hak cipta perspektif hukum di Indonesia dan Islam
A. HAK
CIPTA DAN HAK KREASI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
Pada akhir-akhir ini sering terjadi
pelanggaran hak cipta dalam bidang ilmu, seni, dan sastra (intelectual
property). Pelanggaran terhadap hak cipta terutama yang berupa
pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang berisi music, lagu, film dari dalam dan
luar negeri sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Tidak hanya
menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang, penerbit, pencipta
musik/lagu, perusahaan film dan perusahaan rekaman kaset dan lain-lain),
melainan juga Negara yang dirugikan karena tidak memperoleh pajak penghasilan
atas keuntungan yang diperoleh. Pembajakan terhadap intelectual property (karya
ilmiah) dapat mematikan gairah kreatifitas para pecipta untuk berkarya yang
sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa.[1]
Demikian pula pembajakan hak cipta
dapat merusak tatanan sosial, ekonomi, dan hukum di negara kita. Karena itu
tepat sekali telah diundangkan UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang
dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat
yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu seni dan sastra.
Namun dalam
pelaksanaan undang-undang tersebut masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran
terhadap hak cipta. Berdasarkan laporan dari berbagai Asosiasi Porfesi yang
berkaitan dengan erat dengan hak cipta di bidang buku dan penerbitan, musik dan
lagu, film dan rekaman video, dan komputer, bahwa pelanggaran terhadap hak
cipta masih teyap berlangsung, bahkan semakin meluas sehingga sudah mencapai
tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta, serta
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.[2]
Karena itu lahirlah UU No. 7 Tahun
1987 tentang Hak Cipta yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
materi UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta agar lebih mampu memberantas/
menangkal pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta.
Di bawah ini sedikit ilustrasi
tentang perbandingan antara materi UU No. 6/1982 dan UU No. 7/1987 tentang Hak
Cipta sebagai berikut:
UU No. 6 Tahun 1982
|
UU No. 7 Tahun 1987
|
1.
Masa
berlaku Hak Cipta selama hidup dan 25 tahun setelah pencipta meninggal [pasal
26 (1)].
2.
Pelanggran
hak cipta diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda setinggi-tingginya lima juta rupiah [ pasal 44].
3.
Tindak
pidana pelanggaran hak cipta dipandang sebagai delik aduan [pasal 45].
|
1.
Masa
berlaku Hak Cipta ada yang selama hidup dan 25 tahun setelah pencipta
meninggal, dan ada yang selama hidup dan 50 tahun setelah ia meninggal.
[pasal 26 (1) dan (2) dan pasal 27 (1) dan (2)].
2.
Pelanggaran
hak cipta diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau denda paling banyak seratus juta rupiah [pasal 44 (1)].
3.
Tindak
pidana pelanggaran hak cipta sebagai delik biasa, sebab ketentuan pasal 45 UU
No. 6/1982 dihapus.
|
Dengan diklasifikasikannya
pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindak pidana biasa, berarti bahwa
tindakan negara terhadap para pelanggar hak cipta tidak lagi semata-mata
didasarkan atas pengaduan dari pemegang hak cipta. Tindakan negara akan
dilakuakan baik atas pengaduan pemegang hak cipta yang bersangkutan maupun atas
dasar laporan atau informasi dari pihak lainnya. Karena itu aparatur penegak
hukum diminta untuk bersikap lebih aktif
dalam mengatasi pelanggaran hak cipta itu.[3]
Kedua undang-undang di atas diperbaharui lagi dengan dikeluarkannya UU No.19
Tahun 2002. Sanksi pelanggaran undang-undang hak cipta sesuai dengan UU No. 19
Tahun 2002 pasal 72 adalah:
1.
Barang
siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 (1) dan ayat 2 (2) dipidana dengan penjara
masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah) atau dipidana penjara paling lama 7 ( tujuh)
tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2.
Barang
siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada
umumsuatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana dengan penjara paling lambat 5 (lima)
tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
B.
