Rabu, 07 November 2012

hak cipta perspektif hukum di Indonesia dan Islam


hak cipta perspektif hukum di Indonesia dan Islam
A.    HAK CIPTA DAN HAK KREASI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
Pada akhir-akhir ini sering terjadi pelanggaran hak cipta dalam bidang ilmu, seni, dan sastra (intelectual property). Pelanggaran terhadap hak cipta terutama yang berupa pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang berisi music, lagu, film dari dalam dan luar negeri sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Tidak hanya menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang, penerbit, pencipta musik/lagu, perusahaan film dan perusahaan rekaman kaset dan lain-lain), melainan juga Negara yang dirugikan karena tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh. Pembajakan terhadap intelectual property (karya ilmiah) dapat mematikan gairah kreatifitas para pecipta untuk berkarya yang sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa.[1]
Demikian pula pembajakan hak cipta dapat merusak tatanan sosial, ekonomi, dan hukum di negara kita. Karena itu tepat sekali telah diundangkan UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu seni dan sastra.
Namun dalam pelaksanaan undang-undang tersebut masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta. Berdasarkan laporan dari berbagai Asosiasi Porfesi yang berkaitan dengan erat dengan hak cipta di bidang buku dan penerbitan, musik dan lagu, film dan rekaman video, dan komputer, bahwa pelanggaran terhadap hak cipta masih teyap berlangsung, bahkan semakin meluas sehingga sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta, serta dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.[2]
Karena itu lahirlah UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan materi UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta agar lebih mampu memberantas/ menangkal pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta.
Di bawah ini sedikit ilustrasi tentang perbandingan antara materi UU No. 6/1982 dan UU No. 7/1987 tentang Hak Cipta sebagai berikut:
UU No. 6 Tahun 1982
UU No. 7 Tahun 1987
1.      Masa berlaku Hak Cipta selama hidup dan 25 tahun setelah pencipta meninggal [pasal 26 (1)].



2.      Pelanggran hak cipta diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda setinggi-tingginya lima juta rupiah [ pasal 44].
3.      Tindak pidana pelanggaran hak cipta dipandang sebagai delik aduan [pasal 45].
1.      Masa berlaku Hak Cipta ada yang selama hidup dan 25 tahun setelah pencipta meninggal, dan ada yang selama hidup dan 50 tahun setelah ia meninggal. [pasal 26 (1) dan (2) dan pasal 27 (1) dan (2)].
2.      Pelanggaran hak cipta diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak seratus juta rupiah [pasal 44 (1)].
3.      Tindak pidana pelanggaran hak cipta sebagai delik biasa, sebab ketentuan pasal 45 UU No. 6/1982 dihapus.  

