Jumat, 02 November 2012

mahram wanita saat bepergian



REKONTRUKSI MA'NA MAHRAM DALAM HADITS YANG MELARANG PEREMPUAN BEPERGIAN TANPA MAHRAM
A.    Hadits-Hadits yang Melarang Perempuan Bepergian Tanpa Mahram
Karena keterbatasan kemampuan kami dan untuk lebih memudahkan dalam mencari hadits yang berhubungan dengan larangan wanita bepergian tanpa mahram, kami menggunakan mausu’at kutub al-tis’ah. Kami mencari hadits tersebut dengan menggunakan kata kunci             ذو محرم dan kami menemukan banyak sekali hadits yang berisi larangan seorang wanita bepergian tanpa mahram. Hadits tersebut terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari (1122, 1731, 1858), kitab Sahih Muslim (2381, 2382, 2383, 2389, 2390, 2391), Sunan Abu Daud (1466,1467), sunan al-Tirmidzi (1089, 1090), musnad Ahmad (1833, 3062, 4386, 4467, 9998, 10170, 10615, 10864, 11164, 11200, 11253, 14124), sunan al-Darimi (2562).

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كِلاَهُمَا عَنْ سُفْيَانَ - قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ - حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ أَبِى مَعْبَدٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ يَقُولُ « لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِى خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّى اكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ « انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ »[1]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya dari Sufyan - Abu Bakr berakata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah Telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar dari Abu Ma'bad ia berkata, saya mendengar Ibnu Abbas berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah seraya bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai muhrimnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya." Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, "Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: "Pergilah kamu haji bersama isterimu."

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالاَ حَدَّثَنَا يَحْيَى - وَهُوَ الْقَطَّانُ - عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ »[2].
Telah bercerita kepadaku Zuhair bin Harb  dan Muhammad al-Mutsanna telah bercerita kepadaku Yahya pedagang kapas, diceritakan dari Ubaidillah, mengabarkan kepadaku Nafi’ Diceritakan dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda: janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا ».[3]
Artinya: Telah bercerita kepadaku Qutaibah bin Sa’id, bercerita kepadaku Laits, dari Sa’id bin Abi Sa’id dari bapaknya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: tidak halal bagi seorang perempuan muslim bepergian yang menempuh perjalanan selama semalam kecuali bersama seorang laki-laki dari mahramnya.

حدثنا أحمد بن منيع حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر سفرا يكون ثلاثة أيام فصاعدا إلا ومعها أبوها أو أخوها أو زوجها أو ابنها أو ذو محرم منها وفي الباب عن أبي هريرة و ابن عباس و ابن عمر[4]
Artinya: Telah bercerita kepadaku Ahmad bin Mani’ dari Abu Muawiyah dar al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Said al-Khudri berkata: Rasulullah saw bersabda: tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian selama tiga hari atau lebih kecuali bersama bapak atau saudaranya atau suaminya atau anak laki-lakinya atau mahramnya.