HAK CIPTA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa
ayat yang mewajibkan menyebar luaskan ilmu dan ajaran ajaran agama seperti
dalam surat Al-Maidah ayat 67, Yusuf ayat 108. Dan disamping itu terdapat pula
beberapa ayat yang melarang (haram), mengutuk dan mengancm dengan adzab neraka
pada hari akhirat nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran
agama dan mengkomersilkan agama untuk kepentingan kehidupan dunia seperti Ali
Imran ayat 187, Al-Baqarah ayat 159-160 dan ayat 174-175.[4]
Ke-5 ayat di atas memang berkenanan
dengan Ahli Kitab, namun sesuai dengan kaidah hukum Islam
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Yang dijadikan pegangan adalah keumuman
lafalnya (redaksi) bukan kekhususan sebabnya
Maka peringatan dan ketentuan hukum
dari kelima ayat tersebut juga berlaku bagi umat Islam artinya umat Islam wajib
menyampaikan ilmu dan ajaran agama (dakwah Islamiyah) kepada masyarakat
dan haram menyembunyikan ilmu dan ajaran agama.[5] Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada dengan ayat Al-Qur’an tersebut, antara lain yang diriwayatkan Hakim dari
Abu Hurairah:
من سئل عن مسلم فكتمه
ألجم يوم القيامة بلجام من نار
Barang siapa
ditanyai tentang sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi
pakaian kendali pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat
Yang
dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari (fardlu ‘ain) dan wajib pula
disebarkan ialah pokok-pokok ajaran islam tentang aqidah, ibadah, muamalah, dan
akhlak. Di luar itu, hukumnya bisa berubah tergantung pada urgensinya bagi
setiap individu dan umat.[6]
Mengenai hak
cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya, sebab
karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berpikir dan
menulis sehingga karya tulis itu dilindungi hukum. Sehingga bisa dikenakan
sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar hak cipta seseorang.[7]
Seseorang diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya dari gangguan orang
lain. Bahkan jika dia mati di dalam membela dan mempertahankan hak miliknya itu
dipandang sebagai syahid, suatu penghargaan dari Allah[8].
Dalam hadits disebutkan:
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله
عليه وسلم - يَقُولُ « مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ » .
Dan siapa yang dibunuh karena
mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid (HR. Bukhari) [9]
Islam
sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat,
sebab itu termasuk amal shaleh yang pahalanya terus menerus bagi penulisnya,
meskipun ia telah meninggal. Sebagaimana dalam hadits Nabi riwayat Bukhari dari
Abu Hurairah:
اذا مات الانسان
انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له
Ketika manusia
meninggal maka seluruh amal perbuatanya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah
jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anaj shalih yang mendoakanya.
Karena hak cipta merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang oang yang
tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) menfotokopi, baik untuk kepentingan
pribadi maupununtuk kepentingan bisnis. Demikian
pula menterjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya dilarang, kecuali
dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberiha untuk menerbitkannya.
Perbuatan memfotokopi, mencetak,
menterjemahkan, membaca dan sebagainya terhadap karya tulis seseorang tanpa
izin penulis sebagai pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau
penerbit yang diberi wewenang oleh penulisnya, adalah perbuatan tidak etis dan
dilarang oleh islam. Sebab perbuatan semacan itu bisa termasuk kategori
pencurian, kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan diambil dari tempat
penyimpanan karya tulis itu; atau disebut perampasan atau perampokan kalau
dilakukan dengan terang-terangan dan kekerasan; atau pencopetan kalau dilakuan
dengan sembunyi-sembunyi dan di luar tempat penyimpanannya yang semestinya;
atau penggelapan/khianat kalau dilakukan dengan melanggar amanat/perjanjiannya,
misalnya penerbit mencetak 10.000 eksemplar padahal menurut perjanjian hanya
mencetak 5.000 eksemplar, atau ghasab kalau dilakukan dengan cara dan motif
selain tersebut di atas.[10]
Adapun dalil-dalil syar’I yang
dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan
tersebut di atas antara lain:
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
........
188. dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil….
Al-Qur’an
Surat An-Nisa’ ayat 29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB
`tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Ayat
di atas mengingatkan agar dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan
lingkungan itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan serta milik orang
lain. dengan kata lain, ia harus menempuh cara-cara yang sah dan halal dan
tidak berlaku secara sembrono.
Allah
melarang memakan harta sesama dengan cara bathil. Memakan harta secara bathil
ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau dibenarkan
Allah. Diantarnya denga cara menipu, menyuap, semua bentuk jual beli yang haram
dan mencuri.[11]
Termasuk di dalamnya pencurian karya orang lain melalui pelanggaran hak cipta.
2. Hadits Nabi riwayat Al-Darruquthni dari Anas (hadits marfu’)
لاَ يحلّ مال
امرئ مسلم الا بطيب من نفسه
Tidak halal harta sorang muslim kecuali dengan kerelaan
dirinya
Hadits yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas pada dasarnya memberikan ketegasan
tentang kepemilikan pribadi seseorang yang tidak boleh dirampas atau diambil
tanpa seizinnya.