Dengan diklasifikasikannya pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindak pidana biasa, berarti bahwa tindakan negara terhadap para pelanggar hak cipta tidak lagi semata-mata didasarkan atas pengaduan dari pemegang hak cipta. Tindakan negara akan dilakuakan baik atas pengaduan pemegang hak cipta yang bersangkutan maupun atas dasar laporan atau informasi dari pihak lainnya. Karena itu aparatur penegak hukum diminta untuk  bersikap lebih aktif dalam mengatasi pelanggaran hak cipta itu.[3] Kedua undang-undang di atas diperbaharui lagi dengan dikeluarkannya UU No.19 Tahun 2002. Sanksi pelanggaran undang-undang hak cipta sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2002 pasal 72 adalah:
1.      Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 (1) dan ayat 2 (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah) atau dipidana penjara paling lama 7 ( tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2.      Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umumsuatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana dengan penjara paling lambat 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
B.      HAK CIPTA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mewajibkan menyebar luaskan ilmu dan ajaran ajaran agama seperti dalam surat Al-Maidah ayat 67, Yusuf ayat 108. Dan disamping itu terdapat pula beberapa ayat yang melarang (haram), mengutuk dan mengancm dengan adzab neraka pada hari akhirat nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran agama dan mengkomersilkan agama untuk kepentingan kehidupan dunia seperti Ali Imran ayat 187, Al-Baqarah ayat 159-160 dan ayat 174-175.[4]
Ke-5 ayat di atas memang berkenanan dengan Ahli Kitab, namun sesuai dengan kaidah hukum Islam
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafalnya (redaksi) bukan kekhususan sebabnya
Maka peringatan dan ketentuan  hukum dari kelima ayat tersebut juga berlaku bagi umat Islam artinya umat Islam wajib menyampaikan ilmu dan ajaran agama (dakwah Islamiyah) kepada masyarakat dan haram menyembunyikan ilmu dan ajaran agama.[5] Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada dengan ayat Al-Qur’an tersebut, antara lain yang diriwayatkan Hakim dari Abu Hurairah:
من سئل عن مسلم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار
Barang siapa ditanyai tentang sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi pakaian kendali pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat
Yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari (fardlu ‘ain) dan wajib pula disebarkan ialah pokok-pokok ajaran islam tentang aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Di luar itu, hukumnya bisa berubah tergantung pada urgensinya bagi setiap individu dan umat.[6]
Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya, sebab karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berpikir dan menulis sehingga karya tulis itu dilindungi hukum. Sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar hak cipta seseorang.[7] Seseorang diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya dari gangguan orang lain. Bahkan jika dia mati di dalam membela dan mempertahankan hak miliknya itu dipandang sebagai syahid, suatu penghargaan dari Allah[8]. Dalam hadits disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ » .
Dan siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid (HR. Bukhari) [9]
Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab itu termasuk amal shaleh yang pahalanya terus menerus bagi penulisnya, meskipun ia telah meninggal. Sebagaimana dalam hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah:
اذا مات الانسان انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له
Ketika manusia meninggal maka seluruh amal perbuatanya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anaj shalih yang mendoakanya.
Karena hak cipta merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang oang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) menfotokopi, baik untuk kepentingan pribadi maupununtuk kepentingan bisnis. Demikian pula menterjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberiha untuk menerbitkannya.
Perbuatan memfotokopi, mencetak, menterjemahkan, membaca dan sebagainya terhadap karya tulis seseorang tanpa izin penulis sebagai pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau penerbit yang diberi wewenang oleh penulisnya, adalah perbuatan tidak etis dan dilarang oleh islam. Sebab perbuatan semacan itu bisa termasuk kategori pencurian, kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan diambil dari tempat penyimpanan karya tulis itu; atau disebut perampasan atau perampokan kalau dilakukan dengan terang-terangan dan kekerasan; atau pencopetan kalau dilakuan dengan sembunyi-sembunyi dan di luar tempat penyimpanannya yang semestinya; atau penggelapan/khianat kalau dilakukan dengan melanggar amanat/perjanjiannya, misalnya penerbit mencetak 10.000 eksemplar padahal menurut perjanjian hanya mencetak 5.000 eksemplar, atau ghasab kalau dilakukan dengan cara dan motif selain tersebut di atas.[10]
Adapun dalil-dalil syar’I yang dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas antara lain:
1.      Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ ........
188. dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil….
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB
`tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿ
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Ayat di atas mengingatkan agar dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan serta milik orang lain. dengan kata lain, ia harus menempuh cara-cara yang sah dan halal dan tidak berlaku secara sembrono.
Allah melarang memakan harta sesama dengan cara bathil. Memakan harta secara bathil ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau dibenarkan Allah. Diantarnya denga cara menipu, menyuap, semua bentuk jual beli yang haram dan mencuri.[11] Termasuk di dalamnya pencurian karya orang lain melalui pelanggaran hak cipta.
2.      Hadits Nabi riwayat Al-Darruquthni dari Anas (hadits marfu’)
لاَ يحلّ مال امرئ مسلم الا بطيب من نفسه
Tidak halal harta sorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya
Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas pada dasarnya memberikan ketegasan tentang kepemilikan pribadi seseorang yang tidak boleh dirampas atau diambil tanpa seizinnya.
3.      Hadits Nabi
أتدرون من المفلس؟ قالوا: المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع. فقال: المفلس من امتى من يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة. ويأتى وقد شتم هذا وقذف هذا واكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هذا, فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته. فان فنيت حسناته قبل ان يقضي ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح فى النار
Nabi bertanya:“ apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut itu?” jawab mereka (shahabat):” orang bangkrut dikalangan kita adalah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali. ” kemudian Nabi bersabda: “sebenarnya orang yang bangkrut (amalnya) dari umatku itu adalah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti sholat, puasa dan zakat. Dan iapun membawa pula berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Maka amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah di zhalimi, dan apabila hal itu belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah di zhalimi itu ditransfer kepada si zhalim. Kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka.     
Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak memakai atau menggunakan hak orang lain dan tidak pula memakan harta orang lain kecuali dengan persetujuan. Dan pelanggaran terhadap orang lain termasuk hak cipta bisa termasuk kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya nanti di akhirat.
Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik pribadi itu bersifat social, karena hak milik pribadi pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memlikinya. Karenanya, karya tulis itupun harus bisa dimanfaatkan oleh umat, tidak boleh dirusak, dibakar atau disembunyikan oleh pemiliknya.[12]
Penulis atau penerbit tidak dilarang oleh agama mencantumkam:” Dilarang mengutip dan atau memperbanyak dalam bentuk apapun bila tidak ada izin tertulis dari penulis atau penerbit”. Sebab pernyataan tersebut dilakukan hanya bertujuan untuk melindungi hak ciptanya dari usaha pembajakan, plagiat dan sebagainya yang menurut peraturan perundang-undangan di Negara kita juga dilindungi (UU No. 6 Tahun 1982 jo UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta).[13]
Jadi, pernyataan tersebut jelas bukan bermaksud untuk menyembunyikan ilmunya, sebab siapapun dapat memperbanyak, mencetak dan sebagainya setelah mendapat izin atau mengadakan perjanjian dengan penulis atau ahli waris atau penerbitnya.
Di dalam CD (Cairo Declaration) pasal 16 ditegaskan:” setiap orang berhak untuk menikmati hasil karya ilmiah’ sastra, seni atau teknik dan berhak melindungi hasil karyanya baik yang berkaitan dengan kepentingan moral maupun material, asalkan hasil karya itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat”[14]
Di dalam UDHR (The Universal Declaration of Human Rights) pasal 27  juga ditegaskan:
1.      Setiap orang berhak berpartisipasi di dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk menikmati kesenian dan berperan serta dalam memajukan ilmu pengetahuan dan menikmati manfaatnya.
2.      Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan baik moral maupun material yang ia peroleh dari setiap usahanya dibidang keilmuan, kesustraan, kesenian, di mana ia menjadi penciptanya
Di sini kelihatan suatu penekanan di dalam CD tentang hak menikmati hasil/ produk ilmu dan hak cipta ialah tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam.








[1]Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, h. 203
[2]Ibid
[3]Vide UU No. 7 Th 1987 tentang hak cipta beserta keterangan pemerintah di hadapan sidang paripurna DPR RI Juni 1987 mengenai RUU tentang Perubahan UU No.6 Th 1982 tentang Hak Cipta, PT Arnas Duta Jaya, s.l., s.n, passim.
[4]Ibid,. h. 205 
[5]Rasyid ridha, Tafsir al-Manar, vol. II, Kairo: Darul Manar, 1387 H, h. 51
[6] Zuhdi, Masail, h. 205-206
[7]Ibid., h. 206
[8] Kosasih, HAM dalam…, h. 83
[9]Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz 9, Maktabah Syamilah, h. 165
[10] Zuhdi, Masail… h. 206-207
[11] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 4  terjemah, Jakarta: Gema Insani, 2004, h. 217
[12]Zuhdi, Masail, h. 208
[13]Ibid
[14] -, Deklarasi Kairo Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan ELSAM, Jakarta: ELSAM, 1998, h. 12

1 komentar:

  1. kita juga punya nih jurnal mengenai Hak Cipta silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3633/1/ICT_041.pdf

    BalasHapus