B.     Kritik Sanad (al-Naqd al-Khariji)
Dalam penelitian ini kami tidak melakukan kritik sanad secara mendetail karena untuk meringkas penelitian ini. Selain itu kami juga hanya meneliti satu jalur sanad saja, yaitu sanad hadits yang paling awal, yaitu sanad yang terdapat dalam kitab sahih Muslim. Walaupun banyak ulama’ yang sudah menjamin kesahihan hadits yang terdapat pada kitab sahih Muslim, tidak ada salahnya kami untuk mencoba melakukan kritik sanad walaupun hanya secara global. Rawi-rawi yang terdapat di hadits tersebut adalah:
1.      Ibn Abbas, beliau adalah anak dari paman Nabi saw. Beliau termasuk golongan shahabat kecil. Beliau mempunyai banyak sekali murid dan salah satunya adalah hamba yang beliau merdekakan, yakni Abi Ma’bad. Ibn Abbas adalah seorang shahabat yang terkenal akan kepandaiaan dan keluasan ilmunya.[5] Tidak ada ulama’ yang menjarahnya karena semua sahabat adalah adil (al-Shahabatu kulluhum ‘udul).
2.      Nafidz, Abi Ma’bad al-Makky al-Hijazy, beliau adalah salah seorang hamba yang telah dimerdekakan oleh Ibn Abbas. Beliau hanya mempunyai seorang guru yaitu Abdullah bin Abbas. Beliau mempunyai beberapa orang murid, diantaranya Amr bin Dinar. Beliau adalah orang yang tsiqah dan tidak ada ulama’ yang menjarahnya. Hadits yang beliau riwayatkan terdapat di dalam Kutub al-Sittah. [6]
3.      ‘Amr bin Dinar al-Makky, kunyahnya Abu Muhammad al-Atsary. Salah satu gururnya dalam bidang hadits adalah Abi Ma’bad al-Makky al-Hijazy. Beliau mempunyai banyak murid, diantaranya Sufyan bin Uyainah. Beliau banyak meriwayatkan hadits. Ulama’ menggolongkanya sebagai orang yang tsiqah dan tsabat. Hadits yang beliau riwayatkan terdapat di Kutub al-Sittah.[7]
4.      Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi Imran, beliau dari golongan atba’u al-tabi’in. Beliau mempunyai banyak sekali guru, salah satunya adalah ‘Amr bin Dinar. Beliau juga mempunyai banyak sekali murid, salah satunya adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah. Menurut para ulama’ sebagaimana yang terdapat di dalam kitab tahdzib al-Tahdzib beliau adalah orang yang tsiqah, faqih, terkadang melakukan tadlis tetapi dari orang yang tsiqah juga. Hadits yang beliau riwayatkan terdapat di dalam Kutub al-Sittah.[8]
5.      Abu Bakar bin Abi Syaibah adalah Muhammad bin Ibrahim bin ‘Utsman bin Khawasti al-‘Abbasy (w. 235 H). Beliau mempunyai sekali guru, diantaranya adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Selain itu beliau juga mempunyai banyak murid, diantaranya adalah al-Bukhary, Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah. Menurut para Ulama’ beliau adalah orang yang tsiqah dan shaduq.[9] Di dalam kitab tahdzib al-Tahdzib, Ibn Hajar menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang tsiqah dan tsabat.[10]
6.      Zuhair bin Harb bin Syadad (160 H-234 H). Beliau mempunyai banyak sekali guru dalam bidang hadits, diantaranya adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Sedang murid beliau antara lain al-Bukhary, Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah. Di dalam kitab tahdzib al-kamal di sebutkan bahwa beliau termasuk orang yang tsiqah, shaduq, dan hafidz.[11] Begitu juga di dalam kitab tahdzib al-tahdzib disebutkan bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, tsabat, dan  shaduq.[12]
Dari data-data yang kami temukan, dapat kami simpulkan bahwa hadits yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim tersebut sanadny muttashil, mulai dari Ibn Abbas sampai Imam Muslim dan seluruh perawinya tsiqah. Oleh karenanya, hadits tersebut dapat dikatakan shahih sebab telah memenuhi kriteria hadits syarat-syarat hadits shahih. Di dalam hadits Imam muslim yang beliau peroleh dari Abu Bakar bin Abi Syaibah terdapat tabi’  yaitu Zuhair bin Harab bin Syadad.
Disamping itu harus kami katakan bahwa hadits dari riwayat yang lain yang senada dengan hadits tersebut sangat banyak, bahkan lebih dari sepuluh hadits. Dan jika hadits dari riwayat lainnya dapat kita buktikan kesahihannya, maka itu akan lebih memantapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di atas.

C.    Kritik Matan (al-Naqd al-Dakhili)
Matan hadits yang kami teliti, secara prinsip tidak ada masalah. Hal ini dikarenakan matan dari hadits-hadits tersebut tidak ada yang kontradiktif dengan akal sehat, sejarah, maupun dengan prinsip dasar al-Qur’an. Bahkan hadits tersebut sejalan dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan perempuan disuruh tetap tinggal di rumah. QS. Al-Ahzab: 33
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/  
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[13]...
Hanya saja di dalam hadits tersebut terdapat ragam variasi matan (redaksi hadits). Di dalam hadits yang pertama dan kedua menggunakan fi’il nahi (laa tusafir al-mar’ah: janganlah seorang perempuan pergi) sedangkan  dua hadits yang terakhir menggunakan fi’il mudlori’ yang dimasuki laa nafi. Selain itu, hadits-hadits tersebut juga juga berbeda dalam batasan waktu yang diharamkan bagi perempuan untuk bepergian tanpa disertai mahram. Di dalam hadits yang pertama tidak disebutkan batasan waktunya, sedangkan di dalam hadits yang ke dua dan keempat waktunya selama tiga hari, sedang di dalam hadits yang ketiga waktunya cuma satu hari.
Akan tetapi semua matan tersebut tidak menimbulkan kontradiksi, bahkan sebaliknya saling menguatkan dan melengkapi. Kalaupun misalnya riwayat yang satu menyebutkan jarak perjalanannya sehari, sedangkan riwayat yang lain tiga hari atau lebih, itu menunjukkan bahwa batasan jarak bepergian itu bersifat perkiraan dan bukan merupakan suatu ketetapan. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa hadits tersebut dari sisi matan juga sahih karena tidak ada syadz dan ‘illat.

