pada konsep mahram dalam perjalanan atau dunia kerja yang sarat finah.
Sedangkan konsep mahram dalam perkawinan tetap masih berlaku sebagaimana yang
kita pahami. Artinya masih tetap pada konsep mahram secara personal, yaitu
lelaki yang haram dinikahi oleh perempuan karena hubungan darah atau
perkawinan.
Konsep
mahram dalam arti sistem keamanan ini juga dapat berlaku pula dalam ibadah haji
bagi perempuan. Jadi, perempuan yang tidak punya mahram atau suami sebenarnya
sah-sah saja melakukan ibadah haji dengan syarat ada sistem yang menjamin
keamanan dan keselamatan bagi dirinya. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan
cara pergi bersama-sama dengan teman perempuan yang tsiqah atau lelaki lain
yang benar-benar dapat dipercaya.
E.
Analisi Hadits
Menurut pemahaman kami, berdasarkan keadaan
sosio-historis pada masa Nabi Muhammad saw dan juga hadits lain yang berisi ramalan
Nabi tentang akan datangnya kejayaan Islam, maka hadits yang melarang perempuan
bepergian tanpa disertai mahram dapat dimaknai secara kontekstual. Tujuan dari
adanya mahram adalah untuk menjamin keamanan dari perempuan waktu dia
ada di perjalanan. Mahram bisa diganti dengan sistem keamanan
berdasarkan persamaan ‘llat yakni keamanan pada diri perempuan. Jadi,
seorang perempuan bisa bepergian sendirian asalkan keamanan pada diri perempuan
tersebut dapat terjamin. Hal ini juga berlaku bagi perempuan yang akan pergi
melaksanakan ibadah haji.
[1]Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim Juz
2, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), h. 563, lihat juga di Muhammad bin Isma’il
al-Bukhary, al-Jami’ al-Shahih Juz 2, (Kairo: Mathba’ah al-Salafiyah,
1403 H), h. 359
[2]Abi al-Husain Muslim bin
al-Hajja, Shahih Muslim Juz 2, h. 562
[4]Muhammad bin Isa
al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzy, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), h.
277
[5][5]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib
al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-15, (Beirut: Muassasah
al-Risaalah, 1992), h.154-162
[6]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib
al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-29.,… h. 268-271
[7]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib
al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-22.,… h. 5-13
[8]Lihat di Ibn Hajjar al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib juz
2, (Beirut: Muassasah al-Risaalah, t.t), h. 59-61
[9]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib
al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-16.,… h. 34-42
[11]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib
al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-9.,… h. 402-406
[13]Maksudnya: isteri-isteri
Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan
oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[14]Imam al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy Juz 9, (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, 1929), h.
104-105
[15]Muhammad bin Ahmad bin bin Muhamad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid
juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) h. 259
[17]Abdul
Mustaqim, Ilm Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta: Idea
Press, 2008), h. 166
[18]Kata
“Arab” berarti “padang pasir” atau “gurun”. Dalam pengertian ini Arabia
meliputi kawasan Gurun Suriah, Jazirah Arab, Sinai dan beberapa daerah dekat
palestina serta mesir. Xenophon, seorang ilmuwan Yunani kuno member batasan
Arabia sebagai daerah padang pasir yang berada di Jazirah Arabia, sehingga
penduduk desa (kaum badui) yang menghuninya sejak dulu disebut dengan A’rab.
Jazirah
Arab dibatasi di sebelah utara oleh Palestina dan Gurun Suriah (Badiyah
al-Syam), di sebelah selatan oleh Samudera Hindia dan Teluk Aden, di
sebelah barat oleh Laut Merah, dan di sebelah timur oleh Teluk Persia, Sungai
Eufrat, Sungai Tigris, dan Laut Arab. Jazirah Arabia dikelilingi oleh lautan di
sebelah selatan, barat, dan timur, sedangkan disebelah utara oleh gurun pasir
yang amat luas.[Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 1,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 11-12]
[19]Said
Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 30
[20]Sebagian
besar Jazirah Arabia terdiri dari padang pasir yang amat luas. Bentuk dan sifat
padang itu berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada yang berdebu,
berpasir, dan berbatu. tempat seperti ini dikenal dengan sebutan badiyah
al-samawat, yaitu sebuah padang pasir yang tandus, sedikit sumber air dan
sumur, dan sulit ditempuh dalam perjalanan karena debu dan pasir beterbangan
ditiup angin. Sekalipun pada musimnya, hujan hanya turun sesekali tetapi bisa
menyebabkan tumbuhnya tanaman padang pasir. Mayoritas penghuninya terdiri dari
kaum Badui. Pada musim kemarau mereka mengembara mencari penghidupan diluar
tempat tinggalnya dengan menjarah harta milik anggota kabilah lain. (Tim
Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 1.,...h. 18-19)
[22]Muhammad bin Hibban, Shahih Ibn Hibban bi
Tartib Ibn Balban jilid 15, (Beirut: Muassasah al-Risaalah, t.t), h. 72
[23]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah juz 1,
(Kairo: al-Fathu li i’lam al-‘Araby, t.t), h. 444
terimakasih untuk ilmunya :)
BalasHapus