3. Hadits Nabi
أتدرون
من المفلس؟ قالوا: المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع. فقال: المفلس من امتى من
يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة. ويأتى وقد شتم هذا وقذف هذا واكل مال هذا
وسفك دم هذا وضرب هذا, فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته. فان فنيت حسناته قبل
ان يقضي ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح فى النار
Nabi bertanya:“ apakah kamu tahu siapakah orang yang
bangkrut itu?” jawab mereka (shahabat):” orang bangkrut dikalangan kita adalah
orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali. ” kemudian Nabi
bersabda: “sebenarnya orang yang bangkrut (amalnya) dari umatku itu adalah
orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti
sholat, puasa dan zakat. Dan iapun membawa pula berbagai amalan yang jelek,
seperti memaki-maki, menuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang.
Maka amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah di zhalimi,
dan apabila hal itu belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka
yang pernah di zhalimi itu ditransfer kepada si zhalim. Kemudian ia dilemparkan
ke dalam neraka.
Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak
memakai atau menggunakan hak orang lain dan tidak pula memakan harta orang lain
kecuali dengan persetujuan. Dan pelanggaran terhadap orang lain termasuk hak
cipta bisa termasuk kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya
nanti di akhirat.
Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik pribadi itu
bersifat social, karena hak milik pribadi pada hakikatnya adalah hak milik
Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memlikinya. Karenanya, karya
tulis itupun harus bisa dimanfaatkan oleh umat, tidak boleh dirusak, dibakar
atau disembunyikan oleh pemiliknya.[12]
Penulis atau penerbit tidak dilarang oleh agama mencantumkam:”
Dilarang mengutip dan atau memperbanyak dalam bentuk apapun bila tidak ada izin
tertulis dari penulis atau penerbit”. Sebab pernyataan tersebut dilakukan hanya
bertujuan untuk melindungi hak ciptanya dari usaha pembajakan, plagiat dan
sebagainya yang menurut peraturan perundang-undangan di Negara kita juga
dilindungi (UU No. 6 Tahun 1982 jo UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta).[13]
Jadi, pernyataan tersebut jelas bukan bermaksud untuk
menyembunyikan ilmunya, sebab siapapun dapat memperbanyak, mencetak dan
sebagainya setelah mendapat izin atau mengadakan perjanjian dengan penulis atau
ahli waris atau penerbitnya.
Di
dalam CD (Cairo Declaration) pasal 16 ditegaskan:” setiap orang
berhak untuk menikmati hasil karya ilmiah’ sastra, seni atau teknik dan berhak
melindungi hasil karyanya baik yang berkaitan dengan kepentingan moral maupun
material, asalkan hasil karya itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariat”[14]
Di dalam UDHR (The
Universal Declaration of Human Rights) pasal 27 juga ditegaskan:
1.
Setiap
orang berhak berpartisipasi di dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk
menikmati kesenian dan berperan serta dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
menikmati manfaatnya.
2.
Setiap
orang berhak untuk mendapatkan perlindungan baik moral maupun material yang ia
peroleh dari setiap usahanya dibidang keilmuan, kesustraan, kesenian, di mana
ia menjadi penciptanya
Di
sini kelihatan suatu penekanan di dalam CD tentang hak menikmati hasil/ produk
ilmu dan hak cipta ialah tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam.
[1]Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, h. 203
[2]Ibid
[3]Vide
UU No. 7 Th 1987 tentang hak cipta beserta keterangan pemerintah di hadapan
sidang paripurna DPR RI Juni 1987 mengenai RUU tentang Perubahan UU No.6 Th
1982 tentang Hak Cipta, PT Arnas Duta Jaya, s.l., s.n, passim.
[5]Rasyid
ridha, Tafsir al-Manar, vol. II, Kairo: Darul Manar, 1387 H, h. 51
[6]
Zuhdi, Masail…,
h. 205-206
[7]Ibid.,
h. 206
[8]
Kosasih, HAM dalam…, h. 83
[9]Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih
Bukhari, juz 9, Maktabah Syamilah, h. 165
[10] Zuhdi, Masail… h. 206-207
[12]Zuhdi, Masail…, h.
208
[13]Ibid
[14]
-, Deklarasi Kairo Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan ELSAM,
Jakarta: ELSAM, 1998, h. 12
kita juga punya nih jurnal mengenai Hak Cipta silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3633/1/ICT_041.pdf