D.    Rekontruksi Konsep Mahram
Sepanjang penelitian yang telah kami lakukan, kami belum menemukan asbab al-wurud dari hadits yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram. Memang harus kita pahami sebelumnya, bahwa tidak semua hadits mempunyai asbab al-wurud mikro. Bahkan kalau kita bandingkan antara hadits yang mempunyai asbab al-wurud dan yang tidak, maka akan kita dapatkan fakta bahwa hadits yang mempunyai asbab al-wurud mempunyai prosentasi yang sangat kecil. Namun demikian, itu bukanlah suatu penghalang bagi untuk memahami hadits tersebut melalui konteks kesejarahan secara umum atau yang disebut dengan asbab al-wurud makro. Sebab Nabi Muhammad saw tidak mungkin berbicara dalam suatu masyarakat yang vakum cultural, pasti ada konteks kesejarahan, kultur dan kondisi tertentu yang melingkupinya.
Jumhur ulama’ memahami hadits tersebut secara tekstualis-literalis, sehingga menurut mereka bagaimanapun seorang perempuan ketika mahu melakukan perjalanan jauh yang sifatnya mubah atau sunnah harus didampingi oleh mahramnya (lelaki yang haram dinikahinya) atau suaminya.[14] Sedangkan untuk bepergian yang sifatnya wajib seperti bergi berhaji, para ulama’ berbeda pendapat. Menurut imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad yang didukung oleh mayoritas ulama’ ahli hadits, kehadiran mahram atau suami bagi seorang perempuan yang mahu melaksanakan ibadah haji hukumnya wajib. Sedangkan menurut Imam Malik dan al-Syafi’I, keberadaan mahram bagi perempuan ketika pergi haji hukumnya tidak wajib. Artinya, mahram tidak menjadi syarat, mereka (imam Malik dan al-Syafi’i) hanya mensyaratkan keamanan. [15] Keamanan bisa diperoleh dengan mahram, atau suami atau wanita-wanita lain yang terpercaya (tsiqah).[16]
Sebenarnya apa yang telah dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’I dapat dikembangkan dan dimekarkan pemahamannya, agar nilai dan semangat yang ada di dalam teks hadits yang bersifat legal formal  dapat tetap hidup dan dapat kita amalkan pada era modernitas sekarang ini. Diakui atau tidak, kebanyakan umat Islam masih kuat dalam berpegangan pada teks, baik al-Qur’an maupun hadits. Namun mestinya kita tidak terjebak pada teks yang legal formalistic, melainkan bagaimana mengambil signifikansinya (maghza) dan semangat yang ada di balik teks tersebut.[17]
Kalau demikian, lalu apa signifikansi dari hadits yang melarang perempuan pergi tanpa mahram? Apakah Nabi melarang demikian untuk mengukuhkan hegemoni patriarkhi agar perempuan tetap berada dalam wilayah domestiknya?
Kami  cenderung setuju dengan apa yang dikatakan oleh Abdul Mustaqim, bahwa Nabi adalah orang yang sangat feminis, yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita dan para Dlu’afa. Jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat Arab[18] saat itu, sangat mungkin larangan itu dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi Muhammad saw akan keselamatan perempuan, jika dia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seseorang bepergian, biasanya ia menggunakan kendaraan unta, bighal maupun keledai dalam perjalanannya. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya keadaan di sana adalah gurun pasir yang luas dan kebanyakan tanpa penghuni. Disamping itu, sistem nilai yang berlaku pada saat itu, wanita dianggap tabu atau kurang etis jika pergi jauh sendirian. Dalam kondisi seperti itu, tentunya seorang wanita yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau minimal nama baiknya tercemar.[19]
Dapat dibayangkan jika perempuan pergi sendirian waktu itu, dalam kondisi yang demikian, tentu akan rawan bahaya, mungkin dari kejahatan para perampok,[20] binatang buas, atau kesulitan-kesulitan yang lain yang waktu itu harus melibatkan peran atau bantuan kaum laki-laki yang menjadi mahramnya. Selain itu masyarakat Arab terkenal sangat patriarkhal, perempuan cenderung tidak bisa berperan diranah publik, sehingga ketika harus pergi sendirian mahu tidak mahu perlu melibatkan mahram. Karena jika tidak ada mahram, dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang dapat merugikan pihak perempuan tadi. Jadi, maqashid al-syar’iyah dari konsep mahram adalah perlindungan kepada kaum perempuan.[21]
Lalu bagaimana dengan kondisi zaman sekarang? Kita semua tahu bahwa saat inisituasi dan kondisinya telah berubah dan berbeda dengan zaman Nabi. Saat ini alat transportasi telah berkembang sedemikian canggih sehingga perjalanan yang dulu dianggap jauh sekarang sudah dapat ditempuh dengan waktu yang relatif lebih singkat. Perjalanan jauh bisa ditempuh menggunakan kereta api atau pesawat dengan mudah. Selain itu, seiring dengan kemajuan zaman, sistem nilai juga telah mengalami pergeseran. Salah satunya adalah masyarakat sudah bisa mentolelir jika ada seorang perempuan yang pergi jauh sendirian, entah karena sudah terpengaruh oleh kemajuan zaman atau karena alasan keuangan atau kerepotan (masyaqqoh). Jika kita memaknai mahram  secara leterlek tentu kita akan sangat kesulitan, setiap kali perempuan yang bepergian harus melibatkan mahram lainnya, tentu akan sangat merepotkan. Bila kita hanya mempunyai seorang anggota keluarga perempuan mungkin itu bukan masalah, tetapi coba kita bayangkan seandainya jumlah perempuan itu lebih dari dua, betapa kesulitannya kita untuk menyertai mereka pergi. Yang seorang harus pergi ke pasar, seorang  pergi sekolah dan yang satunya bekerja. Bagaimana cara kita mengatasinya? Haruskah kita membelah tubuh kita menjadi tiga bagian? Tentu itu mustahil bagi kita. Selain itu sekarang ini telah ada alat komunikasi handphone atau telepon yang bisa digunakan untuk menghubungi pihak keamanan dengan ketika terjadi keadaan bahaya, dan lain sebagainya.
Ada sebuah riwayat yang bisa digunakan untuk menguatkan argumen ini, yakni riwayat dari ‘Adi ibn Hatim bahwa Nabi pernah bersabda:
وتوشك الظعينة أن ترحل من الحيرة بغير جوار حتى تطوف بالبيت[22]
Artinya: ‘akan datang suatu masa ketika seorang perempuan penunggang unta dari kota Hirah tanpa suami yang menyertainya’ hingga melakukan thawaf di ka’bah.
Hadits tersebut menurut Ibn Hazm sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Qardlawi memberikan prediksi tentang datangnya suatu masa kejayaan Islam dan keamanan seantero dunia. Hal itu sekaligus memberikan isyarat dibolehkannya perempuan bepergian sendiri tanpa suami atau mahram. Selain itu ada fakta sejarah bahwa para istri Nabi melakukan ibadah haji yang terakhir pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin Khaththab tanpa disertai mahram mereka, hanya di sertai ‘Utsman bin Affan dan ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf.[23]
Dengan demikian jika memang kondisi keamanan memungkinkan, lebih-lebih ada sistem yang menjamin keamanan dan keselamatan perempuan ketika pergi sendirian, maka sah-sah saja dia pergi tanpa mahram. Abdul Mustaqim di dalam bukunya Ilmu Ma’anil Hadits berpendapat bahwa persyaratan mahram atau suami sebenarnya tidak bersifat mutlak, tetapi lebih pada syadud a;-dzari’ah (menutup jalan dari kemungkinan bahaya). Sehingga dalam beberapa hal, mahram yang bersifat person dapat digantikan fungsinya dengan misalnya sistem keamanan yang dapat menjamin keselamatan dan keamanan perempuan itu sendiri. [24]
Dengan demikian, perlu ada rekontruksi konsep mahram, dari yang dulu bersifat personal menjadi mahram yang berupa sistem keamanan yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan perempuan ketika dia pergi sendiri. Akan tetapi ini hanya terbatas pada konsep mahram dalam perjalanan atau dunia kerja yang sarat finah. Sedangkan konsep mahram dalam perkawinan tetap masih berlaku sebagaimana yang kita pahami. Artinya masih tetap pada konsep mahram secara personal, yaitu lelaki yang haram dinikahi oleh perempuan karena hubungan darah atau perkawinan.
Konsep mahram dalam arti sistem keamanan ini juga dapat berlaku pula dalam ibadah haji bagi perempuan. Jadi, perempuan yang tidak punya mahram atau suami sebenarnya sah-sah saja melakukan ibadah haji dengan syarat ada sistem yang menjamin keamanan dan keselamatan bagi dirinya. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan cara pergi bersama-sama dengan teman perempuan yang tsiqah atau lelaki lain yang benar-benar dapat dipercaya.

E.     Analisi Hadits
Menurut pemahaman kami, berdasarkan keadaan sosio-historis pada masa Nabi Muhammad saw dan juga hadits lain yang berisi ramalan Nabi tentang akan datangnya kejayaan Islam, maka hadits yang melarang perempuan bepergian tanpa disertai mahram dapat dimaknai secara kontekstual. Tujuan dari adanya mahram adalah untuk menjamin keamanan dari perempuan waktu dia ada di perjalanan. Mahram bisa diganti dengan sistem keamanan berdasarkan persamaan ‘llat yakni keamanan pada diri perempuan. Jadi, seorang perempuan bisa bepergian sendirian asalkan keamanan pada diri perempuan tersebut dapat terjamin. Hal ini juga berlaku bagi perempuan yang akan pergi melaksanakan ibadah haji.



[1]Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim Juz 2, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), h. 563, lihat juga di Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, al-Jami’ al-Shahih Juz 2, (Kairo: Mathba’ah al-Salafiyah, 1403 H), h. 359
[2]Abi al-Husain Muslim bin al-Hajja, Shahih Muslim Juz 2, h. 562
[3]Ibid., h. 563
[4]Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzy, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), h. 277
[5][5]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-15, (Beirut: Muassasah al-Risaalah, 1992), h.154-162
[6]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-29.,… h. 268-271
[7]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-22.,… h. 5-13
[8]Lihat di Ibn Hajjar al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib juz 2, (Beirut: Muassasah al-Risaalah, t.t), h. 59-61
[9]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-16.,… h. 34-42
[10]Lihat di Ibn Hajjar al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib juz 2,…. h. 419-429
[11]Lihat di Abi al-Hajjaj Yusuf al-Muziy, tahdzib al-Kamal fi Asma; al-Rijal jilid ke-9.,… h. 402-406
[12]Lihat di Ibn Hajjar al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib juz 1,…. h. 637
[13]Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.

[14]Imam al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy Juz 9, (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, 1929), h. 104-105
[15]Muhammad bin Ahmad bin bin Muhamad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid  juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) h. 259
[16]Imam al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh.,... h. 104
[17]Abdul Mustaqim, Ilm Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), h. 166
[18]Kata “Arab” berarti “padang pasir” atau “gurun”. Dalam pengertian ini Arabia meliputi kawasan Gurun Suriah, Jazirah Arab, Sinai dan beberapa daerah dekat palestina serta mesir. Xenophon, seorang ilmuwan Yunani kuno member batasan Arabia sebagai daerah padang pasir yang berada di Jazirah Arabia, sehingga penduduk desa (kaum badui) yang menghuninya sejak dulu disebut dengan A’rab.
Jazirah Arab dibatasi di sebelah utara oleh Palestina dan Gurun Suriah (Badiyah al-Syam), di sebelah selatan oleh Samudera Hindia dan Teluk Aden, di sebelah barat oleh Laut Merah, dan di sebelah timur oleh Teluk Persia, Sungai Eufrat, Sungai Tigris, dan Laut Arab. Jazirah Arabia dikelilingi oleh lautan di sebelah selatan, barat, dan timur, sedangkan disebelah utara oleh gurun pasir yang amat luas.[Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 11-12]
[19]Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 30
[20]Sebagian besar Jazirah Arabia terdiri dari padang pasir yang amat luas. Bentuk dan sifat padang itu berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada yang berdebu, berpasir, dan berbatu. tempat seperti ini dikenal dengan sebutan badiyah al-samawat, yaitu sebuah padang pasir yang tandus, sedikit sumber air dan sumur, dan sulit ditempuh dalam perjalanan karena debu dan pasir beterbangan ditiup angin. Sekalipun pada musimnya, hujan hanya turun sesekali tetapi bisa menyebabkan tumbuhnya tanaman padang pasir. Mayoritas penghuninya terdiri dari kaum Badui. Pada musim kemarau mereka mengembara mencari penghidupan diluar tempat tinggalnya dengan menjarah harta milik anggota kabilah lain. (Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 1.,...h. 18-19)
[21]Abdul Mustaqim, Ilm Ma’anil Hadits.,... h. 167-168
[22]Muhammad bin Hibban, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn Balban jilid 15, (Beirut: Muassasah al-Risaalah, t.t), h. 72
[23]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah juz 1, (Kairo: al-Fathu li i’lam al-‘Araby, t.t), h. 444
[24]Abdul Mustaqim, Ilm Ma’anil Hadits.,... h. 169

1 komentar: